Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

DERMATITIS EXFOLIATIF GENERALISATA

Pembimbing :

dr. Taufik Sungkar, Sp.PD-KGEH

Oleh:
Linna Dewi (150100009)
Samuel Sembiring (150100107)
Rafli Rizaldy Edwar (150100121)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
RSUP. H ADAM MALIK
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

PIMPINAN SIDANG

dr. Taufik Sungkar, Sp.PD-KGEH

CHIEF OF WARDS

dr. M. Irfan Lubis

dr. Otniel
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Dermatitis Exfoliatif Generalisata”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 10 Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan.............................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................3
2.1. Definisi Dermatitis Exfoliatif Generalisata .....................................3
2.2. Etiologi Dermaitis Eksfoliatif Generalisata.....................................3
2.3. Epidemiologi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata...........................5
2.4. Patofisiologi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata............................6
2.5. Manifestasi Klinis Dermatitis Eksfoliatif Generalisata...................8
2.6. Diagnosis Dermatitis Eksfoliatif Generalisata...............................10
2.7. Penatalaksanaan Dermatitis Eksfoliatif Genaralisata....................13
2.8. Pencegahan Dermatitis Eksfoliatif Generalisata............................15
2.9. Komplikasi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata............................16
2.10. Prognosis Dermatitis Eksfoliatif Generalisata.............................16
BAB 3 LAPORAN KASUS ............................................................................19
BAB 4 FOLLOW UP.......................................................................................31
BAB 5 DISKUSI..............................................................................................33
BAB 6 KESIMPULAN....................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................37

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dermatitis Eksfoliatif Generalisata (DEG) adalah suatu kelainan kulit


dengan gejala berupa eritema dan skuama generalisata yang melibatkan lebih dari
90% permukaan kulit penderita. Nama lain penyakit ini adalah ptiriasis rubra
(Hebra), eritroderma (Wilson-Brocq), dan eritema skarlatiniform. Istilah
eritroderma digunakan apabila eritema kulit hanya disertai sedikit atau tanpa
skuama, sedangkan istilah dermatitis eksfoliatif digunakan apabila dijumpai
skuama yang cukup dominan pada kulit eritema.1,2
Beberapa studi melaporkan insidensi DE yang beragam, berkisar antara 0.9
hingga 71.0 per 100.000 pasien. Terjadinya DE pada laki-laki lebih banyak telah
dilaporkan, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1
hingga 4:1.DE dapat terjadi pada segala usia. Banyak penelitian menemukan onset
yang beragam antara 41 hingga 61 tahun, dengan pengecualian kasus pada anak.
DE merupakan penyakit yang langka pada anak-anak, dan hanya sedikit data
epidemiologis yang tersedia untuk populasi anak. Suatu penelitian menemukan 17
pasien, yang telah diobservasi selama 6 tahun, mendapatkan umur mean dari onset
3.3 tahun dan perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 0.89:1. DE
dapat terjadi pada seluruh jenis ras. 1,2
Dari penggabungan 18 penelitian yang telah dipublikasikan dari berbagai
negara menunjukkan bahwa dermatosis yang sudah ada sebelumnya merupakan
penyebab paling banyak pada orang dewasa (52% dari kasus Dermatitis
Eksfoliatif; dengan rentang 27%-68%) disusul dengan raksi hipersensitivitas obat
(15%), dan limfoma sel T kutaneus atau Sindrom Sezary (5%). Tidak ditemukan
etiologi yang mendasari pada 20% kasus Dermatitis Eksfoliatif (dengan rentang
7%-33%) dan kasus ini dikategorikan sebagai kasus idiopatik. 1,2
DE dapat menjadi fatal terutama pada pasien yang masih sangat muda dan
pada pasien lanjut usia. Rata-rata variabel mortalitas (dari 3,73% hingga 64%)
telah dilaporkan pada penelitian selama lebih dari 51 tahun. Pada beberapa
rangkaian DE, tingkat mortalitas yang tinggi ditemukan pada pasien dengan reaksi
obat berat, keganasan limfaproliferatif, foliaseus pemfigus, dan DE idiopatik.
Penyebab terjadinya kematian adalah komplikasi seperti sepsis, pneumoni, dan
gagal jantung.
Kasus DEG merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang harus segera
ditangani dengan tatalaksana life saving sehingga penegakan diagnosis kasus
DEG harus dilakukan dengan cepat dan tepat. 3
1.2. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari pembuatan dari laporan kasus ini adalah :
1. Penulis dan pembaca diharapkan dapat mengerti dan memahami tentang
Dermatitis Exfoliata Generalisata.
2. Penulis dan pembaca diharapkan mampu menerapkan teori terhadap
pasien dengan Dermatitis Exfoliata Generalisata.
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3. MANFAAT PENULISAN
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis
dan pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang
Dermatitis Exfoliata Generalisata.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

.1. Definisi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Dermatitis Eksfoliatif Generalisata adalah peradangan hebat yang
melibatkan lebih dari 90% permukaan kulit dan menyebabkan kemerahan dan
pembentukan sisik yang berat. Nama lain penyakit ini adalah pitiriasis rubra
(Hebra), eritroderma (Wilson-Brocq), dan eritema skarlatiniform. Istilah
eritroderma digunakan apabila eritema kulit hanya disertai sedikit atau tanpa
skuama, sedangkan istilah dermatitis eksfoliativa digunakan apabila dijumpai
skuama yang cukup dominan pada kulit eritema. Penyakit ini adalah kasus yang
jarang meskipun mudah dikenali dan merupakan kondisi kulit yang serius.1,2
Dermatitis Eksfoliatif ini bisa dimulai secara tiba-tiba atau mendadak.
Seluruh permukaan kulitnya menjadi merah, bersisik, menebal, dan kadang
berbentuk keropeng. Beberapa penderita merasakan gatal-gatal dan kelenjar getah
beningnya membesar. Penederita kebanyakan mengalami demam namun mereka
merasakan kedinginan karena begitu banyak panas yang hilang melalui kulit yang
rusak. Sejumlah besar cairan dan protein bisa meresap melalui kulit, selain itu
fungsi kulit terhadap penghalang infeksi menjadi buruk.1,2

2.2. Etiologi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Penyebab terjadinya Dermatitis Eksfoliatif yang jarang ditemukan termasuk
penyakit immunobulosa; penyakit jaringan ikat; infeksi, termasuk skabies dan
infeksi oleh dermatofit; pityriasis rubra piliaris (PRP) (4% dari dermatosis); dan
keganasan. Walaupun pada pasien telah didapatkan dermatosis sebelumnya, perlu
dipertimbangkan kemungkinan penyebab lainnya. Pada suatu kasus, Dermatitis
Eksfoliatif yang berkaitan dengan keganasan ditemukan pada tujuh pasien yang
lima diantaranya telah ditemukan dermatosis sebelumnya. Pada 5%-10% dari
kasus DE idiopatik, ditegakkan diagnosis CTCL eritrodermis. Keganasan organ
solid dan juga keganasan hematologik dan retikulo endotelial juga dapat
menyebabkan DE.3
Dari penggabungan 18 penelitian yang telah dipublikasikan dari berbagai
negara menunjukkan bahwa dermatosis yang sudah ada sebelumnya merupakan
penyebab paling banyak pada orang dewasa (52% dari kasus Dermatitis
Eksfoliatif; dengan rentang 27%-68%) disusul dengan raksi hipersensitivitas obat
(15%), dan limfoma sel T kutaneus atau Sindrom Sezary (5%). Tidak ditemukan
etiologi yang mendasari pada 20% kasus Dermatitis Eksfoliatif (dengan rentang
7%-33%) dan kasus ini dikategorikan sebagai kasus idiopatik. 3
Psoriasis merupakan penyakit kulit yang paling sering menyebabkan
Dermatitis Eksfoliatif (23% dari keseluruhan kasus), diikuti dengan dermatitis
spongiosis (20%). Faktor pencetus terjadinya Dermatitis Eksfoliatif psoriatik
termasuk: 4
1. Medikasi, seperti litium, terbinafin, dan anti malaria,
2. Iritan topikal seperti tar,
3. Penyakit sistemik,
4. Diskontinuitas kortikosteroid poten oral maupun topikal, metotreksat, ataupun
biologics (efalizumab),
5. Infeksi, termasuk infeksi human immunodeficiency virus (HIV),
6. Kehamilan
7. Stres emosional, dan
8. Luka bakar akibat fototerapi.
Tabel 2.1. Berbagai Etiologi Derrmatitis Eksfoliatif Generalisata2

2.3. Epidemiologi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Beberapa studi melaporkan insidensi DE yang beragam, berkisar antara 0.9
hingga 71.0 per 100.000 pasien. Terjadinya DE pada laki-laki lebih banyak telah
dilaporkan, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1
hingga 4:1.DE dapat terjadi pada segala usia. Banyak penelitian menemukan onset
yang beragam antara 41 hingga 61 tahun, dengan pengecualian kasus pada anak.
DE merupakan penyakit yang langka pada anak-anak, dan hanya sedikit data
epidemiologis yang tersedia untuk populasi anak. Suatu penelitian menemukan 17
pasien, yang telah diobservasi selama 6 tahun, mendapatkan umur mean dari onset
3.3 tahun dan perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 0.89:1. DE
dapat terjadi pada seluruh jenis ras. 5
Dermatosis yang telah ada sebelumnya berperan pada lebih dari setengah
kasus DE. Psoriasis merupakan etiologi yang paling banyak ditemukan (hampir
pada seperempat kasus). Pada penelitian psoriasis baru-baru ini, DE dilaporkan
pada 87 dari 160 kasus. 3

2.4. Patofisiologi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Saat ini, mekanisme patogenik dari DE masih belum dapat dijelaskan.
Masih belum diketahui bagaimana dermatosis yang sudah ada sebelumnya dapat
berkembang menjadi DE, bagaimana sebuah penyakit yang sudah ada sebelumnya
berkembang menjadi DE, atau bagaimana DE terjadi kembali. Meskipun temuan
klinis pada pasien DE memiliki kemiripan dengan etiologi yang berbeda,
dipercayai terdapat mekanisme yang berbeda dalam terjadinya rekrutmen sel-sel
peradangan pada kulit. 1
Sitokin, kemokin, dan teseptor-reseptornta dipercayai memiliki peran
penting dalam patogenesis DE. Sebuah penelitian profil sitokin pada infiltrat kulit
menunjukkan kemungkinan-kemungkinan mekanisme patofisiologik yang
berbeda antara DE dan Sindroma Sezary—sitokin T helper 1 ditemukan pada DE
jinak sementara sitokin T helper 2 ditemukan pada Sindroma Sezary. Pada
penemuan belakangan ini, overekspresi reseptor kemokin baik dari T helper 1 dan
T helper 2 (CCR4, CCR5, dan CXCR3) ditemukan pada DE yang didasari dari
proses peradangan, sementara overekspresi selektif CCR ditemukan pada
Sindroma Sezary, yang menunjukkan bahwa Sindroma Sezary terjadi akibat
gangguan T helper 2 dan mekanisme lainnya berkontribusi dalam reaktivasi
limfosit pada beberapa penyebab DE yang berbeda. Penelitian lain menunjukkan
bahwa Sindroma Sezary dan DE yang disertai inflamasi memiliki ciri khas berupa
himpunan reaksi sel T memori yang berbeda yang kemudian dapat menunjukkan
mekanisme patofisiologis lain. 1
Interaksi antara molekul adhesi dengan molekul di sekitarnya sangat penting
pada peradangan dan respon imunologis. Peningkatan kadar molekul adhesi pada
sirkulasi (molekul adhesi interselular 1, molekul adhesi sel vaskuler 1, dan E-
selektin) dilaporkan pada DE sekunder reaktif jinak yang didasari oleh psoriasis
dan dermatitis atopik. Sebaliknya, tidak ditemukan perbedaan tingkat ekspresi
molekul-molekul ini pada sel-sel endotel yang didapatkan pada DE jenis lainnya,
yang menimbulkan hipotesis adanya kesamaan pada jalur imunologis tingkat
akhir tipe-tipe lain dari DE. 1
Interaksi kompleks antara molekul adhesi dan sitokin juga berperan dalam
meningkatnya mitosis dan pergantian lapisan kulit pada DE. Timbulnya kerak
pada kulit yang mengalami DE emncerminkan berkurangnya waktu tansit antar
lapisan epidermis yang mengakibatkan hilangnya protein, asam amino, dan asam
nukleat. Kehilangan protein dapat meningkat pada 25%-30% melalui kerak pada
DE psoriatik, dan 10%-15% pada DE nonpsoriatik. Sebagai tambahan, hilangnya
protein juga dapat menimbulkan hipoalbuminemia. 3
Beberapa pasien dengan DE idiopatik kronik telah dilaporkan membentuk
CTCL yang menuntun kita bahwa pasien dengan DE idiopatik kronik terdapat
peningkatan resiko berkembangnya penyakit menjadi mikosis atau Sindroma
Sezary. Stimulasi sel T kronik pada pasien-pasien ini menunjukkan kemungkinan
terbentuknya CTCL. Belakangan, kondisi pra keganasan atau kondisi yang
menyerupai pra Sezary telah dijelaskan pada pasien lanjut usia dengan DE kronik
atau relaps tanpa perkembangan menjadi keganasan hematologik yang ditandai
dengan ekspansi monoklonal limfosit CD4+CD7-CD26-. Istilah diskrasia
monoklonal sel T pada signifikansi yang belum ditentukan, adanya ekuivalensi sel
T terhadap gammopati monoklonal telah diusulkan pada kondisi seperti ini, yang
dipercayai sebagai kasus jinak. Walaupun begitu, pada DE idiopatik kronik juga
dapat ditemukan CTCL kronik primer yang belum terdiagnosis. Tentunya, pada
hampir 10% kasus DE idiopatik, diagnosis CTCL eritrodermik dapat ditegakkan. 3
Peran immunoglobulin (Ig) E pada DE telah dikatakan menjadi dasar
penelitian peningkatan IgE pada banyak tipe DE. Sebagai contoh, telah terdapat
teori yang mengatakan peningkatan IgE pada DE psoriatik dapat mengakibatkan
berubahnya sitokin T helper 1 pada psoriasis menjadi sitokin T helper 2 DE
psoriatik. Mekanisme sekunder ini berbeda dengan overproduksi IgE pada
dermatitis atopi. Sindroma Hyper-IgE adalah perubahan sistem imunitas yang
berhubungan dengan DE dan memiliki tingkat IgE yang tinggi akibat dari tidak
cukupnya sekresi interferon-γ. Mekanisme yang berhubungan dengan
meningkatnya IgE mungkin berkaitan dengan perjalanan penyakit yang
mendasarinya atau manifestasi DE itu sendiri. Sekali lagi, mekanisme peningkatan
IgE berbeda pada tipe-tipe DE yang berbeda pula. 5
Belakangan telah terdapat teori bahwa kolonisasi Staphylococcus aureus
atau antigen lainnya, seperti toxic shock syndrome toxin-1, dapat berperan dalam
patogenesis DE. Penelitian imunopatogenesis pada infeksi yang dimediasi oleh
toksin menunjukkan adanya sekumpulan superantigen patogenitas staphylokokal.
Kumpulan ini membawa gen pada toksin toxic shock syndrome dan
staphylococcal scaled-skin syndrome. 83% dari pasien DE dicatat memiliki
kolonisasi S.aureus pada lubang hidung sementara 17% memiliki kolonisasi pada
kulit, walupun begitu, hanya terdapat satu dari enam pasien dengan enterotoksin
positif S. aureus. 1

2.5. Manifestasi Klinis Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


1. Lesi kutaneus
Ciri khas DE adalah bercak eritema yang bertambah besar dan kemudian
bergabung menjadi eritema generalisata dengan penampakan yang berkilau.
Menurut definisinya, DE melibatkan lebih dari 90% permukaan kulit pasien.
Beberapa hari setelah timbulnya eritema, pembentukan sisik putih atau
kekuningan dimulai, terutama pada daerah lipatan. Sisik yang menyerupai plat
dapat terjadi secara akut pada telapak tangan dan kaki. Proses pembentukan sisik
lebih lanjut mengakibatkan kulit tampak merah dan kusam. Kronisitas edema dan
likenifikasi dapat menyebabkan pengerasan permukaan kulit. Ektropion dan
epifora dapat terjadi pada keterlibatan daerah periorbital yang kronis.
Keratoderma palmoplantar juga dijumpai pada hampir 80% pasien dengan DE
kronik. 1
Beberapa pasien juga mengalami DE pada rambut dan kuku. Pembentukan
sisik pada kulit kepala, alopesia, dan pada beberapa kasus, effluvium dapat
dijumpai. Peerubahan kuku yang dimaksud dapat berupa onikolisis, hiperkeratosis
subungual, perdarahan splinter, paronikia, garis Beau, dan terkadang
onikomadesis. Garis tepi pada kuku disertai diskontinuitas bentuk kuku
merupakan gambaran klinis dari DE yang disebabkan oleh obat-obatan. 1
Keterlibatan hidung dan daerah perinasal (nose sign) juga telah dijelaskan
pada beberapa penelitian. Keterlibatan areola juga telah ditemukan pada beberapa
kasus CTCL, reaksi obat-obatan, dermatitis, psoriasis, fotosensitivitas, dan PRP.
Secara khusus, tidak ditemukan adanya keterlibatan mukosa. Keratosis seboroik
eruptif dapat timbul pada pasien dengan DE. Keratosis biasanya sembuh dengan
sendirinya seiring dengan meredanya DE. 1
Lesi kutaneus dapat menunjukkan penyebab yang mendasari terjadinya
DE. Sebagai contoh, pada awal DE psoriatik, plak psoriasis klasik dapat
ditemukan. Gottron’s papules, ruam heliotropik (menyerupai bunga), dan
kelemahan otot dapat dijumpai pada DE yang disebabkan oleh dermatomiositis.
Papuloeritroderma Ofuji dapat dijumpai khususnya pada daerah lipatan kulit perut
(deck hair sign). 2
2. Temuan Klinis Lainnya
Penemuan klinis lain yang ditemukan pada DE termasuk:
a. Takikardi akibat meningkatnya aliran darah ke kulit dan kehilangan cairan
akibat gangguan fungsi barier epidermal.
b. Gagal jantung juga pernah dilaporkan sebagai akibar sekunder pada DE
berat.
c. Gangguan termoregulasi dapat menyebabkan hipertermia dan beberapa
kasus hipotermia; walaupun begitu sebagian besar dari pasien mengeluhkan
rasa kedinginan.
d. Limfadenopati generalisata dapat ditemukan pada lebih dari sepertiga
pasien.Klinisi harus dapat membedakan antara limfadenopati dermatopatik
dan limfoma. Jika limfadenopati baynya ditemukan, biopsi kelenjar
mungkin diperlukan.
e. Hepatomegali dapat muncul pada sepertiga kasus dan lebih banyak ditemui
pada DE yang disebabkan oleh obat-obatan.
f. Splenomegali jarang dilaporkan dan sebagian besar berhubungan dengan
limfoma.
g. Edema pretibial dapat terjadi pada 54% pasien. Edema fasial juga pernah
dilaporkan pada DE yang disebabkan oleh obat-obatan.

2.6. Diagnosis Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


 Anamnesis Dermatitis Eksfoliatif Generalisata
Riwayat pasien yang datang dengan DE sangat penting dalam diagnosis
penyakit yang mendasarinya. Pasien munkin memiliki riwayat dermatosis
(psoriasis, dermatitis atopik) atau kondisi medis sistemik. Riwayat pengobatan
harus diperoleh, termasuk pengobatan yang didapatkan tanpa resep dokter. Pasien
dengan riwayat psoriasis dan dermatitis atopi harus ditanyakan khsusnya riwayat
penggunaan kortikosteroid topikal dan sistemik, metotrexat, dan pengobatan
sistemik lainnya; iritan topikal; penyakit sistemik; infeksi; luka bakar fototerapi;
kehamilan; dan stres emosional. Pasien DE biasanya ditemukan dengan gangguan
thermoregulator, malaise, kelelahan, dan gatal-gatal; gejala ini tidak spesifik pada
etiologi apapun. 1
Onset dari gejala penting dalam menentukan penyebab lain yang mendasari
ED. Penyakit kulit primer menunjukkan perjalanan yang lebih lambat sedangkan
reaksi akibat obat biasanya menunjukkan onlet yang lebih cepat diikuti dengan
resolusinya. Terkecuali DE yang diakibatkan oleh antikonvulsan, antibiotik, dan
allopurinol. Reaksi terbentuk dalam 2-5 minggu setelah pemberian obat dan
mungkin akan tetap terbentuk setelah pemberhentian obat. Tanda yang
berhubungan dengan etiologi akibat reaksi obat termasuk di dalamnya demam,
limfadenopati, organomegali, edema, leukositosis dengan eosinofilia, setra
gangguan hati dan ginjal. 1
Riwayat dan temuan klinis belum cukup dalam mendiagnosis DE akibat
keganasan. Hal-hal penting yang perlu diingat adalah tidak adanya riwayat
penyakit kulit primer, onset yang perlahan, dan kurangnya respon terhadap terapi.
Riwayat transplantasi juga meningkatkan kecurigaan terhadap CTCL, dimana
ditemukan lebih banyak DE yang diakibatkan oleh CTCL pada pasien yang telah
menjalani transplantasi. 1
 Pemeriksaan Fisik Dermatitis Eksfoliatif Generalisata
Inspeksi : Ruam kulit yang bervariasi berupa makula eritema dengan
skuama pada seluruh tubuh, biasanya Generalisata melibatkan ≥ 90% LPT. Tidak
jarang ditemukan erosi, maupun ekskoriasi karena tidak jarang os. merasa gatal
dan digaruk. 1
Palpasi : Kulit terasa kasar, kering dan dingin pada perabaan.
 Pemeriksaan Penunjang Dermatitis Eksfoliatif Generalisata
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab biasanya tidak spesifik dan tidak dapat menegakkan
diagnosis. Kelainan lab yang biasa ditemukan pada pasien DE termasuk anemia,
leukositosis, limfositosis, eosinofilia, peningkatan IgE, penurunan serum albumin,
dan peningkatan laju endap darah. Kehilangan cairan mungkin menyababkan
timbulnya gangguan elektrolit dan gangguan fungsi ginjal (peningkatan kadar
kreatinin) Peningkatan IgE ditemukan pada beberapa pasien DE yang tidak
berkaitan dengan dermatitis atopik, termasuk 81.3% pasien DE psoriatik.
Eosinofilia tidak dapat menegakkan diagnosis dan hanya ditemukan pada 20%
pasien DE. Meskipun begitu, ketika eosinofil meningkat secara drastis,
kemungkinan terjadinya penyakit yang berhubungan dengan Hodgkin harus
diinvestigasi. 1
Sangat penting untuk membedakan peradangan eritroderma jinak dengan
sindroma Sezary. Pada kasus eritroderma yang dicurigai disertai CTCL, evaluasi
darah dan kelenjar limfa diperlukan dalam penegakan diagnosis. Penelitian
menunjukkan jika terdapat 20% atau lebih sel Sezary dalam sirkulasi merupakan
kriteria yang penting dalam diagnosis sindroma Sezary, dimana bila terdapat
kurang dari 10% tidak dapat menunjukkan apa-apa. Pengecualian dapat terjadi
pada reaksi obat yang berat yang dapat menyerupai sindroma Sezary (seperti
hipersensitivitas hidantoin). Beberapa dermatosis jinak termasuk psoriasis,
dermatitis atopik, lupus diskoid, liken planus, dan parapsoriasis menunjukkan
adanya sel Sezary sebanyak kurang dari 10%. Demonstrasi susunan reseptor sel T
klonal direkomendasikan pada pembedaan sensitifitas dan spesisifitas sindroma
Sezary dengan etiologi lain DE. 1
Pada beberapa studi belakangan, reaksi rantai polimerase kuantitatif pada
lima gen (STAT4, GATA-3, PLS3, CDID, dan TRAIL) terbukti berguna pada
diagnosis molekuler sindroma Sezary. Beberapa pertanda molekular sel Sezary
belakangan diteliti (Twist, EphA4, T-plastin). Pada satu kasus,
CD158K/KIR3DL2, reseptor yang menyerupai imunoglobulin pembunuh
biasanya dikeluarkan oleh subset CD8 limfosit T dan sel natural killer ditemukan
berguna sebagai pertanda molekular pada sindroma Sezary pada sampel kulit
pasien DE. Penelitian lain menunjukkan banwa sindroma Sezary dapat dibedakan
dari DE dengan peradangan yang didasari oleh ekspresi subset sel T memori yang
lain dan ekspresi CD27 mungkin berguna dalam penegakan diagnosis. 2
Fenotipisasi imunitas pada limfosit kulit mungkin berguna dalam
pembedaan sindroma Sezary dari retikuloid aktinik. Pasien Sezary menunjukkan
predominasi CD4+ klonal sementara pada pasien dengan retikuloid aktinik,
didapatkan predominasi limfosit CD8+. Lebih spesifik lagi, sel T
CD28+/CD5+/Nka-/CD4+ dengan reduksi CD3, CD4, CD7, CD2, dan/atau resptor
sel T α/β mendukung diagnosis sindroma Sezary pada pasien DE. Indeks kontur
nuklear juga mungkin membantu investigasi dengan diferensiasi yang sama. 2
2. Histopatologi
Penemuan histopatologis berbeda-beda berdasarkan etiologi yang
mendasari. Multiple punch biopsy diperlukan sebagai tambahan dalam evaluasi
klinis dalam menegakkan diagnosis. Spesimen biopsi biasanya menemukan
gambaran nonspesifik termasuk hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, dan
infiltrat radang kronik, yang dapat mengaburkan etiologi yang mendasari.
Penemuan histopatologis juga bervariasi tergantung pada keparahan penyakit, dan
beratnya peradangan. Sepertiga dari spesimen biopsi eritroderma ditemukan tidak
berhasil dalam menentukan penyakit yang mendasari terjadinya DE. Penemuan
histologis pada penyakit yang mendasari mungkin lebih halus pada penyakit yang
tidak berhubungan dengan DE. Penelitian immunoflorosensi langsung,
menggunakan pewarnaan yang berbeda, penelitian imunoperoksidase, fenotipisasi
imun, dan susunan gen juga mungkin diperlukan dalam menentukan penyakit
yang mendasarinya. 2
3. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan lab didasarkan pada klinis dan riwayat penyakit pasien
sebelumnya. Sebagai tambahan biopsi kulit multipel, biopsi kelenjar limfe
mungkin diperlukan untuk membedakan limfadenopati dermatopatik dari adanya
keterlibatan limfomatosa. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan pada kondisi
adanya paraneoplastik. Apabila sebuah penyakit limfeproliferatif dicurigai sebagai
penyebab DE, maka evaluasi perbandignan CD4:CD8, penghitungan sel Sezary,
dan fenotipisasi imun pada kulit dan darah, serta analisis sel T klonal melalui
sitogenetik atau analisa gen reseptor sel T. 2

2.7. Penatalaksanaan Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Pasien yang datang dengan DE akut mungkin memerlukan rawat inap akibat
imbalansi elektrolit dan kehilangan cairan yang signifikan, serta gangguan
respirasi dan hemodinamis. Meskipun begitu, sebagian besar pasien dapat
ditangani cukup dengan rawat jalan. Terlepas dari etiologinya, penanganan awal
meliputi penggantian cairan dan ekektrolit, serta nutrisi. Pasien dengan
eritroderma dan demam harus dirawat inap dan ditangani secara aktif mengingat
keasaan ini dapat menimbulkan deteoriasi hemodinamis. 2
Perawatan pasien harus dilakukan pada lingkungan yang hangat (dianjurkan
30-320) dan lembab untuk menjaga kelembaban kulit dan mencegah hipotermi.
Perawatan kulit lokal, termasuk mandi gandum dan waslap diperlukan untuk
mengangkat lesi yang mengering, pemberian emolien, dan steroid topikal potensi
rendah dapat dimulai. Steroid topikal potensi tinggi dan imunomodulator topikal,
seperti tacrolimus harus dihindari karena kemungkinan adanya penyerapan
sistemik akibat peningkatan permeabilitas kulit dan luasnya area yang terlibat.
Iritan topikal lainnya, seperti anthralin, tar, pelembab asam hidroksil, dan analog
vitamin D juga perlu dihindari. 2
Antihistamin dapat diberikan sebagai sedasi pada efek pruritus. Antibiotik
sistemik diperlukan pada pasien dengan infeksi sekunder lokal maupun sistemik.
Septikemia sekunder akibat infeksi Staphylococcus merupakan komplikasi dari
DE dan memerlukan pengobatan antibiotik dan pengobatan suportif. Bahkan
terapi antibiotik sistemik pada pasien tanpa infeksi sekunder juga dapat mengatasi
kemungkinan adanya eksaserbasi DE oleh kolonisasi bakteri. Edema pedal dan
periorbital harus ditangani dengan pemberian diuretik dan pemberian cairan yang
adekuat harus dipertahankan. Seluruh pengobatan yang tidak diperlukan dan
mungkin memperberat penyakit harus dihentikan, termasuk obat-obatan seperti
lithium dan antimalaria yang mungkin memperberat kondisi pasien dengan
psoriasis. Suplementasi folat dan diet protein 130% dari kebutuhan harian
dianjurkan untuk menggantikan kehilangan nutrien. 2
Penentuan etiologi yang mendasari sangat penting dalam penanganan DE,
dimana DE mungkin tidak mengalami perubahan dengan terapi sampai penyebab
yang mendasarinya ditangani. Rekomendasi terapi konsensus pada eritroderma
psoriasis telah diajukan oleh National Psoriasis Foundation. Terapi yang
diberikan harus sesuai dengan keparahan penyakit dan faktor komorbiditas yang
ada. Pengobatan sistemik seperti methotrexate, cyclosporine, acitretin,
mycophenolate mofetil, dan azathioprine berguna sebagai pengobatan tunggal
maupun campuran. Beberapa penelitian kecil menganjurkan infliximab sebagai
terapi tunggal maupun campuran dengan methotrexate dapat mempercapat
penyembuhan dan pengontrolan DE psoriatik dan angka remisinya yang tinggi.
Terdapat beberapa data yang menunjukkan keefektifan penggunaan etanercept,
begitu juga dengan adalimumab dan alefacept yang sukses digunakan pada pasien
DE psoriatik. Saat ini, belum ada data mengenai keberhasilan terapi dengan
ustekimumab pada eritroderma psoriatik, walaupun begitu kegunaannya telah
terbukti pada psoriasis tipe plak. Pemberian steroid sistemik harus dihindari untuk
mencegah terjadinya rebound erythrodermic flare dan eksaserbasi penyakit.
Beberapa penelitian kasus terakhir mendukung penggunaaninfliximab pada pasien
eritroderma dan psoriasis kronik tipe plak yang gagal setelah pemberian beberapa
terapi termasuk terapi biologis. 2
Etanercept juga telah digunakan sebagai pembantu steroid dalam
meringankan gatal sindrom Sezary pada dua pasien. Walaupun begitu,
penggunaan etanercept harus diwaspadai pada pasien karena kemungkinan
timbulnya imunosupresi lebih lanjut. Pilihan terapi CTCL termasuk di dalamnya
kortikosteroid topikal, psoralen plus ultraviolet A (UVA), iradiasi elektron kulit
total, kemoterapi sistemik seperti regimen yang menyerupai CHOP
(cyclophosphamide, hydroxydaunomycin, vincristine, dan prednisone), interferon-
α, fotokemoterapi ekstrakorporeal, dan terapi biologis seperti antibodi monoklonal
(alemtuzumab), bexarotene (retinoid reseptor X selektif), serta denileukin
difitox.2
Kortikosteroid sistemik berguna pada reaksi hipersensitivitas obat. Pada
beberapa kasus persisten, Ig intravena dapat digunakan. Cyclosporine,
methotrexate, azathioprime, mycophenolate mofetil, dan kortikosteroid sistemik
mungkin berguna untuk dermatitis spongiotik. PRP biasanya merespon terhadap
terapi retinoid sistemik atau methotrexate. Beberapa laporan dan rangkaian kasus
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa antagonis tumor necrosis factor (TNF)-α
(infliximab, etanercept, adalimumab) dengan atau tanpa kombinasi terapi lain
sangat berguna dalam mengobati PRP pada orang dewasa dan remaja.
Papuloeritroderma Ofuji telah diobati dengan kortikosteroid sistemik maupun
oral, cyclosporine, interferon, etretinate, serta kombinasi retinoid kaya psoralen
dengan cahaya UVA. Rituximab telah terbukti berguna dalam mengobati foliaseus
pemfigus eritrodermik pada beberapa laporan kasus. 2
Ketika penyebab yang mendasari DE tidak diketahui, terapi empirik dengan
agen-agen sistemik seperti methotrexate, cyclosporine, acitretin, mycophenolate
mofetil, dan kortikosteroid sistemik telah digunakan. Pertimbagan penggunaan
kortikosteroid sistemik perlu ditekankan pada DE psoriatik karena resiko
terjadinya rebound flare. Obat-obatan imunosupresif tidak dapat digunakan
sampai CTCL telah disingkirkan dengan beberapa pemeriksaan laboratorium. 2

2.8. Pencegahan Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Pencegahan DE tergantung pada pengendalian penyebab yang
mendasarinya. Pengobatan dan iritan yang sebelumnya telah menyebabkan DE
harus dihindari. Penting bagi pasien untuk mencatat riwayat alergi termasuk
kemungkinan terjadinya reaksi silang pengobatan, seperti agen topikal (seperti DE
akibat penggunaan gentamicin sistemik pada pasien yang alergi terhadap
neomycin dan DE akibat penggunaan pseudoephedrine pada pasien yang alergi
terhadap phenylephrine). Penggunaan steroid sistemik perlu dihindari pada pasien
dengan psoriasis untuk menghindari rebound flares. Pemberian edukasi pada
pasien dengan penyakit pendahulu (seperti psoriasis, dermatitis atopi) tentang
pemicu DE (iritan, penghentian penggunaan obat secara tiba-tiba) juga berguna
pada pencegahan DE.2

2.9. Komplikasi Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Berbagai perubahan metabolik dan fisiologik dapat terjadi pada DE,
termasuk imbalans cairan dan elektrolit, gangguan thermoregulasi, gagal jantung,
syok kardiogenik, acute respiratory distress syndrome, dekompensasi penyakit
hati kronis, dan ginekomasti. Hipoalbuminemia umum terjadi akibat kehilangan
protein melalui pembentukan sisik (10%-15% pada ED nonpsoriatik dan
mencapai 25%-30% pada DE psoriatik) dan peningkatan metabolisme disertai
berkurangnya sintesis protein. Proses ini mengakibatkan balans nitrogen negatif,
muscle wasting, dan edema. 2
Komplikasi umum lain pada DE adalah gangguan regulasi temperatur
tubuh. Peningkatan perfusi kulit disertai meningkatnya kehilangan air transepitel
dan kehilangan panas akibat peningkatan metabolisme dapat mengakibatkan
hipotermia. Lebih lanjut lagi, kapiler tidak dapat merespon dengan baik terhadap
perubahan suhu melalui vasokonstriksi dan vasodilatasi. Kehilangan cairan dan
elektrolit melalui kebocoran kapiler mengakibatkan ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Pirau darah pada kulit dapat mengakibatkan kegagalan jantung,
terutama pada pasien dengan gangguan jantung dan pasien lanjut usia. 1
Terdapat peningkatan kerentanan terjadinya kolonisasi bakteri pada DE
akibat adanya inflamasi, fisura, dan ekskoriasi kulit. Sepsis mungkin terjadi.
Sepsis staphylokokal dapat menjadi resiko pada pasien DE dengan CTCL dan
HIV. 1

2.10. Prognosis Dermatitis Eksfoliatif Generalisata


Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit dan
prognosis dari DE, seperti penyakit yang mendasarinya, komorbiditas pasien,
umur, laju onset, dan pengobatan sebelumnya. DE yang ditimbulkan oleh obat-
obatan, perjalanannya biasanya berlangsung cepat dan dengan penghentian obat
yang menyebabkannya dapat menghilangkan DE dan pasien dapat sembuh dengan
tuntas. Pengecualian yang penting pada kasus ini adalah reaksi hipersensitivitas
berat sistemik yang biasanya terbentuk dalam 2-5 minggu setelah pemberian obat
dimulai dan mungkin dapat bertahan hingga beberapa minggu setelah
pemberhentian obat. Apabila penyakit yang mendasarinya merupakan penyakit
kulit primer seperti pada DE atopik dan psoriatik, perbaikan membutuhkan waktu
beberapa minggu hingga bulan; meskipun begitu, beberapa kasus kronik dan
persisten dapat terjadi. Rekurensi dari DE psoriatik dapat terjadi pada 15% pasien
setelah resolusi pertama.3
DE dapat menjadi fatal terutama pada pasien yang masih sangat muda dan
pada pasien lanjut usia. Rata-rata variabel mortalitas (dari 3,73% hingga 64%)
telah dilaporkan pada penelitian selama lebih dari 51 tahun. Pada beberapa
rangkaian DE, tingkat mortalitas yang tinggi ditemukan pada pasien dengan reaksi
obat berat, keganasan limfaproliferatif, foliaseus pemfigus, dan DE idiopatik.
Penyebab terjadinya kematian adalah komplikasi seperti sepsis, pneumoni, dan
gagal jantung. Angka mortalitas yang lebih rendah dilaporkan pada penelitian
baru-baru ini dengan penyebab terbanyak adalah DE yang berhubungan dengan
keganasan, biasanya akibat dari progresi penyakit yang mendasari, komplikasi
pengobatan, atau sepsis. Pada penelitian terakhir, dengan follow up 80 pasien DE
selama kurang lebih 30 bulan menunjukkan angka kematian sebesar 3,75% (3 dari
80 pasien) dengan penyebab kematian seperti pneumonia pada pasien foliaseus
pemfigus dan sindroma Sezary. 3
DE akibat keganasan termasuk CTCL adalah penyebab tersering perjalanan
penyakit yang kronis dan sulit diatasi. Pada DE yang berkaitan dengan mikosis
fungoides dan sindroma Sezary, faktor yang memberikan prognosis baik termasuk
umur dibawah 65 tahun, lamanya gejala dirasakan selama lebih dari 10 tahun
sebelum diagnosis, tidak adanya keterlibatan kelenjar getah bening seperti
limfoma, dan ketidakadaan sel Sezary pada mikosis fungoides. Angka bertahan
hidup rata-rata berkisar antara 1,5 hingga 10,2 tahun berdasarkan indikator
prognosis ini. 3
DE idiopatik biasanya memiliki gejala kronik dan rekurensi yang
membutuhkan terapi steroid jangka panjang. Remisi sempurna terjadi pada
sepertiga dari pasien DE idiopatik dan terjadi remisi parsial pada setengah dari
pasien DE idiopatik. Pasien dengan DE idiopatik kronik memiliki resiko lebih
tinggi untuk berkembang menjadi CTCL. Proporsi pasien dengan DE kronik
menunjukkan adanya diskrasi sel T monoklonal, yang mengindikasikan adanya
premalignansi atau kondisi yang menyerupai Sezary (diskrasia sel T monoklonal
pada signifikansi yang belum ditentukan). 3
Pada pasien pediatrik dengan DE dan demam, beberapa kondisi (umur yang
lebih tua, muntah, adanya infeksi fokal, dan penemuan lab spesifik) dapat
digunakan untuk memprediksi pasien yang mungkin akan mengalami deteorisasi
hemodinamis. Prediksi terbentuknya toxic shock syndrome pada populasi ini
termasuk umur ≥ 3 tahun, penampakan sakit pasien, peningkatan kreatinin, dan
hipotensi. 3

BAB 3

LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk : Dokter Ruangan :


26/04/2019
dr. Olmen

Jam : Dokter Chief of Ward :


05:35 dr. M. Irfan Lubis
dr. Otneil

Ruang : Dokter Penanggung Jawab


Pasien :
RA2 3.2.6
dr. Zuhrial Zubir, SpPD-KAI

ANAMNESA PRIBADI

Nama : Amsarudin Siregar

Umur : 27 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Belum Menikah

Pekerjaan : Pengangguran

Suku : Batak

Agama : Islam

Alamat : Desa Sipirok Portibi

ANAMNESIS PENYAKIT

Keluhan Utama : Kulit Mengelupas

Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak 1 bulan ini dan semakin memberat dalam 1
minggu ini. Keluhan diawali dengan bercak merah di wajah disertai rasa gatal dan
panas. Bercak semakin lama semakin meluas dari daerah wajah ke seluruh tubuh.
Pasien tidak mengeluhkan ruam dalam rongga mulut maupun kelamin.

Riwayat alergi tidak jelas. Pasien mengatakan keluhan muncul sejak


mengkonsumsi obat tablet untuk jerawat sekitar 3 minggu yang lalu. Demam tidak
ditemukan, sesak tidak ditemukan, jantung berdebar-debar tidak ditemukan susah
menelan tidak dijumpai, mual ditemukan tetapi tidak disertai muntah, BAB dan
BAK dalam batas normal.

Riwayat terpapar sinar matahari berlebih disangkal, Riwayat keluarga


dengan penyakit yang sama tidak ditemukan, Riwayat penyakit darah tinggi
disangkal, riwayat sakit gula juga disangkal.

RPT :-
RPO :-

ANAMNESIS ORGAN
Jantung
Sesak Nafas : (-) Edema :(-)
Angina Pectoris : (-) Palpitasi :(-)
Lain-lain :
Saluran Pernapasan
Batuk-batuk :(-) Asma, bronchitis :(-)
Dahak :(-) Lain-lain :(-)
Saluran Pencernaan
Nafsu Makan : Normal Penurunan BB :(-)
Keluhan Menelan :(-) Keluhan Defekasi :(-)
Keluhan Perut :(-)
Lain-lain :(-)
Saluran Urogenital
Nyeri BAK :(-) BAK Tersendat :(-)
Batu :(-) Keadaan Urin :(-)
Haid :(-) Lain-lain :
Sendi dan Tulang
Sakit Pinggang :(-) Keterbatasan Gerak :(-)
Keluhan Persendian :(-) Lain- lain :(-)
Endokrin
Haus/Polidipsi :(-) Gugup :(-)
Poliuri :(-) Perubahan suara :(-)
Polifagi :(-) Lain-lain : gatal
Saraf Pusat
Sakit Kepala :(-) Hoyong :(-)
Lain- lain :(-)
Darah dan Pembuluh Darah
Pucat :(-) Perdarahan :(-)
Petechie :(-) Purpura :(-)
Lain-lain :(-)
Sirkulasi Perifer
Claudicatio Intermitten :(-) Lain-lain :(-)
ANAMNESA FAMILI : Tidak jelas

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

STATUS PRESENS : Sedang

Keadaan Umum Keadaan Penyakit

Sensorium : Compos Mentis Pancaran wajah : Lemah

Tekanan darah : 140/100 mmHg Sikap paksa :(-)

Nadi : 109 x/ menit Refleks fisiologis :(+)

Pernafasan : 25 x/menit Refleks patologis :(-)

Temperatur : 37 ⁰C

Anemia ( - / - ), Ikterus (-), Dispnoe (-)

Sianosis (-), Edema (-), Purpura (-)

Turgor Kulit: Baik

Keadaan Gizi :

BW = BB / (TB-100) x 100%
= 50 / (160-100) x 100% = 83,33%
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 160 cm
IMT : 19,5

KEPALA
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterus
(-/-), pupil : isokor, ukuran 3 mm, refleks cahaya direk
(+) / indirek (+), kesan normal
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Bibir :Dalam batas normal
Lidah :Dalam batas normal
Gigi geligi :Dalam batas normal
Tonsil/Faring :Dalam batas normal
LEHER

Leher : simetris
Trakea : medial, pembesaran KGB (-), Struma (-), TVJ : R-2 cm H2O, Kaku
kuduk (-), lain-lain (-)
THORAKS DEPAN

Inspeksi
Bentuk : Simetris Fusiformis
Pergerakan : Tidak ada ketinggalan bernafas di kedua lapangan
jkparu

Palpasi
Nyeri tekan : Tidak dijumpai
Fremitus suara : Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Iktus kordis : Tidak teraba

Perkusi
Paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Batas Paru Hati R/A : Relatif ICS 5, absolute ICS 6
Peranjakan : ± 1 cm
Jantung
Batas atas jantung : ICS II LMCS
Batas kiri jantung : ICS V-VI 1cm medial LMCS
Batas kanan jantung : ICS V linea parasternalis sinistra
Auskultasi
Paru
Suara Pernafasan : Vesikuler di kedua lapangan paru
Suara Tambahan : Ronki ( - ) , Wheezing ( - )
Jantung
M1>M2,P2>P1,T1>T2,A2>A1, desah diastolik (-), lain-lain (-)
Heart rate : 109x/menit, reguler, intensitas: cukup
(a.radialis)
THORAX BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kana=kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara Pernafasan = vesikular
Suara Tambahan = Ronki ( - ) , Wheezing ( - )
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Gerakan lambung/usus : tidak terlihat
Vena kolateral :(-)
Caput medusa :(-)
Lain-lain :(-)
Palpasi
Dinding abdomen : Soepel
HATI
Pembesaran : 3cm dibawah processus xiphoideus
Permukaan : rata
Pinggir : tajam
Nyeri Tekan :(+)
LIMFA
Pembesaran : Schuffner ( - ), Haecket ( - )
GINJAL
Ballotement :(-)
TUMOR :(-)
PERKUSI
Pekak Hati :(-)
Pekak Beralih :(-)
AUSKULTASI
Peristaltik usus : Normoperistaltik
Lain-lain :(-)
PINGGANG
Nyeri ketuk Sudut KostoVertebra Kiri/Kanan ( - )
SUPRAPUBIK
Nyeri tekan suprapubik ( - )
INGUINAL :(-)
GENITALIA LUAR :(-)
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)
Perineum :Tidak dilakukan pemeriksaan
Spincter Ani :Tidak dilakukan pemeriksaan
Ampula :Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa :Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung tangan :Tidak dilakukan pemeriksaan
ANGGOTA GERAK ATAS
Deformitas sendi : (-)
Lokasi : (-)
Jari tubuh : (-)
Tremor ujung jari : (-)
Telapak tangan sembab: (-)
Sianosis : (-)
Eritema Palmaris : (-)
Lain-lain : (-)
ANGGOTA GERAK BAWAH Kiri Kanan
Edema - -
Arteri femoralis + +
Arteri tibialis posterior + +
Arteri dorsalis pedis + +
Refleks KPR + +
Refleks APR + +
Refleks fisiologis + +
Refleks patologis - -
Lain-lain + +

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Darah Kemih Tinja

Hb : 11,4 g/dL Warna: kuning jernih Warna : -

Eritrosit : 4,03 x Buih : - Konsistensi :


106/mm3 Lunak
Bau : -
Leukosit:13,290 x Eritrosit : -
Protein: -
103/mm3
Leukosit : -
Reduksi: -
Trombosit: 139 x
Amoeba/Kista : -
103/mm3 Bilirubin: -
Telur Cacing
Ht : 35 % Urobilinogen : +
Ascaris : -
Hitung jenis : Ancylostoma : -

Eosinofil : 8,4 Sedimen urine T. Trichiura : -

Basofil : 0,5 Eritrosit : Kremi: -


Leukosit:
Neutrofil : 64,4
Epitel :
Limfosit : 20,4
Silinder :
Monosit : 6,3
Kristal :

Bakteri :

RESUME

ANAMNESA Keadaan umum : sedang


Telaah : Kulit mengelupas dialami pasien sejak 1
bulan yang lalu dan memberat dalam 1
minggu ini. Keluhan diawali dengan ruam
merah di wajah yang lama-lama mengelupas
dan meluas ke badan, tangan dan kaki. Ruam
awalnya berupa bercak merah bersisik yang
disertai dengan rasa gatal dan panas lalu
mengelupas.
STATUS PRESENS Keadaan Umum : Lemah

Keadaan Penyakit : Sedang

Keadaan Gizi : Normal

PEMERIKSAAN FISIK VITAL SIGN


Sensorium : Compos Mentis

Tekanan darah : 140/100 mmHg

Nadi : 109x/mnt

Pernafasan : 25 x/mnt

Temperatur : 37 °C

Kulit: Mengelupas seluruh tubuh

Kepala

Mata : Anemis ( - / - ), sklera ikterik ( - / - ), pupil


isokor, mukosa normal

T/H/M : Dalam batas normal, mukosa normal

Leher : Dalam batas normal

Thoraks

Paru-paru :

Inspeksi: Simetris fusiformis

Palpasi: SF kanan = kiri, kesan normal

Perkusi: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi:

- Suara pernafasan: vesikuler


- Suara tambahan: ronki ( - ), wheezing ( - ).

Abdomen

Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : normoperistaltic

Ekstremitas:

Skuama tebal dengan dasar eritem di keempat


ekstremitas.

Hb: 11,4 g/dL


Eritrosit: 4,03 x 106/mm3
Leukosit: 13290 /uL
Trombosit: 139000/uL
Ht: 35%
MCV : 87 fL
MCH : 28,3 pg
MCHC: 32,4 g/dl
Hitung Jenis:
Eosinofil: 8,4%
Basofil: 0,5%
Neutrofil : 64,4%
Limfosit: 20,4%
Monosit: 6,3%
Metabolisme karbohidrat :
GDP : 59 mg/dL

DIAGNOSIS BANDING - Dermatitis eksfoliatif generalisata


- Toxic epidermal necrolysis
- Steven-johnson’s syndrome
- Hiperimmunoglobulin E syndrome

DIAGOSIS Dermatitis exfoliata generalisata


SEMENTARA

PENATALAKSANAAN Non Farmakologis :

- Tirah baring
- Diet TKTP

Farmakologis :

- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i makro


- Metilprednisolone Tab 4mg/ 5-4-4
- Cetirizine 10mg 1x1
- Kompres NaCl

RENCANA PENJAJAKAN DIAGNOSTIK / TINDAKAN LANJUTAN


Biopsi kulit Elektrolit darah

IgE PCT

Foto thoraks Kultur swab kulit

Faal hati
BAB 4
FOLLOW UP

Tanggal S O A P
26 April Kulit Sens: Compos mentis DEG dd HIES P/
2019 mengelupas TD : 130/90 mmHg -IVFD NaCl 0
(Interna) seluruh tubuh HR : 109 x/i gtt/i
RR: 24 x/i -Albumin IV 25%
T : 37 oC -Inj. Ranitidine
12jam
-Inj. Methylpred
125mg / 12 jam
-Kompres NaCl
-Klindamisin 4x1
-Cetirizine 1x1 10
R/
IgE, albumin,
Elektrolit, KGDS
swab kulit, PC
thorax
26 April Kulit Sens: Compos mentis -DEG P/
2019 (PAI- mengelupas -Hipoalbumin (1,7) Terapi sesuai RM
Interna) seluruh tubuh R/
IgE, kultur swab
29 April Kulit Sens: Compos mentis -DEG P/
2019 mengelupas TD: 130/80 mmHg -Hipoalbumin (1,7) -Inj. Methylpred
(Interna) seluruh tubuh HR: 92 x/i 62,5mg / 12 jam
RR: 28x/i -Kompres NaCl
T: 37,0 -Klindamisin 4x1
KGDS: 180mg/dl R/
Kulit: Terkelupas di -Kultur Swab
seluruh tubuh -Koreksi albumin
30 April Kulit Sens: Compos mentis -DEG P/
2019 mengelupas TD: 130/80 mmHg -Hipoalbuminemia -Inj. Methylpred
(Interna) seluruh tubuh HR: 108 x/i (2,2) 62,5mg / 12 jam
RR: 28x/i -Kompres NaCl
T: 37,0 -Klindamisin 4x1
Kulit: Terkelupas di R/
seluruh tubuh -Kultur Swab
Koreksi albumin
2 Mei 2019 Kulit Sens: Compos mentis -DEG P/
(Interna) mengelupas TD: 120/80 mmHg -Hipoalbuminemia -Inj. Ranitidin
seluruh tubuh HR: 100 x/i post koreksi 12jam
RR: 24 x/i -IVFD NaCl 0
T: 37,0 gtt/i
Kulit: Terkelupas di -Kompres NaCl
seluruh tubuh -Klindamisin or
30mg
-Cetirizine oral 10
-Methylprednisol
16mg 3x1
2 Mei 2019 Kulit Sens: Compos mentis -DEG P/
(PAI- mengelupas dan -Hipoalbuminemia -Inj. Methylpred
Interna) nyeri post koreksi 62,5mg / 12 jam
-Kompres NaCl
-Klindamisin 4x1
R/
-Kultur Swab
Koreksi albumin
6 Mei 2019 Kulit Sens: CM -DEG P/
(Interna) mengelupas TD : 120/70 mmHg -Hipoalbuminemia -Inj. Ranitidin 50
HR : 80 x/i post koreksi jam
RR : 24 x/i -IVFD NaCl 0
T : 36,7oC gtt/i
Kulit: Terkelupas di -Kompres NaCl
seluruh tubuh -Klindamisin or
30mg
-Cetirizine oral 10
-Methylprednisol
16mg 3x1
R/
-Cek ulang album
-Susul hasil kultu
7-9 Mei Kulit Sens: CM -DEG P/
2019 mengelupas TD : 120/70 mmHg -Hipoalbuminemia -Inj. Methylpred
(Interna) HR : 80 x/i
RR : 24 x/i post koreksi 62,5mg / 12 jam
T : 36,7oC -Kompres NaCl
Kulit: Terkelupas di -Klindamisin 4x1
seluruh tubuh R/
-Kultur Swab
Koreksi albumin
R/
-Susul hasil album
-Susul hasil kultu

BAB 5

DISKUSI

TEORI PASIEN

Definisi
Dermatitis Eksfoliatif Pasien AS, laki-laki ,
Generalisata adalah peradangan hebat usia 27 tahun, datang
yang  melibatkan lebih dari 90% dengan keluhan Kulit
permukaan kulit dan menyebabkan mengelupas. Hal ini
kemerahan dan pembentukan sisik dialami pasien sejak 1
yang berat. tahun ini dan semakin
Dermatitis Eksfoliatif ini bisa memberat dalam 1 bulan
dimulai secara tiba-tiba atau ini. Keluhan diawali
mendadak. Seluruh permukaan dengan ruam merah di
kulitnya menjadi merah, bersisik, wajah yang semakin
menebal, dan kadang berbentuk mengelupas dan meluas
keropeng. Beberapa penderita ke seluruh tubuh dimulai
merasakan gatal-gatal dan kelenjar dari badan, lengan, dan
getah beningnya membesar. kaki. Ruam awalnya
Penederita kebanyakan mengalami berupa bercak merah
demam namun mereka merasakan bersisik yang disertai
kedinginan karena begitu banyak dengan rasa gatal dan
panas yang hilang melalui kulit yang panas yang kemudian
rusak. Sejumlah besar cairan dan dilanjutkan dengan kulit
protein bisa meresap melalui kulit, terkelupas. Ruam dalam
selain itu fungsi kulit terhadap rongga mulut, alat
penghalang infeksi menjadi buruk. kelamin, dan mata tidak
ditemukan.
Pasien mengatakan
keluhan muncul sejak
mengkonsumsi obat tablet
untuk jerawat sekitar 1
tahun yang lalu. Demam
tidak ditemukan, sesak
tidak ditemukan, jantung
berdebar-debar tidak
ditemukan susah menelan
tidak dijumpai, mual
ditemukan tetapi tidak
disertai muntah, BAB dan
BAK dalam batas normal.
Etiologi
- Dermatitis yang sudah ada Pada pasien ini diduga
sebelumnya disebabkan oleh reaksi
- Reaksi hipersensitivitas obat hipersensitivitas obat
- Limfoma sel T kutaneus
- Idiopatik
Diagnosis
A. Riwayat pasien yang datang dengan DE A. Anamnesis
sangat penting dalam diagnosis penyakit Dari anamnesis sangat penting
yang mendasarinya, seperti: diperhatikan :
 Riwayat dermatosis  Keluhan utama : Kulit
 Riwayat pengobatan mengelupas 1 tahun
 Riwayat penggunaan kortikosteroid kebelakang, memberat
topikal dan sistemik sebulan SMRS.
 Onset dari gejala penting dalam B. Pemeriksaan Fisik
menentukan penyebab lain yang Sens: Compos mentis
mendasari ED. Penyakit kulit primer TD : 140/100 mmHg
menunjukkan perjalanan yang lebih HR : 109x/i
lambat sedangkan reaksi akibat obat RR : 24x/i
biasanya menunjukkan onlet yang T : 37oC
lebih cepat diikuti dengan Mata: konj. Palpebral tidak
resolusinya. Sesuai dengan penyakit anemis dan ikterik, mukosa
normal
yang mendasari. Ekstremitas: Skuama tebal
B. Pemeriksaan fisik dengan dasar eritem di
 Inspeksi: Ruam kulit yang bervariasi keempat ekstremitas.
berupa makula eritema dengan C. Pemeriksaan Laboratorium
skuama pada seluruh tubuh, biasanya Hb: 11,4 g/dL
Generalisata melibatkan ≥ 90% LPT. Eritrosit: 4,03 x
6
Tidak jarang ditemukan erosi, maupun 10 /mm3
ekskoriasi karena tidak jarang os. Leukosit: 13290
merasa gatal dan digaruk. /uL
 Palpasi: Kulit terasa kasar, kering dan Trombosit:
dingin pada perabaan. 139000/uL
C. Pemeriksaan laboratorium Ht: 35%
 Anemia, leukositosis, limfositosis, MCV : 87 fL
eosinofilia, peningkatan IgE, MCH : 28,3 pg
penurunan serum albumin, dan MCHC: 32,4 g/dl
peningkatan laju endap darah.
 Gangguan elektrolit dan gangguan
fungsi ginjal (peningkatan kadar
kreatinin).
 Peningkatan IgE
 Multiple punch biopsy diperlukan
sebagai tambahan dalam evaluasi
klinis dalam menegakkan diagnosis.
Spesimen biopsi biasanya menemukan
gambaran nonspesifik termasuk
hiperkeratosis, parakeratosis,
akantosis, dan infiltrat radang kronik,
yang dapat mengaburkan etiologi
yang mendasari.
Biopsi kulit multipel, biopsi kelenjar
limfe mungkin diperlukan untuk
membedakan limfadenopati
dermatopatik dari adanya keterlibatan
limfomatosa.
Tatalaksana Tatalaksana Pasien
 Triamcolone topical: steroid kelas sedang Non Farmakologis :
yang dapat diberikan pada lesi lembab - Tirah baring
dengan inflamasi yang intens. - Diet TKTP
 Hydroxyzine 25mg/hari: antihistamine
yang dapat digunakan untuk menekan rasa Farmakologis :
gatal pada lesi. - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
 Siklosporin 1,25mg/kgBB oral: obat makro
imunosupresan yang cukup baik namun - Methylprednisolone Tab
tidak untuk jangka panjang. 4mg/ 5-4-4
 Bexarotene 300mg/m2 luas tubuh PO - Cetirizine 10mg 1x1
- Kompres NaCl

BAB VI
KESIMPULAN

Pasien laki-laki berusia 27 tahun bernama bapak A di diagnosis sementara


dengan Dermatitis Exfoliatif Generalisata (DEG) dengan diagnosa banding
Hyper IgE Syndrome, Steven Johnson’s Syndrome (SJS), dan Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN). Pasien dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan dan
ditatalaksana dengan tirah baring, diet TKTP, I IVFD NaCL 0,9% 20 gtt/i makro,
Inj. Metilprednisolone 4mg 13 tab/hari (5 tablet pagi, 4 tablet siang, 4 tablet
malam), Cetirizine 10mg 1x1, dan Kompres NaCl.
DAFTAR PUSTAKA
1. Juliyanti, 2016. Dermatitis Exfoliatif Generalisata (DEG).
2. Sehgal, V., N., Srivastava, G., 2010. Exfoliative Dermatitis. Dermatologica
173: 278-284.
3. Yacoub, M., Berti, A., Campochiaro, C., et al, 2016. Drug Induced
Dermatitis Exfoliative. Clinical and Molecular Allergy 14:9
4. Qiu, Z., Liu, H., He, L., et al, 2015. PPI-Induced Exfoliative Dermatitis
Generalisata.
5. Thakur, B., K., Verma, S., Mishra, J., 2014. Lichenoid drug reaction to
isoniazid presenting as exfoliative dermatitis in a patient with acquired
immunodeficiency syndrome.

Anda mungkin juga menyukai