TINJAUAN PUSTAKA
I.2 Epidemiologi
Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat dibandingkan
populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan
penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan peningkatan
populasi usia lanjut 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam waktu 50
tahun; dari 600 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada tahun 2050
(Setiati, Siti 2013).
Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai peringkat lima besar
terbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010 dan akan meningkat dua kali
lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup penduduk Indonesia
mencapai 67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6 tahun pada tahun
2020-2025. Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun 1950-1990 dan menjadi
8% saat ini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi 13% pada tahun 2025 dan
menjadi 25% pada tahun 2050. Pada tahun 2050 seperempat penduduk Indonesia
merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan seperduabelas penduduk Indonesia
saat ini (Abikusno N. 2007 dalam Setiati, Siti 2013).
I.7 Penatalaksanaan
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan
berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi
pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap menjadi
pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat
yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/interdisiplin yang
mengedepankan pendekatan secara holistik (Setiati, Siti 2013).
a. Pengelolaan inkontinensia urin
Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis besar
dapat dikerjakan sebagai berikut (Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited”
2011):
a) Program rehabilitasi, antara lain:
Melatih perilaku berkemih.
Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).
Melatih respons kandung kemih.
Latihan otot-otot dasar panggul.
b) Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).
c) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.
d) Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau
keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.
e) Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk
kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan
penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.
b. Jatuh
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor
risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus
terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik,
bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan ahli
lain yang terkait serta keluarga penderita. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya
berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh.
Lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoralsehingga diperlukan
terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain
intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya
pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.
Faktor pelindungTerhadap Cedera Retak
Terapiestrogen
Berat badansetelah usia
Berjalanuntuk latihan
Asupankalsiumyang cukup
Pengobatan untuk gangguan berjalan
1. Manajemen gangguan berjalan termasuk peningkatan kemampuan fungsional
dan pengobatan penyakit tertentu,namun banyak kondisi yang
menyebabkan kelainan gaya berjalan hanya sebagian dapat diobati.
2. Peningkatan substansial terjadi dalam pengobatan gangguan sekunder untuk
vitamin B12 dan folat, penyakit tiroid, radang sendi lutut, penyakit
Parkinson dan polineuropati inflamasi.
3. Peningkatan Sedang, tetapi dengan cacat sisa, dapat terjadi setelah
perawatan bedah untuk myelopathy serviks, stenosis lumbar, dan
hidrosefalus tekanan normal.
c. Sleep Dsiturbance
Pengobatan
a) Perawatan Non-farmakologis
Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang
mendasari, menghentikan atau mengubah obat, menghentikan alkohol,
kafein atau penggunaan nikotin.
Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan tidur,
gunakan kamar tidur untuk tidur saja, mengembangkan cerita tidur
untuk mempromosikan keadaan pikiran, mengurangi tidur siang hari, dan
mengembangkan latihan rutin sehari-hari.
b) Pengobatan farmakologis
Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek pada pasien
yang lebih tua.
Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti Temazepam
(7,5-15 mg), dengan jangka waktu maksimum dua mingg uuntuk
menghindari ketergantungan.
Antihistamin dapat diterima untuk digunakan sesekali, namun cepat
kehilangan khasiat.
anti-depresan, misalnya, Trazadone, adalah pilihan yang baik untuk
insomnia kronis.
d. Pencegahan Komplikasi Imobilisasi
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik
dan non farmakologik. Upaya non farmakologis yang dapat dilakukan adalah
dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang
mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat
tidur. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat
tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Untuk
mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan
penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan
perubahan posisi lateral 30o. penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan
bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam
atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke
kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus.
Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah
maserasi.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat-obatan yang
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain
itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air
besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan
terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin
(LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang
aman dan efektif untuk pasien geriatri denganimobilisasi namun harus
mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain (Rizka, 2015).
Pressure Ulcer
Pengobatan
1. Menilai seluruh aspek, bukan hanya ulkus karena tekanan, termasuk
kesehatan fisik, sakit, kesehatan psikososial, dan tekanan komplikasi ulkus.
2. Mencoba untuk menggunakan langkah-langkah yang ditetapkan
penyembuhan luka (PUSH) (NPUAP, 1997).
3. Menjaga prinsip-prinsip perawatan luka yang relevan dengan ulkus tekanan:
a. debridement luka
b. luka bersih
c. menggunakan solusi yang TIDAK membunuh sel-sel; JANGAN
menggunakan solusi yang yaitu sitotoksik hidrogen peroksida, Solusi
Dahenitu, atau Betadine
d. Mengairi luka, menggunakan kekuatan minimal
e. Tutup luka dengan bahan yang tepat
e. Delirium
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber
deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang
berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena
benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk delirium.
Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi yang
berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu sendiri
(Andri, Charles E. Damping, 2007).
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering
dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil
efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu jalur
oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral
(PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2
sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi.
Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral
maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari
sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan
gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral (Andri, Charles E. Damping, 2007).
f. Infeksi
Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan masalah karena meningkatkan
bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia. Terapi antibiotic tergantung pada
kuman patogen yang didapati.
1. Gangguan pendengaran
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran
dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Pemasangan
alat bantu dengar hasilnya akan lebih memuaskan bila dikombinasikan
dengan latihan membaca ujaran (speech reading), dan latihan mendengar
(auditory training), prosedur pelatihan tersebut dilakukan bersama ahli terapi
wicara (speech therapist).
Tujuan rehabilitasi pendengaran adalah memperbaiki efektifitas pasien
dalam komunikasi sehari-hari. Pembentukan suatu program rehabilitasi untuk
mencapai tujuan ini tergantung pada penilaian menyeluruh terhadap gangguan
komunikasi pasien secara individual serta kebutuhan komunikasi sosial dan
pekerjaan. Partisipasi pasien ditentukan oleh motivasinya. Oleh karena
komunikasi adalah suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih, maka
keikutsertaan keluarga atau teman dekat dalam bagian-bagian tertentu dari
terapi terbukti bermanfaat.
Membaca gerak bibir dan latihan pendengaran merupakan komponen
tradisional dari rehabilitasi pendengaran. Pasien harus dibantu untuk
memanfaatkan secara maksimal isyarat-isyarat visual sambil mengenali
beberapa keterbatasan dalam membaca gerak bibir. Selama latihan
pendengaran, pasien dapat melatih diskriminasi bicara dengan cara
mendengarkan kata-kata bersuku satu dalam lingkungan yang sunyi dan
yang bising. Latihan tambahan dapat dipusatkan pada lokalisasi, pemakaian
telepon, cara-cara untuk memperbaiki rasio sinyal-bising dan perawatan serta
pemeliharaan alat bantu dengar.
Program rehabilitasi dapat bersifat perorangan ataupun dalam
kelompok. Penyuluhan dan tugas-tugas khusus paling efektif bila dilakukan
secara perorangan, sedangkan program kelompok memberi kesempatan untuk
menyusun berbagai tipe situasi komunikasi yang dapat dianggap sebagai situasi
harian normal untuk tujuan peragaan ataupun pengajaran.
Pasien harus dibantu dalam mengembangkan kesadaran terhadap isyarat-
isyarat lingkungan dan bagaimana isyarat-isyarat tersebut dapat membantu
kekurangan informasi dengarnya. Perlu diperagakan bagaimana struktur
bahasa menimbulkan hambatan-hambatan tertentu pada pembicara. Petunjuk
lingkungan, ekspresi wajah, gerakan tubuh dan sikap alami cenderung
melengkapi pesan yang diucapkan. Bila informasi dengar yang diperlukan
untuk memahami masih belum mencukupi, maka petunjuk-petunjuk
lingkungan dapat mengisi kekurangan ini. Seluruh aspek rehabilitasi
pendengaran harus membantu pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif
dengan lingkungannya. (George L Adams,et al.,1997)
2. Depresi
Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan
kepribadian masing masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi
merupakan tata laksana yang sering dilakukan dan berhasil. Akan tetapi, pada
kasus tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, diperlukan
farmakoterapi. Banyak orang membutuhkan dukungan dari orang-orang
terdekat terutama keluarga dan teman, keikutsertaan dalam kegiatan
kelompok, atau berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mengatasi
depresi. Selain itu, mengatasi masalah terisolasi ketika memasuki usia lanjut
merupakan salah satu bagian penting dalam penyembuhan dan dapat mencegah
episode kekambuhan penyakit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktif
dalam kegiatan kelompok di lingkungan merupakan bagian penting dalam
kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas hidup.
Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat
antidepresan, tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya
mengurangi gejala, dan tidak menyembuhkan. Antidepresan bekerja dengan
cara menormalkan neurotransmiter di otak yang memengaruhi mood, seperti
serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Antidepresan harus digunakan pada
lansia dengan depresi mayor dan selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRIs) merupakan obat pilihan pertama. Pemilihan obat antidepressant per
individu dengan pertimbangan efek samping dari tiap golongan. Pengobatan
monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi
apabila tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu.
Lansia yang tidak berespons pada pengobatan awal perlu mendapatkan
obat antidepresan golongan lain dan dapat dipertimbangkan penggunaan dua
golongan antidepresan. Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan,
obat harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy)
selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila
kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi pengobatan
tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan hingga 80%.
Penghentian antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak
menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan
gejala mirip fl u (fl u-like symptoms). Lansia yang sering kambuh
memerlukan terapi perawatan dosis penuh terapi selama hidupnya. Selain
farmakoterapi dengan obat antidepresan, psikoterapi (talk therapy) memiliki
peranan penting dalam mengobati berbagai jenis depresi. Psikoterapi dilakukan
oleh psikiater, psikolog terlatih, pekerja sosial, atau konselor. Pendekatan
psikoterapi dibagi dua, yaitu cognitive-behavioral therapy (CBT) dan
interpersonal therapy. CBT terfokus pada cara baru berpikir untuk
mengubah perilaku, terapis membantu penderita mengubah pola negatif
atau pola tidak produktif yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi.
Interpersonal therapy membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi
keadaan dan hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi.
Banyak penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan
memahami cara menangani faktor penyebab depresi, terutama pada depresi
ringan; jika depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena akan
menimbulkan depresi berulang.
I.8 Komplikasi
Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem pernafasan isalnya
penurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia. komplikasi endokrin dan ginjal,
peningkatan diuresis, natriuresis dan pergeseran cairan ekstraseluler, intoleransi
glukosa, hiperkalsemia dan kehilangan kalsium, batu ginjal serta keseimbangan
nitrogen negative. Komplikasi gastrointestinal yang dapat timbul adalah
anoreksia, konstipasi dan luka tekan (ulkus dekubitus). Pada sistem saraf pusat,
dapat terjadi deprivasi sensorik, gangguan keseimbangan dan koordinasi (Rizka,
2015).
DAFTAR PUSTAKA
Blazer, DG and Steffens, DC. (2009). The american psychiatric publishing textbook
of geriatric psychiatry. America : Psychiatric Pub.
Cigolle CT, Langa KM, Kabeto MU, Tian Z, Blaum CS. (2007). Geriatric conditions
and disability: the health and retirement study. American College of Physicians.
147(3):156-164
Damping and Charles E. 2003. Depresi pada Geriatri: Apa Kekhususannya. Dalam:
Supartonodo, Setiati S, dan Soejono CH, Penatalaksanaan Pasien Geriatri
dengan Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm.107-112. Darmojo dan
Boedhi R. 2006. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: FK-
UI.hlm.7-18. 68
Darmojo, B. 2004. Melalui Menua Sehat dan Aktif Menuju Masa Usia Lanjut yang
Berhasil, Naskah Lengkap KONAS III & TINAS II Pergemi, Yogyakarta.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. (2008). Essentials of clinical
geriatrics. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.