Anda di halaman 1dari 4

Salahkah Jalan yang Kupilih

“Bismillahirrahmanirrahim, Amma Ya tasaa aluun..”terdengar suara lantunan ayat


suci Al-qur’an disetiap sudut Masjid pesantren. Begitulah kegiatan kami setiap hari selesai
shalat maghrib berjamaah, diam di masjid untuk tilawah, murottal, muroja’ah dan menghapal
Al-qur’an. Saling simak bacaan.

Pesantren Al-Ikhlas cukup terkenal di Kota kami, dan peraturannya juga ketat. Kami
diperhatikan dari segala sisi, cara berpakaian, penggunaan bahasa, terutama masalah disiplin
waktu. Sudah hampir tiga tahun aku menempuh Madrasah Tsanawiyah. Ujian Madrasah dan
kelulusan sudah tinggal sebulan. Aku bimbang ingin melanjutkan ke Madrasah Aliyah atau
STM Negeri 5 Bandung. Orang tuaku sangat ingin melihat anaknya menjadi pejuang agama
seperti ustadz atau kyai. Dan itu terbalik dengan cita-citaku yang ingin menjadi ahli mesin.

“Man, setelah lulus Mts Ini kau rencananya lanjut kemana? Ku dengar dari Bagas kau
ingin lanjut SMA, betulkah?”, Tiba-tiba Agam teman sekamarku selama 3 tahun itu
menanyakan perihal yang membuat aku bingung juga, Oiya Agam berasal dari Medan
makanya bahasanya seperti itu hehe.

“Maunya sih begitu Gam, tapi Bapak sepertinya tidak akan setuju” (sambil membaca
buku Muhammad Al-Fatih), “Aku juga sepertinya sama dengan Bapak Kau Man, kau sudah
ku anggap saudara, aku tak bisa lihat kau masuk STM yang pergaulannya bebas”, itulah kata-
kata yang sering diucap Agam kalau dengar aku mau masuk STM. “Gak boleh gitu Gam, kan
gak semua anak STM bandel” (kataku penuh pembelaan). Aku melihat Agam sepertinya
kecewa, sambil menghela nafas Dia lalu keluar dari kamar yang isinya 30 orang itu.
Sepertinya Dia tidak menerima aku pergi dari pesantren ini, ah sudahlah keputusanku aku
yang menanggungnya bukan orang lain.

Sebulan berlalu, ujian madrasah telah aku ikuti dengan baik dan dengan hasil yang
memuaskan. Tekadku untuk lanjut ke STM 5 Bandung masih kuat, Bapak sama ambuk juga
sudah setuju. Itupun penuh perjuangan, sampai tidak pernah ngabarin selama 2 minggu.
Untuk pertama kalinya aku seperti itu sama orang tua. Keinginanku untuk masuk STM
membuatku lupa Birrul Walidain. Ya Allah sungguh berdosanya aku. Melihat tingkahku
seperti itu Bapak terpaksa menerima keputusan anak semata wayangnya itu.

Para Ustadz, Agam, Bagas juga teman-teman yang lain merasa kecewa dan merasa
kehilangan. “Sebenarnya Ustadz ingin kamu jadi kyai penerus untuk pesantren ini, impian
ustadz kamu bisa melanjutkan kuliah ke Al-Azhar, Mesir tapi yaaa bagaimana, sekarang
ustadz hanya bisa mendo’akan kamu selalu dalam jalan dan lindungan Allah’, mendengar
kata-kata Ustadz Karim membuatku sedikit bimbang, aku takut telah membuat ustadz yang
paling dekat denganku itu kecewa.

Hari pertama masuk STM 5 Bandung rasanya bahagia, kebahagiaan yang berbeda
ketika masih jadi santri. Sekarang terasa lebih bebas dan tidak terlalu dikekang.
“Assalamu’alaikum ustadz, aku Aceng” salah satu siswa menyodorkan tangannya
menandakan ingin berkenalan, dia memanggilku ustadz karena melihatku memakai peci
hitamku. Aceng seorang anak yang tinggi semampai dengan kulit hitam manis yang
sepertinya punya tingkat percaya diri yang tinggi. “Wa’alaikumussalam, Aku Rahman”, “Pak
ustadz dari mana?”, dia ternyata orang yang hangat“ Aku dari Cianjur”, percakapan kami
akhirnya panjang dari yang menceritakan kalau dia ternyata dulunya anak pesantren juga. Dia
asli Bandung, dan lulusan salah satu pesantren terbaik disini.

Perkenalanku dengan Aceng membuat kita menjadi teman akrab. Aceng yang pandai
bergaul memperkenalkanku dengan teman-temannya yang kemudian menjadi temanku juga.
Kami akhirnya membuat geng yang anggotanya Aku, Aceng, Satya, Cahya, dan Bagja. Yang
paling tinggi kelasnya Si Bagja, sekarang dia dibangku kelas 3.

Bersama Aceng aku selalu merasa menjadi anak santri lagi, karena bisa bercerita
banyak hal tentang agama. Aku sempat menanyakan kenapa Dia sampai melanjutkan sekolah
ke STM, dan ternyata jawabannya sama denganku, ingin menjadi ahli per-mesinan. “Pilihan
kita memang begini man, tapi kan bukan berarti kita berhenti untuk memperdalam ilmu
agama bukan?”, kata-kata Aceng membuatku semangat kembali membuka buku-buku sejarah
Islam yang hampir sebulan aku hiraukan.

Di dalam kelas kami bercampur antara laki-laki dan perempuan. Aku sebagai anak
santri yang jarang melihat santriwati atau perempuan, sekarang setiap hari berinteraksi bebas
dengan perempuan. Rasa ketertarikan dengan lawan jenis tidak bisa aku hindari, Seolah-olah
melupakan pesan-pesan ustadzku dulu untuk menjaga pandangan.

Gadis itu namanya Arum. Gadis yang membuatku tertarik dengan parasnya yang ayu
dan tingkahnya yang unik. Hingga akhirnya kami terjebak dalam hubungan yang namanya
pacaran. Aku teringat dengan salah satu hadist Rasulullah yang mengatakan bahwa:
“Telah ditentukan atas anak Adam (manusia) bagian zinanya yang tidak dapat
dihindarinya : Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah
mendengar, zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah dengan meraba atau
memegang (wanita yang bukan mahram, zina kaki adalah melangkah, dan zina hati
adalah menginginkan dan berangan-angan, lalu semua itu
dibenarkan (direalisasikan) atau didustakan (tidak direalisasikan) oleh
kemaluannya.”

Tetapi, aku tidak ingin Arum menjadi milik orang lain. Sepulang sekolah Arum
mengajak aku pergi nonton film Avengers-end game, film Hollywood yang sedang
fenomenal. “Man, nanti mau ikut nonton film di bioskop gak nanti ada Tari, Cahya, Satya
sama Bang Bagji ikut juga” “ Oiya dah, jam berapa?”, “ jam 7 malam Man, oiya nanti jemput
aku yaa, soalnya Tari dijemput Cahya, jadi gak bawa motor”, “Siap nanti aku jemput, Aceng
gak ikut Rum?”, “Ndak kayaknya,katanya sibuk”.

Akhir-akhir ini entah kenapa aku merasa Aceng cuek. Dia makin jarang bergaul
dengan geng kami, entah dia kesal dengan siapa aku tidak paham. Hampir setahun berlalu,
pergaulanku berubah drastis, aku mulai ikut tawuran antar pelajar bak orang Jihad membela
kebenaran. Namun tetap saja apa yang kami lakukan terbilang salah, apapun alasannya
tawuran bukan suatu hal yang patut dilakukan.

Aku merasa kehilangan sahabatku Aceng, yang semakin hari semakin menjauh. Aku
tidak tahan lagi. Aku memberanikan diri untuk meminta penjelasan sepulang sekolah ketika
para warga sekolah pada pulang semua. “Ceng”, aku memanggilnya dan untungnya dia mau
menghentikan langkanya namun tidak menoleh ataupun menjawab.

“Naon sih Ceng, kalau ada masalah bilang atuh jangan diem bae atuh Ceng”,
“Percuma atuh” akhirnya Aceng noleh dan mengeluarkan suara, “Man, aku tau kamu suka
sama Arum, tapi gak harus pacaran. Kamu juga ikut tawuran sama seperti yang lain, kita
masuk sekolah ini bukan untuk semua itu Man” Aku diam mendengarkan Aceng yang seakan
membuatku tak bisa mengeluarkan kata-kata. “Kemana ilmu yang kita dapatkan di Pesantren
dulu? Kita sekolah disini untuk mencari jati diri, untuk menggapai cita-cita kita Man. Kita
boleh sekolah dimana saja, kita boleh menjadi sarjana apapun asalkan syari’at agama tidak
kita tinggalkan” aku tertegun seketika, kata-kata Aceng membuatku muhasabah diri,
mengingat-ingat diriku yang sudah jarang membaca Al-qur’an, boro-boro muroja’ah hapalan,
shalat saja sangat lalai, aku sudah terlalu terlena dengan pergaulan remajaku.
Kata-kata Aceng membuatku ingat dengan pesan terakhir ustadz Karim yang
mendo’akanku untuk selalu dalam bimbingan Allah, aku sadar aku salah dan aku harus
kembali ke jalan yang benar itu.

Nama: Ari Astuti

Alamat: Sakra Barat, Lombok Timur

No. HP/Wa: 088236268321

Instagram: ariastu_

Anda mungkin juga menyukai