Anda di halaman 1dari 21

ALIRAN ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM DAN TOKOH

ASWAJA
Untuk memenuhi Tugas Mata kuliah
Dosen Pengampu : Bpk. Mukhlisin

DI SUSUN OLEH :

NAMA : RIFCA ANNISA AD


NIM : 20200213037
MATKUL : ASWAJA

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA PURWOKERTO


2021
DAFTAR ISI

JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
D. MANFAAT
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menjelang wafatnya, Nabi Muhammad SAW telah memberi
petunjuk kepada para pengikutnya tentang cara untuk melestarikan
kelompok sosial yang telah dibangun ini. Petunjuknya berisi ketentuan
agar berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah yang telah ditinggalkan.
Kenyataan yang harus dipertimbangkan adalah wujud sumber ajaran yang
sekarang bukan lagi dalam bentuk norma, melainkan sudah dalam bentuk
praktek kehidupan sosial yaitu masyarakat Islam yang Madinah. Setelah
Rasulullah SAW sendiri wafat, persoalan yang pokok justru menjadi
permasalahan yang pelestarian dari bentuk masyarakat Madinah dan
kualitas pencapaian tujuan risalah yang telah dicapai. Awal mulanya
konflik adalah terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah pertama
dilanjutkan terbunuhnya Umar, Usman, terjadinya perang jamal, perang
Shiffin dan terbunuhnya Ali sampai munculnya aliran Teologi. Konflik
yang muncul lahir dari sejumlah pemikiran mengenai kondisi
kepemimpinan sejumlah Khalifah tersebut.
Al-Qur’an merupakan kitab suci agama Islam mengajak untuk
berfikir, melakukan penalaran dan memperhatikan dengan indra, dicerna
dengan akal pikiran agar orangorang melakukannya, khususnya dalam
akidah-akidah keagamaan. Karena itu, orangorang Islam harus
menggunakan akalnya untuk memahami Al-Qur’an, Sunnah dan Hadist
Nabi yang datang untuk menetapkan dan menjelaskan kitab suci ini.
Mereka bertanya kepada Rasulallah tentang apa yang tidak mereka
pahami, tidak ketahui, kemudian beliau menjelaskannya. Setelah
Rasulullah Saw wafat, maka mulai muncul berbagai permasalahan yang
berhubungan dengan pemerintahan. Masalah kekhalifahan merupakan
pembahasan utama setelah wafatnya Rasulullah Saw, hal ini terjadi sampai
akhir pemerintahan khulafaurrasyidin. Dalam pro kontra kekhalifahan
tersebut, kemudian terjadi pembunuhan terhadap Usman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib. Hal ini menjadi salah satu sebab yang menimbulkan
perbedaan pendapat dan perdebatan, sehingga akhirnya menjadi jelas
kebenaran tentang masalah yang mereka perselisihkan itu.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana konflik terjadi dalam pemerintahan khalafaurrasyidin?
2. Apa penyebab munculnya aliran teologi dalam Islam ?
3. Siapa tokoh- tokoh aswaja dalam ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa saja konflik yang terjadi dalam pemerintahan
khalafaurrasyidin
2. Untuk mengetahui bagaimana alur munculnya teologi islam
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh ahlusunnah wal Jama`ah

D. Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini yaitu dapat digunakan sebagai menambah
wawasan dari penulis maupun pembaca, selain itu juga untuk memenuhi
tugas tertulis dari Dosen pengampu kuliah.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Konflik - konflik Pada Masa Kehalifahan


a. Konflik Pada Masa Abu Bakar,Umar dan Usman
Rasulullah SAW wafat pada hari Senin Tanggal 8 Juni 623 M/ 12
Rabiul Awal 11 Hijriah dan Usia 63 tahun. Jenazah Rasulullah
disemayamkan di rumah istrinya Aisyah selama semalam.
Keterlambatan pemakaman jenazah Nabi disebabkan kaum muslimin
waktu itu belum mendapatkan pengganti Rasulullah SAW. Kenyataan
ini menimbulkan perasaan tidak senang di hati Ahlul Bait terutama
Fatimah. Dikarenakan Rasulullah SAW tidak pernah menunjukkan
penggantinya dalam memimpin umat, maka terjadi kemelut di awal
masa Khulafa Ar-Rasyidin. Dalam situasi seperti itu, keesokan
harinya, tanpa direncanakan sebelumnya diadakan pertemuan di
Saqifah, di balai pertemuan Sa’idah. dalam pertemuan itu, kaum
Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah, dengan alas an merekalah
yang menolong Nabi disaat-saat genting, kaum Muhajirin menolak
pencalonan Sa’ad dengan alasan pemimpin harus dipilih dari kaum
Muhajirin karena merekalah yang pertama kali merasa pahit getir
perjuangan Islam. Dalam perdebatan itu, maka Umar menunjuk Abu
Bakar menjadi pemimpin, karena Abu Bakar memimpin sholat semasa
Nabi hidup. Kemudian kaum Muslimin menyetujui itu, lalu membai’at
Abu Bakar. Abu Bakar memimpin dengan konsisten seperti yang
dipraktekkan Rasulullah. Setelah Abu Bakar meninggal, maka Umar
menjadi pemimpin kedua den gan ditunjuk langsung oleh Abu Bakar.
Kepemimpinan Umar cukup stabil dan kemajuan pemerintahan sangat
pesat. Setelah meninggal, Usman terpilih sebagai khalifah ketiga yang
terpilih melalui tim formatur yang dibentuk Umar. Setelah Usman
terbunuh oleh kelompok pemberontak, kota Madinah dikuasai oleh
suasana yang tidak menentu, karena pada saat itu umat Islam
kehilangan seorang pemimpinnya. Kaum pemberontak memaksa
penduduk Madinah untuk segera mencari orang yang bersedia
diangkat menjadi Khalifah. Ada lima calon pada saat itu, namun dua
diantaranya telah menyatakan ketidaksediaannya, yaitu Sa’ad bin Abi
Waqqas dan Ibnu Umar, sehingga calon yang diharapkan tinggal
Thalhah dan Zubair sebagai calon kuat. Namun pada akhirnya Ali
terpilih menjadi Khalifah, yang kemudian dibaiat oleh Al–Asytar al-
Nakha’I (orang pertama) yang kemudian diikuti oleh khalayak ramai,
termasuk Thalhah dan Zubair. Sedangkan Mu’awiyah pada waktu itu
menjadi Gubernur Syria, tidak mau mengakui Ali sebagai Khalifah.
b. Konflik Pada Masa Ali
Penobatan Ali menjadi Khalifah menurut Philip K. Hitti dilaksanakan
pada tanggal 24 Juni 656 M7 atau tanggal 25 Zulhijjah 35 H yaitu di
Masjid Madinah. Kota Madinah pada awal pemerintahan Ali masih
banyak dikuasai oleh kaum pemberontak, dan kondisi pemerintahan
Ali sendiri masih rentan. Akan tetapi pada saat itu pula para keluarga
umayyah menuntut segera diusut masalah pembunuhan Usman. Hal ini
menyebabkan Ali menghadapi posisi yang sulit. Melihat kondisi
pemerintahan yang masih labil, akhirnya Ali memilih menunda
pengusutan kasus tersebut dan mencurahkan perhatian pada
pemerintahan yang baru. Kebijakan ini diambil karena Ali sadar
bahwa mengusut pembunuhan Usman merupakan pekerjaan yang tidak
mudah, sebab pembunuhan tersebut melibatkan banyak pihak. Banyak
orang dari Mesir, Arab, dan Iraq yang terlibat secara langsung dengan
peristiwa itu. Hal ini dapat menyebabkan keruntuhan kekhalifahan. Ali
beranggapan bahwa tugas yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah
memulihkan kembali situasi Madinah dan menertibkan kondisi
pemerintahan. Untuk menentramkan para pemberontak yang
menginginkan sikap nepotisme pada masa Usman segera dihapuskan,
maka Ali segera mengambil kebijakan untuk mengganti Gubernur
yang diangkat oleh Usman. Diantaranya, Abdullah bin Sa’ad
(Gubernur Mesir), Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Syam), Al-
Wasim bin Tsaqafi (Gubernur Thaif), Ya’la bin Muniyah (Gubernur
San’a), Abdullah bin Amin (Gubernur Basrah), dan Abu Musa Al-
Asy’ari (Gubernur Kufah). Pada saat itu, kota Madinah masih dikuasai
oleh pemberontak terhadap sekitar dua ribu orang, tiba-tiba Thalhah
dan Zubair didampingi beberapa sahabat yang lain mendatangi Ali
untuk menuntut pengusutan pembunuhan Usman, namun Ali belum
bersedia dengan pertimbangan kota Madinah masih dalam suasana
tidak stabil. Karena ketidakpuasan kebijakan Ali maka Thalhah dan
Zubair memohon izin untuk pergi ke Mekkah, di sana mereka
berjumpa dengan Ummul Mukminin Aisyah dan ketiganya bersepakat
mencari bantuan pasukan dari Basrah dan Kufah, di kota itu banyak
sekali pendukung mereka untuk menuntut balas kematian Usman.
Maka berangkatlah mereka dari Mekkah menuju Basrah. Setelah itu
mereka berhasil mengumpulkan banyak pasukan dari Irak. Pada sisi
lain, Ali mempersiapkan segalanya untuk berangkat ke Syam agar
dapat memaksa Mu’awiyah untuk tunduk kepada pemerintah. Tetapi
ketika ia mendengar pengelompokan yang terjadi di kota Basrah,
terpaksa ia menangani masalah ini dahulu, karena banyak diantara para
sahabat dan pengikutnya tidak bersedia membantunya.
Ketika pasukan ‘Aisyah berhadapan dengan pasukan Ali di luar
kota Basrah, beberapa orang yang merasa masygul sekali akan apa
yang akan terjadi, berusaha untuk menentramkan keadaan dan
mendamaikan kedua kelompok kaum muslimin ini agar mereka tidak
saling berperang, kemudian terjadilah beberapa perundingan
perdamaian yang hampir saja berhasil dicapai, namun karena banyak
diantara pembunuh Usman berada dalam pasukan Ali, dimana mereka
beranggapan bahwa perdamaian antara dua kelompok ini tidak akan
menguntungkan bagi mereka. Dan dilain pihak pasukan Aisyah yang
mencakup orang-orang yang memang ingin melemahkan kedua
kelompok ini, mengobarkan semangat peperangan diantara keduanya,
dan tercetuslah “Perang Jamal” atau “Perang Onta” yang sebenarnya
ingin dicegah oleh orang-orang yang baikbaik dari kedua kelompok
tersebut. Setelah perang Onta selesai, pasukan Ali langsung menuju
Syam untuk menundukkan Mu’awiyah yang membangkang, dan kedua
pasukan tersebut bertemu di Siffin. Perangpun tidak dapat dihindarkan
lagi setelah upaya damai tidak berhasil. Peperangan ini damai dengan
“Tahkim” setelah Amr bin ‘Ash mengangkat mushaf Al-qur’an di atas
tombak, karena pasukan Ali mampu mendesak pasukan Mu’awiyah.
Betapapun Ali telah menasehati orang-orang Irak agar mereka tidak
tertipu oleh muslihat ini, tapi orang-orang itu telah bertengkar dan
terpecah diantara mereka sendiri sehingga pada akhirnya ali terpaksa
menghentikan perang dan menerima “Tahkim”. Mu’awiyah
mengangkat Amr bin Ash sebagai hakim, sedangkan Ali menunjuk
Abu Musa Al-Asy’ari sebagai hakim dari pihaknya. Ternyata
“Tahkim” tersebut hanya sebagai strategi perang belaka dari kelicikan
Amr bin Ash sehingga merugikan pihak Ali. Sebenarnya timbulnya
peperangan ini ada beberapa sebab, pertama peristiwa pembunuhan
Usman menyebabkan terjadi persaingan elit politik antara Bani
Hasyim dan Bani Umayyah, yang kedua, adanya perbedaan tentang
kedudukan khusus Syiria. Dulunya Umar dan Usman yakin akan
perlunya pembebasan Syiria dari gelombang imigrasi yang merajalela
di Irak dalam rangka menjamin keamanan untuk menghadapi ancaman
Byzantium. Namun Ali melihat dengan cara yang berbeda. Ia tidak
melihat alasan apapun atas kedudukan khusus Syiria, hanya karena
melaksanakan tugas mempertahankan batas wilayah mereka sendiri.
Sebenarnya Syiria secara bersama memecahkan seluruh masalah yang
sedang dihadapi umat walaupun itu menghilangkan hak istimewa
Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam. Ketiga, sudah lama Mu’awiyah
ingin memisahkan diri dari kekuasaan Madinah. Ambisi tersebut
mendapatkan momentum yang sangat tepat saat Ali menaiki tahta
khalifah yang penuh dengan permasalahan pelik, dengan kedok
menuntut pembunuhan Usman.13 Kelompok Ali yang tidak setuju
dengan tahkim memisahkan diri dan pada selanjutnya dikenal dengan
nama kaum Khawarij. Mereka menganggap orang menerima tahkim
adalah kafir sehingga wajib dibunuh, karena mereka tidak memakai
hukum Allah. Kaum Khawarij melakukan oposisi terhadap
pemerintahan khalifah Ali, sehingga terjadi pertempuran antara kedua
pasukan ini. Perang tersebut terjadi di Nahrawan tahun 658 M dan
berakhirnya dengan kemenangan Ali, dalam peperangan itu, pemimpin
Khawarij, Abdullah bin Wahab Al-Rasibi terbunuh. Kekalahan ini
justru menambah dendam bagi golongan Khawarij sehingga mereka
berniat membunuh tiga orang yang dianggap menjadi penyebab
perpecahan umat Islam yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu
Sufyan, dan Amr bin Ash. Ditetapkan tiga orang yang memegang
tugas membunuh yakni, Abdurrahman bin Muljam bertugas
membunuh Ali, Barak bin Abdullah membunuh Mu’awiyah, dan Amr
bin Bakar diberi kepercayaan untuk menghabisi Amr bin Ash.
Pembunuh yang berhasil hanyalah Ibnu Maljam yang bertugas
membunuh Ali bin Abi Thalib, ketika waktu itu Ali sedang
melaksanakan sholat subuh di Masjid Kufah. Ali wafat tepatnya
tanggal 14 Ramadhan 40 H/ 661 M atau sekitar 4 tahun menjabat
sebagai khalifah. Dengan demikian berakhir masa pemerintahan Ali.

2. Kemunculan Aliran Teologi


Teologi adalah ilmu yang membahas tentang tauhid sedangkan
tauhid sama dengan aqidah itu sendiri. Ilmu ini tumbuh di dalam Islam,
sebagaimana agama-agama yang lain sebelumnya, karena beberapa faktor
yang menyebabkan pertumbuhannya, kemudian berkembang dari waktu
ke waktu dalam sejarah Islam. Ilmu ini tidak tumbuh langsung menjadi
sempurna, melainkan keadaannya seperti keadaan ilmu-ilmu Islam yang
lain, yang pada mulanya terbatas ruang lingkup pembahasannya,
kemudian meluas dan berkembang sedikit demi sedikit. Dalam hal ini, ia
mengikuti hukum pertumbuhan dan perkembangan dan terpengaruh oleh
beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya
sehingga menjadi sempurna seperti apa yang diketahui dewasa ini. Di
antara faktor-faktor itu ada yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan
Hadisthadist Rasulullah SAW, ada yang berkaitan dengan orang-orang
yang masuk Islam yang berasal dari bangsa-bangsa yang berbeda
intelektualitas, kebudayaan serta ada pula yang berkaitan dengan filsafat
Yunani dan lain-lainnya yang ditransfer ke dalam Islam.Al-Qur’an yang
merupakan kitab suci agama Islam mengajak untuk berfikir, melakukan
penalaran dan memperhatikan dengan indra, dicerna dengan akal pikiran
agar orang-orang melakukannya, khususnya dalam akidah-akidah
keagamaan. Karena itu, orang-orang Islam harus menggunakan akalnya
untuk memahami Al-Qur’an, Sunnah dan Hadist NAbi yang datang untuk
menetapkan dan menjelaskan kitab suci ini. Mereka bertanya kepada
Rasulallah tentang apa yang tidak mereka pahami, tidak ketahui, kemudian
beliau menjelaskannya. Ketika Beliau meninggal, muncullah masalah
jabatan khalifah dan siapa yang berhak memangkunya sesudah beliau,
dalam pro kontra kekhalifahan tersebut, kemudian terjadi pembunuhan
terhadap Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Hal ini menjadi salah
satu sebab yang menimbulkan perbedaan pendapat dan perdebatan,
sehingga akhirnya menjadi jelas kebenaran tentang masalah yang mereka
perselisihkan itu. Pertama-tama mereka berpendapat tentang pemimpin,
pemerintah dan syaratsyaratnya. Siapakah yang berhak menjadi pemimpin
kaum Muslimin seluruhnya?. Syi’ah berpendapat bahwa hak itu hanya
khusus untuk Sayidina Ali dan anak keturunannya. Khawarij sama dengan
Mu’tazilah berpendapat bahwa pemerintah merupakan hak bagi orang
Islam yang paling pantas untuk mendudukinya, walaupun ia seorang
hamba sahaya ia berkebangsaan non Arab, sedangkan orang-orang
moderat, mereka merupakan mayoritas ummat, berpendapat bahwa
pemimpin pemerintahan merupakan hak bagi orang dari suku Quraisy
yang paling pantas untuk mendudukinya, karena Rasulullah telah bersabda
: Artinya : “Pemimpin-pemimpin ummat ini harus dari suku Quraisy”.
Setelah terjadinya perang saudara dengan terbunuhnya Usman bin ‘Affan,
kaum muslimin berbeda pendapat tentang dosa besar. Apakah dosa besar
itu?, dan tentang orang yang melakukannya. Apakah ia mukmin atau
kafir?, perbedaan ini secara otomatis disusul dengan perbedaan pendapat
tentang “Iman”, defenisi dan penjelasannya. Berangkat dari perbedaan
pendapat tentang hal itu, muncul golongan Khawarij, Murji’ah kemudian
Mu’tazilah.
a. Aliran Khawarij
Ukwah bin Udayyah yang dikenal sebagai aliran Khawarij
berhadapan dengan kasus pembunuhan atau dosa besar yang
menjadi polemik pada masa itu. Bagaimana posisi orang beriman
tetapi melakukan dosa besar. Aliran Khawarij memiliki keyakinan
bahwa jika seseorang tidak berhasil membuktikan imannya dalam
bentuk menghindari dari perbuatan dosa maka dapat diterapkan
hukum kafir dan dapat dibunuh.18 Jika dikaji dari metodologi
berfikir, pendirian ini berpangkal pada keutuhan mutlak antara
unsur-unsur iman yang terdiri dari pembenaran dalam hati dengan
realisasinya dalam perbuatan kongkret, keutuhan mutlak yang
dituntut oleh Khawarij antara iman dalam hati dengan perilaku
praktis, sudah barang pasti membawa pada konsekuensi bahwa
pembunuh adalah orang yang tidak memiliki iman dalam hati atau
dengan kata lain kafir. Di sini jelas terdapat potensi keberagaman
yang positif, meskipun cenderung tanpa kompromi.

b. Aliran Murji’ah
Al-Hasan bin Ali Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan
beberapa ahli hadist kemudian dikenal dengan sebutan Murji’ah.
Jadi bagi kelompok ini orang Islam yang berdosa besar masih tetap
beriman. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah memberi defenisi iman
sebagai berikut : Iman adalah pengakuan dan pengetahuan tentang
Tuhan, Rasulrasulnya dan tentang semua apa yang datang dari
Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam rincian. Iman tidak
mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada
perbedaan antara manusia dalam hal iman.
c. Aliran Mu’tazilah (Ahl al-Sunnah Wal Jama’ah) Tokoh aliran
ini adalah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu
Mansur Al-Maturidy. Aliran ini pada dasarnya aturan esensial
berfikir ini terdiri dari tiga komponen. Pertama adalah
pengakuan bahwa masing-masing lapisan realitas memiliki
logika berfikir yang sesuai dengan kodrat sendiri. Kedua adalah
pengakuan bahwa kebenaran dari lapisan lain dapat diterima
melalui keyakinan atas dasar otoritas aturan berfikir dan unsur
ketiga adalah pengakuan bahwa lapisan realitas tersebut
merupakan kesatuan dasar Tuhan yang diterima dalam Islam.
Jadi aliran ini tidak menetapkan hukum kafir bagi pelaku dosa
besar.Demikianlah, perselisihan ini menjadi perselisihan
keagamaan setelah pada mulanya merupakan perselisihan
politik sehingga menjadi salah satu pembahasan ilmu tauhid
yang penting, sebagaimana masalah jabatan Khalifah juga
menjadi bidang kajian ilmu ini, meskipun lebih tepat untuk di
bab ilmu Fiqih karena menyangkut hukum amaliah bukan
masalah keyakinan. Hal ini dikarenakan masalah pemimpin
pemerintahan pada garis besarnya merupakan kemaslahatan
yang berkaitan dengan orang yang pantas untuk mengatur
urusan-urusan kaum Muslimin, bukan masalah kepercayaan
yang berkaitan dengan salah satu dasar agama. Tetapi
berhubungan dengan sebagian kelompok mengajukan beberapa
pendapat yang hampir-hampir membawa kepada penolakan
terhadap banyak kaidah Islam, maka para tokoh ilmu tauhid
menjadi masalah jabatan khalifah itu sebagai salah satu bidang
kajian mereka, untuk dibahas secara objektif, jauh dari
fanatisme dan hawa nafsu, dengan tujuan untuk memperoleh
kebenaran tentang masalah tersebut, demi menjaga akidah-
akidah agama yang benar karena banyaknya masalah-masalah
lain yang masuk di dalam ilmu tauhid.
d. Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Sunni atau Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah


seseorang yang mengikuti Nabi serta para Sahabatnya. “Jadi
Aswaja itu, Ahlus Sunnah wal Jamaah, seseorang yang mengikuti
nabi dan mengikuti sahabat nabi, bukan hanya Nabinya saja.
Sahabat-sahabatnya juga kita harus mengikuti ajaran-ajarannya,”
ujar Ustadz Rizki Nugroho, Pengajar Pondok Pesantren Modern
Nuruh Hijrah, ketika di hubungi Okezone.

e. Syiah

Syiah adalah aliran yang mengikuti Khalifah Ali bin Abi


Thalib, yang menyatakan kepemimpinannya baik. Ada banyak
pendapat akan awal munculnya aliran ini salah satunya pendapat
ulama Syiah yang mengatakan, Muncul sejak Zaman nabi
Muhammad SAW. Pendapat lain yang dikemukakan oleh
Muhammad Abu Zahrah ialah, Syiah muncul pada akhir
pemerintahan Ustman bin Affan. Mereka berpendapat bahwa
sahabat - sahabat Nabi kecuali Sayidina Ali tidak benar. Syiah
sendiri terbagi menjadi banyak kelompok. Aliran Syiah
mempunyai pendapat bahwa Alquran yang sekarang mengalmi
perubahan dan pengurangan. Sedangkan yang asli berada di tangan
Al Imam Al Mastur (Syiah Imamiyah). Aliran Syiah juga tidak
mengamalkan Hadist kecuali dari jalur keluarga Nabi Muhammad
(Ahlul Bait). Selain itu Syiah juga memperbolehkan nikah Mut’ah,
yang kita kenal dengan istilah kawin kontrak, yang mana,
pernikahan suami – istri akan waktu yang telah disepakati pada
akad.

f. . Qadariyah

Qadariyah berasal dari kata qadr yang artinya mampu atau


berkuasa. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
perjalanan hidupnya. Selain itu, mereka berpendapat bahwa
manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan – perbuatannya. Maka, nama Qodariyah
berangkat dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai takdir yang sudah
ditetapkan Allah SWT. Ustad Asroni Al Paroya juga mengatakan
bahwa, Qadiriyah berkeyakinan mengingkari Taqdir Allah, atau
segala perbuatan makhluk di luar kehendak Allah.

g. Jabariyah

Berbeda dengan Qadariyah, aliran Jabariyah justru berbanding


terbalik dengan Qadariyah. Jabariyah berasal dari kata jabr yang
artinya paksaan. Aliran ini ditonjolkan pertama kali Jahm bin
Safwan (131 H), sekretaris Harits bin Suraih yang memberontak
pada Bani Umayyah di Khurasan. Memang dalam aliran ini
terdapat faham bahwa manusia mengerjakan mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Aliran ini berpendapat
bahwa, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya. Perbuatan – perbuatan
manusia telah di tentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Tuhan.

3. Tokoh –Tokoh dalam Aswaja

Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki
andil besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan
Ahlussunnah mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab
bagi turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal
ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn
Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya
maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang
saleh berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
A. Angkatan Pertama

Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu


mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di
antaranya: Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq
al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-
Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka
(w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-
Isma’ili (w 371 H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz
ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-
Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-
Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-
Husain ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman
asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn
Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih
dikenal Abu al-Husain ash-Shufi (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi
ath-Thabari.

B. Angkatan Ke Dua

Diantara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari


adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu Nashr ibn
Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi
Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu
Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu
Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-
Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-
Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn
Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu
Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim al-
Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’ (w 430 H),
Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl al-
Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-
Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad
ibn at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.
C. Angkatan Ke Tiga

Diantaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-


Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn
Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H)
penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-
Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain
(w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far
as-Simnani al-Hanafi, Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu
Muhammad al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-
Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-Qasim
Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-
Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran al-Fasi.

D. Angkatan Ke Empat

Diantaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim


Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah
(w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-
Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah
Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh
Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-
Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-
Mutawalli (w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-
Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan
ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-
Nashih al-Hanafi.

E. Angkatan Ke Lima

Diantaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid


Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn
Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim
yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu
Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu
Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn
Masyadzah al-Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi
(w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini,
Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-
Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H),
al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-
Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533
H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis
kitab al-Milal Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat
ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah
memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman
ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).

F. Angkatan Ke Enam

Diantaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-


Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr
ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w
636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin
ibn Daqiq al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn
Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn
Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin
Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib,
Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal
dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi
penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-
Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi
yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-
Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh
Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn
al-Hajjâj (w 676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H),al-
Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756
H), al-HâfizhShalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-
Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791
H).

G. Angkatan Ke Tujuh
Diantaranya; al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w
826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-
Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-
Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H),
Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn
Amir al-Hajj (w 879 H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah
al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn
Ahmad al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis
kitab tafsirNazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-
Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).

H. Angkatan ke Delapan

Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-


Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-Hâfizh
Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H), Syihabuddin Abu
al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi
SyarhShahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh
Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-
Hanafi (w 953 H)

I. Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya

Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn


Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla
Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani;
penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-
Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-
Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-
Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad
ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad
al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd
al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani
an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir;
penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad
Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w
1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn
Abidin al-Hanafi (w 1252 H).

Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad
12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu
persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya,
maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup
menghitung jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? Kita
akan membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa Rasulullah, segala permasalahan umat diselesaikan
langsung olehnya. Namun sepeninggal Rasul, maka banyak hal yang
membuat umat Islam kebingungan, termasuk di dalamnya penunjukan
pemimpin umat sepeninggal Rasul. Kepemimpinan Abu Bakar sebagai
khalifah pertama telah menimbulkan pro-kontra, terutama dari ahlul bait,
pada masa umar, stabilitas politik umat cukup stabil, namun pada masa
Usman, terutama setengah akhir jabatan kekhalifahannya, banyak
kebijakan lahir tanpa memperhatikan kepentingan umat Islam, sehingga
polemik ini berakhir pada pembunuhan terhadapnya. Selama masa
kepemimpinannya, Ali bin Abi Thalib menghadapi berbagai permasalahan
yang mungkin jika diberikan kepada orang lain akan menjadi berbeda
ceritanya. Walaupun dalam keadaan yang sangat terdesak, ternyata Ali bin
Abi Thalib tidak kehilangan kebesarannya, masih menjunjung tinggi nilai-
nilai Islam walaupun menurut sebagian orang, Ali bin Abi Thalib
melakukan kesalahan dalam menunda pengusutan pembunuhan Usman
dan penerimaan Tahkim. Kondisi terakhir telah menyebabkan konflik
berkepanjangan dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada lahirnya
aliran teologi dalam Islam.
B. Saran

Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak


kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, untuk
memperbaiki makalah tersebut penulis meminta kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Trimakasih sudah meluangkan untuk
membaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1) Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
2) Abu A’la Al-Maududi, Al-Khilafat wa al-Mulk, (Bandung: Mizan, 1992)
3) Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Al-Fiqh Al-Akbar fi Al-Tauhid, dan Al-
Arabiyah li AlThibaah. Cet. III., ( tt: Beirut, tt). Fazl Ahmad, Ali : Fourth
of Islam, (Jakarta: Sinar Hudaya, 1974).
4) Hamka, Sejarah Umat Islam. Jilid III, Cet.IV., (Jakarta: Bulan Bintang,
1981). Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI
Press, 1985).
5) M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, (Yogyakarta: LSI,
1985) Muhammad Abu Zahrah, Al-Madhahib Al-Islamiyah, (Kairo :
Maktabah Al-Adab, tt). Muhammad Thohir, Sejarah Islam dari Andalus
sampai Indus, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1981)
6) Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, Cet. I,. (tt:
CV. Rajawali, 1988). Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan (Menggagas
Paradigma Amali dalam Agama Islam), (Cet. I, Pustaka Pelajar Offset,
2003)
7) Philip K Hitti, History of the Arab, (London : The Mac Millan Press,
1974) Said Agil Husin Al-Munawar dan Husni Rahim, Teologi Islam
Rasional (Aplikasi terhadap Wacana dan Praktis, Harun Nasution),
(Jakarta: Ciputat Press,tt). Shabah, Sejarah Islam (Penafsiran Baru),
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993).
8) Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, (Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1994).
9) Zul Asyari, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan Al-Khulafa
Al-Rasyidin, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990).
10) https://muslim.okezone.com/read/2019/05/15/614/2055778/7-aliran-
dalam-islam-mayoritas-masih-eksis-hingga-kini
11) Perang Shiffin dan Implikasinya Bagi Kemunculan Kelompok Khawarij
dan Murjiah : Muhammad Sabli Volume 2, Nomor 1, April 2015)

Anda mungkin juga menyukai