Anda di halaman 1dari 8

Manjemen Sindrom Koroner Akut & STEMI

Tenaga kesehatan memulai penatalaksanaan meliputi diagnosis dan pengobatan sejak kontak dengan
pasien, baik sebelum atau saat tiba di Instalasi Gawat Darurat. Monitoring EKG pada pasien suspect
STEMI perlu sesegera mungkin untuk mendeteksi aritmia yang mengancam jiwa. Diagnosis STEMI harus
sesegera mungkin, selambat-lambatnya 10 menit dari kontak medis pertama. Penanganan pada pasien
STEMI, antara lain:

1. Mengurangi Nyeri, Sesak Napas dan Kecemasan

Mengurangi nyeri tidak hanya untuk kenyamanan pasien, namun rasa sakit berhubungan dengan
aktivasi simpatik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung. Untuk
terapi nyeri paling sering menggunakan morphine intravena. Namun penggunaannya dapat mengganggu
penyerapan dan mengurangi efek dari antiplatelet, seperti Clopidogrel, Ticagrelor, dan Prasugrel yang
berisiko menyebabkan kegagalan pengobatan dini.

Berdasarkan ESC (2018), oksigen diberikan pada pasien hipoksemia dengan saturasi oksigen (SaO2)
<90% atau Partial Pressure of Oxygen (PaO2) <60 mmHg. Pemberian oksigen rutin tidak
direkomendasikan pada pasien dengan SaO2 >90%. Akan tetapi, PERKI (2015) merekomendasikan
pemberian oksigen pada pasien dengan SaO2 <95% atau pasien yang mengalami distres respirasi atau
diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan nilai SaO2.

Kecemasan merupakan respon alami terhadap rasa sakit yang biasa terjadi pada pasien dengan infark
miokard. Obat penenang (golongan Benzodiazepine) dapat menjadi pilihan terapi pada pasien yang
sangat cemas

1. Terapi Reperfusi

Pada pasien STEMI, terapi reperfusi dengan strategi PCI primer atau strategi fibrinolitik harus segera
diberikan. Untuk rekomendasi waktu kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi, lihat
pada gambar 1 dan 2
PCI (Percutaneous Coronary Intervention)

Rumah sakit yang menyediakan layanan PCI, harus melakukan PCI primer dalam waktu <60 menit. Jika
rumah sakit tidak memiliki layanan PCI, namun diperkirakan pasien dapat ditransfer ke rumah sakit lain
dan menerima PCI dalam waktu ≤120 menit, maka harus dilakukan dalam waktu <90 menit. Waktu
transfer pasien yang disarankan adalah ≤30 menit. Apabila waktu untuk menerima PCI >120 menit, maka
pasien harus segera diberikan terapi fibrinolitik.

Strategi reperfusi dengan PCI primer merupakan pilihan pada pasien STEMI dalam waktu 12 jam sejak
onset gejala, dengan syarat dalam waktu ≤120 menit sejak pengakkan diagnosis. PCI primer juga
menjadi pilihan pada pasien dengan onset gejala >12 jam yang menunjukkan gejala iskemik,
hemodinamik yang tidak stabil atau aritmia yang mengancam jiwa. ESC (2018) lebih merekomendasikan
PCI dengan stenting daripada balon angioplasti.
1. Pemberian Antiplatelet

Pasien yang menjalani PCI primer harus mendapatkan Dual Antiplatelet Therapy (DAPT), yaitu kombinasi
Aspirin dan inhibitor P2Y12, disertai dengan antikoagulan parenteral. Antiplatelet yang
direkomendasikan,sebagai berikut:

 Aspirin

Aspirin berfungsi untuk menghambat agregasi platelet melalui penghambatan thromboxane A2.
Pemberian aspirin salut non enterik secara oral (dikunyah) dengan dosis muatan atau loading dose (LD)
150-300 mg, diikuti dengan dosis pemeliharaan 75-150 mg/hari. Dengan dosis yang sama, aspirin juga
diberikan pada pasien yang tidak mendapatkan terapi reperfusi.

 Inhibitor Reseptor P2Y12

Prasugrel dan Ticagrelor merupakan agen inhibitor reseptor P2Y12 yang memiliki onset yang lebih cepat,
potensi, serta outcome klinis yang lebih baik daripada Clopidogrel. Akan tetapi, jika tidak tersedia, maka
pasien dapat menggunakan Clopidogrel

 Prasugrel (Belum tersedia di Indonesia)

Prasugrel dengan dosis muatan 60 mg peroral (PO), selanjutnya dosis pemeliharaan 10 mg/hari atau 5
mg/hari jika berat badan pasien ≤60 kg. Meski literatur tidak merekomendasikan penggunaan Prasugrel
pada pasien usia ≥75 tahun, namun jika perlu pasien bisa mendapatkan dosis 5 mg/hari. Hindari
penggunaan Prasugrel pada pasien dengan riwayat stroke.

 Ticagrelor
Ticagrelor dosis muatan 180 mg PO, selanjutnya dosis pemeliharaan 90 mg, 2 kali sehari.

 Clopidogrel

Clopidogrel dengan dosis muatan 600 mg PO, selanjutnya dosis pemeliharaan 75 mg/hari

 Inhibitor GP IIb/IIIa

Inhibitor GP IIb/IIIa, seperti Abciximab, Eptifibatide dan Tirofiban, tidak direkomendasikan untuk
digunakan rutin pada pasien yang menjalani PCI primer, namun dapat dipertimbangkan jika ada bukti
terjadi thrombus besar, tanpa aliran atau mengalami komplikasi trombotik lainnya.

1. Pemberian Antikoagulan

Selain antiplatelet, pasien yang menjalani PCI primer juga harus mendapatkan antikoagulan.
Fondaparinux tidak direkomendasikan pada pasien yang akan menjalani PCI. Pilihan antikoagulan yang
direkomendasikan, yaitu:

 Unfractionated Heparin (UFH)


Dosis UFH yang direkomendasikan adalah 70-100 IU/kg IV bolus pada pasien yang tidak
menerima Inhibitor GP IIb/IIIa atau 50-70 IU/kg IV bolus pada pasien yang menerima Inhibitor
GP IIb/IIIa.
 Enoxaparin

Dosis 0,5 mg/kg IV bolus.

 Bivalirudin (Belum tersedia di Indonesia)

Dosis awal 0,75 mg/kg IV bolus, selanjutnya IV infus 1,75 mg/kg/jam sampai 4 jam setelah PCI.

1. Terapi Fibrinolitik

Pada pasien yang baru bisa mendapatkan PCI >120 menit,pemberian terapi reperfusi dengan fibrinolitik
harus segera dalam waktu <10 menit sejak pasien didiagnosis STEMI, setelah itu pasien dipersiapkan
untuk mendapatkan PCI. Terapi fibrinolitik masih menjadi pilihan dalam waktu 12 jam sejak onset gejala
pada pasien STEMI tanpa kontraindikasi dan tidak dapat melakukan PCI sesuai target waktu yang
disarankan. Namun, manfaat dan efektivitas fibrinolisis menurun seiring dengan meningkatnya waktu
dari onset gejala, paling menguntungkan jika diberikan dalam waktu < 3 jam setelah onset gejala.
Evaluasi efikasi terapi fibrinolitik

paling lama dalam 60-90 menit menit setelah pasien mendapatkan terapi fibrinolitik. Jika fibrinolisis
gagal, yaitu resolusi segmen ST <50% atau pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik dan elektrikal
atau perburukan iskemia, maka pasien harus menjalani PCI.

Jika pasien memerlukan angiografi dan PCI, maka sebaiknya pelaksanaan antara 2 sampai 24 jam setelah
fibrinolisis berhasil. Meski telah berhasil, jika pasien mengalami gagal jantung/syok, iskemia atau
sumbatan ulangan, maka pasien harus mendapatkan PCI darurat. Apabila pasien mengalami gagal
jantung/ syok, iskemia atau sumbatan ulangan setelah fibrinolisis berhasil, lakukan PCI darurat. Berikut
rekomendasi Dosis fibrinolitik:

 Alteplase

Alteplase IV bolus 15 mg selama 1-2 menit. Selanjutnya 0,75 mg/kg IV (maksimal 50 mg) selama.
30 menit, kemudian 0,5 mg/kg IV (maksimal 35 mg) selama 60 menit. Total dosis tidak lebih dari 100 mg

 Tenecteplase

IV bolus:

Berat Badan <60 kg: 30 mg (6000 IU)

BB <70 kg: 35 mg (7000 IU)

Berat Badan <80 kg: 40 mg (8000 IU)

BB 80-<90 kg: 45 mg (9000 IU)

Berat Badan ≥90 kg: 50 mg (10000 IU)

Sedangkan, pada pasien dengan usia ≥75 tahun, dosis Tenecteplase 50% dari dosis normal.

 Reteplase (Belum tersedia di Indonesia)

IV bolus 10 unit selama 2 menit. Selanjutnya, 10 unit secara IV bolus, 30 menit setelah dosis pertama.

 Streptokinase

1,5 juta unit IV selama 30-60 menit.

Agen spesifik terhadap fibrin, seperti Tenecteplase, Alteplase atau Reteplase merupakan pilihan yang
lebih baik dari Streptokinase.
1. Pemberian Antiplatelet

 Aspirin

Dosis muatan 150-300 mg PO (kunyah), selanjutnya dengan dosis pemeliharaan 75-100 mg/hari.

 Clopidogrel

Dosis muatan 300 mg dan dosis pemeliharaan 75 mg/hari. Sedangkan, bagi pasien dengan usia ≥75
tahun, dosis pemeliharaan 75 mg/hari, tanpa dosis muatan.

1. Pemberian Antikoagulan

ESC (2018) juga merekomendasikan pemberian antikoagulan pada pasien dengan fibrinolisis sampai
pasien mendapatkan terapi revaskularisasi (bila perlu) atau selama pasien berada di rumah sakit, hingga
8 hari.

 Enoxaparin

Enoxaparin lebih direkomendasikan dibandingkan UFH.

Pasien <75 tahun

IV bolus 30 mg, selanjutnya 1 mg/kg SC tiap 12 jam, 15 menit setelah dosis pertama. Dosis maksimum
untuk 2 dosis SC pertama adalah 100 mg/dosis.

Pasien ≥75 tahun

Tanpa IV bolus, 0,75 mg/kg SC tiap 12 jam, maksimum 75 mg/dosis untuk 2 dosis pertama.

 Unfractionated Heparin (UFH)

IV bolus 60 IU/kg dengan dosis maksimum 4000 IU, kemudian 12 IU/kg/jam IV infus (maksimum 1000
IU/jam) selama 24-48 jam. Target aPTT 50-70 detik atau 1,5-2 kali kontrol yang dipantau pada jam ke-3,
6, 12 dan 24.

 Fondaparinux

Pemberian Fondaparinux hanya untuk pasien yang menggunakan terapi fibrinolitik dengan
Streptokinase. Dosis awal IV bolus 2,5 mg, keesokan harinya 2,5 mg SC tiap 24 jam.

1. Terapi Jangka Panjang


Pasien STEMI harus menerapkan terapi jangka panjang sebagai pencegahan sekunder penyakit
kardiovaskular, mencegah kejadian kardiovaskular ulangan dan kematian prematur.

1. Perubahan Gaya Hidup

Kontrol tekanan darah, berat badan, makanan dan olahraga teratur merupakan beberapa contoh
pengendalian faktor risiko penyakit kardiovaskular. Target tekanan darah yang direkomendasikan adalah
sistolik <140 mmHg atau <120 mmHg jika pasien dengan risiko sangat tinggi dan dapat menoleransi
penggunaan kombinasi anti hipertensi.

Terapi Antitrombotik

 Aspirin

Aspirin direkomendasikan untuk semua pasien STEMI dengan dosis 75-100 mg/hari. Jika penderita alergi
terhadap Aspirin, maka dapat menggunakan terapi tunggal dengan Clopidogrel sebagai terapi
pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular.3

 Dual Antiplatelet Therapy

Penggunaan kombinasi Aspirin dan inhibitor P2Y12 (Prasugrel, Ticagrelor atau Clopidogrel) selama 12
bulan direkomendasikan pada pasien STEMI yang menjalani PCI primer, kecuali pasien yang berisiko
mengalami pendarahan. Apabila pasien berisiko tinggi mengalami komplikasi pendarahan berat, maka
pasien dapat menghentikan penggunaan inhibitor P2Y12 setelah 6 bulan pemakaian.

Pasien yang menjalani fibrinolisis dan PCI harus mendapatkan DAPT yaitu Aspirin dan inhibitor reseptor
P2Y12 (Clopidogrel) selama 12 bulan. Meski inhibitor reseptor P2Y12 poten masih belum memiliki bukti
keamanan yang kuat untuk pasien dengan fibrinolisis. Namun, pemberian Prasugrel atau Ticagrelor juga
dapat menjadi pilihan setelah memasuki periode aman, yaitu 48 jam setelah fibrinolisis.

Penggunaan DAPT pada pasien dengan fibrinolisis, tanpa menjalani PCI atau pasien yang tidak
melakukan terapi reperfusi, disarankan menggunakan kombinasi Aspirin dan Clopidogrel selama 1 bulan
dan pertimbangkan untuk memperpanjang penggunaan DAPT hingga 12 bulan.

1. Terapi Beta-Blockers
Beta-blockers PO diindikasikan pada pasien STEMI dengan gagal jantung dan/atau LVEF (left ventricular
ejection fraction) ≤40% tanpa kontraindikasi.

1. Terapi Dislipidemia

Semua pasien STEMI harus menggunakan statin dosis tinggi sesegera mungkin dan dalam jangka
panjang, kecuali jika memiliki kontraindikasi. Terapi statin dosis tinggi yang direkomendasikan adalah
Atorvastatin 40-80 mg atau Rosuvastatin 20-40 mg. Evaluasi ulang nilai lipid dalam 4-6 minggu setelah
SKA untuk melihat pencapaian target kolesterol.

Target yang direkomendasikan penurunan nilai LDL ≥50% dari nilai awal dengan target LDL <55 mg/dl.
Akan tetapi, jika pasien mengalami kejadian kardiovaskular ulangan dalam 2 tahun ketika menggunakan
statin dosis maksimal yang dapat ditoleransi maka disarankan target LDL <40 mg/dl. Namun apabila
tidak mencapai target dengan dosis maksimal statin yang dapat ditoleransi, maka dapat dikombinasikan
dengan Ezetimibe.4

1. Terapi ACEi/ARBs

ACEi (angiotensin-converting enzyme inhibitor) direkomendasikan untuk dimulai dalam 24 jam pertama
STEMI pada pasien dengan gagal jantung, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes atau infark anterior.
ARBs (Angiotensin Receptor Blockers), khususnya Valsartan dapat digunakan sebagai alternatif pada
pasien dengan gagal jantung dan/atau disfungsi sistolik yang tidak dapat menoleransi ACEi.

1. Terapi MRAs

MRAs (Mineralocorticoid Receptor Antagonist), seperti Eplerenone (belum tersedia di Indonesia)


direkomendasikan pada pasien dengan LVEF ≤40% dan gagal jantung atau diabetes yang telah menerima
ACEi dan Beta-blockers, jika pasien tidak mengalami gagal ginjal atau hiperkalemia

Anda mungkin juga menyukai