API Di Bukit Menoreh 1
API Di Bukit Menoreh 1
Tetapi yang
diharapkan Untara
terjadilah. Orang-orang
yang bersembunyi
dibalik pohon-pohin
yang rimbun itu
mendadak menjadi
tidak sabar. Sehingga
dengan demikian
terdengar salah
seorang diantara
mereka berteriak “Siapa
kalian?”
Pertanyaan itu bagi
Sedayu terdengar
seperti petir yang
meledak ditelinganya.
Kini tidak saja lututnya
yang gemetar, tetapi
seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar,sedang
darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan,
sehingga nafasnya menjadi sesak. Ia tidak dapat bertahan
berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan kakaknya
menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju
selangkah,bisiknya “peganglah kendali kuda-kuda kita”
Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara
bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan
baju kakaknya.
Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya
sambil berkata lirih “Sedayu,kalau kau tak mau memegang
kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah
tangkai kerismu.”
Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi
menangkap arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya
bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia
berdiri diantara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk.
telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat
dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya
sambil berlari “Tahanlah Untara. Biarlah ia melihat anak muda
yang satu ini mengalami nasib yang malang.”
Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat
kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah
tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu
berbuat sesuatu maka ia akan mendapat kesempatan untuk
menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku ketakutan.
Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya
sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia
melempar kudanya yang berdiri disamping adiknya. Kuda itu
manjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat
dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda yang
seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun
melontar seperti panah.
Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan
kepada Untara. Sebab dengan itu si pande besi terpaksa
tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda
yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara.
Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang lain.
Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat
berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang
mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang
dengan tongkat besinya. Tongkat besi itu terayun deras sekali.
Untara telah menggunakannay dengan penuh tenaga. Si
Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat
itu menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia
sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat
dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah
terayun diatas kepalanya. Karena itu si pande besi hamper
saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.
Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan
tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh
tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seornag
tamtama yang sedang dibakar oleh kemarahan.
Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk
menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat
menangkap kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat
mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang
bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan
beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya.
Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung.
Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak
lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya.
Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga
ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi
kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang
aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.
“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-alap
Jalatunda “Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang
bertopeng dan berselimut kain gringsing ini”
Alap-alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak
ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan
demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya.
Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu
belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil
kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya
telah melindungi Agung Sedayu.
Alap-alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai
pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak
nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai
Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik
serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari
kearah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar cakap
bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia
melontarkan diri dan jatuh langsung diatas punggung kuda itu.
Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi
dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu
meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah.
Kiai Gringsing memandang Alap-alap Jalatunda yang
melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk
mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih
menunggunya. Agung Sedayu.
Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari
tanggul ia berkata “Bukankah aku menang?”
***
Dengan garangnya orang yang hampir diseluruh wajahnya
ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran
pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah
tombak pendek ia menyerang sambil berteriak “Sidah aku
katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-main”
Melihat lawan yang baru itu Tohpati menggeram.
Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya. Dengan
geramnya ia memjawab “Ayo majulah, kenapa Widura tidak
kau bawa serta”
Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia
tertawa. Namun didalam hatinya tumbuhlah kebimbangan atas
usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia
berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah
didengarnya tentang Macan Kepatihan itu, namun ketika
sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya
berkata didalam hatinya “Pantaslah orang ini disebut Macan
Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti membekukan
segenap urat darah” Walaupun demikian, Hudaya adalah
seorang prajurit. Karena itu, bagaimanapun juga keadaanya,
namun ia harus berjuang.
Melihat Hudaya telah melibatkan diri dalam perkelahian
itu,Citra Gati tersenyum.
“Hem, desisnya alangkah
sombongnya murid Ki
Tambak Wedi. Namun
akhirnya orang-orang tua
juga harus ikut
menghadang bahaya.
Kalau, ya kalau, Untara ada
diantara kita.” Tetapi Citra
Gatipun tidak sampai hati
membiarkan mereka
berdua mengalami
bencana. Karena itu ia
segera menyelinap diantara
anak-anak buah di dalam
pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda
Alap-alap Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang
kemudian dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu, yang keluar dari
kandang kuda Ki Tanu Metir.”
Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya “Kau senang
mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata pengamatanmu kurang
baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang
kau lampaui. Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu
dengan melompati pagar, atau muncul dari regol-regol
halaman sepanjang jalan?”
Widura menarik nafas “Memang mungkin” sahutnya “Tetapi
itu tidak akan kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku minta
tunjukkan anak itu.”
“Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya kau benar-benar
menjadi seorang pemimpin yang sakti. Biarlah aku melihat dan
tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak
tahu.” Berkata Kiai Gringsing.
Widura adalah seorang perwira tamtama. Karena itu maka
adalah menjadi kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap
persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah
mendengar perkataan Kiai Gringsing yang melingkar-lingkar
itu. Katanya “Kiai, jangan bergurau seperti anak-anak. Dimana
Untara itu? Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat,
siapakah kau sebenarnya”.
“He” kembali Kiai Gringsing terkejut. Sedayupun menjadi
terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat pamannya itu maju
selangkah dengan wajah yang tegang.
“Kenapa kau akan menangkap aku?” bertanya Kiai
Gringsing. “Apakah hakmu?”
“Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk
keselamatan Pajang.”
“Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?”
“Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama
Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya,
Kemudian pada Sedayu ia berkata “Sedayu, apakah kau
dapat mencegah muridmu itu?”
Buku 04
Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya
Widura sama sekali tidak bersikap demikian. Karena itu, maka
sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata “Widura, orang-orang
seperti kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang
tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan Pajang. Aku
ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang
tertimbun oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau
membantu Sidanti dalam usahanya mendapatkan tempat yang
baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku
sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya”
Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak
melihat wajah yang panjang bermata seperti mata burung
hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian,
tak ada suatupun yang dapat dilakukannya. Dan ia masih
mendengar Ki Tambak Wedi meneruskan “Apabila kelak
Sidanti akan sampai ditempat itu, maka kaupun akan ikut serta
mukti pula bersamanya”
Widura menggeleng tegas. Jawabnya “Biarlah aku
ditempatku. Apapun yang akan aku alami”
Dada Ki Tambak Wedi itupun sudah mulai dirayapi oleh
kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya
Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu
katanya “Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku
marah?”
Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab
“Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin laskar
Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain”
“Widura” sahut Ki Tambak Wedi yang mulai tidak dapat
mengendalikan kemarahannya. “Kau tetap pemimpin laskar di
Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah
Sidanti yang akan diberikan erus menerus kepadamu.
Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari perintahperintahnya.
Tetapi dimata par prajurit itu, kau tetap seorang
pemimpin yang berwibawa. Bersedia?”
Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu.
Beberapa orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakakkakak
mereka, adik-adik mereka dan keluarga-keluarga
mereka yang telah terlanjur sampai dirumah, untuk
menyaksikan pertandingan yang pasti akan menggembirakan
hati mereka, melampaui pertandingan yang baru saja selesai.
Beberapa saat kemudian Sidanti itupun menjadi semakin
dekat dengan lapangan dimuka banjar desa, sejalan dengan
hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan.
Maka iapun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan
ia ingin meloncat dengan satu loncatan yang akan dapat
mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu.
Dilapangan, Agung Sedayu berdiri dengan dada yang
berdebar-debar. Berbagai perasaan berkecamuk didalam
dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur.
Sehingga lututnyapun menjadi gemetar. Ternyata Swandaru
tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya benar-benar tak
seperti yang diharapkan. karena itu, dalam kebingungan
Agung Sedayu itu berjalan hilir mudik tak menentu. Sekalisekali
ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi kemudian
ia menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itupun
serasa berdnentangan, ketika ia mendengar suara orangorang
yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat. Dan
ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya. Dari balik
rimbunnya daun-daun, dari balik dinding-dinding batu,
muncullah orang-orang itu. Berbondong-bondong dan
kemudian pecah berlarian mengelilingi lapangan.
Darah Agung Sedayu itupun hampir berhenti mengalir
ketika dilihatnya, diujung iring-iringan itu berjalan seorang
yang sanga menakutkan baginya. Sidanti.
Dan Sidanti itu langsung berjalan kearah Agung Sedayu.
Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa, seakanakan
ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap.
Tetapi hati Agung Sedayu itupun kemudian menjadi agak
tenteram ketika kemudian dilihatnya, pamannya datang pula
kelapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang
lagi. Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudahmudahan
tidak terjadi sesuatu atas dirinya.
“Lalu?”
“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu
Metir”
“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?”
“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang
kerumah Ki Tanu Metir”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian iapun
tersenyum pula. katanya “Kiai Gringsing memang orang yang
aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita
tentang orang itu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami
jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya,
untuk merahasiakan dirinya.
“Tetapi” berkata Untara kemudian “Aku mengharap bahwa
waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai Gringsing
sendiri datang kepada kita disini dan bercerita tentang dirinya”.
“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga dilapangan siang
tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Untara “Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan
ketengah-tengah arena, ketika seseorang melemparkan ciricirinya
yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya
“Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu,
sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung pangkalnya.
karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan.
Swandaru yang kemudian duduk dibelakang ayahnyapun
sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang
dipersoalkan.
Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi.
Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara
sendiri menjadi sangat lelah. karena itu katanya “Aku minta
maaf, karena aku sangat lelah, apakah aku boleh
meninggalkan pertemuan ini?”
Widura tersenyum, jawabnya “Pertemuan tanpa kau tidak
akan ada gunanya. karena itu, biarlah pertemuan ini berakhir.
Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai keujung
****
Buku 06
Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuangbuang
waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu latihan
yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat,
sampai dimana puncak kemampuan adiknya.
Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka
tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura itu
memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai
bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang
perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan.
Apalagi kini, setelah anak
muda itu menemukan
kepercayaannya kepada diri
sendiri, maka setiap
geraknyapun seolah-olah
menjadi lebih mantap.
Meskipun beberapa kali Untara
melihat kesalahan-kesalahan
yang masih dilakukan oleh
adiknya, namun kesalahankesalahan
kecil itu segera
dapat diperbaikinya.
Dalam latihan-latihan itulah,
maka Widura melihat betapa
Untara sebenarnya
mempunyai ilmu yang hampir
mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri
mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti. “Aneh”
pikirnya “Jarang aku temui anak muda sesabar Untara dalam
menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi
terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara
harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah
bukan lawannya.”
Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain
adalah paman Widura.”
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil berkata “Aku
pernah mendengar tentang paman Widura di Sangkal Putung,
tetapi baru kali ini aku melihat orangnya.”
Widura tersenyum, sahutnya “inilah orangnya. Tak ada
yang menarik.”
Orang itu tertawa pendek, yang mendengarpin tertawa
pula. kemudian Untaralah yang berkata “Soma, berkatalah.
Biarlah paman Widura mendengar pula.”
Soma menarik nafas dalam-dalam, kemudian setelah
menelan ludahnya ia berkata “Ada beberapa berita tentang
orang itu.”
Sebelum Soma meneruskan, terdengar Widura menyela
“Untara,aku telah memperkenalkan diriku, tetapi siapakah
kisanak ini?”
Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri,
namun kemudian jawabnya “ia salah seorang pembantuku.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia
mengerti, orang itu pasti dari pasukan sandi. Karena itu maka
Widura tidak bertanya lagi.
Kemudian berkatalah Soma itu seterusnya “Ketika aku
datang kepondokan kakang, ternyata kakang telah tidak ada.
Menurut pesan kakang terakhir, aku harus datang kerumah
itu. Dan yang aku jumpai adalah Kiai Gringsing.”
“Aku meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa tanpa
aku rencanakan terlebih dahulu. Tetapi bukankah aku telah
berpesan kepada Kiai Gringsing?”
“Pesan yang aneh” gumam Kiai Gringsing.
Untara tersenyum dan Soma itupun tersenyum.
“Tak ada orang yang dapat berbicara dalam bahasamu
Untara” berkata Kiai Gringsing kemudian “dan pesan itu sudah
aku sampaikan. “Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai
Gringsing berkata “He, Sedayu apakah kau dapat mengerti
bahasa Untara itu. Bulan muda,angin selatan, bintang utara.
Laju bersama gubug penceng. “Kiai Gringsing itupun
kemudian tertawa terkekeh-kekeh. “Ayo Sedayu apakah kau
tahu artinya?”
anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari mereka segera
meloncat keatas punggung kuda dan langsung berpacu ke
Kademangan.
Widura dan beberapa orang terkejut karenanya, ketika
seorang dengan tergesa-gesa lari naik ke pringgitan.
“Ki Lurah” berkata orang itu kepada Widura “sebuah anak
panah sanderan telah jatuh didekat gardu penjagaan kami.
Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apapun pada anak
panah itu”
Widura mengerutkan keningnya. “Bawalah kemari” berkata
Widura. ketika Untara ikut serta melihat anak panah itu, maka
iapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada
peronda yang menemukan anak panah itu ia berkata “Perkuat
penjagaan digardumu”
“Baik tuan” jawab orang itu.
“Kembalilah. Setiap perkembangan akan kami beritahukan,
tetapi kaupun harus melaporkan setiap perkembangan yang
kau ketahui” berkata Untara pula.
***
Orang itupun kemudian pergi meninggalkan pringgitan.
Disepanjang jalan ia menggerutu “Tidak juga mau
memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi”
Namun karena itulah maka para peronda itu menjadi semakin
berhati-hati.
Sepeninggal orang itu, maka Untarapun berkata kepada
Widura “Paman, anak-anak buahku telah mendapat kepastian.
Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung.
Anak panah yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut
pesan yang aku berikan kepada mereka, kalau Tohpati akan
bergerak sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan
dua anak panah. Sedang kalau kira-kira antara tengah malam
atau sesudah itu, satu anak panah. Sehingga dengan
demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan
bergerak pada tengah malam”
“Apakah ia mau?”
“Marilah kita lihat” jawab Widura. Widura kemudian tidak
menunggu jawaban Agung Sedayu lagi. Perlahan-lahan ia
berjalan menepi dan duduk dengan enaknya ditepi jalan.
Namun demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya
ada sesuatu yang tiba2 harus dihadapinya.
Agung Sedayu kini telah memahami maksud pamannya.
Karena itu, maka iapun berjalan menepi pula, dan berjongkok
berhadapan dengan pamannya itu.
“Kalau orang itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan
datang kemari” berkata pamannya.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau ia akan bertahan ditempatkannya, maka biarlah kita
tunggu disini sampai besok siang.”
Agung Sedayu tersenyum. Meskipun demikian debar
jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya orang itu
benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua
akan mati sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka
yang sebenarnya. Menumpas sisa-sisa laskar Jipang.
Agung Sedayu kini sudah bukan seorang penakut lagi.
Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang
dikatakannya kepada pamannya. “Paman, adalah tidak
menguntungkan sekali seandainya orang itu benar-benar Ki
Tambak Wedi. Apakah dengan demikian kita tidak akan
kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan
laskarnya?”
Widura mengangguk-angguk. “Kau benar Sedayu” katanya
“tetapi kita sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kita
hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan
diri. Apalagi? Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu
pasti akan mengejar kita, dan kita harus bertempur pula.”
“Tidak dapatkah kita memberikan tanda bahaya?”
“Kita tidak membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita
hanyalah sehelai pedang.”
Agung Sedayu terdiam. Jawaban pamannya tak akan dapat
diungkiri. Seandainya mereka berjalan kembali, maka orang
itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari
arahnya dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil
atau apapun yang akan dapat dilemparkannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan sesuatu. Ia
mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya.
Mungkin akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan
dilakukan oleh orang yang berjongkok dipinggir jalan itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itupun
mengumpulkan beberapa butir batu yang berada disekitarnya.
“Untuk apa?” bertanya Widura.
Agung Sedayu tersenyum meskipun masam. “Kalau kita
yakin bahwa orang itu lawan kita siapapun ia, maka aku akan
menyerangnya sebelum orang itu mendekat.”
Widura menjadi tersenyum pula. Jawabnya “Tak ada
gunanya.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia
tetap pada pendiriannya.
Tetapi sesaat mereka duduk dipinggir jalan. Orang yang
berjongkok itupun tidak bergerak. Orang itu masih juga berada
ditempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu
adalah menjadi semakin lama semakin gelisah
“Orang itu memang membiarkan kita menjadi gelisah” bisik
Widura “tetapi biarlah. Kita akan tetap berada ditempat ini.”
“Ya” sahut Agung Sedayu pendek.
Sebenarnyalah bahwa kegelisahan mereka sudah hampir
tak tertahankan lagi. Orang itu sama sekali tidak bergerak dan
seakan-akan sebuah patung yang mati.
Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Widura dan
Agung Sedayu. Ketika kegelisahan Agung Sedayu telah
memuncak, maka ia berkata “Paman, biarlah aku mencoba
melamparnya dengan batu, apakah ia masih akan berdiam
diri? Aku kira aku akan dapat mengenainya.”
“Jangan” jawab Widura “kita jangan menjadi gelisah. Kita
harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita gelisah.
Agung Sedayu terdiam. Namun dadanya benar-benar akan
menjadi pecah karena kegelisahan yang menghentak-hentak.
Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu
sengaja membiarkan mereka elisah, namun Agung Sedayu itu
benar-benar hampir pingsan dibuatnya.