Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN POST SC DENGAN PREEKLAMPSIA

BERAT DI RUANG NIFAS RSUD dr. SOEBANDI JEMBER


PERIODE 8 – 13 MARET 2021

Dosen Pembimbing

Diyan Indriyani S.Kp.,M.Kep.,Sp.Mat

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di Stase


Keperawatan Maternitas

OLEH:
Cahya Risky Abdillah S.Kep
NIM. 2001031029

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2021
A. Definisi Postpartum

Post partum atau biasa disebut sebagai masa nifas pada ibu pasca melahirkan
merupakan periode yang sangat penting untuk diketahui. Pada fase ini terjadi beberapa
perubahan pada ibu baik fisiologis maupun psikologis. Menurut Bobak ( 2005) periode
post partum ialah masa enam minggu sejak bayu lahir sampai organ-organ reproduksi
kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini juga disebut puerperium atau
trimester ke empat kehamilan. Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun
dianggap normal.

Pada fase ini harus mengobservasi perubahan fisiologis dan psikologis yang terjadi
pada ibu untuk mengetahui kemungkinan masalah yang terjadi pada masa nifas sehingga
masalah diketahui sedini mungkin untuk menghindari komplikasi lebih lanjut [ CITATION
Ind16 \l 1057 ].

B. Periode Postpartum

1. Periode Immediate Postpartum

Masa segera setelah plasenta lahir sampai lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini
sering terdapat banyak masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri. Oleh karena
itu dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lochea,
tekanan darah, dan suhu.

2. Periode Early Postpartum (24 jam-1minggu)

Pada fase ini memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan,
lochea berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan cairan, serta
ibu dapat menyusui dengan baik.

3. Periode Late Postpartum

Pada periode ini tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta
konseling KB.

C. Perubahan Fisiologis Pada Ibu Post Partum

Menurut Bobak ( 2005) perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu postpartum antara
lain:

1. Sistem Reproduksi dan Struktur Terkait

a. Uterus

1) Proses Involusi

Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan.


Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot
polos uterus.
2) Kontraksi

Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi


lahir, diduga terjadi sebagai respons terhadap penurunan volume intra uterin
yang sangat besar.

3) Afterpains

Kondisi ini banyak terjadi pada primipara, tonus uterus meningkat sehingga
fundus pada umumnya tetap kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik
sering dialami multipara dan bisa menimbulkan nyeri yang bisa bertahan
sepanjang awal puerperium.

b. Tempat plasenta

Setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan., kontraksi vaskuler dan trombosis


menurunkan tempat plasenta ke suatu area yang meninggi dan bernodul tidak
teratur. Per tumbuhan endometrium ke atas menyebabkan pelepasan jaringan
nekrotik dan mencegah pembentukan jaringan parut yang menjadi karakteristik
penyembuhan luka.

c. Lokea

Merupakan rabas uterus setelah bayi lahir. Lokea mula-mula berwarna merah,
kemudian berubah menjadi merah tua atau merah coklat. Rabas ini mengandung
bekuan darah kecil. Selama dua jam pertama setelah lahir, jumlah cairan yang
keluar dari uterus

d. Servik

Servik menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan, 18 jam pasca partum, servik
memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.

e. Vaginam dan Perineum

Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam penipisan


mukosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat meregang akan
kembali bertahap ke ukuran sebelum hamil, 6 sampai 8 minggu setelah bayi lahir.
Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu keempat. Mukosa akan tetap
atropik pada wanita yang menyusui sekurang-kurangnya sampai menstruasi
dimulai kembali.

f. Topangan Otot Panggul

Struktur penopang uterus dan vagina bisa mengalami cedera waktu melahirkan dan
masalah ginekologi dapat timbul di kemudian hari.
2. Sistem Urinarius

Perubahan hormonal pada masa hamil menyebabkan fungsi ginjal meningkat,


sedangkan penurunan kadar steroid setelah wanita melahirkan menurunkan fungsi
ginjal selama post partum. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan
setelah melahirkan. Diperlukan kira-kira 8 minggu supaya hipotonia pada
kehamilan dan dilatasi pada ureter serta pelvis ginjal kembali ke keadaan sebelum
hamil.

3. Payudara

Konsentrasi hormon yang menstimulasi perkembangan payudara selama wanita


hamil (estrogen, progesteron, human chorionic gonadotropin, prolaktin, kortisol,
dan insulin) menurun dengan cepat setelah bayi lahir.Waktu yang dibutuhkan oleh
hormon-hormon ini untuk kembali ke keadaan sebelum hamil sebagian ditentukan
oleh ibu apakah menyusui atau tidak.

a. Ibu tidak menyusui


Payudara biasanya teraba nodular ( pada wanita tidak hamil teraba granular).
Nodularitas bersifat bilateral dan difus. Pada wanita tidak menyusui sekresi dan
ekresi kolostrum menetap selama beberapa hari pertama setelah melahirkan. Pada
saat hari ke 3 atau ke 4 post partum bisa terjadi pembengkakan. Payudara
teregang , keras, nyeri bila ditekan dan hangat bila diraba ( kongesti pembuluh
darah menimbulkan rasa hangat).
b. Ibu menyusui
Ketika laktasi terbentuk teraba suatu massa ( benjolan ). Tetapi kantong susu
yang terisi berubah posisi dari hari ke hari. Sebelum laktasi dimulai payudara
teraba lunak dan suatu cairan kekuningan yaitu kolostrum, dikeluarkan dari
payudara. Setelah laktasi dimulai payudara teraba keras dan hangat bila disentuh.
Rasa nyeri akan menetap selama sekitar 48 jam. Susu putih kekuningan ( tampak
seperti susu krim) dapat dikeluarkan dari puting susu. Putting harus dikaji
erektilitasnya, sebagai kebalikan dari inverse dan untuk menemukan adanya fisura
atau keretakan.

4. Sistem Integumen

Kloasma yang muncul selama masa hamil biasanya menghilang saat


kehamilan berakhir. Hiperrpigmentasi di areola dan di linea nigra tidak menghilang
seluruhnya setelah bayi lahir. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, dan
panggul mungkin memudar tetapi tidak hilang seluruhnya. Kelainan pembuluh
darah seperti spider angioma ( nevi), eritema palmar, dan epulis biasanya
berkurang sebagai respon terhadap penurunan kadar estrogen setelah kehamilan
berakhir. Rambut halus yang lebat yang tumbuh pada waktu hamil biasanya akan
menghilang setelah wanita melahirkan.
D. Perubahan Psikologis Pada Ibu Post Partum

Selain perubahan fisiologis, hal lain yang perlu diperhatikan pada ibu post partum
yaitu kondisi psikologisnya. Adaptasi psikologis ibu merupakan fase yang bertahap yang
harus dilalui oleh ibu post partum. Kegagalan dalam adaptasi ini memberikan dampak
yang cukup signifikan pada ibu dan keluarga sehingga perawat perlu mendampingi dan
memberikan arahan yang benar pada ibu dan keluarga selama masa adaptasi.

Menurut Bobak (2005), adaptasi psikologis ibu post partum adalah sebagai berikut:

1. Fase Menerima ( Taking-in-Phase )

Fase dependen ialah suatu waktu yang penuh dengan kegembiraan dan kebanyakan
orang tua sangat suka mengomunikasikannya. Fase ini terjadi selama 1 sampai 2 hari
pertama melahirkan, ketergantungan ibu sangat menonjol. Pada fase ini; ibu sangat
mengaharapkan segala kebutuhannya dapat dipenuhi orang lain. Ibu memindahkan
energi psikologisnya kepada anaknya. Di mana ibu baru memerlukan perlindungan dan
perawatan. Fase menerima berlangsung selama 2 sampai 3 hari.

2. Fase Dependen-Mandiri ( Fase Taking Hold )

Dalem fase dependen-mandiri ibu, secara bergantian muncul kebutuhan untuk


mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk bisa
melakukan segala sesuatu secara mandiri. Fase taking hold berlangsung 10 hari.

3. Fase Interedependent ( Letting-go)

Fase ini perilaku interdependent muncul, ibu dan keluarganya bergerak maju sebagai
suatu sistem dengan para anggota keluarga saling berinteraksi. Hubungan antara
pasangan, walaupun sudah berubah dengan adanya seorang anak kembali menunjukkan
banyak karakteristik awal. Fase interdependent merupakan fase yang penuh dengan
stress bagi orang tua. Kesenangan dan kesedihan sering berbagi dalam fase ini.
Tuntunan utama ialah menciptakan suatu gaya hidup yang melibatkan anak, tetapi
dalam beberapa hal tidak melibatkan anak. Pasangan ini harus berbagi kesenangan
bersifat dewasa.

E. Konsep Preeklamsia Berat

1. Definisi Preeklamsia Berat

Preeklampisa adalah penyakit dengan tanda-tanda hipetensi, edema, dan


proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
triwulan. ketiga kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola
hidatidosa (Saifuddin, 2012). Pada ibu dengan preeklampsia mengalami penurunan
volume plasma yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit
maternal. Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan
menghancurkan sel-sel darah merah. Keadaan seperti ini menyebabkanterjadinya
hipofibrinogemia (kurangnya zat fibrinogen dalam darah). Jikafibrinogen dalam darah
berkurang cukup banyak, maka perdarahan pada saat proses persalinan akan sulit
dihentikan. Hal ini dapat menyebabkanterjadinya perdarahan (Yuliawati, 2015).

Preeklampisa adalah penyakit dengan tanda-tanda hipetensi,edema, dan proteinuria


yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan. ketiga
kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Saifuddin,
2012). Pada ibu dengan preeklampsia mengalami penurunan volume plasma yang
mengakibatkan hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Vasospasme
siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah
merah. Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya hipofibrinogemia (kurangnya zat
fibrinogen dalam darah). Jika fibrinogen dalam darah berkurang cukup banyak, maka
perdarahan pada saat proses persalinan akan sulit dihentikan. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan (Yuliawati, 2015).

2. Etiologi Preeklamsia Berat

Menurut ( Yogi,2014) Penyebab timbulnya preeklampsia berat pada ibu hamil belum
diketahui secara pasti, tetapi pada umunya disebabkan oleh (vasospasme arteriola).
Faktor – faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya preeklampsia
antara lain :

a. Umur Ibu

Usia adalah usia individu terhitung mulai saat dia dilahirkan sampai saat berulang
tahun, semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berfikir. Insiden tertinggi pada kasus preeklampsia pada usia remaja
atau awal usia 20 tahun, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun.

b. Usia Kehamilan

Preeklampsia biasanya muncul setelah uia kehamilan 20 minggu. Gejalanya adalah


kenaikan tekanan darah. Jika terjadi di bawah 20 minggu, masih dikategorikan
hipertensi kronik. Sebagian besar kasus preeklampsia terjadi pada minggu > 37
minggu dan semakin tua kehamilan maka semakin berisiko untuk terjadinya
preeklampsia. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno menunjukan ada
hubungan usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia berat. Penelitian ini sejalan
dengan Utama (2008) yang menyatakan ada hubungan antara usia kehamilan lebih
dari 28 minggu dengan kejadian preeklampsia dibandingkan usia kehamilan kurang
dari atau sama dengan 28 minggu. Hal ini sesuai dengan teoriiskemia implantasi
plasenta (Manuaba, 2010).

c. Paritas

Paritas adalah keadaan seorang ibu yang melahirkan janin lebih dari satu. Menurut
Manuaba paritas adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi menjadi
beberapa istilah :
1) Primigravida : adalah seorang wanita yang telah melahirkan janin untuk

pertama kalinya.

2) Multipara : adalah seorang wanita yang telah melahirkan janin lebih

dari satu kali.

3) Grande Multipara : adalah wanita yang telah melahirkan janin lebih dari lima

kali.

d. Riwayat Hipertensi / Preeklampsia

Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktorutama.


Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan
tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak
perinatal yang buruk. (Noroyono, 2016)

e. Genetik

Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3kali


lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak3,6 kali
lipat. (Noroyono, 2016)

f. Penyakit terdahulu ( Diabetes Mellitus )

Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes, kemungkinan terkena


preeklampsi meningkat 4 kali lipat. Sedangkan untuk kasus hipertensi, Davies etal
mengemukakan bahwa prevalensi preeklampsia pada ibu dengan hipertensikronik
lebih tinggi dari pada ibu yang tidak menderita hipertensi kronik.

g. Obesitas

Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko munculnya


preeklampsia pada setiap peningkatan indeks masa tubuh. Sebuah studi kohort
mengemukakan bahwa ibu dengan indeks masa tubuh >35 memiliki risiko untuk
mengalami preeklampsia sebanyak 2 kali lipat.

3. Manifestasi Klinis Preeklamsia

Preeklampsia memiliki beberapa tanda dan gejala berupa :

a. Preeklamsia

Gejala ringan yaitu tekanan darah sekitar 140/90 mmHg atau kenaikan tekanan
darah 30 mmHg untuk sistolik atau 15 mmHg untuk diastolic dengan interval
pengukuran selama 6 jam dengan jarak periksa 1 jam, dan terdapat pengeluaran
protein dalam urine 0,3 g/liter atau kualitatif +1 - +2, edema (bengkak kaki,
tangan, atau lainnya) dan kenaikan berat badan lebih dari 1 kg/ minggu.
b. Preeklamsia berat

Gejala berat meliputi tekanan darah dari 160/110 mmHg atau lebih, pengeluaran
protein dalam urine lebih dari 5g / 24 jam, terjadi penurunan produksi urine
kurang dari 400 cc/ 24 jam, terdapat edema paru dan sianosis (kebiruan) dan
sesak napas adanya gangguan serebral, gangguan visus, terdapat gejala subjektif
(sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri di daerah perut atas serta rasa nyeri di
epigastrium).

4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan preeklampsia tergantung dari usia gestasi dan tingkat keparahan


penyakit. Persalinan/terminasi adalah satu-satunya terapi definitif untuk preeklampsia.
Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah kondisi ibu yang aman dan persalinan
bayi yang sehat. Pada pasien dengan preeklampsia tanpa tanda-tanda preeklampsia berat,
induksi sering dilakukan setelah usia gestasi 37 minggu. Sebelumnya, pemberian
kortikosteroid dilakukan untuk mempercepat pematangan paru janin. Pada preeklampsia
berat, induksi dipertimbangkan setelah usia gestasi di atas 34 minggu. Pada kondisi seperti
ini, beratnya penyakit pada ibu lebih dipertimbangkan dari risiko prematuritas bayi. Pada
situasi gawat darurat, pengontrolan terhadap tekanan darah dan kejang harus menjadi
prioritas.
a. Perawatan Pre-Rumah Sakit
Perawatan Pre-Rumah Sakit untuk pasien hamil dengan dugaaan preeklampsia terdiri
dari:
1). Pemberian oksigen via face mask
2). Pemasangan akses intravena
3). Monitor jantung
4). Transportasi pasien dengan posisi miring kiri
5). Kewaspadaan terhadap kejang

Tatalaksana mayoritas pasien dengan preeklampsia tanpa tanda bahaya (bukan


preeklampsia berat) dapat dilakukan dengan cara berobat jalan, tetapi tetap dibutuhkan
observasi yang ketat terhadap terjadinya perburukan. Namun, pada beberapa kasus pasien
juga dapat dirawat di rumah sakit. Tirah baring total sudah tidak direkomendasikan lagi
pada pasien dengan preeklampsia. Selain karena efektivitasnya yang rendah, tirah baring
justru menjadi faktor risiko terjadinya tromboembolisme. Sebaiknya lebih dianjurkan
untuk melakukan tirah baring dengan posisi miring ke kiri ketika pasien sedang tidur guna
menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior sehingga meningkatkan aliran
darah ke jantung. Selain pemantauan tekanan darah dan protein urin secara berkala,
pemeriksaan nostress test (NST dengan menggunakan CTG cardiotocography)
direkomendasikan untuk dilakukan dua kali seminggu sampai persalinan.
b. Induksi Persalinan
Pada preeklampsia tanpa tanda-tanda severitas (bukan preeklampsia berat) dengan
kehamilan preterm (<37 minggu), jika tekanan darah mencapai normotensif selama
perawatan, persalinan ditunggu hingga aterm. Namun pada kehamilan aterm (>37
minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan
untuk dilakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Sementara pada
pasien dengan preeklampsia berat, persalinan/terminasi dipertimbangkan saat usia
gestasi sudah lebih dari 34 minggu. Namun, selain pertimbangan usia gestasi, terminasi
kehamilan juga dilakukan jika terdapat kondisi sebagai berikut:
1). Pada ibu :
a). Kejang (eklampsia)
b). Solusio plasenta
c). Ketuban pecah dini
d). Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated liver enzymes, Low platelet count)
e). Perburukan kondisi klinis memburuk
2). Pada janin :
a). Adanya tanda-tanda gawat janin
b). IUGR (Intrauterine growth retardation)
c). Oligohidramnion

Pada preeklampsia berat, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 24 jam.


Sedangkan pada eklampsia, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 6 jam sejak kejang
timbul.

c. Medikamentosa
Medikamentosa atau obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan
preeklampsia adalah magnesium sulfat dan obat antihipertensi.
1). Magnesium Sulfat
Obat antikonvulsan pada preeklampsia yang sampai saat ini masih menjadi
pilihan pertama baik di dunia maupun di Indonesia adalah magnesium sulfat
(MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar
asteilkolin pada rangsangan neuron dengan menghambat transmisi
neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps.
Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan berkompetisi dengan
kalsium sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif
antara ion kalsium dan magnesium).
Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:
a). Dosis Inisial
- 4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan
MgSO4 dalam 10ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15 menit
- Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara
melarutkan 15ml larutan MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam 6
jam
- Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO440% dibuat
dengan cara mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml aquades,
diberikan bolus (IV) selama 5 menit.

b). Dosis Rumatan


Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus Ringer
Laktat (RL)/Ringer Asetat (RA) yang diberikan sampai 24 jam
pascapersalinan.
Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus
terpenuhi, yaitu:
-Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika
terjadi tanda-tanda intoksikasi (refleks patella menghilang, distres
pernapasan), segera berikan 1g Ca Gluconas 10% yang dibuat
dengan cara mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas dalam 10 ml
aquades, diberikan secara IV dalam 3-5 menit
-Refleks pattela pasien normal (+)
-Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda
distres pernapasan.

Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-


tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan/24 jam setelah
kejang terakhir. Selain sebagai terapi untuk menghentikan kejang,
magnesium sulfat juga diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda
preeklampsia berat sebagai profilaksis kejang. Dosis yang digunakan
serupa dengan dosis terapi pada preeklampsia dengan kejang (eklampsia).

2). Alternatif Antikonvulsan


Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat
dipakai adalah diazepam. Diazepam IV 10 mg diberikan secara perlahan
kurang lebih selama 2 menit. Jika kejang berulang dapat diulang sesuai dosis
awal. Jika kejang sudah teratasi, dosis rumatan yang dipakai adalah 40 mg
diazepam dilarutkan dalam 500 ml RL dihabiskan dalam 24 jam. Pemberian
diazepam harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena risiko depresi
pernapasan (Dosis maksimal diazepam >30 mg/jam). Perlu menjadi catatan
bahwa pemberian diazepam sebagai antikonvulsan pada preeklampsia
dilakukan jika memang betul-betul dalam kondisi tidak tersedia magnesium
sulfat.

3). Antihipertensi
Obat antihipertensi mulai diberikan pada preeklampsia berat dengan
tekanan darah ≥160/100 mm Hg. Obat hipertensi yang dapat digunakan pada
kasus preeklampsia adalah hidralazin, labetalol, nifedipin, dan sodium
nitroprusside. Di Indonesia, karena tidak tersedia hidralazin dan labetalol IV,
obat antihipertensi yang menjadi lini pertama adalah nifedipin.
Dosis awal nifedipin adalah 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30
menit bila perlu (maksimal 120 mg dalam 24 jam). Nifedipin tidak boleh
diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.
Untuk obat antihipertensi lini kedua jika tidak tersedia nifedipin, dapat
juga digantikan dengan labetalol oral atau sodium nitroprusside IV. Dosis
inisial labetalol oral adalah 10 mg. Jika setelah 10 menit respon tidak
membaik, dapat diberikan lagi labetalol 20 mg.
Untuk sodium nitroprusside IV, dosis yang dipakai adalah 0.25
μg/kg/menit (infus) kemudian dapat ditingkatkan menjadi 0.25 μg/kg/5 menit.

d. Perawatan Pascapersalinan
Preeklampsia akan berakhir setelah persalinan. Namun, masih dibutuhkan
observasi yang ketat pascapersalinan karena tekanan darah yang masih tinggi dan
kemungkinan terjadinya kejang pascapersalinan (mayoritas terjadi 24 jam
pascapersalinan walaupun ada juga yang terjadi 48 jam pascapersalinan). Oleh karena
itu, profilaksis kejang dengan magnesium sulfat harus dilanjutkan sampai 24 jam
pascapersalinan.
Pemeriksaan hitung trombosit, fungsi hati, dan fungsi ginjal harus tetap
dilakukan secara berkala sampai pasien keluar dari rumah sakit. Jarang terjadi, seorang
pasien mengalami peningkatan level enzim hati, trombositopenia, dan insufisiensi renal
lebih dari 72 jam pascapersalinan. Jika pasien akan dipulangkan dengan obat
antihipertensi, penilaian ulang terhadap tekanan darah harus dilakukan, setidaknya 1
minggu setelah keluar dari rumah sakit. Kecuali pada pasien dengan hipertensi kronik,
tekanan darah akan kembali normal dalam waktu maksimal 3 bulan pascapersalinan.

5. Patogenesis

Pre eklampsia terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi peningkatan
hematokrit. Perubahan ini menyebabkan penurunan perfusi ke organ , termasuk ke utero
plasental fatal unit. Vasospasme merupakan dasar dari timbulnya proses pre eklampsia.
Konstriksi vaskuler menyebabkan resistensi aliran darah dan timbulnya hipertensi
arterial.Vasospasme dapat diakibatkan karena adanya peningkatan sensitifitas dari
sirculating pressors. Pre eklampsia yang berat dapat mengakibatkan kerusakan organ
tubuh yang lain. Gangguan perfusi plasenta dapat sebagai pemicu timbulnya gangguan
pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation
6. Pathway

Faktor imunologik Tekanan darah Faktor Risiko:

1. Primigravida dan multigravida


Perfusi ke jaringan 2. Riwayat keluarga dengan PE atau
eklamsia
3. Preeklamsia pada kehamilan
sebelumnya, abortus.
4. usia ibu < 20 atau > 35
5. Riwayat penyakit komplikasi ( DM,
HT, ginjal)
6. Kehamilan kembar
7. Obesitas
8. Internal antar kehamilan yang jauh

Tekanan darah Kebutuhan Kerusakan Kerusakan hati Edema


nutrisi janin glomerulus
terpenuhi
CO2 Nyeri epigastrium
Adanya lesi pada Kemampuan Edema Edema
arteri utero plasenta filtrasi menurun paru serebral
MK: Gangguan
MK: nyeri akut
perfusi jaringan
MK: Risiko Dispnea Spasme
Cedera Janin Protinuria Retensi urin arteriolar retina

MK: gangguan MK:


Protein plasma dalam darah Ketidakefektifan MK: gangguan
eliminasi urin
pola napas sensori penglihatan

MK: Kekurangan Volume


Cairan
7. Konsep Asuhan Keperawatan

a Data Biografi

Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida ,< 20 tahun atau > 35 tahun, Jenis kelamin,

b.Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama : biasanya klien dengan preeklamsia mengeluh demam, sakit kepala,
2) Riwayat kesehatan sekarang : terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri
epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur
3) Riwayat kesehatan sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi
kronik, DM
4) Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan
6) Psiko sosial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh
karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya

c.Riwayat Kehamilan

Riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan


dengan eklamsia sebelumnya.

d.Riwayat KB

Perlu ditanyakan pada ibu apakah pernah / tidak megikuti KB jika ibu pernah ikut KB
maka yang ditanyakan adalah jenis kontrasepsi, efek samping. Alasan pemberhentian
kontrasepsi (bila tidak memakai lagi) serta lamanya menggunakan kontrasepsi.

e. Pola aktivitas sehari-hari

1).Aktivitas

Gejala : Biasanya pada pre eklamsi terjadi kelemahan, penambahan berat badan atau
penurunan BB, reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-.

Tanda : Pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka

2)Sirkulasi

Gejala : Biasanya terjadi penurunan oksigen.

3) Abdomen

Gejala :

a) Inspeksi :Biasanya Perut membuncit sesuai usia kehamilan aterm, apakah adanya
sikatrik bekas operasi atau tidak ( - )
b) Palpasi :

Leopold I : Biasanya teraba fundus uteri 3 jari di bawah proc. Xyphoideus teraba
massa besar, lunak, noduler

Leopold II : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri, bagian – bagian kecil janin di
sebelah kanan.

Leopold III : Biasanya teraba masa keras, terfiksir

Leopold IV : Biasanya pada bagian terbawah janin telah masuk pintu atas panggul

c) Auskultasi :Biasanya terdengar BJA 142 x/1’ regular

4) Eliminasi

Gejala :Biasanya proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup, oliguria

5) Makanan / cairan

Gejala : Biasanya terjadi peningkatan berat badan dan penurunan , muntah-muntah

Tanda :Biasanya nyeri epigastrium

8. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik


b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan dalam memasukkan/mencerna makanan karena faktor biologi,
c. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan Gangguan mekanisme regulasi.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
e. Ketidakefektifan Pemeliharaan Kesehatan berhubungan dengan Hambatan Kognitif.

9. Intervensi Keperawatan

a. Lakukan manajemen nyeri


b. Anjurkan pasien makan dengan nutrisi yang cukup
c. Berikan edukasi untuk mengurangi cemas
d. Lakukan tindakan kolaborasi
DAFTAR PUSTAKA

Indriyani, D., Asmuji, & Wahyuni, S. (2016). Edukasi Postnatal. Yogyakarta: Trans Medika.

Jones, D. L. (2015). Setiap Wanita. Jakarta: Delapratasa Publishing. Karkata MK (2015). Perdarahan
postpartum (PPP). Dalam: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Winkjosastro GH. Ilmu Kebidanan

Kemenkes RI (2017) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Kemenkes RI

POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia). Acuan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar. 5th ed. Jakarta: 2008.

Ross, MG. Eclampsia. July 2016. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/253960

Saifuddin AB, et.al. Editor. Buku Ajar Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. 4th ed.
Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.

Sarwono Prawirohardjo. Ed 4, Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp: 522-529.

WHO. Recommendations for Prevention and treatment of pre-eclampsia and eclampsia.


2011; Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44703/1/9789241548335_eng.pdf

Anda mungkin juga menyukai