Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk

intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka

kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal yang wajib diberikan pada

bayi usia 0-9 bulan. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan atau

meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit

(Proverawati, 2010), atau usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh guna merangsang pembuatan anti

bodi yang bertujuan untuk mencegah penyakit tertentu. Imunisasi bertujuan untuk

memberikan kekebalan terhadap tubuh anak. Caranya adalah dengan memberikan

vaksin. Vaksin berasal dari bibit penyakit tertentu yang dapat menimbulkan

penyakit yang terlebih dahulu dilemahkan. Sehingga tidak berbahaya lagi bagi

kelangsungan hidup manusia (Riyadi, 2012).

Berdasarkan data terakhir WHO sampai saat ini, angka kematian balita

akibat penyakit infeksi yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi masih

terbilang tinggi. Terdapat kematian balita sebesar 1,4 juta jiwa per tahun, yang

antara lain disebabkan oleh batuk rejan 294.000 (20%), tetanus 198.000 (14%)

dan campak 540.000 (38%). Di Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sekitar

30.000-40.000 anak setiap tahun menderita serangan campak. Berdasarkan data

yang diperoleh, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara yang termasuk

angka tinggi pada kasus anak tidak diimunisasi, yakni sekitar 1,3 juta anak.

1
Di Indonesia, imunisasi yang telah diwajibkan oleh pemerintah sebagaimana

juga yang telah diwajibkan WHO antara lain; imunisasi BCG, DPT, Hepatitis,

Campak dan Polio (Ranuh, 2005: 8). Pelayanan imunisasi dapat diperoleh di unit

pelayanan kesehatan milik pemerintah, seperti Rumah Sakit, Puskesmas bahkan

Posyandu yang tersebar diseluruh tanah air. Imunisasi merupakan bentuk

intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam menurunkan angka kematian bayi

dan balita. Dengan imunisasi, berbagai penyakit seperti TBC, difteri, pertusis,

tetanus, hepatitis B dan lainnya dapat dicegah. Pentingnya imunisasi dapat dilihat

dari banyaknya balita yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi karena penyakit-penyakit tersebut

bisa dicegah dengan imunisasi (Nany, 2010). Rata-rata imunisasi di Indonesia

pada tahun 2005 hanya 72%. Artinya, angka dibeberapa daerah sangat rendah.

Ada sekitar 2.400 anak di Indonesia meninggal setiap hari termasuk yang

meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah, misalnya

tubercolosis, campak, pertussis, difteri dan tetanus. Hampir seperempat dari 130

juta bayi yang lahir tiap tahun tidak diimunisasi agar terhindar dari penyakit anak

yang umum.

Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) ialah tercapainya

imunisasi dasar secara lengkap pada bayi (0-11 bulan). Desa UCI merupakan

gambaran desa atau kelurahan dengan ≥ 80% jumlah bayi yang ada di desa

tersebut sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap dalam waktu satu tahun.

Pencapaian desa UCI di Propinsi Papua dari tahun 2012 sampai 2016 mengalami

peningkatan. tahun 2015 desa UCI mencapai 31.9% sedangkan tahun 2016

meningkat menjadi 51.9 %.

2
Sebaiknya, pemberian imunisasi pada anak mengikuti jadwal yang ada.

Dengan memberikan imunisasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan memberikan

hasil pembentukan kekebalan (antibody) yang optimal sehingga dapat melindungi

anak dari paparan penyakit. Di Indonesia, jadwal imunisasi di keluarkan oleh

kementrian kesehatan RI, yang mengharuskan orang tua memberikan imunisasi

dasar lengkap (Sekartini, 2011). Banyak faktor yang mempengaruhi tidak

terlaksananya kegiatan imunisasi (belum diimunisasinya seorang bayi), antara lain

keterlibatan (kinerja) petugas kesehatan dan partisipasi masyarakat.

Sampai saat ini masalah imunisasi masih tetap ada, namun banyak ibu yang

tidak datang ke posyandu memberikan imunisasi pada anaknya, hal ini disebabkan

oleh berbagai faktor seperti pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja dipagi hari tidak dapat

melakukan kunjungan ke posyandu karena mereka sibuk bekerja dan kurang

memiliki waktu sehingga perhatian terhadap kesehatan anakpun berkurang. Peran

serta orang tua, - terutama ibu - sebagai pengasuh bayi merupakan aktor/person

penentu pemberian imunisasi pada seorang bayi minimal sampai 9 bulan dan 3

merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan program

imunisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya isu yang melingkupi

sekaligus menjadi kendala dalam pelaksanaan imunisasi bayi, antara lain: salah

satu efek samping imunisasi (adanya reaksi panas pada badan balita sehingga bayi

atau anak dianggap sakit setelah diimunisasi) sehingga orang tua menolak

membawa anaknya untuk memperoleh imunisasi. Selain faktor isu di atas, faktor

kurangnya pengetahuan masyarakat terutama ibu bayi tentang pentingnya

imunisasi itu sendiri turut berperan penting dalam menentukan keberhasilan

pelaksanaan Imunisasi. Tentu saja faktor pengetahuan tersebut tidak dapat

3
dipisahkan dari pendidikan kesehatan yang dimiliki oleh masyarakat dalam hal ini

ibu balita tentang imunisasi.

Pengetahuan tentang imunisasi yang berhubungan dengan tingkat

pengetahuan seperti masalah pengertian dan pemahaman karena masih banyak ibu

yang beranggapan salah tentang imunisasi yang berkembang dalam masyarakat.

dan tidak sedikit orang tua khawatir terhadap efek samping dari beberapa vaksin.

Selain itu, dukungan keluarga sangatlah penting untuk ibu agar mempengaruhi

pengetahuan seorang ibu dan agar ibu termotivasi untuk membawa bayinya

imunisasi, agar bertambahnya kepercayaan ibu dengan pemberian imunisasi dasar

pada bayi, sehingga dapat mempengaruhi status imunisasinya. Peran petugas

imunisasi dalam memberikan pengetahuan dan informasi tentang imunisasi

merupakan salah satu tindakan yang paling penting dan paling spesifik untuk

mencegah penyakit yaitu dengan memberikan informasi atau penyuluhan

kesehatan tentang imunisasi (Chandra, 2017).

Berdasarkan fenomena diatas, menunjukkan bahwa keterbatasan waktu,

dukungan keluarga, informasi dan komposisi vaksin berhubungan dengan

pemberian imunisasi dasar lengkap pada bayi. Sehingga peneliti tertarik ingin

melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui “Faktor Yang

Berhubungan Dengan Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Tahun

2017” Berdasarkan rumusan di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian

untuk mengetahui “GAMBARAN KARAKTERISTIK IMUNISASI DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS ABEPURA PERIODE APRIL 2018 –

APRIL 2019”.

4
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Imunisasi?

1.2.2 Apa saja indikator yang digunakan untuk menilai Imunisasi?

1.2.3 Bagaimana cara menilai Imunisasi di Puskesmas Abepura ?

1.2.4 Bagaimana Imunisasi di Puskesmas Abepura?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui yang dimaksud dengan imunisasi.

1.3.2 Mengetahui indikator yang digunakan untuk menilai imunisasi

1.3.3 Mengetahui cara menilai imunisasi di Puskesmas Abepura

1.3.4 Mengetahui imunisasi di Puskesmas Abepura

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi Penulis

Sebagai sumber informasi untuk mempelajari imunisasi di Kota Jayapura lebih

khususnya di Puskesmas Abepura.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan dan Kesehatan

Sebagai bahan bacaan ilmiah bagi institusi pendidikan dan kesehatan tentang

imunisasi di Kota Jayapura terlebih khusus di Puskesmas Abepura.

5
1.4.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi mengenai imunisasi di Kota Jayapura kepada masyarakat,

khususnya di Puskesmas Abepura.

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, atau resisten. Anak diimunisasi

berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau

resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang

lain (Soekidjo Notoatmodjo, 2007 : 43). Imunisasi adalah proses menginduksi

imunitas secara buatan baik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan

pemberian antibodi (imunisasi pasif). Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun

untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler yang melawan agen

penginfeksi, sedangkan imunisasi pasif menyediakan proteksi sementara melalui

pemberian antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi

transplasenta dari ibu ke janin.

Vaksinasi, yang merupakan imunisasi aktif, ialah suatu tindakan yang

dengan sengaja memberikan paparan antigen dari suatu patogen yang akan

menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan sehingga nantinya anak

yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika terpajan oleh antigen

serupa. Antigen yang diberikan dalam vaksinasi dibuat sedemikian rupa sehingga

tidak menimbulkan sakit, namun dapat memproduksi limfosit yang peka, antibodi,

maupun sel memori. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan

imunoglobulin yang berasal dari plasma donor9. Pemberian imunisasi pasif hanya

memberikan kekebalan sementara karena imunoglobulin yang diberikan akan

dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan

imunoglobulin yang lain (IgM, IgA, IgE, IgD) memiliki waktu paruh yang lebih

7
pendek. Oleh karena itu, imunisasi yang rutin diberikan pada anak adalah

imunisasi aktif yaitu vaksinasi.

2.2 Manfaat Imunisasi

Manfaat utama dari imunisasi adalah menurunkan angka kejadian

penyakit, kecacatan, maupun kematian akibat penyakit-penyakit infeksi yang

dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi tidak hanya memberikan

perlindungan pada individu melainkan juga pada komunitas, terutama untuk

penyakit yang ditularkan melalui manusia (person-to-person). Jika suatu

komunitas memiliki angka cakupan imunisasi yang tinggi, komunitas tersebut

memiliki imunitas yang tinggi pula. Hal iniberarti kemungkinan terjadinya

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (vaccine-preventable disease)

rendah. Dengan demikian, anak yang belum atau tidak mendapat imunisasi karena

alasan tertentu memiliki kemungkinan yang rendah terjangkit penyakit tersebut.

Imunisasi juga bermanfaat mencegah epidemi pada generasi yang akan

datang. Cakupan imunisasi yang rendah pada generasi sekarang dapat

menyebabkan penyakit semakin meluas pada generasi yang akan datang dan

bahkan dapat menyebabkan epidemi. Sebaliknya jika cakupan imunisasi tinggi,

penyakit akan dapat dihilangkan atau dieradikasi dari dunia. Hal ini sudah

dibuktikan dengan tereradikasinya penyakit cacar (smallpox). Selain itu, imunisasi

juga menghemat biaya kesehatan. Dengan menurunnya angka kejadian penyakit,

8
biaya kesehatan yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut pun

akan berkurang.

Menurut WHO (World Health Organization), program imunisasi di

Indonesia memiliki tujuan untuk menurunkan angka kejadian penyakit dan angka

kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Umar Fahmi

Achmadi, 2006 : 130).

2.3 Respon Imun pada Imunisasi

Pemberian vaksin sama dengan pemberian antigen pada tubuh. Jika

terpajan oleh antigen, baik secara alamiah maupun melalui pemberian vaksin,

tubuh akan bereaksi untuk menghilangkan antigen tersebut melalui sistem imun.

Secara umum, sistem imun dibagi menjadi 2, yaitu sistem imun non-

spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non-spesifik merupakan

mekanisme pertahanan alamiah yang dibawa sejak lahir (innate) dan dapat

ditujukan untuk berbagai macam agen infeksi atau antigen. Sistem imun non-

spesifik meliputi kulit, membran mukosa, sel-sel fagosit, komplemen, lisozim,

interferon, dll. Sistem imun ini merupakan garis pertahanan pertama yang harus

dihadapi oleh agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun non-

spesifik tidak berhasil menghilangkan antigen, barulah sistem imun spesifik

berperan. Sistem imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan adaptif yang

didapatkan selama kehidupan dan ditujukan khusus untuk satu jenis antigen.

Sistem imun spesifik diperankan oleh sel T dan sel B. Pertahanan oleh sel T

9
dikenal sebagai imunitas selular sedangkan pertahanan oleh sel B dikenal sebagai

imunitas humoral. Imunitas seluler berperan melawan antigen di dalam sel

(intrasel), sedangkan imunitas humoral berperan melawan antigen di luar sel

(ekstrasel).

Sistem imun spesifik inilah yang berperan dalam pemberian vaksin untuk

memberikan kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi. Hal ini dikarenakan

adanya mekanisme memori dalam sistem imun spesifik. Di dalam kelenjar getah

bening terdapat sel T naif yaitu sel T yang belum pernah terpajan oleh antigen.

Jika terpajan antigen, sel T naif akan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel

memori15. Sel efektor akan bermigrasi ke tempat-tempat infeksi dan

mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada di organ limfoid untuk

kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama. Sel B, jika terpajan

oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan diferensiasi menjadi

sel plasma yang akan memproduksi antibodi. Antibodi akan menetralkan antigen

sehingga kemampuan menginfeksinya hilang. Proliferasi dan diferensiasi sel B

tidak hanya menjadi sel plasma tetapi juga sebagian akan menjadi sel B memori.

Sel B memori akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan pada

antigen serupa, akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan

akan menghasilkan antibodi yang lebih banyak.

Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan

yang kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksin (artinya sudah pernah

terpajan oleh antigen) terinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih

mudah bagi sistem imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon

10
imun pada pajanan yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon

imun pada pajanan antigen yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B

yang terlibat lebih banyak, pembentukan antibodi lebih cepat dan bertahan lebih

lama, titer antibodi lebih banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi.

Dengan demikian, diharapkan sesorang yang sudah pernah divaksin tidak akan

mengalami penyakit akibat pajanan antigen yang sama karena sistem imunnya

memiliki kemampuan yang lebih dibanding mereka yang tidak divaksin.

2.4 Sasaran Imunisasi

 Imunisasi Rutin Diberikan pada bayi di bawah umur 1 tahun, wanita usia

subur yaitu wanita usia 15 hingga 39 tahun termasuk ibu hamil dan calon

pengantin. Vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin pada bayi meliputi

hepatitis B, BCG, polio, DPT, dan campak. Pada usia anak sekolah

meliputi DT (Difteri Tetanus), campak, dan tetanus toksoid, sedangkan

pada wanita usia subur diberikan tetanus toksoid.

 Imunisasi Tambahan Imunisasi tambahan akan diberikan bila diperlukan.

Imunisasi tambahan diberikan kepada bayi dan anak usia sekolah dasar.

Imunisasi tambahan sering dilakukan misalnya ketika terjadi suatu wabah

penyakit tertentu dalam wilayah dan waktu tertentu, misalnya pemberian

polio pada Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan pemberian imunisasi

campak pada anak sekolah. Pekan Imunisasi Nasional, dilaksanakan

serentak secara nasional untuk mempercepat pemutusan mata rantai

penularan virus polio importasi dengan cara memberikan vaksin polio

11
kepada setiap balita (usia 0-5 tahun) termasuk bayi baru lahir tanpa

mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi

dilakukan dua kali masing-masing dua tetes selang waktu dua bulan.

Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN disamping untuk memutus

mata rantai penularan, juga berguna sebagai booster atau imunisasi

ulangan polio (Umar Fahmi Achmadi, 2006:132- 133).

2.5 Jenis-Jenis Imunisasi

 Imunisasi Pasif (Pasif Immunization)

Imunisasi pasif adalah pemberian antibody kepada resipien, dimaksudkan

untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus memproduksi sendiri zat

aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya. Antibodi yang diberikan ditujukan untuk

upaya pencegahan atau pengobatan terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri

maupun virus. Proteksi bersifat sementara selama antibodi masih aktif didalam

tubuh resipien dan perlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk

memori terhadap patogen atau antigen spesifik (I.G.N Ranuh, 2008 : 272).

 Imunisasi Aktif (Active Immunization)

Imunisasi aktif adalah imunisasi yang dilakukan dengan cara memasukkan

virus yang sudah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh dengan tujuan untuk

merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Imunisasi yang diberikan

kepada anak adalah :

a. BCG, untuk mencegah TBC

b. DPT, mencegah penyakit difteri, pertusis, dan tetanus

12
c. Polio, untuk mencegah penyakit poliomyelitis

d. Campak, untuk mencegah penyakit campak

e. HB, untuk mencegah penyakit hepatitis B

Imunisasi pada ibu hamil dan calon pengantin adalah imunisasi tetanus toxoid,

yaitu untuk mencegah terjadinya tetanus pada bayi yang dilahirkan (Soekidjo

Notoatmodjo, 2007 : 46).

2.6 Kelengkapan Imunisasi Dasar

Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti

penyakit TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Hepatitis B, dan Campak.

Idealnya bayi harus mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari BCG 1

kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali, HB 3 kali, dan Campak 1 kali. Untuk menilai

kelengkapan status imunisasi dasar lengkap bagi bayi dapat dilihat dari cakupan

imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan imunisasi yang terakhir

yang diberikan pada bayi dengan harapan imunisasi sebelumnya sudah diberikan

dengan lengkap (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2004 : 54).

2.6.1 Imunisasi BCG

Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif

terhadap penyakit tuberculosis (TBC). Vaksin BCG mengandung kuman BCG

(Bacillus Calmette-Guerin) yang masih hidup (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :

9).

13
Bacillus Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari

Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan

hasil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas (I.G.N Ranuh,

2008 : 132).

 Cara Pemberian dan Dosis

Pemberian imunisasi BCG sebaiknya diberikan kepada bayi umur < 2 bulan.

Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam (BTA)

+3 sebaiknya diberikan INH profilaksi dulu, apabila pasien kontak sudah tenang

bayi dapat diberi BCG (I.G.N. Ranuh, 2008 : 134). Sebelum disuntikan, vaksin

BCG harus dilarutkan terlebih dahulu, melarutkan dengan menggunakan alat

suntik steril (ADS 5 ml). Dosis pemberian 0,05 ml sebanyak 1 kali. Disuntikan

secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertion musculas deltoideus),

dengan menggunakan ADS 0,05 ml. Vaksin yang sudah dilarutkan harus

digunakan sebelum lewat 3 jam (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 : 9).

 Kontraindikasi

Imunisasi BCG tidak boleh digunakan pada orang yang reaksi uji tuberkulin

>5 mm, menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,

imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imuno-supresif,

mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang

atau sistem limfe, menderita gizi buruk, menderita demam tinggi, menderita

infeksi kulit yang halus, pernah sakit tuberkulosis, kehamilan (I.G.N.Ranuh,

2008 : 133).

14
 Efek Samping

Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti demam

1-2 minggu kemudian akan timbul indurasi dan 16 kemerahan di tempat suntikan

yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu

pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut. Kadang-

kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan atau leher, terasa padat,

tidak sakit, dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan

pengobatan, dan akan menghilang dengan sendirinya (Ditjen PP & PL Depkes RI,

2005 :9).

2.6.2 Imunisasi DPT

Imunisasi DPT gunanya untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap

difteri, pertusis, dan tetanus (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :10).

 Cara Pemberian dan Dosis

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi

menjadi homogen. Disuntikkan secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5

ml sebanyak 3 dosis. Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis

selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 minggu (1 bulan). Di unit

pelayanan statis, vaksin DPT yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 4

minggu, dengan ketentuan :

a. Vaksin belum kadaluwarsa

b. Vaksin disimpan dalam suhu 20 C – 80 C

c. Tidak pernah terendam air

15
d. Sterilitasnya terjaga

Vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari berikutnya

(Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :10).

Gambar 1. Penyuntikan DPT secara Intra Muskular

 Kontraindikasi

Gejala-gejala keabnormalan otak periode bayi baru lahir atau gejala serius

keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak yang

mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus

dihindarkan pada dosis kedua, dan untuk meneruskan imunisasinya dapat

diberikan DT (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :10).

 Efek Samping

Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas, demam, kemerahan pada

tempat suntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi,

iritabilitas, dan meracau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi (Ditjen PP

& PL Depkes RI, 2005 :10).

16
2.6.3 Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B gunanya untuk pemberian kekebalan aktif terhadap

infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Vaksin hepatitis B adalah vaksin

virus rekombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-infectious, berasal

dari HbsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula Polymorpha)

menggunakan teknologi DNA rekombinan (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :

15).

 Cara Pemberian dan Dosis

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi

menjadi homogen. Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml atau 1 buah HB PID,

pemberian suntikan secara intra muskuler sebaiknya pada anterolateral paha.

Pemberian sebanyak 3 dosis, dosis pertama diberikan pada usia 0-7 hari, dosis

berikutnya dengan interval minimum 4 minggu (1 bulan) (Ditjen PP & PL Depkes

RI, 2005 :15).

 Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap komponen vaksin sama halnya seperti vaksin-vaksin

lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai

kejang (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :15).

 Efek Samping

17
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan, dan pembekakan di sekitar tempat

penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari

(Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :15).

2.6.4 Imunisasi Polio

Vaksinoral polio hidup adalah vaksin polio trivalent yang terdiri dari suspensi

virus poliomyelitis tipe 1, 2, dan 3 (strain sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat

dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.

Imunisasi polio ini memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit

poliomyelitis (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :13).

 Cara Pemberian dan Dosis

Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali

(dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu. Setiap

membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru.

Di unit pelayanan statis polio yang telah dibuka, hanya boleh digunakan selama 2

minggu dengan ketentuan :

a. Vaksin belum kadaluwarsa

b. Vaksin disimpan dalam suhu +20 C - +80 C

c. Tidak pernah terendam air

d. Sterilitasnya terjaga

Vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari berikutnya

(Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :15).

18
Gamvar 2. Cara pemberian Vaksi Polio Oral

 Kontraindikasi

Pada individu yang menderita “immune deficiency” tidak ada efek yang

berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit.

Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan

dapat diberikan setelah sembuh (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :15). 20 3. Efek

Samping Pada umumnya tidak terdapat efek samping berupa paralisis yang

disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :

15).

 Efek Samping

Pada umumnya tidak terdapat efek samping berupa paralisis yang disebabkan

oleh vaksin sangat jarang terjadi (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :15).

2.6.5 Imunisasi Campak

Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap

dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain

CAM 70 dan tidak lebih dari 100 mcg residu canamycin dan 30 mcg residu

erythromycin.

19
Imunisasi campak ini untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit

campak (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :14).

 Cara Pemberian dan Dosis

Sebelum disuntikkan, vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutkan dengan

pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut. Dosis pemberian

0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas, pada usia 9-11 bulan

dan ulangan (booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD) setelah catch-up campaign

campak pada Anak Sekolah Dasar kelas 1-6 (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 :

14).

Gambar 3. Penyuntikan Campak melalui Sub Kutan

 Kontraindikasi

Individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang

diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia, lymphoma (Ditjen PP

& PL Depkes RI, 2005 :14).

 Efek Samping

Hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3

hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah divaksinasi (Ditjen PP & PL Depkes RI,

2005 : 14).

20
Walaupun dilaporkan ada beberapa variasi temuan, efek samping vaksin

campak hidup (tunggal atau gabungan) umumnya adalah ringan dan terbatas

untuk anak-anak yang rentan.

Dengan menggunakan vaksin virus hidup yang dilemahkan, maka reaksi efek

samping yang timbul kurang dibandingkan dengan virus mati. Tetapi sekitar 5-

15% anak yang mendapat imunisasi akan mengalami demam tinggi sampai 39,40

C. Suhu tubuh umumnya meningkat pada hari ke-7 sampai hari ke-12 sesudah

imunisasi dan lamanya 1-2 hari. Tetapi panas yang timbul dirasakan tidak

mengganggu anak. Kadang–kadang dapat terjadi kejang-demam. Ruam pada kulit

muncul sekitar 5% anak yang mendapat imunisasi, biasanya terjadi pada hari ke-7

sampai hari ke- 10 sesudah mendapat imunisasi dan lamanya sekitar 2 hari.

Efek samping imunisasi ulang umumnya lebih ringan dan jarang terjadi

dibandingkan dengan imunisasi pertama, karena anak sudah mendapat dosis

pertama maka ia sudah imun, sehingga pada imunisasi kedua virus vaksin tidak

dapat bereplikasi. Efek ikutan imunisasi kedua lebih sering terjadi bila diberikan

pada umur 10-12 tahun dibandingkan dengan bila diberikan umur 4-6 tahun.

Gejala ikutan yang terjadi 1 bulan sesudah imunisasi pada anak yang berumur 10-

12 tahun sangat jarang 22 terjadi (1,7/1000), yang paling sering berupa

munculnya ruam pada kulit dan nyeri sendi (I. Made Setiawan, 2008 : 181-182).

21
2.7 Jadwal Imunisasi

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar pada Bayi

Vaksin Pemberian Selang Waktu Umur Keterangan


Imunisasi Pemberian
BCG 1x 0-11 bulan
DPT 3x 4 minggu 2-11 bulan

(DPT 1,2,3)
Polio 4x 4 minggu 0-11 bulan

(Polio 1,2,3)
Campak 1x 9-11 bulan
Hepatitis B 3x 4 minggu 0-11 bulan Untuk bayi yang lahir
di RS/puskesmas/rumah
Hep B 1,2,3 bersalin/rumah oleh
tenaga kesehatan. HB
segera diberikan dalam
24 jam pertama
kelahiran. BCG dan
polio diberikan sebelum
bayi pulang ke rumah

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2005 : 77

2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Imunisasi

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003 : 96) terdapat teori yang

mengungkapkan determinan perilaku berdasarkan analisis dari faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku khususnya perilaku kesehatan. Diantara teori tersebut

adalah teori Lawrence Green (1980), yang menyatakan bahwa perilaku seseorang

ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :

22
2.8.1 Faktor Pemudah (Presdiposing Factors)

Faktor-faktor ini mencakup tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu,

pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak, dan dukungan dari pihak

keluarga.

 Tingkat Pendidikan Ibu Bayi Pendidikan adalah proses seseorang

mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku

manusia di dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial, yakni orang

dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol

(khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia dapat memperoleh

atau mengalami perkembangan kemampuan sosial, dan kemampuan

individu yang optimal (Achmad Munib, dkk, 2006 : 32).

Wanita sangat berperan dalam pendidikan di dalam rumah tangga.

Mereka menanamkan kebiasaan dan menjadi panutan bagi generasi yang

akan datang tentang perlakuan terhadap lingkungannya. Dengan demikian,

wanita ikut menentukan kualitas lingkungan hidup ini. Untuk dapat

melaksanakan pendidikan ini dengan baik, para wanita juga perlu

berpendidikan baik formal maupun tidak formal. Akan tetapi pada

kenyataan taraf, pendidikan wanita masih jauh lebih rendah daripada kaum

pria. Seseorang ibu dapat memelihara dan mendidik anaknya dengan baik

apabila ia sendiri berpendidikan (Juli Soemirat Slamet, 2000 : 208).

 Tingkat Pengetahuan Ibu Bayi

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan

23
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over

behavior). Sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di

dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : awareness

(kesadaran), interest (tertarik), evaluation (menimbang-nimbang baik dan

tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Trial (orang telah mulai mencoba

prilaku baru), adoption (subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus) (Soekidjo

Notoatmodjo, 2003 : 127 -128). Pengetahuan diperoleh dari pengalaman

sendiri atau pengalaman orang lain. Seseorang ibu akan mengimunisasikan

anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio sehingga

cacat karena anak tersebut belum pernah memperoleh imunisasi polio.

 Status Pekerjaan Ibu Bayi

Pekerjaan menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah mata

pencaharian, apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan

untuk mendapatkan nafkah (Pandji Anoraga, 2005 : 11). Ibu yang bekerja

mempunyai waktu kerja sama seperti dengan pekerja lainnya. Adapun

waktu kerja bagi pekerja yang dikerjakan yaitu waktu siang 7 jam satu hari

dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau

dengan 8 jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam

satu minggu. Sedangkan waktu malam hari yaitu 6 jam satu hari dan 35

24
jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu (Pandji Anoraga,

2005 : 60).

Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya

kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi

berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain

berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak (Panji

Anoraga, 2005 : 120).

Hubungan antara pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi

dasar bayi adalah jika ibu bekerja untuk mencari nafkah maka akan

berkurang kesempatan waktu dan perhatian untuk membawa bayinya ke

tempat pelayanan imunisasi, sehingga akan mengakibatkan bayinya tidak

mendapatkan pelayanan imunisasi.

 Pendapatan Keluarga

Pendapatan adalah hasil pencarian atau perolehan usaha

(Depertemen Pendidikan Nasional, 2002:236). Menurut Mulyanto

Sumardi dan Hans Dieter Evers (1982:20), pendapatan yaitu keseluruhan

penerimaan baik berupa uang maupun barang baik dari pihak lain maupun

dari hasil sendiri. Jadi yang dimaksud pendapatan dalam 26 penelitian ini

adalah suatu tingkat penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan pokok dan

pekerjaan sampingan dari orang tua dan anggota keluarga lainya.

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh

kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan

anak baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih, 1995 : 10).

25
 Jumlah Anak

Berdasarkan penelitian Suparmanto (1990) dalam Nuri Handayani

(2008), jumlah anak sebagai salah satu aspek demografi yang akan

berpengaruh pada partisipasi masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena jika

seorang ibu mempunyai anak lebih dari satu biasanya ibu semakin

berpengalaman dan sering memperoleh informasi tentang imunisasi,

sehingga anaknya akan di imunisasi (Nuri Handayani, 2008 : 36).

 Dukungan Keluarga

Dukungan sosial secara psikologis dipandang sebagai hal yang

kompleks. Wortman dan Dunkell-Scheffer (1987) mengidentifikasikan

beberapa jenis dukungan yang meliputi ekspresi perasaan positif, termasuk

menunjukkan bahwa seseorang diperlukan dengan rasa penghargaan yang

tinggi, ekspresi persetujuan dengan atau pemberitahuan tentang ketepatan

keyakinan dan perasaan seseorang. Ajakan untuk membuka diri dan

mendiskusikan keyakinan dan sumbersumber juga merupakan bentuk

dukungan sosial (Charles Abraham, 1997 : 126).

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,

antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus

mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang

mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasi anaknya. Disamping

faktor fasilitas, juga diperlukan dukungan/support dari pihak lain,

misalnya suami/istri/orang tua/mertua.

26
2.8.2 Faktor Pendukung (Enabling Factors)

Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas,

sarana dan prasarana atau sumber daya atau fasilitas kesehatan yang memfasilitasi

terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan

kesehatan seperti pukesmas, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan

swasta, dan sebagainya, serta kelengkapan alat imunisasi, uang, waktu, tenaga,

dan sebagainya (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 27).

1. Ketersedian Sarana dan Prasarana

Ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas bagi masyarakat,termasuk

juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti pukesmas, rumah sakit, poliklinik,

posyandu, polindes, pos obat desa, dokter, atau bidan praktek desa. Fasilitas ini

pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku

kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor

pemungkinan.

2. Peralatan Imunisasi

Setiap obat yang berasal dari bahan biologik harus dilindungi terhadap

sinar matahari, panas, suhu beku, termasuk juga vaksin. Untuk sarana rantai

vaksin dibuat secara khusus untuk menjaga potensi vaksin. Di bawah ini

merupakan kebutuhan dan peralatan yang digunakan sebagai sarana penyimpanan

dan pembawa vaksin.

a. Lemari Es

Setiap puskesmas harus mempunyai 1 lemari es standart program.

Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak

lemari es dengan dinding belakang 10-15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi

27
udara di sekitarnya harus baik. Lemaries tidak boleh terkena panas

matahari langsung. Suhu di dalam lemari es harus berkisar + 20 C s/d + 80

C, sedangkan di dalam freezer berkisar antara -250 C s/d -150C (I.G.N

Ranuh, 2008 : 32).

b. Vaccine Carrrier (termos)

Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim atau membawa vaksin

dari puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya

yang dapat mempertahankan suhu +20 C – +80 C

c. Cold Box

Cold box di tingkat puskesmas digunakan penyimpanan vaksin

sementara apabila dalam keadaan darurat seperti listrik padam untuk

waktu cukup lama, atau lemari es sedang rusak yangbila diperbaiki

memakan waktu lama. Cold box berukuran besar, dengan ukuran 40-70

liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan.

d. Freeze Tag

Freeze tag digunakan untuk memantau suhu dari kabupaten ke

pukesmas pada waktu membawa vaksin, serta dari pukesmas sampai ke

lapangan atau posyandu dalam upaya peningkatan kualitas rantai vaksin

(Ditjen PP dan PL Depkes RI, 2005 : 23).

3. Keterjangkauan Tempat Pelayanan Imunisasi

Salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian derajat kesehatan,

termasuk status kelengkapan imunisasi dasar adalah adanya keterjangkauan

tempat pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Kemudahan untuk mencapai

pelayanan kesehatan ini antara lain ditentukan oleh adanya transportasi yang

28
tersedia sehingga dapat memperkecil jarak tempuh, hal ini akan menimbulkan

motivasi ibu untuk datang ketempat pelayanan imunisasi.

Menurut Lawrence W. Green (1980), Ketersediaan dan keterjangkauan

sumber daya kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang ada dan mudah dijangkau

merupakan salah satu faktor yang member kontribusi terhadap perilaku dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan.

Faktor pendukung lain menurut Djoko Wiyono (1997 : 236) adalah akses

terhadap pelayanan kesehatan yang berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak

terhalang oleh keadaan geografis, keadaan geografis ini dapat diukur dengan jenis

transportasi, jarak, waktu perjalanan dan 30 hambatan fisik lain yang dapat

menghalangi seseorang mendapat pelayanan kesehatan.

Semakin kecil jarak jangkauan masyarakat terhadap suatu tempat

pelayanan kesehatan, maka akan semakin sedikit pula waktu yang diperlukan

sehingga tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan meningkat.

2.8.3 Faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku para petugas termasuk

petugas kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo, 2003 : 13). Menurut Lawrence W.

Green, ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya kesehatan termasuk tenaga

kesehatan yang ada dan mudah dijangkau merupakan salah satu faktor yang

member kontribusi terhadap perilaku sehat dalam mendapatkan pelayanan

kesehatan.

1. Petugas Imunisasi

Petugas kesehatan untuk program imunisasi biasanya dikirim dari

pihak puskesmas, biasanya dokter atau bidan, lebih khususnya bidan desa.

29
Menurut Djoko Wiyono (2000:33) pasien atau masyarakat menilai

mutu pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang

empati, respek dan tanggap terhadap kebutuhannya, pelayanan yang

diberikan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diberikan dengan

cara yang ramah pada waktu berkunjung.

Dalam melaksanakan tugasnya petugas kesehatan harus sesuai

dengan mutu pelayanan. Pengertian mutu pelayanan untuk

petugaskesehatan berarti bebas melakukan segala sesuatu secara

professional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat

sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu

peralatan yang baik dan memenuhi standar yang baik, komitmen dan

motivasi petugas tergantung dari kemampuan mereka untuk melaksanakan

tugas mereka dengan cara yang optimal (Djoko Wiyono, 2000 : 34).

Perilaku seseorang atau masyarakat tentaang kesehatan ditentukan

oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang

atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas,

sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan

mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Soekidjo

Notoatmodjo, 2003 : 165).

2. Kader Kesehatan

Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang

dipilih oleh masyarakat untuk menangani masalah-masalah kesehatan

perseorangan maupun masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan

30
yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan

(The Community Health Worker, 1995 : 1).

Secara umum peran kader kesehatan adalah melaksanakan kegiatan

pelayanan kesehatan terpadu bersama masyarakat dalam rangka

pengembangan PKMD. Secara khisus peran kader adalah :

 Persiapan

Persiapan yang dilakukan oleh kader sebelum pelaksanaan kegiatan

posyandu adalah memotivasi masyarakat untuk memanfaatkan

pelayanan kesehatan terpadu dan berperan serta dalam

mensukseskannya, bersa dengan masyarakat merencanakan kegiatan

pelayanan kesehatan terpadu ditingkat desa.

 Pelaksanaan

Pelaksanaan yang dilakukan oleh kader saat kegiatan

imunisasi adalah melaksanakan penyuluhan kesehatan secara

terpadu, mengelola kegiatan seperti penimbangan bulanan,

distribusi oralit, vitamin A/Fe, distribusi alat kontrasepsi, PMT,

Pelayanan kesehatan sederhana, pencatatan dan pelaporan serta

rujukan.

 Pembinaan

Pembinaan yang dilakukan oleh kader berupa :

menyelenggarakan pertemuan bulanan dengan masyarakat untuk

membicarakan perkembangan program kesehatan, melakukan

kunjungan rumah pada keluarga binaannya, membina kemampuan

diri melalui pertukaran pengalaman antar kader.

31
2.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program Imunisasi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program imunisasi

yaitu : .

2.9.1 Tersedianya sarana prasarana kesehatan

Hidup sehat adalah hak asasi rakyat sehingga dalam pemenuhan hak asasi

rakyat sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat akan sarana kesehatan. Saat ini, rumah sakit pemerintah maupun

swasta di provinsi dan kabupatan telah dibangun. Puskesmas sebagai unit

pelayanan kesehatan terdepan sudah didirikan dan terus dikembangkan sampai

suatu saat nanti terpenuhi rasio ideal puskesmas melayani 25.000 penduduk.

Pemerintah juga bertanggung jawab untuk menyediakan tenaga kesehatan yang

andal dan cukup, alat yang cukup dan sesuai dengan standar teknis, serta vaksin

yang cukup. Selain itu masalah dana untuk menjamin keberlangsungan program-

program kesehatan juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Pelayanan kesehatan harus terjangkau oleh rakyat, baik dari segi dana

yang murah bahkan kalau bisa gratis, tempat yang mudah dijangkau, dan

informasi yang benar bagi masyarakat

 Pengetahuan masyarakat tentang imunisasi

Tidak dapat dipungkiri pengetahuan masyarakat berpengaruh terhadap

keberhasilan program imunisasi. Pengetahuan yang minim membuat

kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam program imunisasi juga minim.

Oleh karena itu diperlukan penyuluhan dan promosi kesehatan yang cukup.

32
 Penerimaan masyarakat terhadap program kesehatan

(acceptability)

Ada sebagian masyarakat yang secara etis, budaya, dan agama masih

belum menerima suatu program termasuk imunisasi. Walaupun demikian,

usaha yang lebih giat perlu dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi

persepsi tersebut mengingat imunisasi sangat bermanfaat sebagai upaya

perlindungan bagi masyarakat tersebut. Kesalahpahaman/miskonsepsi

mengenai imunisasi juga berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat

terhadap program imunisasi. Kesalahpahaman yang terutama menyebabkan

masyarakat tidak berani mengimunisasi anaknya adalah anggapan bahwa

imunisasi memiliki efek samping yang justru berbahaya bagi anak bahkan

dapat menyebabkan kematian pada anak. Belakangan ini, beredar isu bahwa

imunisasi dapat menyebabkan anak mengalami autisme. Dalam hal ini,

dibutuhkan informasi yang jelas dari petugas kesehatan mengenai kebenaran

dari setiap isu yang timbul di masyarakat sehingga masyarakat dapat

menerima program imunisasi.

2.9.2 Mutu

Program kesehatan yang diberikan kepada masyarakat luas, selayaknya

sudah melalui uji coba, memenuhi persyaratan ilmiah dan medis. Penyimpanan

dan distribusi vaksin butuh dikontrol secara serius untuk menghindari tangan-

tangan yang tidak bertanggung jawab. Panjangnya rantai distribusi dan kualitas

tempat penyimpanan berpeluang untuk merusak vaksin yang pada akhirnya akan

menurunkan mutu vaksin tersebut.

33
2.9.3 Perencanaan berbasis fakta (planning by evidence)

Hal penting yang diperlukan untuk perencanaan kesehatan adalah data

yang tersedia secara akurat dan up to date, baik menyangkut demografi (penduduk

sasaran), perilaku masyarakat, lingkungan dan keturunan (genetik). Data

kependudukan penting tersedia secara akurat dan up to date karena menyangkut

penentuan sasaran pelayanan kesehatan seperti jumlah penduduk berdasarkan

kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan pekerjaan, vital statistic (kematian

sekaligus penyebabnya, kelahiran). Idealnya data-data tersebut seharusnya

tersedia jika peran/fungsi aparat desa/kelurahan/RT/RW dioptimalkan dalam

registrasi kependudukan. Data-data lain yang terkait dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi derajat kesehatan (perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan

keturunan) berguna untuk menghitung indikator-indikator kesehatan terutama

indikator kinerja (standar pelayanan minimal)

2.9.4 Daya jangkau program

Tempat tinggal penduduk yang tidak berkumpul dalam suatu daerah yang

sama, atau bisa dikatakan tersebar dalam wilayah yang luas menyebabkan

timbulnya kesulitan untuk tercapainya cakupan progam imunisasi secara penuh.

2.9.5 Teknologi dan Informasi

Teknologi yang saat ini berkembang pesat sangat membantu masyarakat

untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak. Media informasi, baik

elektronik maupun cetak, memberikan secara luas dan rinci penemuan dan

kemajuan dalam bidang kesehatan. Informasi yang diterima masyarakat akan

34
menentukan kepercayaan masyarakat terhadap program-program kesehatan,

termasuk imunisasi

2.9.6 Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia saat ini semakin membaik.

Dengan tingkat pendidikan yang sudah semakin baik menyebabkan masyarakat

Indonesia sudah mampu menyaring dan menyerap informasi yang diberikan.

Masyarakat juga menjadi lebih mengerti maksud, tujuan, dan manfaat program-

progr kesehatan khususnya imunisasi. Tentunya hal ini akan mendorong

masyarakat, terutama orangtua, untuk turut memberikan imunisasi pada anak

balitanya

2.9.7 Sosial

Pada daerah yang terisolir, peranan tokoh masyarakat seperti pemuka

agama dan kepala desa mungkin dapat mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi

masyarakat dalam mengikuti program-program kesehatan pemerintah seperti

imunisasi.

35
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan metode penelitian cros sectional dengan

mengambil data sekunder berupa data rekam medik imunisasi di Puskesmas

Abepura.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipakai sebagai tempat penelitian adalah Puskesmas Abepura

3.3 Waktu Penelitian

dilaksanakan sejak bulan April 2018 – April 2019

3.4 Populasi Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita dan anak di

wilayah kerja Puskesmas Abepura guna melihat cakupan program

imunisasi sejak bulan April 2018 – April 2019 pada posyandu..

3.4.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua

populasi balita dan anak pada wilayah kerja Puskesmas Abepura yang

36
datang guna melakukan cakupan program imunisasi sejak bulan April

2018 – April 2019 pada posyandu..

3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut dan

kemudian ditarik kesimpulannya yang akan dijelaskan dalam bab-bab selanjutnya

(Sujarweni, 2014).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kelurahan

2. Jenis imunisasi

3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kelurahan adalah tempat bayi atau anak tersebut tinggal atau

berdomisili menetap sesuai yang tercatat dalam Rekam Medik

Puskesmas Abepura, yaitu:

 Hedam

 Kota Baru

 Yobe

 Awiyo

 Asano

37
2. Jenis imunisasi adalah macam-macam imunisasi yang diberikan

pada bayi atau anak pada usia 0 – 24 bulan yang tercatat dalam

Rekam Medik Puskesmas Abepura, yaitu:

 HB 0

 BCG

 Polio 1

 Polio 2

 Polio 3

 Polio 4

 DPT – HB- Hib 1

 DPT – HB- Hib 2

 DPT – HB- Hib 3

 IPV

 Campak

 DPT – HB- Hib lanjutan

 Campak lanjutan

3.7 Sumber Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data

secara sekunder. Data sekunder adalah data medical report yang bersumber dari

pihak Puskesmas untuk melengkapi penelitian ini.

38
3.8 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data berdasarkan tabulasi dan dianalisa berdasarkan hasil

persentase.

39
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan diwilayah kerja Puskesmas

Abepura khususnya karakteristik imunisasai dari bulan April 2018- April 2019.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif, yaitu menggambarkan

karakteristik imunisasi diwilayah kerja puskesmas Abepura, Kota Jayapura

periode bulan April 2018 – April 2019. Berikut ini gambara yang diteliti :

1. Distribusi Imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Abepura Bulan

April 2018 – April 2019

Tabel 1. Distribusi subjek berdasarkan kelurahan

Kelurahan Jumlah Sasaran Jumlah yang Persentase (%)

Diimunisasi
Hedam 3000 2072 69
Kota Baru 2232 1562 69
Yobe 2040 1385 67
Awiyo 3324 1795 54
Asano 2040 3980 100

40
Berdasarkan Tabel dan Grafik 1 terlihat bahwa pada ke 5 Kelurahan di

wilayah Puskesmas Abepura distribusi masing- masing kelurahan berbeda:

 Pada kelurahan Hedam dengan jumlah sasaran 3000 bayi yang

terimunisasi dan yang terimunisasi adalah berjumlah 2072 bayi sehingga

persentasi yang diperoleh adalah 69%.

 Pada kelurahan Kota Baru dengan jumlah sasaran 2232 bayi yang

terimunisasi dan yang terimunisasi adalah berjumlah 1562 bayi sehingga

persentasi yang diperoleh adalah 69%.

 Pada kelurahan Yobe dengan jumlah sasaran 2040 bayi yang terimunisasi

dan yang terimunisasi adalah berjumlah 1385 bayi sehingga persentasi

yang diperoleh adalah 67%.

41
 Pada kelurahan Awiyo dengan jumlah sasaran 3324 bayi yang terimunisasi

dan yang terimunisasi adalah berjumlah 1795 bayi sehingga persentasi

yang diperoleh adalah 54%.

 Pada kelurahan Asano dengan jumlah sasaran 2040 bayi yang terimunisasi

dan yang terimunisasi adalah berjumlah 3980 bayi sehingga persentasi

yang diperoleh adalah 100%.

42
43
44
Berdasarkan Tabel dan Grafik 2 terlihat bahwa distribusi imunisasi

berdasarkan jenis Imunisasi yang diberikan dengan jumlah sasaran yang sama

pada setiap jenis imunisasi yaitu sebanyak 1053 bayi, antara lain sebagai berikut:

 Pada Imunisasi HB 0 < 7 hari selama bulan April 2018 – April 2019

diberikan pada bayi yang jumlah 804 anak dengan persentase 76,53%

 Pada Imunisasi BCG selama bulan April 2018 – April 2019 diberikan

pada bayi yang jumlah 1040 anak dengan persentase 98,76%

 Pada Imunisasi Polio I selama bulan April 2018 – April 2019 diberikan

pada bayi yang jumlah 1040 dengan persentase 98,76%

 Pada Imunisasi DPT/HB/Hib 1 selama bulan April 2018 – April 2019

diberikan pada bayi yang jumlah 1078 dengan persentase 100%

 Pada Imunisasi Polio 2 selama bulan April 2018 – April 2019 diberikan

pada bayi yang jumlah 1078 dengan persentase 100%

 Pada Imunisasi DPT/HB/Hib 2 selama bulan April 2018 – April 2019

diberikan pada bayi yang jumlah 974 dengan persentase 92,49%

 Pada Imunisasi Polio 3 selama bulan April 2018 – April 2019 diberikan

pada bayi yang jumlah 974 dengan persentase 92,49%

 Pada Imunisasi DPT/HB/Hib 3 selama bulan April 2018 – April 2019

diberikan pada bayi yang jumlah 974 dengan persentase 89,64%

 Pada Imunisasi Polio 4 selama bulan April 2018 – April 2019 diberikan

pada bayi yang jumlah 974 dengan persentase 89,45%

 Pada Imunisasi IPV selama bulan April 2018 – April 2019 diberikan pada

bayi yang jumlah 753 dengan persentase 71,50%

45
 Pada Imunisasi Campak selama bulan April 2018 – April 2019 diberikan

pada bayi yang jumlah 814 dengan persentase 77,30%

 Pada Imunisasi DPT/HB/Hib Lanjutan selama bulan April 2018 – April

2019 diberikan pada bayi yang jumlah 595 dengan persentase 56,50%

 Pada Imunisasi Campak Lanjutan selama bulan April 2018 – April 2019

diberikan pada bayi yang jumlah 339 dengan persentase 31,19%

4.2 Pembahasan Penelitian

Puskesmas Abepura memiliki luas wilayah ±382 km 2, dimana Puskesmas

bapura memiliki wilayah kerja yan terdiri dari 5 kelurahan yaitu :

 Hedam

 Kota Baru

 Yobe

 Awiyo

 Asano

46
Gambar 4. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Abepura

Jumlah posyandu di Wilayah kerja Puskesmas Abepura berjumlah 30


Posyandu.

No. Kelurahan Nama Posyandu


1. HEDAM Walikambay

2. Roboria

3. Bahagia

4. Emerew

5. Rebali

47
6. KOTA BARU Setia

7. Sakura

8. Kasih Mama 2

9. Sejahtera

10. Nauri

11. Wilmari

12. Onomi

13. Cenderawasih

14. Rambay

15. YOBE Nuri Indah

16. Nusantara

17. Merpati

18. Flamboyan

19. Widuri

20. Sepakat 2

21. AWIYO Bukit Indah

22. Kasih Ibu

23. Abemoko

24. Kelapa Mas

25. Sepakat 1

26. Rumwani

48
27. ASANO Nusa Indah

28. Pelangi

29. Kasih Mama 1

30. Enggros

JUMLAH 5 Kelurahan 30 Posyandu

Faktor Yang Memhubungani Pemberian Imunisasi Menurut Notoatmodjo

(2010) ada tiga faktor yang memhubungani perilaku seseorang yaitu :

1. Faktor Pemudah (Predisposing Factor) Faktor penyebab seseorang yang mau

mengimunisasikan anaknya, karena dihubungani oleh :

a. Pengetahuan ibu

Pengetahuan adalah hasil dari mengetahui dan dasar tindakan

seseorang yang terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Proses Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia

yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Sebagian pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan akan menjadi motivasi seseorang

untuk melakukan tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan

lebih konsisten atau menetap dibandingkan tindakan tanpa didasari

pengetahuan (Agustina, 2012). Pengetahuan ibu yang baik mengenai

imunisasi akan menjadi motivasi ibu untuk membawa bayinya

mendapatkan imunisasi.

49
Tingkatan pengetahuan terdiri dari (1) Tahu (know), (2)

Memahami (comprehension), (3) Aplikasi (application), (4) Analisis

(analysis), (5) Sintesis (synthesis) dan (6) Evaluasi (evaluation). Semakin

tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka akan semakin baik 22

kemampuannya dalam mengaplikasikan pengetahuan tersebut. Sistem

manajemen pengetahuan memungkinkan untuk mempelajari dan

merefleksikan pengetahuan yang akan dikembangkan mencakup lima fase

yaitu: 1) pembentukan pengetahuan (knowledge creation); 2) pengesahan

pengetahuan (knowledge validation); 3) pengenalan atau penyajian

pengetahuan (knowledge presentation); 4) pendistribusian pengetahuan

(knowledge distribution); 5) penerapan pengetahuan (knowledge

application) (Oktarlina, 2016).

Tingkat pengetahuan seseorang dapat diukur dengan kuisioner dan

wawancara. Menurut Arikunto (2010), pengetahuan dibagi dalam 3

kategori, yaitu pertama, baik jika subjek mampu menjawab dengan benar

76%-100% dari seluruh petanyaan. Kedua, cukup jika subjek mampu

menjawab dengan benar 56%-75% dari seluruh pertanyaan. Ketiga, kurang

jika subjek mampu kurang dari 55% dari seluruh pertanyaan (Arikunto,

2010). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Istriyati (2011) di

Desa Kumpulrejo Kota Salatiga, ibu dengan pengetahuan imunisasi rendah

memiliki risiko 4,750 kali tidak memberikan imunisasi dasar lengkap

kepada anaknya dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat

pengetahuan imunisasi tinggi. Sedangkan menurut penelitian oleh

Mulyanti (2013) di wilayah kerja Puskesmas Situgintung Kabupaten

50
Ciputat, ibu yang memiliki tingkat pengetahuan imunisasi rendah berisiko

27 kali tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anaknya dibanding

ibu dengan tingkat pengetahuan imunisasi baik. Hal ini menunjukkan 23

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang

imunisasi dengan pemberian kelengkapan imunisasi anak.

b.Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah seluruh usaha yang dilakukan secara sadar dan

terencana melalui lembaga formal maupun non-formal untuk

mengembangkan kualitas sumber daya agar memiliki kepribadian,

kecerdasan, keterampilan dan pengendalian diri yang dapat dimanfaatkan

lingkungan untuk meningkatkan taraf kehidupan, sehingga menjadi

sumber daya yang efektif dan efesien (Departemen Pendidikan Nasional,

2003). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin

baik pengetahuannya dan pemahamannya tentang kehidupan termasuk di

dalamnya pemahaman tentang kesehatan (Pratiwi, 2012), Sehingga

penting bagi seorang wanita yang berlaku sebagai ibu untuk dapat

berpendidikan tinggi karena seorang wanita akan menjadi pendidikan

pertama bagi anaknya termasuk menentukan pelayanan kesehatan yang

tepat bagi anaknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) menunjukkan resiko

3,814 bagi ibu yang tidak bersekolah untuk pemberian imunisasi anak

tidak lengkap dibanding ibu yang menempuh pendidkan formal.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Istriyati (2011) di Desa

51
Kumpulrejo Kota Salatiga responden dengan pendidikan dasar memiliki

risiko 4,297 kali tidak memberikan imunisasi dasar lengkap 24 kepada

anaknya dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat

pendidikan lanjut.

c. Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang

bagi seseorang. Ibu yang bekerja mungkin akan memiliki sedikit waktu

luang, sehingga kesempatan untuk dapat membawa anaknya ke pelayanan

imunisasi lebih kecil dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Selain itu,

kesibukan ibu pada pekerjaannya seringkali membuat ibu lupa jadwal

imunisasi anaknya sehingga anak tidak medapatkan imunisasi atau

pemberian imunisasinya tidak lengkap. Namun ibu yang bekerja memiliki

sumber informasi yang cukup sehingga mungkin akan lebih aktif

membawa anaknya untuk imunisasi (Mulyanti, 2013).

d. Tingkat pendapatan

Pendapatan adalah berupa jumlah uang yang diterima seseorang

atau lebih dari anggota keluarga dari jerih payah kerjanya. Secara umum

pendapatan didefinisikan sebagai masukan yang diperoleh dari

keseluruhan aktifitas termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa

melakukan kegiatan apapun (Randi, 2013). Upah Minimum Regional

(UMR) adalah pendapatan minimal yang dihasilkan oleh pekerja sesuai

provinsi masing-masing. Menurut Badan Pusat Statisitik (BPS) 2016 UMR

52
di Provinsi Lampung sebesar 1.763.000, sehingga apabila pendapatan

berada di bawah UMR maka pendapatan tersebut dikategorikan sebagai

tingkat pendapatan rendah dan sebaliknya. Pemberian ekonomi seseorang

berhubungan pada kemampuan seseorang membiayai pelayanan

kesehatan. Seseorang mungkin tahu akan pentingnya kesehatan namun

karena terkendala biaya orang tersebut memutuskan untuk tidak

memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Pendapatan

keluarga yang rendah akan menjadi pertimbangan ibu untuk tidak

mengimunisasikan anaknya. Dampak lain adalah ibu lebih memilih

bekerja untuk membantu pendapatan keluarga sehingga waktu untuk

membawa anak imunisasi berkurang (Mulyanti, 2013).

e. Sikap

Sikap adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap

lingkungan dan hubungannya terhadap kesehatan (Natasha et al, 2013).

Menurut Notoadmodjo (2010) Sebelum orang mengadopsi perilaku baru ,

terjadi proses yang berurutan didalam diri seseorang, yakni : awareness

(kesadaran), interest (tertarik), evaluation (mempertimbangkan dampak

baik dan buruk stimulus tersebut terhadap dirinya), Trial (mulai mencoba

prilaku baru), adoption (subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, 25 kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus)

(Notoatmodjo, 2010). Berikut adalah tingkatan sikap menurut

Notoatmodjo (2010):

53
 Menerima (receiving), Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau

dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

 Merespon (responding), Memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu

indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab

pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari

pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima

ide tersebut.

 Menghargai (valuing), Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

 Bertanggung jawab (responsible), Bertanggung jawab atas segala

sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap

yang paling tinggi. Sikap seseorang yang positif belum tentu terwujud

dalam tindakan positif, begitu pula sebaliknya. Temuan-temuan dari

peneliti yang lalu menyebutkan bahwa hubungan sikap dan perilaku

sangat lemah bahkan negatif dan penelitian lain menyebutkan bahwa

hubungannya adalah positif (Natasha et al, 2013).

f. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan penerimaan keluarga

terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan informasional, dukungan

penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Keseluruhan

elemen tersebut terwujud dalam bentuk hubungan interpersonal yang

meliputi sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota keluarga,

54
sehingga anggota keluarga merasa ada yang memperhatikan (Friedman,

2010). Seorang ibu yang memiliki sikap positif terhadap imunisasi

anaknya perlu mendapat dukungan dari suami berupa konfirmasi atau izin

dan fasilitas yang mempermudah jangkauan imunisasi serta motivasi untuk

rutin imunisasi sesuai jadwal (Suzanne, 2011). Selain dari suami ibu juga

membutuhkan dukungan keluarga dari orangtua/mertua yang juga

memiliki sikap positif terhadap imunisasi (Pratiwi, 2012).

2. Faktor Pemungkin (Enambling Factor) Faktor yang menyebabkan seseorang

selalu ikut program imunisasi anaknya dihubungani oleh :

a. Keterjangkauan ketempat imunisasi

Salah satu faktor yang memhubungani pencapaian derajat

kesehatan, termasuk pemberian kelengkapan imunisasi dasar adalah

adanya keterjangkauan tempat pelayanan kesehatan oleh masyarakat.

Kemudahan untuk mencapai pelayanan kesehatan ini antara lain

ditentukan oleh adanya transportasi yang tersedia sehingga dapat

memperkecil jarak tempuh, hal ini akan menimbulkan motivasi ibu untuk

datang ketempat pelayanan imunisasi (Agustina, 2012). 28 Menurut

Lawrence W. Green (1980), Ketersediaan dan keterjangkauan sumber

daya kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang ada dan mudah dijangkau

merupakan salah satu faktor yang memberi kontribusi terhadap perilaku

dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Semakin kecil jarak jangkauan

masyarakat terhadap suatu tempat pelayanan kesehatan, maka akan

55
semakin sedikit pula waktu yang diperlukan sehingga tingkat pemanfaatan

pelayanan kesehatan meningkat (Notoatmodjo, 2010).

b. Ketersediaan tempat pelayanan imunisasi (sarana dan prasarana)

Ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas bagi masyarakat,

termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti pukesmas, rumah sakit,

poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter, atau bidan praktek

desa. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan

terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor

pendukung atau faktor pemungkinan.

c. Keterjangkauan Tempat Pelayanan Imunisasi

Salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian derajat

kesehatan, termasuk status kelengkapan imunisasi dasar adalah adanya

keterjangkauan tempat pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Kemudahan

untuk mencapai pelayanan kesehatan ini antara lain ditentukan oleh

adanya transportasi yang tersedia sehingga dapat memperkecil jarak

tempuh, hal ini akan menimbulkan motivasi ibu untuk datang ketempat

pelayanan imunisasi. Menurut Lawrence W. Green (1980), Ketersediaan

dan keterjangkauan sumber daya kesehatan termasuk tenaga kesehatan

yang ada dan mudah dijangkau merupakan salah satu faktor yang member

kontribusi terhadap perilaku dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Faktor pendukung lain menurut Djoko Wiyono (1997 : 236) adalah akses

terhadap pelayanan kesehatan yang berarti bahwa pelayanan kesehatan

56
tidak terhalang oleh keadaan geografis, keadaan geografis ini dapat diukur

dengan jenis transportasi, jarak, waktu perjalanan dan 30 hambatan fisik

lain yang dapat menghalangi seseorang mendapat pelayanan kesehatan.

Semakin kecil jarak jangkauan masyarakat terhadap suatu tempat

pelayanan kesehatan, maka akan semakin sedikit pula waktu yang

diperlukan sehingga tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan meningkat.

d. Peralatan imunisasi

Setiap obat yang berasal dari bahan biologik harus dilindungi

terhadap sinar matahari, panas, suhu beku, termasuk juga vaksin. Untuk

sarana rantai vaksin dibuat secara khusus untuk menjaga potensi vaksin.

Di bawah ini merupakan kebutuhan dan peralatan yang digunakan sebagai

sarana penyimpanan dan pembawa vaksin.

 Lemari Es

Setiap puskesmas harus mempunyai 1 lemari es standart program.

Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak

lemari es dengan dinding belakang 10-15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi

udara di sekitarnya harus baik. Lemari es tidak boleh terkena panas

matahari langsung. Suhu di dalam lemari es harus berkisar + 20 C s/d + 80

C, sedangkan di dalam freezer berkisar antara -250 C s/d -150 C (I.G.N

Ranuh, 2008 : 32).

 Vaccine Carrrier (termos)

57
Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim atau membawa vaksin

dari puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya

yang dapat mempertahankan suhu +20 C – +80 C

 Cold Box

Cold box di tingkat puskesmas digunakan penyimpanan vaksin

sementara apabila dalam keadaan darurat seperti listrik padam untuk

waktu cukup lama, atau lemari es sedang rusak yang 29 bila diperbaiki

memakan waktu lama. Cold box berukuran besar, dengan ukuran 40-70

liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan.

 Freeze Tag

Freeze tag digunakan untuk memantau suhu dari kabupaten ke

pukesmas pada waktu membawa vaksin, serta dari pukesmas sampai ke

lapangan atau posyandu dalam upaya peningkatan kualitas rantai vaksin

(Ditjen PP dan PL Depkes RI, 2005 : 23).

3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

a. Peran kader

Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh

masyarakat untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun

58
masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-

tempat pemberian pelayanan kesehatan (The Community Health Worker, 1995 :

1). Secara umum peran kader kesehatan adalah melaksanakan kegiatan pelayanan

kesehatan terpadu bersama masyarakat dalam rangka pengembangan PKMD

Secara khisus peran kader adalah

 Persiapan

Persiapan yang dilakukan oleh kader sebelum pelaksanaan kegiatan

posyandu adalah memotivasi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan

kesehatan terpadu dan berperan serta dalam mensukseskannya, bersa dengan

masyarakat merencanakan kegiatan pelayanan kesehatan terpadu ditingkat

desa.

 Pelaksanaan

Pelaksanaan yang dilakukan oleh kader saat kegiatan imunisasi adalah

melaksanakan penyuluhan kesehatan secara terpadu, mengelola kegiatan

seperti penimbangan bulanan, distribusi oralit, vitamin A/Fe, distribusi alat

kontrasepsi, PMT, Pelayanan kesehatan sederhana, pencatatan dan pelaporan

serta rujukan.

 Pembinaan

Pembinaan yang dilakukan oleh kader berupa : menyelenggarakan

pertemuan bulanan dengan masyarakat untuk membicarakan

perkembangan program kesehatan, melakukan kunjungan rumah pada

59
keluarga binaannya, membina kemampuan diri melalui pertukaran

pengalaman antar kader.

b. Peran petugas kesehatan

Petugas kesehatan untuk program imunisasi biasanya dikirim dari pihak

puskesmas, biasanya dokter atau bidan, lebih khususnya bidan desa.

Menurut Djoko Wiyono (2000:33) pasien atau masyarakat menilai mutu

pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang empati, respek

dan tanggap terhadap kebutuhannya, pelayanan yang diberikan harus sesuai

dengan kebutuhan masyarakat, diberikan dengan cara yang ramah pada waktu

berkunjung. Dalam melaksanakan tugasnya petugas kesehatan harus sesuai

dengan mutu pelayanan. Pengertian mutu pelayanan untuk petugas kesehatan

berarti bebas melakukan segala sesuatu secara professional untuk meningkatkan

derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan

keterampilan yang maju, mutu peralatan yang baik dan memenuhi standar yang

baik, komitmen dan motivasi petugas tergantung dari kemampuan mereka untuk

melaksanakan tugas mereka dengan cara yang optimal (Djoko Wiyono, 2000 :

34). Perilaku seseorang atau masyarakat tentaang kesehatan ditentukan oleh

pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau

masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan

perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan

memperkuat terbentuknya perilaku (Soekidjo Notoatmodjo, 2003 : 165).

c. Peran pemerintah

60
Faktor predisposisi merupakan faktor internal pada seseorang yang

mempengaruhi perilaku kesehatannya. Ibu sangat berperan penting dalam

menentukan keberhasilan program imunisasi (Triana, 2016), sehingga faktor

predisposisi dari ibu seperti pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, sikap,

pendapatan keluarga, dukungan keluarga, dan faktor pemungkin seperti

keterangkauan ketempat pelayanan imunisasi sangat berhubungan terhadap

pemberian imunisasi dasar bayinya.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, atau resisten. Anak diimunisasi

berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal

61
atau resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap

penyakit yang lain.

2. Vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin pada bayi meliputi hepatitis B,

BCG, polio, DPT, dan campak.

3. Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti

penyakit TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Hepatitis B, dan Campak.

Idealnya bayi harus mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari

BCG 1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali, HB 3 kali, dan Campak 1 kali.

4. Berdasarkan data Distribusi Imunisasi di wilayah kerja Puskesmas

Abepura Bulan April 2018 – April 2019, kelurahan yang mencapai

imunisasi paling tinggi sesuai jumlah sasaran dengan persentasi 100%

adalah kelurahan Asano, sedangkan kelurahan yang paling rendah adalah

keluharan Awiyo dengan persentase 54%

5. Berdasarkan data distribusi imunisasi berdasarkan jenis Imunisasi di

wilayah kerja Puskesmas Abepura Bulan April 2018 – April 2019,

terdapat jenis imunisasi yang pencapaian paling tinggi diberikan yaitu

DPT/HB/Hib 1 dan polio 2 dengan persentase 100%. sedangkan jenis

imunisasi yang pencapaian paling rendah adalah Campak Lanjutan

dengan persentase 31,19%

62
6. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian imunisasi

dikelompokkan dalam 3 faktor yaitu :

 Faktor Pemudah (Predisposing Factor) Faktor penyebab seseorang yang

mau mengimunisasikan anaknya

 Faktor Pemungkin (Enambling Factor) Faktor yang menyebabkan

seseorang selalu ikut program imunisasi anaknya

 Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

5.2 Saran

 Perlu dilakukan penelitian yang lebih detail mengenai Faktor-Faktor

keberhasilan pemberian Imunisasi yang mempengarui pemberian

imunisasi pada wilayah kerja Puskesmas Abepura

 Perlu perhatian yang lebih terhadap Kelurahan dan Jenis Imunisasi yang

belum mencapai persentasi 100%

 Perlu pengawasan yang lebih baik terdapap keberhasilan Imunisasi

diwilayah kerja Puskesmas Abepura

 bagi Penulis harus lebih sering melakukan latihan terkait penulitasan KTI

dengan baik dan benar

63
64

Anda mungkin juga menyukai