Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN GUILLAINE BARRE SYNDROM

RUANG MELATI RSUD dr. SOEBANDI JEMBER


PERIODE 15 – 20 Maret 2021

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di Stase


Keperawatan Medikal Bedah

OLEH:
Cahya Risky Abdillah S.Kep
NIM. 2001031029

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
GUILLAINE BARRE SYNDROM
A. Pengertian
Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh
anda, sistem kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah penyakit
yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti
sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur
bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2
orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan
gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya
melumpuhkan seluruh tubuh.
Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre
Syndrom merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi, 2002).
Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses
yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana
sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh
adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS
merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan
otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan
atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS
yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat,
kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam
jiwa (Judarwanto, 2009).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012),
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi
karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang
dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi
menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis,
Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
B. Etiologi

Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini
masih belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi
pada banyak kasus, penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi
viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering
terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat,
sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang
membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan
penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang
terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh
infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah
Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus.
Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni.
Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat
disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai
beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
 Infeksi
 Vaksinasi
 Pembedahan
 Diare
 Peradangan saluran nafas atas
 Kelelahan
 Demam
 Kehamilan/ dalam masa nifas
C. Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada
SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun
tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen
normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi
infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi
sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip
dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi
akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke
bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan
hambatan penghantaran impuls saraf.
D. Patofisiologi
Akson bemielin mengonduksi impuls saraf lebih cepat disbanding akson tidak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput
(nodus renver) tempat kontak langsung permeable pada nodus tersebut sehingga
konduksi menjadi baik.
Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak
pada nodus renvier sehingga impuls sarat sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
Kehilangan selaput myelin pada GBS pada konduksi saltatori tidak mungkin terjadi
dan transmisi impuls saraf.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Sindroma Guillain Bare (SGB) yaitu :
1. Gejala diawali dengan parestasia dan kelemahan otot kaki
2. Berkembang ke ekstremtas atas, batang tubuh dan otot wajah
3. Terserangnya saraf kranial dengan adanya paralisi pada ocular, wajah otot
orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
4. Disfungsi autonomy (gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan
darah
5. Terjadinya nyeri berat pada punggung dan daerah kaki
6. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh
7. Terjadi gejala neurologic (biasanya terjadi seperti flu ringan)
8. Terjadinya gejala motoric ( gangguan otot-otot)
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Cairan serebrospinal (CSS)
2. Elektromiografi (EMG)
3. Pemeriksaan darah
4. Elektrokardiografi (EKG)
5. Pengukuran Vital Paru
DAFTAR PUSTAKA

1. Ryszard MP, Cassio L, Robert MG, Guillain-Barré Syndrome. JAMA 2011;305(3):319


2. Kenichi K, Toshio A, and Robert KY. Antiganglioside antibodies and their
pathophysiological effects on Guillain–Barr´e syndrome and related disorders—A
review. Glycobiology 2009;19(7):676–692
3. Muttaqin A. Asuhan keperawatan klien dengan Gangguan sistem persyarafan. Jakarta:
Salemba Medika, 2008
4. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007
5. Lehman HC, Parastoo J, Eva KK, et all. Autoantibody-Mediated Dysfunction of
Sympathetic Neurons in Guillain-Barre Syndrome. ARCH NEUROL 2010;6(2):203 6.
Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
Volume 3. Jakarta: EGC, 2001
7. Hughes R, Anthony VS, Jean CR, et all. Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:
asystematicreview. Brain 2007;130:2245-2257
8. Howard L, Werner, Levitt LP. Buku Saku Neurologi Edisi Kelima. Jakarta: EGC, 2001
9. Asnawi CM. Neuropati Kapita Selekta Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996
10. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar Edisi VIII. Jakarta: Dian Rakyat, 2000

Anda mungkin juga menyukai