Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. K DENGAN CONGESTIVE HEARTH


FAILURE (CHF) DI RUANG FLAMBOYAN I RSUP

Oleh :

Christiani Dayanastasia B Simanjuntak

(462017018)

STASE MEDICAL SURGICAL

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2021

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KASUS DENGAN CONGESTIVE HEARTH FAILURE (CHF)


I. Pengertian

Menurut penelitian Pangestu & Nusadewiarti (2020), gagal jantung kongestif atau
Congestive Hearth Failure merupakan penyakit patofisiologis berupa disfungsi
jantung, sehingga jantung tidak dapat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan / atau jantung dapat menjalankan fungsinya apabila kalau
ada peningkatan abnormal pada volume akhir diastolik. Adapun pengertian gagal
jantung kongestif menurut Nugroho, Sawiji, & Purwadi (2019), yaitu fungsi jantung
yang tidak normal dimana jantung tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik /
jantung hanya mampu untuk melakukan tugasnya jika tekanan diastoliknya
meningkat. Selain itu, Karundeng, Prabowo, Ramadhan (2018) mendefinisikan CHF
sebagai kondisi saat jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh yang disebabkan karena ketidakmampuan myocardium untuk
melakukan kontraksi atau terjadi peningkatan beban kerja jantung.

Dari ketiga definisi CHF diatas, dapat disimpulkan bahwa CHF atau gagal jantung
kongestif merupakan sebuah penyakit dimana terjadinya disfungsi jantung yang
membuat jantung tidak dapat melakukan fungsinya untuk memompa darah ke seluruh
tubuh / jantung hanya bisa menjalankan fungsinya jika ada peningkatan abnormal
diastol.

II. Klasifikasi

Menurut penelitian Pangestu & Nusadewiarti (2020), CHF / gagal jantung


kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor. Menurut jenis
penyakitnya, gagal jantung dibagi menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik.
Menurut posisi jantungnya, gagal jantung kongestif dibagi menjadi gagal jantung
kanan dan gagal jantung kiri. Sementara itu, menurut laporan New York Heart
Association (NYHA), gagal jantung kongestif dibagi menjadi empat kategori
berdasarkan gejala dan aktivitas fisik berikut :
a. Kelas I : Batasan untuk melakukan aktivitas fisik tidak ada. Saat melakukan
aktivitas fisik, penderita tidak mengalami sesak nafas, kelelahan, atau
palpitasi.
b. Kelas II : Adanya batasan aktivitas yang ringan, yaitu penderita tidak
mengalami keluhan ketika istirahat, tetapi saat beraktivitas setiap hari dapat
membuat kelelahan, sesak nafas, atau palpitasi.
c. Kelas III : Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
d. Kelas IV : Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.

III. Etiologi

Kasron & Engkartini (2019) mengatakan bahwa penyebab utama CHF adalah
hipertensi dan penyakit arteri koronaria. Menurut Aspiani (2016), secara umum
penyebab gagal jantung dikelompokkan sebagai berikut :

a. Disfungsi miokard.
b. Beban tekanan berlebihan-pembebanan sistolik (sistolic overload).
1) Volume : defek septum atrial, defek septum ventrikel, duktus arteriosus
paten
2) Tekanan : stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasi aorta
3) Disaritmia
c. Beban volume berlebihan-pembebanan diastolik (diastolic overload)
d. Peningkatan kebutuhan metabolik (demand oveload)

Menurut Smeltzer (2012) dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah,


gagal jantung disebabkan dengan berbagai keadaan seperti :

1. Kelainan otot jantung : Gagal jantung sering terjadi pada penderita


kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung.
Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung
mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit
degeneratif atau inflamasi misalnya kardiomiopati. Peradangan dan
penyakit miocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
2. Aterosklerosis koroner : Aterosklerosis koroner mengakibatkan
disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Infark miokardium menyebabkan
pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang
abnormal dan mengubah daya kembang ruang jantung.
3. Hipertensi Sistemik atau pulmonal (peningkatan after load) :
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung. Hipertensi dapat menyebabkan gagal
jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel
kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri
sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark
miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia
atrial maupun aritmia ventrikel.
4. Penyakit jantung lain : Terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi
darah (tamponade, pericardium, perikarditif, konstriktif atau stenosis
AV), peningkatan mendadak after load. Regurgitasi mitral dan aorta
menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload)
sedangkan stenosis aorta menyebabkan beban tekanan (after load).
5. Faktor sistemik : Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemia
juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.

IV. Manifestasi Klinik


AHA menjelaskan bahwa dari segi gejala klinis, manifestasi klinisnya adalah
gagal jantung sebelah kiri, yang dimanifestasikan sebagai badan penderita mengalami
kelemahan, mudah lelah, batuk dan terjadi sesak napas pada malam hari, berdebar,
dan tanda objektifnya yaitu penderita mengalami dyspnea (dsypnea d’effort,
paroxysmal nocturnal dyspnea, cheyne-stokes respiration), takikardi, ronchi basah
halus pada basal paru, bunyi jantung III, dan adanya pembesaran pada jantung.
Sedangkan, gagal jantung kanan ditandai dengan gejala berupa pembengkakan/edema
pada tumit dan tungkai bawah, asites, hepatomegali, adanya bendungan pada vena
jugularis dan CHF ini merupakan gabungan dari kedua bentuk klinis gagal jantung
kanan dan kiri (Pangestu & Nusadewiarti, 2020).

V. Pathway
Disfungsi Beban tekanan Beban sistolik
Peningkata
miokardium / akut berlebih berlebih
miokard infark
VI. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Pangestu & Nusadewiarti (2020), untuk mendiagnosis pasien apakah


mengalami gagal jantung atau tidak, maka penderita perlu dilakukan beberapa tes
tambahan, yaitu :

a. Foto rontgen dada, berguna untuk mendeteksi adanya pembesaran ukuran


jantung atau adanya penumpukan cairan di dalam paruparu, yang umumnya
terjadi pada pasien gagal jantung. Pemeriksaan rontgen dada dapat
menunjukkan pembesaran jantung, bayangan dapat menunjukkan dilatasi atau
hipertrofi bilik atau perubahan pembuluh darah yang menunjukkan
peningkatan tekanan pulmonalis
b. Elektrokardiografi (EKG), dilakukan untuk merekam perubahan aktivitas
listrik jantung saat terjadi gagal jantung, atau mendeteksi gangguan irama
jantung yang bisa menjadi penyebab gagal jantung. Pemeriksaan EKG atau
rekam jantung dapat mendeteksi kelistrikan jantung, dan otot-otot jantung.
Adapun menurut Nurarif & Kusuma (2015) yang mengatakan bahwa
pemeriksaan EKG dilakukan untuk mendeteksi adanya hipertropi atrial atau
ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi, dan fibrilasi
atrial.
c. Pemeriksaan ekokardiografi, dilakukan untuk melihat struktur organ jantung
lebih jelas dengan bantuan gelombang suara berfrekuensi tinggi.
d. Pemeriksaan darah, dilakukan untuk mendeteksi jenis protein yang kadarnya
akan meningkat bila terjadi gagal jantung, serta untuk mendeteksi penyakit
yang dapat menjadi penyebab gagal jantung. Pemeriksaan juga dilengkapi
dengan analisa gas darah (AGD) atau arterial blood gas (ABG) tes dengan cara
mengambil darah melalui pembuluh darah arteri untuk mengukur dan
mengetahui kadar oksigen, karbon dioksida, dan tingkat asam basa (pH) di
dalam darah pasien. Tes ini dilakukan untuk memeriksa kondisi organ jantung
pasien serta gejalanya yang disebabkan oleh gangguan distribusi oksigen serta
karbon dioksida atau keseimbangan pH dalam darah pasien.
e. Pemeriksaan elektrolit, dilakukan untuk mendeteksi perubahan elektrolit
dalam tubuh akan terlihat perubahan karena adanya perpindahan cairan atau
penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan elektrolit dilakukan untuk mengetahui
kadar natrium dalam serum. Gangguan elektrolit umumnya pada pasien gagal
jantung adalah hiponatremia, hipokalemia, dan hipomagnesemia.
Hiponatremia adalah kelaianan elektrolit yang menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas berbagai kondisi klinis. Gagal jantung dapat terjadi
bila natrium dalam serum < 135 mEq / I.
f. Pemeriksaan ureum atau blood urea nitrogen (BUN), dilakukan untuk
menentukan kadar urea nitrogen dalam darah yang merupakan zat sisa dari
metabolisme protein yang seharusnya dibuang melalui ginjal. Sedangkan
pemeriksaan kreatinin darah, dilakukan untuk menentukan kadar kreatinin
dalam darah. Kreatinin merupakan zat sisa hasil pemecahan otot yang akan
dibuang melalui ginjal. Kadar kreatinin yang tinggi dalam darah dapat menjadi
tanda adanya gangguan pada ginjal.
g. CT scan atau MRI jantung, dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih
detail mengenai kondisi organ jantung.
h. Kateterisasi jantung, dilakukan untuk mendeteksi penyumbatan pada
pembuluh darah jantung. Kateterisasi jantung digunakan untuk mengukur
terkanan di dalam jantung. Tekanan abnormal merupakan sebuah pertanda dan
membantu membedakan gagal jantung kanan atau kiri, stenosis atau
insufisiensi, juga mendeteksi arteri koroner.
i. Pemeriksaan tiroid, dilakukan untuk mendeteksi peningkatan aktifitas tiroid
yang dimana menunjukkan bahwa adanya hiperaktifitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung (Nurarif & Kusuma, 2015).

VII. Manajemen Terapi

Menurut Nirmalasari (2017), penatalaksanaan pasien CHF terbagi menjadi 2 yaitu


penatalaksanaan farmakologi yang diberikan seperti pemberian glikosida jantung,
terapi diuretik, dan terapi vasodilator. Penatalaksanaan non farmakologi yang dapat
dilakukan yaitu edukasi, exercise dan peningkatan kapasitas fungsional. Salah satu
penyelesaian masalah dyspnea yang dapat dilakukan dengan pemberian oksigenasi
untuk menurunkan laju pernafasan. Pemberian posisi dan breathing exercise dapat
dilakukan untuk mengurangi usaha serta meningkatkan fungsi otot pernafasan.
Latihan fisik yang dapat ditoleransi juga menjadi penatalaksanaan dalam
meningkatkan perfusi jaringan dan memperlancar sirkulasi. AHA merekomendasikan
latihan fisik dilakukan pada pasien dengan CHF yang sudah stabil. Latihan fisik
dilakukan 20-30 menit dengan frekuensi 3-5 kali setiap minggu.

Selain itu, menurut Pangestu & Nusadewiarti (2020), pasien CHF dapat diberikan
terapi farmakologi berupa pemberian obat Digoxin, Furosemid, Bisoprolol, dan
Clopidogrel (CPG). Intervensi nonfarmakologi berupa edukasi pada pasien dan
keluarga bertujuan untuk memberikan pemahaman pada pasien dan keluarga tentang
gambaran pola diet untuk pasien melalui pola diet rendah garam dan perlunya
mengonsumsi pisang setiap hari. Pasien diberikan pula pemahaman tentang
pemantauan berat badan dan peningkatan aktivitas dengan melakukan olahraga
ringan. Kemudian pemahaman pasien diengkapi tentang kelainan, kerusakan yang
terjadi pada tubuh pasien, faktor penyebab, komplikasinya serta penatalaksanaan
faktor resiko yang mungkin dialami pasien.

VIII. Prognosa

Menurut Kasron & Engkartini (2019), oedema kaki merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada pasien CHF. Oedema kaki sendiri merupakan salah satu tanda
bahwa penyakit CHF yang diderita oleh pasien sudah dalam kondisi komplikasi lanjut
dan berlangsung lebih lama sehingga sistem pompa jantung mengalami penurunan.
Selain itu, penderita dapat mengalami gagal ginjal akut, aritmia, bahkan hingga
kematian.

IX. Proses Keperawatan


A. Pengkajian
1. Identitas klien

Meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama
pendidikan, pekerjaan, alamat, No MR, dan diagnosa medis.

2. Riwayat Kesehatan Sekarang


a. Keluhan utama
Biasanya pasien CHF mengeluh sesak nafas dan kelemahan saat
beraktifitas, kelelahan, nyeri pada dada, dispnea pada saat beraktivitas (Wijaya
& Yessi, 2013).

b. Keluhan saat dikaji

Pengkajian dilakukan dengan mengajukan serangkaian pertanyaan


mengenai kelemahan fisik pasien secara PQRST. Biasanya pasien akan
mengeluh sesak nafas dan kelemahan saat beraktifitas, kelelahan, dada terasa
berat, dan berdebar-debar.

3. Riwayat kesehatan terdahulu

Meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita klien terutama penyakitcyang


mendukung munculnya penyakit saat ini. Pada pasien CHF biasanya sebelumnya
pernah menderita nyeri dada, hipertensi, iskemia miokardium, infark miokardium,
diabetes melitus, dan hiperlipidemia. Dan juga memiliki riwayat penggunaan
obat-obatan pada masa yang lalu dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Obat-
obatan ini meliputi obat diuretik, nitrat, penghambat beta, serta antihipertensi.
Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi
yang timbul. Sering kali pasien menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping
obat.

4. Riwayat kesehatan keluarga

Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga,


anggota keluarga yang meninggal terutama pada usia produktif, dan penyebab
kematiannya. Penyakit jantung iskemik pada keturunannya (Muttaqin, 2012).

5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : Kesadaran pasien dengan CHF biasanya baik atau compos
mentis (GCS 14-15) dan akan berubah sesuai tingkat gangguan perfusi sistem
saraf pusat.
b. Mata : Konjungtiva biasanya anemis, sklera biasanya tidak ikterik. Palpebra
biasanya bengkak.
c. Hidung : Biasanya bernafas dengan cuping hidung serta hidung sianosi.
d. Mulut : Bibir biasanya terlihat pucat.
e. Wajah : Biasanya wajah terlihat lelah dan pucat.
f. Leher : Biasanya terjadi pembengkakan pada vena jugularis (JVP).
g. Sistem pernapasan : Dispnea saat beraktivitas atau tidur sambil duduk atau
dengan
beberapa bantal. Batuk dengan atau tanpa sputum. Penggunaan bantuan
pernafasan, misal oksigen atau medikasi, pernafasan takipnea, nafas dangkal,
pernafasan laboral, sputum mungkin bercampur darah, merah muda / berbuih,
edema pulmonal, bunyi nafas : adanya krakels banner dan mengi (Wijaya &
Yessi, 2013).
penggunaan otot aksesori
h. Jantung : Adanya jaringan parut pada dada, bunyi jantung tambahan
(ditemukan jika penyebab CHF kelainan katup), batas jantung mengalami
pergeseran yang menunjukkan adanya hipertrofi jantung (Kardiomegali),
adanya bunyi jantung S3 atau S4, takikardi.
i. Abdomen : Adanya hepatomegali, splenomegali, dan asites.
j. Eliminasi : Penurunan frekuensi kemih, urin berwarna gelap, nokturia
(berkemih pada malam hari), diare/ konstipasi.
k. Ekstremitas : Terdapat edema dan CRT kembali >2 detik, adanya edema,
sianosis perifer (Smeltzer & Bare, 2013).

B. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas (D.0003).
b. Pola napas tidak efektif (D.0005).
c. Penurunan curah jantung (D.0008).
d. Nyeri akut (D.0077).
e. Hipervolemia (D.0022).
f. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009)
g. Intoleransi aktivitas (D.0056)

C. Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan (SDKI) Intervensi (SIKI)


Penurunan curah jantung (D.0008) a. Perawatan jantung
b. Perawatan jantung akut
c. Pemantauan tanda vital
d. Terapi oksigen
DAFTAR PUSTAKA

Pangestu, M. D., Nusadewiarti, A., Studi, P., Dokter, P., Kedokteran, F., Lampung, U., Ilmu,
B., Komunitas, K., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2020). Penatalaksanaan Holistik
Penyakit Congestive Heart Failure pada Wanita Lanjut Usia Melalui Pendekatan
Kedokteran Keluarga Holistic Management Of Congestive Heart Failure in Elderly
Household Women Through A Family Medicine Approach. Majority, 9(1), 1–11.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/download/2684/2624.
Diakses pada tanggal 27 Maret 2021. Pukul 22:18 WIB.

Karundeng, J. T., Prabowo, W. C., & Ramadhan, A. M. (2018). Pola Pengobatan pada Pasien
Congestive Heart Failure (CHF) Di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Kota Samarinda. Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences,
8(November), 229–235. https://doi.org/10.25026/mpc.v8i1.328. Diakses pada tanggal
27 Maret 2021. Pukul 22:30 WIB.

Nugroho, A, F., Sawiji., & Purwadi, W. (2019). Tingkat Kualitas Tidur Pada Pasien Gagal
Jantung Kongestif (Chf) Dengan Posisi Tidur Semi Fowler, Semi Fowler Miring
Kanan, Dan Semi Fowler Miring Kiri Di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Gombong,
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 15(1), 40-46.
http://ejournal.stikesmuhgombong.ac.id. Diakses pada tanggal 27 Maret 2021. Pukul 22:40
WIB.

Kasron, K. (2019). Pijat Kaki Efektif Menurunkan Foot Edema pada Penderita Congestive
Heart Failure (CHF). Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, 2(1), 14.
https://doi.org/10.32584/jikmb.v2i1.203. Diakses pada tanggal 27 Maret 2021. Pukul
22:30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai