Anda di halaman 1dari 26

Analisis Utang Piutang Dalam Perspektif Islam

Choirun Nisa' Alfina Sofiana


12403193191

Jurusan Akuntansi Syariah


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
IAIN Tulungagung
Jl. Mayor Sujadi No. 46, Kudusan, Plosokandang
Kec. Kedungwaru, Kab. Tulungagung, Jawa Timur 66221
alfinasofiana227@gmail.com

Abstrak
Hutang piutang adalah salah satu fitrah manusia, dimana pihak satu berhutang kepada pihak lainnya.
Hampir tidak ada manusia yang tidak berhutang kepada orang lain, karena manusia memang telah
ditakdirkan untuk menjalani hidup yang berliku, kadang berada "di atas", dan pada waktu yang lain
berada "di bawah". Krisis perekonomian yang sering terjadi kadang-kadang membawa dampak pada
krisis keuangan global dan mengakibatkan kondisi keuangan perorangan dan keluarga mengalami
ketidak-stabilan. Banyak yang mendadak menjadi miskin atau sebaliknya banyak yang mendadak
menjadi kaya. Akibat selanjutnya secara empirik banyak, orang yang menjual hutang atau piutangnya
kepada orang lain dengan uang cash karena terdesak oleh kebutuhan yang harus segera dipenuhi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Utang Piutang Dalam Perspektif Islam. Penelitian
menggunakan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini Hutang piutang adalah muamalah yang dibolehkan
dalam ajaran agama islam namun diberikan rambu-rambu kepada kita untuk berhati-hati menjalankannya
karena hutang dapat membawa kita ke surga dan dapat juga membawa kita ke neraka. Pemberi maupun
penerima hutang hendaklah satu sama lain mengetahui adab-adab yang digariskan dalam berhutang
sehingga hutang menjadi sebuah solusi, menjadi sebuah pertolongan kepada seseorang yang mengalami
kesulitan finansial.
Kata Kunci : utang, piutang, islam
Abstract
Accounts receivable is a human nature, where one party owes another party. Almost no human being is
indebted to others, because humans are destined to live a winding life, sometimes being "above", and at
other times being "below". Economic crises that often occur sometimes have an impact on the global
financial crisis and result in the financial condition of individuals and families experiencing instability.
Many suddenly became poor or conversely many suddenly became rich. The next result is empirically
many, people who sell their debts or receivables to others with cash because they are pressed by needs
that must be met immediately. This study aims to analyze Accounts Receivable in an Islamic Perspective.
This research uses literature study. The results of this study Accounts receivable is muamalah that is
allowed in the teachings of Islam, but signs are given to us to be careful in carrying out it because debt
can take us to heaven and can also lead us to hell. The giver and recipient of the debt should each other
know the rules outlined in debt so that debt becomes a solution, becomes a help to someone who is
experiencing financial difficulties.
Keywords: debt, accounts receivable, Islam
PENDAHULUAN
Allah Azza Wa Jalla menciptakan makhluk di bumi ini dengan memiliki fitrah makhluk sosial. Manusia
di ciptakan berdasarkan bagiannya masing-masing beserta kelebihan tersendiri yang mereka miliki dan
kelebihan tersebut tidak ada pada manusia lain. Itulah yang menyebabkan rasa saling membutuhkan satu
sama lain. Sehingga kelebihan mereka dapat dimanfaatkan untuk saling melengkapi, hal tersebut
merupakan konsep sikap tolong menolong. Sikap tolong menolong sesama manusia diwajibkan dalam
agama Islam. Telah dinyatakan di dalam Al-Qur'an mengenai sikap tolong menolong. Hal itu
menunjukkan secara fitrah manusia adalah makhluk sosial dan hidup dengan bermasyarakat. Al-qur'an
surah Al-Maidah ayat 2 telah mengatur manusia untuk berperilaku tolong tolong terhadap sesama
manusia.
ۡ َ‫ى َواَل ۡالقَآَل ِٕٕٮِـ َد َواَل ۤ ٰٓا ِّم ۡينَ ۡالبَ ۡيتَ ۡال َحـ َرا َم يَ ۡبـتَ ُغ ۡونَ ف‬ ‫هّٰللا‬ ۤ
ۡ ‫ضاًل ِّم ۡن َّربِّ ِهمۡ َو ِر‬
ؕ‌‫ض َوانًا‬ َ ‫ـرا َم َواَل ۡالهَ ۡد‬
َ ‫ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا اَل تُ ِحلُّ ۡوا َش َعٓا ِٕٕٮِـ َر ِ َواَل ال َّش ۡه َر ۡال َح‬
‫ـر ِام اَ ۡن ت َۡعتَد ُۡوا‌ ۘ َوتَ َعا َونُ ۡوا َعلَى ۡالبِ ِّر َوالتَّ ۡق ٰوى‌ ۖ َواَل تَ َعا َونُ ۡوا َعلَى‬ َ ‫ص ُّد ۡو ُكمۡ َع ِن ۡال َم ۡس ِج ِد ۡال َح‬ َ ‫اصطَاد ُۡوا‌ ؕ َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكمۡ َشن َٰانُ قَ ۡو ٍم اَ ۡن‬ ۡ َ‫َواِ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ب‬ِ ‫ن ۖ َواتَّقُوا َ‌ؕ اِ َّن َ َش ِد ۡي ُد ۡال ِعقَا‬ ‌ِ ‫ااۡل ِ ۡث ِم َو ۡالع ُۡد َوا‬
Terjemahan : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Maksud dari ayat tersebut, manusia diciptakan Allah swt.
berdasarkan minat dan niatnya. Minat dan niat tersebut tidak lain adalah supaya manusia mampu menjalin
hubungan sesama manusia dengan baik. Hubungan antar manusia dimaksudkan agar manusia dapat
mewujudkannya dengan perilaku tolong - menolong dan saling membutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Tetapi kondisi sosial pada saat ini memperlihatkan terjadinya penyimpangan perilaku
seperti tidak terealisasinya minat dan niat pada manusia. Bahkan hubungan sosial sesama manusia dalam
tolong menolong bukan lagi saling menguntungkan tetapi mengambil kesempatan untuk menguntungkan
pribadi sendiri.
Untuk menghadapi kebutuhuan ini, sifat manusia pada umumnya berharap selalu ingin dapat memenuhi
semuanya. Kebutuhan ini beraneka ragam, ada yang perlu diutamakan, ada yang dinomorduakan, dan ada
yang dapat dipenuhi di kemudian hari. Menghadapi adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia
maupun perusahaan selalu berkeinginan memenuhi seluruhnya karena mereka pada dasarnya ingin hidup
layak dan selalu berkecukupan.
Ajaran syari’at Islam secara implisit telah menggariskan penyelesaian terhadap semua masalah
kehidupan, dalam bidang hukum syari’ah juga mengatur dalam berbagai hukum yang diantaranya adalah
hukum muamalah. Untuk memenuhi kebutuhan yang mendadak Islam dengan hukum muamalahnya
memperbolehkan hutang-piutang atau pinjam-meminjam dengan konsekwensi wajib mengembalikan.
Utang-piutang adalah merupakan hal yang kadang-kadang diperlukan dalam hidup sehari-hari, maka
Islam memberikan peraturan-peraturan tentang masalah ini, Islam menggembirakan orang yang mampu
agar mau memberikan pertolongan kepada saudara-saudaranya yang memerlukanUntuk menjembatani hal
ini maka syari’at Islam memberikan aturan yang amat simpatik bagi keduanya dalam soal hutang-piutang,
hal ini dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah berfirman:
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ؕ ‫ُضٓا َّر كَاتِبٌ َّواَل َش ِه ۡي ٌد ‌ؕ َواَل‬ َ ‫ق ۢ بِ ُكمۡ ؕ َو اتَّقُوا ‌َ ؕ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ‌ُ ؕ َو ُ بِ ُكلِّ ش َۡى ٍء َعلِ ۡي ٌم ‌ؕ َواَ ۡش ِهد ُۡۤوا اِ َذا تَبَايَ ۡعتُمۡ ۖ َواَل ي‬ ٌ ‫َواِ ۡن ت َۡف َعلُ ۡوا فَاِنَّهٗ فُس ُۡو‬
ۤ ‫هّٰللا‬ ٓ
ِ ‫ص ِغ ۡيرًا اَ ۡو َكبِ ۡيرًا اِ ٰلى اَ َجلِ ٖه‌ؕ ٰذ لِ ُكمۡ اَ ۡق َسطُ ِع ۡن َد ِ َواَ ۡق َو ُم لِل َّشهَا َد ِة َواَ ۡد ٰنى اَاَّل ت َۡرتَاب ۡ ُٓوا اِاَّل ۤ اَ ۡن تَ ُك ۡونَ تِ َجا َرةً َحا‬
‫ض َرةً تُ ِد ۡير ُۡونَهَا‬ َ ُ‫ت َۡســٔـََٔـ ُم ۡۤوا اَ ۡن ت َۡكتُب ُۡوه‬
ۡ ‫بِ ۡال َع ۡد ِل‌ؕ َو‬
‫است َۡش ِهد ُۡوا‬ ٗ‫ض ِع ۡيفًا اَ ۡو اَل يَ ۡست َِط ۡي ُع اَ ۡن يُّ ِم َّل هُ َو فَ ۡليُمۡ لِ ۡل َولِيُّه‬ َ ‫ق َسفِ ۡيهًا اَ ۡو‬ ُّ ‫س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجنَا ٌح اَاَّل ت َۡكتُب ُۡوهَا ‌ؕ فَاِ ۡن َكانَ الَّ ِذ ۡى َعلَ ۡي ِه ۡال َحـ‬ َ ‫بَ ۡينَ ُكمۡ فَلَ ۡي‬
‫ب‬ َ ‫ُ ۡخ ٰرى‌ؕ َو اَل يَ ۡا‬ ‫ض َّل اِ ۡح ٰدٮهُ َما فَتُ َذ ِّك َر اِ ۡح ٰدٮهُ َما ااۡل‬ ِ َ‫ض ۡونَ ِمنَ ال ُّشهَدَٓا ِء اَ ۡن ت‬ َ ‫ِّجالِ ُك ۚمۡ‌ فَاِ ۡن لَّمۡ يَ ُك ۡونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج ٌل وَّامۡ َراَ ٰت ِن ِم َّم ۡن ت َۡر‬َ ‫َش ِه ۡيد َۡي ِن ِم ۡن ر‬
‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ َواَل‬ ۡ ُّ ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ هّٰللا ‌ُ فَ ۡليَ ۡكتُ ۡب‌ۚ َو ۡليُمۡ لِ ِل الَّ ِذ ۡى َعلَ ۡي ِه ۡال َحـ‬
ِ َّ‫ق َوليَت‬ َ ُ‫ب كَاتِبٌ اَ ۡن ي َّۡكت‬ َ ‫ل ۚ َواَل يَ ۡا‬‌ِ ‫ال ُّشهَدَٓا ُء اِ َذا َما ُدع ُۡوا ‌ؕ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُكمۡ كَاتِ ۢبٌ بِ ۡال َع ۡد‬
ٓ ٰۤ ‫َس م ۡنهُ ش َۡيــٔــ‬
ُ‫ا يـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۤۡوا اِ َذا تَدَايَ ۡنتُمۡ بِد َۡي ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَ ۡاكتُب ُۡوه‬ ًًٔ ِ ۡ ‫يَ ۡبخ‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya
dengan benar-benar.(QS. Al-Baqarah: 282)
Kalau pinjam uang, orang berfikirannya sehat pada umumnya akan meminjam untuk tujuan tertentu yang
bernilai produktif, atau usaha yang untuk membayar bunga agar tingkat bunga itu lebih rendah dari
tingkat laba yang dicapai dalam usaha yang direncanakan lebih dahulu. Hutang piutang juga dikenal
dengan istilah kredit biasanya digunakan oleh masyarakat untuk memberikan pinjaman kepada pihak lain
sebagai metode transaksi ekonomi di dalam masyarakat. Hutang piutang biasanya digunakan oleh
masyarakat dalam konteks pemberian pinjaman pada orang lain, misalnya seseorang meminjamkan uang
kepada pihak lain maka itu disebut ia telah memberikan hutang. Sedangkan istilah kredit lebih banyak
digunakan oleh masyarakat pada transaksi perbankan dan pembelian yang tidak secara tunai.
Memenuhi kebutuhan tersebut baik manusia maupun perusahaan tidak membeli barang secara tunai
melainkan secara cicilan maupun kredit, disisi lain pihak seperti produsen selalu menawarkan barang
secara kredit kepada konsumen dengan cara menanguhkan jaminan benda bergerak maupun tidak
bergerak, jaminan merupakan suatu benda yang diberikan kepada kreditur untuk memberikan keyakinan
kepada debitur yang akan memenuhi kewajiban yang dapat dihitung dengan uang akibat dari suatu
perikatan, sesuai Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
Pada umumnya, masyarakat di Indonesia yang melakukan utang piutang dengan jaminan terhadap
kreditur masih banyak yang tidak melakukan perjanjian dengan debitur, di dalam perjanjian utang piutang
pada dasarnya kreditur dan debitur dibuat dengan bebas dengan bentuk lisan maupun tertulis tergantung
para pihak yang melakukan perjanjian utang piutang, padahal setiap kreditur berharap dalam melakukan
perjanjian dengan debitur selalu mengharapkan jaminan yang di perjanjikan dengan debitur sama nilai
jualnya dengan utang piutangnya yang diberikan oleh kreditur, namun ada kalanya perjanjian utang
piutang tersebut tidak sesuai dengan nilai jual jaminan akan tetapi para pihak yang melakukan perjanjian
tetap melakukan kesepakatan sesuai apa yang diperjanjian oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian
sesuai dengan Undang-undang KUH Perdata Pasal 1320 :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat;
1.1 Sepakatan meraka yang mengikatkan dirinya.
1.2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
1.3 Suatu hal tertentu.
1.4 Suatu sebab yang halal.
Apabila dalam pelaksanaan jaminan dalam perjanjian utang piutang salah satu pihak baik kreditur
maupun debitur tidak melaksanakan sesuai dengan perjanjian maka sesuai KUH Perdata Pasal 1238
dianggap wanprestasi. Kreditur maupun debitur akan mendapatkan akibat hukum sesuai peraturan
Perundang-undangan yang mana dapat dilakukan upaya hukum gugatan perdata di Pengadilan Negeri
untuk mendapatkan Putusan berkekuatan hukum tetap.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan literature review hutang dalam perspektif islam, sedangkan data
sekunder yang digunakan berupa data-data hasil petikan dari portal berita internet/website. Tujuan
literature review adalah untuk mendapatkan landasan teori yang bisa mendukung pemecahan masalah
yang sedang diteliti, tujuan lain dari literature review ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang
berkenaan dengan apa yang sudah dikerjakan orang lain sebelumnya. Literature review berisi uraian
tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan
kegiatan penelitian.
Selain itu metode penelitian yang digunakan adalam hukum normatif yaitu penelitian yang mempunyai
objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sehingga penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk
memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah sesuatu peristiwa sudah benar atau salah
serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum. Karena penulis ingin menelaah mengenai
jaminan dalam perjanjian utang piutang.
HASIL PENELITIAN
Hutang piutang adalah muamalah yang dibolehkan dalam ajaran agama islam namun diberikan
rambu-rambu kepada kita untuk berhati-hati menjalankannya karena hutang dapat membawa kita ke surga
dan dapat juga membawa kita ke neraka. Pemberi maupun penerima hutang hendaklah satu sama lain
mengetahui adab-adab yang digariskan dalam berhutang sehingga hutang menjadi sebuah solusi, menjadi
sebuah pertolongan kepada seseorang yang mengalami kesulitan finansial. Dengan mengetahui adab-adab
itu pula diharapkan tidak muncul permasalahan dikemudian hari yang pada akhirnya dapat merusak
hubungan sesama (hablun minannaas) dan memutuskan tali silaturrahim.
Secara umum para ulama menganggap sah melakukan jual beli piutang kepada orang yang
berutang, dan tidak sah dilakukan kepada orang yang tidak memunyai tanggung jawab hutang. Alasan
utama dalam hal ini adalah karena objek transaksinya tidak bisa diserah-terimakan. Ulama Malikiyah
membolehkannya tapi dengan syarat-syarat yang ketat. Berangkat dari hadits Nabi tentang jual beli al-
kãli-u bil kãli-i. Wahbah, mengatakan bahwa disini terlihat dimana pendapat Malikiyah merupakan yang
rajih diantara beberapa mazhab. Dalam praktiknya tidak boleh jual beli utang dengan utang, seperti
menjual utang kepada seseorang dengan cara ditanggguh; tidak boleh juga menfasakhkan utang dalam
utang, seperti si pemilik piutang menyerahkan kepada yang berhutang buah yang ia petik; atau rumah
yang ia tempati, untuk memperlama penguasaannya.
Perjanjian utang piutang yang dilakukan oleh kreditur dan debitur telah memenuhi syarat-syarat
sah perjanjian sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 sepakat, cakap, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal dan pada kasus skripsi ini juga tidak memenuhi dengan prinsip 5 C’S
( the five c’s of credit analysis. Jaminan yang tidak sebanding yang diberikan oleh debitur kepada kreditur
mengakibatkan wanprestasi dilakukan oleh pihak debitur yang tidak dipenuhinya isi perjanjian dengan
adanya kesepakatan antara pihak debitur kepada kreditur, yang mana debitur sudah memberikan somasi
beberapa kali kepada para debitur untuk memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian kepada kreditur,
pada skripsi ini debitur telah melakukan wanprestasi dan tidak melaksanakan prestasi sama sekali sesuai
dengan isi perjanjian, sehingga mengakibatkan kreditur mengalami kerugian baik materil maupun
immateriil, maka hakim yang memutuskan perkara ini meminta agar para debitur mengganti kerugian
yang terdiri dari tiga unsur yaitu biaya, rugi, dan bunga dari utang piutang tersebut.
PEMBAHASAN
Pengertian Utang Piutang
Hutang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu uang yang dipinjamkan dari orang
lain. Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).
Pengertian hutang piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: “pinjam meminjam adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang
tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.
Hutang piutang secara Etimologi dalam bahasa arab adalah ( ) diambil dari kata) yang berarti datang dan
pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata (ُ‫) رُا َو ؐ َع الت‬yang sama artinya dengan saling
menukar atau mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Secara terminologi syara‟, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikannya5, antara lain:
a) Menurut Hanafiyah
Al-Qardh adalah pemberian harta oleh seseorang kepada orang lain supaya ia membayarnya.Kontrak
yang khusus mengenai penyerahan harta kepada seseorang agar orang itu mengembalikan harta yang
sama sepertinya. Hutang piutang adalah memiliki manfaat secara cuma-cuma.
b) Menurut Malikiyah
Al-Qardh merupakanpinjaman atas benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas kasihan
dan bukan merupakan bantuan atau pemberian, tetapi harus dikembalikan seperti bentuk yang
dipinjamkan. Hutang piutang adalah memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
c) Menurut Syafi‟iyah
Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang
mungkin untuk dimanfaatkan serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
d) Menurut Hanabilah
Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau
yang lainnya.
e) Menurut Ibnu Rif‟ah
Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya
dapat dikembalikan.
f) Menurut Al-Mawardi
Hutang piutang adalah memberikan manfaat-manfaat.
Ahli fiqh berpendapat bahwa ‘Ariyah adalah memberikan izin kepada orang lain untuk mengambil
manfaat dari suatu benda yang boleh diambil manfaatnya dengan tetapnya benda tersebut setelah diambil
manfaatnya. Sehingga orang yang memanfaatkannya dapat mengembalikannya kepada pemiliknya.
‘Ariyah dapat disimpulkan perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak, di mana pihak
pertama menyediakan harta atau memberikan harta dalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai
peminjam uang atau orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta tersebut,
dengan kata lain memijamkan harta kepada orang lain yang membutuhkan dana cepat tanpa
mengharapkan imbalan. Pengertian hutang piutang yang lain ialah memberikan sesuatu (uang atau
barang) kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu.
Berdasarkan definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa piutang adalah memberikan
sesuatu kepada seseorang dengan pengembalian yang sama. Sedangkan hutang adalah menerima sesuatu
(uang atau barang) dari seseorang dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan hutang
tersebut dalam jumlah yang sama.
Selain itu akad dari hutang piutang adalah akad yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada
pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hutang piutang disarankan agar mempertimbangkan antara
manfaat dan mudharat serta pemberian penangguhan waktu bagi peminjam agar dapat membayar
hutangnya atau jika tetap tidak bisa membayarkan hutangnya maka lebih baik hutang tersebut direlakan
untuk tidak dibayarkan oleh peminjam.
Hutang-piutang dalam bahasa Arab disebut dengan Al-Qard, menurut Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy, Qard adalah suatu akad yang objeknya adalah salah seorang dari dua orang yang berakad
mengambil pada seorang lagi, benda yang ada padanya, yang dihabiskan seperti minyak dengan gandung
untuk dikembalikan dikemudian harinya .
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hutang piutang adalah uang yang dipinjam dari orang
lain dan yang dipinjamkan kepada orang lain . Dalam Islam, hutang piutang dikenal dengan istilah Al-
Qardh. Secara etimologis, kata Al-Qardh berarti Al-Qath’u yang bermakna potongan .
Dengan demikian, Al-Qardh dapat dipahami sebagai harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang, sebab harta yang diserahkan merupakan satu potongan dari harta orang yang memberikan
hutang.
Sedangkan dalam Kamus Istilah Fiqh, Al-Qardh diartikan sebagai pinjaman atau hutang. Adapun
kata hasan dapat diartikan dengan baik, bagus dan indah. Dengan demikian Al-Qardhul Hasan adalah
pinjaman yang diberikan kepada seseorang untuk kebutuhan yang mendesak dan jangka pendek tanpa
mengharapkan imbalan.
Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa hutang-piutang (Al-Qardh) adalah pinjaman
atau hutang yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk dikembalikan lagi kepada orang yang
telah meminjamkan harta, karena pinjaman tersebut merupakan potongan dari harta yang memberikan
pinjaman atau hutang.
Al-Qardhul Hasan adalah suatu perjanjian antara bank sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah
sebagai penerima baik berupa uang maupun barang tanpa persyaratan adanya tambahan biaya apapun.
Peminjam atau nasabah berkewajiban mengembalikan uang atau barang yang dipinjam pada waktu yang
telah disepakati bersama dengan pokok pinjaman. Karnaen Purwaatmadja mengatakan bahwa Al-
Qardhul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban semata di mana si
peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman .
Menurut Umar, Al-Qardhul Hasan adalah perjanjian pinjaman baru kepada pihak kedua dan pinjaman
tersebut dikembalikan dengan jumlah yang sama yakni sebesar yang dipinjam. Pengembalian ditentukan
dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan kesepakatan bersama dalam pembayaran dilakukan
secara angsuran maupun tunai. Ia menambahkan bahwa Al-Qardhul Hasan merupakan pinjaman yang
harus dikembalikan pada akhir suatu waktu yang telah disepakati tanpa keharusan membayar bunga
ataupun pembagian untung rugi dalam bisnis.
Sedangkan menurut Toto Abdul Fatah, Al-Qardhul Hasan adalah suatu pinjaman yang diberikan
seseorang kepada orang lain tanpa dituntut untuk mengembalikan apa-apa bagi peminjam, kecuali
pengembalian modal pinjaman tersebut .
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Al-Qardhul Hasan
merupakan suatu jenis pinjaman produk pembiayaan dari pemilik modal baik individu maupun kelompok
yang pengembalian pinjaman uangnya tidak disertai dengan bunga, namun pihak peminjam berkewajiban
untuk membayar biaya administrasi.
Landasan Hukum Utang Piutang
a. Al -qur'an
Al-Qur‟an adalah kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
termuat dalam mushaf bersifat autentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT). Wahyu tersebut
diterima Nabi Muhammad SAW dari Allah melalui Malaikat Jibril. Autentik Al-Qur‟an dapat dibuktikan
dari kehati-hatian para sahabat Nabi memeliharanya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitupula
kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya. Sebelum dibukukan,
ayat-ayat Al-Qur‟an berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hafalan yang kuat dan setia
atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Al-Qur‟an disebarluaskan secara periwayatan oleh orang
banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta.
Berikut adalah fungsi turunnya Al-Qur‟an kepada umat manusia, antara lain:
1. Sebagai ‫ ىًدُه‬atau petunjuk bagi kehidupan manusia
2. Sebagai ‫ رحمت‬atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangNya.
3. Sebagai ‫ فرقان‬atau pembeda antara yang baik dengan yang buruk, yang halal dengan yang haram, yang
salah dengan yang benar, yang indah dengan yang jelek, yang dapat dilakukan dan yang terlarang
dilakukan.
4. Sebagai ‫ موعظت‬atau pengajaran yang akan mengajar dan membimbing manusia dalam kehidupannya
agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
5. Sebagai ‫ بشــرى‬atau berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesama
manusia.
6. Sebagai ‫ تبيــان‬atau ‫ مبيه‬yang berarti penjelasan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah.
7. Sebagai ‫ مصـــدق‬atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya. Ini berarti Al-Qur'an
memberikan pengakuan terhadap kebenaran Taurat, Zabur, Injil berasal dari Allah.
8. Sebagai ‫ وور‬atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju
keselamatan.
9. Sebagai ‫ تفصيل‬yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan
yang dikehendaki Allah.
10. Sebagai ‫ شفاءالصدور‬atau obat bagi rohani yang sakit.
11. Sebagai ‫ حكيم‬yaitu sumber kebijaksanaan.
Dalam Islam hutang piutang yang tidak mengharapkan imbalan bagi pemilik modal dikenal
dengan istilah Al-Qardhul Hasan. Al-Qardhul Hasan adalah pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali. Al-Qardhul Hasan disyaratkan sebagai bentuk atau cara pendekatan
manusia kepada Allah SWT, karena Al-Qardh berarti lemah lembut kepada manusia, mengasihi mereka
dan memberikan kemudahan dalam urusan mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai
berikut :
ۡ َ‫ى َواَل ۡالقَآَل ِٕٕٮِـ َد َواَل ۤ ٰٓا ِّم ۡينَ ۡالبَ ۡيتَ ۡال َحـ َرا َم يَ ۡبـتَ ُغ ۡونَ ف‬ ‫هّٰللا‬ ۤ
ۡ ‫ضاًل ِّم ۡن َّربِّ ِهمۡ َو ِر‬
ؕ‌‫ض َوانًا‬ َ ‫ـرا َم َواَل ۡالهَ ۡد‬
َ ‫ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا اَل تُ ِحلُّ ۡوا َش َعٓا ِٕٕٮِـ َر ِ َواَل ال َّش ۡه َر ۡال َح‬
‫ـر ِام اَ ۡن ت َۡعتَد ُۡوا‌ ۘ َوتَ َعا َونُ ۡوا َعلَى ۡالبِ ِّر َوالتَّ ۡق ٰوى‌ ۖ َواَل تَ َعا َونُ ۡوا َعلَى‬ َ ‫ص ُّد ۡو ُكمۡ َع ِن ۡال َم ۡس ِج ِد ۡال َح‬ َ ‫اصطَاد ُۡوا‌ ؕ َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكمۡ َشن َٰانُ قَ ۡو ٍم اَ ۡن‬ ۡ َ‫َواِ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ب‬ِ ‫ن ۖ َواتَّقُوا َ‌ؕ اِ َّن َ َش ِد ۡي ُد ۡال ِعقَا‬ ‌ِ ‫ااۡل ِ ۡث ِم َو ۡالع ُۡد َوا‬

Artinya : “… Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah : 2).
Transaksi Al-Qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah
SAW serta Ijma’ Ulama. Sungguh pun demikian, Allah SWT mengajarkan kepada hamba-Nya agar
meminjamkan sesuatu bagi agama Allah SWT . Landasan hukum dari pemberian pinjaman tunai
kebaijikan Al-Qardhul Hasan adalah firman Allah SWT sebagai berikut:
ۤ ٰ ‫َم ۡن َذا الَّ ِذ ۡى ي ُۡق ِرضُ هّٰللا َ قَ ۡرضًا َح َسنًا فَي‬
ِ ‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ َولَهٗ اَ ۡج ٌر ك‬
‫َر ۡي ٌم‬
Artinya : “Barang siapa yang meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al-
Hadid:11).
Adapun yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah bahwa seorang hamba diserukan untuk
meminjam kepada Allah SWT, yaitu dengan cara membelanjakan harta di jalan Allah SWT. Selaras
dengan meminjam kepada Allah SWT, seorang hamba diseru untuk meminjam kepada manusia sebagai
bagian dari kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
ٰ ‫ۜصطُ ۖ َو اِلَ ۡي ِه تُ ۡر َجع ُۡونَ   َم ۡن َذا الَّ ِذ ۡى ي ُۡق ِرضُ هّٰللا َ قَ ۡرضًا َح َسنًا فَي‬
ۡ َ‫ُض ِعفَهٗ لَهٗۤ ا‬
‌ؕ ً‫ض َعافًاـ َکثِ ۡي َرة‬ ‫َوهّٰللا ُ يَ ۡقبِضُ َويَ ۡب ُُۜـ‬

Artinya : “Barang siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, sesuatu pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan yang banyak. dan Allah akan
menyempitkan dan melapangkan rizki, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al-Baqarah : 245).
Ayat lainnya yang membicarakan tentang masalah Al-Qardhul Hasan adalah firman Allah SWT
sebagai berikut :
‫هّٰللا‬
َ ‫ار‌ؕ َعلِ َم اَ ۡن لَّ ۡن تُ ۡحص ُۡوهُ فَت‬
‌ۡ‫َاب َعلَ ۡي ُكم‬ َ َ‫صفَهٗ َوثُلُثَهٗ َوطَٓا ِٕٕٮِـفَةٌ ِّمنَ الَّ ِذ ۡينَ َم َعكَ‌ؕ َو ُ يُقَ ِّد ُر الَّ ۡي َل َوالنَّه‬ ۡ ِ‫نى ِم ۡن ثُلُثَ ِى الَّ ۡي ِل َو ن‬ ٰ ‫ك تَقُ ۡو ُم اَ ۡد‬
َ َّ‫اِ َّن َربَّكَ يَ ۡعلَ ُم اَن‬
‫ض ِل هّٰللا ۙ‌ِ َو ٰا َخر ُۡونَ يُقَاتِلُ ۡونَ فِ ۡى َسبِ ۡي ِل‬ ۡ َ‫ض يَ ۡبتَ ُغ ۡونَ ِم ۡن ف‬ ‫اۡل‬
ِ ‫ض ِرب ُۡونَ فِى ا َ ۡر‬ ۡ َ‫ض ‌ۙى َو ٰاخَ ر ُۡونَ ي‬ ٰ ‫فَ ۡاق َر ُء ۡوا َما تَيَس ََّر ِمنَ ۡالقُ ۡر ٰا ِن‌ؕ َعلِ َم اَ ۡن َسيَ ُك ۡونُ ِم ۡن ُكمۡ َّم ۡر‬
‫هّٰللا ِ ۖ فَ ۡاق َر ُء ۡوا َما تَيَ َّس َر ِم ۡن ‌هُ ۙ َواَقِ ۡي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َواَ ۡق ِرضُوا هّٰللا َ قَ ۡرضًا َح َسنًا‌ ؕ َو َما تُقَ ِّد ُم ۡوا اِل َ ۡنفُ ِس ُكمۡ ِّم ۡن َخ ۡي ٍر تَ ِجد ُۡوهُ ِع ۡن َد هّٰللا ِ ه َُو َخ ۡيرًا‬
‫است َۡغفِرُوا هّٰللا َ‌ؕ ِا َّن هّٰللا َ َغفُ ۡو ٌر َّر ِح ۡي ٌم‬ ۡ ‫َّواَ ۡعظَ َم اَ ۡج ًرا‌ ؕ َو‬

Artinya: “… Maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik …” (QS. Al-Muzamil : 20).
Pada ayat selanjutnya yang membicarakan masalah Al-Qardhul Hasan adalah firman Allah SWT sebagai
berikut :
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ؕ ‫ُضـٓا َّر كَـاتِبٌ َّواَل َشـ ِه ۡي ٌد ‌ؕ َواَل‬ َ ‫ق ۢ بِ ُكمۡ ؕ َو اتَّقُـوا ‌َ ؕ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ‌ُ ؕ َو ُ بِ ُكـ ِّل َشـ ۡى ٍء َعلِ ۡي ٌم ‌ؕ َواَ ۡشـ ِهد ُۡۤوا اِ َذا تَبَــايَ ۡعتُمۡ ۖ َواَل ي‬ ٌ ‫َواِ ۡن ت َۡف َعلُ ۡوا فَاِنَّهٗ فُ ُسـ ۡو‬
ۤ َّ ِ‫ص ِغ ۡيرًا اَ ۡو َكبِ ۡيرًا اِ ٰلٓى اَ َجلِ ٖه‌ؕ ٰذ لِ ُكمۡ اَ ۡق َسطُ ِع ۡنـ َد هّٰللا ِ َواَ ۡقـ َو ُم ل‬
ِ ‫لشـهَا َد ِـة َواَ ۡد ٰنى اَاَّل ت َۡرتَــاب ۡ ُٓوا اِاَّل ۤ اَ ۡن تَ ُكـ ۡـونَ تِ َجــا َرةً َح‬
‫اضـ َرةً تُـ ِد ۡير ُۡونَهَا‬ َ ُ‫ت َۡســٔـََٔـ ُم ۡۤوا اَ ۡن ت َۡكتُب ُۡوه‬
‫است َۡشـ ِهد ُۡوا‬ۡ ‫ض ِع ۡيفًا اَ ۡو اَل يَ ۡست َِط ۡي ُع اَ ۡن يُّ ِمـ َّل هُـ َو فَ ۡليُمۡ لِ ۡـل َولِيُّهٗ بِ ۡال َعـ ۡـد ِل‌ؕ َو‬َ ‫ق َسفِ ۡيهًا اَ ۡو‬ ُّ ‫س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجنَا ٌح اَاَّل ت َۡكتُب ُۡوهَا ‌ؕ فَاِ ۡن َكانَ الَّ ِذ ۡى َعلَ ۡي ِه ۡال َحـ‬ َ ‫بَ ۡينَ ُكمۡ فَلَ ۡي‬
‫ب‬َ ‫خ ٰرى‌ؕ َو اَل يَـ ۡـا‬ ‫ح ٰدٮهُ َما ااۡل ُ ۡـ‬
‫ح ٰدٮهُ َما فَتُـ َذ ِّك َر اِ ۡـ‬ ‫َضـ َّل اِ ۡـ‬ ِ ‫الشـهَدَٓا ِء اَ ۡن ت‬ ُّ َ‫ضـ ۡونَ ِمن‬ َ ‫َش ِه ۡيد َۡي ِن ِم ۡن ِّر َجالِ ُك ۚمۡ‌ فَاِ ۡن لَّمۡ يَ ُك ۡونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج ٌل وَّامۡـ َراَ ٰت ِن ِم َّم ۡن ت َۡر‬
‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ َواَل‬ ۡ ُّ ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ هّٰللا ‌ُ فَ ۡليَ ۡكتُ ۡب‌ۚ َو ۡليُمۡ لِـ ِل الَّ ِذ ۡى َعلَ ۡيـ ِه ۡال َحــ‬
ِ َّ‫ق َوليَت‬ َ ُ‫ب كَاتِبٌ اَ ۡن ي َّۡكت‬ َ ‫ل ۚ َواَل يَ ۡا‬‌ِ ‫ال ُّشهَدَٓا ُء اِ َذا َما ُدع ُۡوا ‌ؕ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُكمۡ كَاتِ ۢبٌ بِ ۡال َع ۡد‬
ٓ ٰۤ ‫خَس م ۡنهُ ش َۡيــٔــ‬
ُ‫ا يـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اِ َذا تَدَايَ ۡنتُمۡ بِد َۡي ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَ ۡاكتُب ُۡوه‬ ًًٔ ِ ۡ ‫يَ ۡب‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan praktek hutang piutang tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu mencatatnya …” (QS. Al-Baqarah : 282).
b. Hadist
Al-Hadist adalah sumber kedua setelah Al-Qur‟an.Secara etimologi, hadits berarti tata cara. Menurut
pengarang kitab Lisan al-Arab (mengutip pendapat Syammar) hadits pada mulanya berarti cara atau jalan,
yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Menurut ahli
usul fiqh, Hadits adalah sabda Nabi Muhammad saw yang bukan berasal dari Al-Qur‟an, pekerjaan, atau
ketetapannya. Hadits sering disebut sebagai cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang dinukilkan
dari Nabi Muhammad SAW. Fungsi hadits adalah:
1. Menguatkan dan mempertegas hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an atau disebut fungsi ta’kid
dan takrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur‟an dalam hal menjelaskan arti
yang masih samar, merinci apa-apa yang ada dalam Al-Qur'an disebutkan dalam garis besar, membatasi
apa-apa yang dalam Al-Qur‟an dijelaskan secara umum, serta memperluas maksud dari sesuatu dalam
Al-Qur'an.
3. Menetapkan suatu hukum yang jelas tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Al-Hadits merupakan rahmat dari Allah kepada umatnya sehingga hukum Islam tetap elastis dan
dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Hadits yang menerangkan tentang hutang piutang adalah
sabda Rasululah saw:
Artinya: “dari Abu Rafi‟a ra. Bahwasannya Nabi saw pernah meminjam seekor unta muda dari
seseorang. Ternyata beliau menerima seekor unta untuk zakat. Kemudian Nabi saw menyuruh Abu Rafi‟i
berkata, “aku tidak menemukan kecuali yang baik dan pilihan yang sudah berumur empat tahun.”maka
Rasulullah saw bersabda: “berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik manusia ialah yang paling baik
melunasi hutang.” (HR. Muslim no.880)
Dalam hadits tersebut, dijelaskan bahwa setiap hutang harus dibayar sesuai dengan nilai yang
dipinjam sebelumnya. Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berhutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar
hutang. Hutang piutang harus disertakan dengan niat yang baik dari peminjam maupun dari yang
meminjamkan, seperti sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Al-Qardhul Hasan tidak hanya diabadikan dalam Al-Qur’an, tetapi juga terdapat dalam hadits
Rasulullah SAW sebagai berikut :
Dari Abdillah bin Abi Rabi’ah, ia berkata: Nabi saw telah meminjam dariku 40.000 dirham, kemudian
Nabi mendapatkan harta , maka beliau menyerahkan harta itu padaku (mengembalikan pinjaman). Beliau
bersabda:” Semoga Allah memberi barokah untukmu, di dalam keluargamu dan hartamu. Sesungguhnya
balasannya pinjaman adalah pujian dan pengembalian .” (HR Nasai, Kitab al-Buyu’)
c. Ijma' Ulama
Pada ulama sepakat bahwa Al-Qardhul Hasan boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari atas
naluri manusia yang tidak dapat hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya, tidak ada seorang pun
yang tidak membutuhkan pertolongan. Oleh sebab itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian
kehidupan di dunia, Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebutuhan umatnya.
Secara etimologi, ijma‟ mengandung dua arti, yaitu:
1. Ijma‟ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma‟ dalam
artian pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada Q.S Yunus (10): 71
2. Ijma‟ dengan arti “sepakat“. Ijma‟ dalam arti ini dapat dilihat dalam Al-Qur‟an surat Yusuf (12): 15
Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah syar‟i terdapat perbedaan
rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Beberapa rumusan
ijma‟ adalah sebagai berikut:
1. Al-Ghazali merumuskan ijma‟ sebagai kesepakatan umat nabi Muhammad secara khusus tentang sutu
masalah agama. Rumusan ini memberikan batasan bahwa ijma‟ harus dilakukan oleh umat nabi
Muhammad yaitu umat Islam.
2. Al-Amidi yang juga pengikut Syafi‟iyah merumuskan ijma‟ harus dilakukan dan dihasilkan oleh
seluruh umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila
disepakati oleh seluruh umat.
3. Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazam (pemuka kelompok Nazhmiyah, satu pecahan dari Mu'tazilah)
mengemukakan rumusan ijma' sebagai setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu
muncul dari seseorang.
Kemungkinan terjadinya ijma‟
1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan apakah seorang telah mencapai
tingkat pendidikan tertentu yang menyebabkan seseorang patut disebut mujtahid, karena secara formal
tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan mujtahid.
2. Jika ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk menyatakan seseorang telah mencapai
derajat mujtahid serta dapat pula diketahui mujtahid itu diseluruh dunia, namun untuk dapat menghimpun
pendapat mereka semua mengenai suatu masalah yang memerlukan hukum, secara meyakinkan atau
dekat kepada yakin adalah tidak mungkin karena mereka berada dalam lokasi yang berjauhan serta
berbeda latar belakang sosial dan budaya mereka. Tidak mungkin mengumpulkan pendapat mereka secara
kolektif atau secara perorangan
3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorangan di seluruh dunia ini dapat
menghimpun pendapat mereka menurut cara yang meyakinkan.
Para ulama sepakat dan tidak ada pertentangan mengenai kebolehan hutang piutang, kesepakatan ini
didasarkan pada tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Oleh
karena itu, hutang piutang sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama
yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
Meskipun demikian, hutang piutang juga mengikuti hukum taklifi, yang terkadang dihukumi
boleh, makruh, wajib, dan terkadang haram. Hukum dari pemberian hutang yang awalnya hanya
dibolehkan yang bisa menjadi suatu hal yang diwajibkan jika diberikan kepada orang yang sangat
membutuhkan. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk maksiat atau perbuatan makruh,
mislanya untuk membeli narkoba atau yang lainnya. Dan hukumnya boleh jika untuk menambah modal
usahanya karena berambisi mendapatkan keuntungan besar.
Haram bagi pemberi hutang mensyaratkan tambahan pada waktu akan dikembalikannya hutang.
Hutang piutang dimaksudkan untuk mengasihi manusia, menolong mereka menghadapi berbagai urusan,
dan memudahkan sarana-sarana kehidupan. Akad dalam hutang piutang bukanlah salah satu sarana untuk
memperoleh penghasilan dari memberikan hutang kepada orang lain. Oleh karena itu, diharamkan bagi
pemberi hutang untuk mensyaratkan tambahan dari hutang yang dia berikan ketika mengembalikannya.
Tetapi berbeda jika kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berhutang sebagai
balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba dan dibolehkan serta menjadi kebaikan bagi
si pemberi hutang. Karena ini terhitung sebagai al-husnul al-qada’ (membayar hutang dengan baik).
Berdasarkan beberapa uraian yang menjadi dasar hukum hutang piutang di atas baik dari firman
Allah dan Hadits Nabi Muhammad Saw, hutang piutang merupakan salah satu bentuk akad yang
disyari‟atkan hukum Islam dengan melonggarkan kesempitan hidupnya, merupakan perbuatan yang
terpuji dan mendapatkan pahala dari Allah. Secara otomatis hutang piutang merupakan tindakan yang
disunnahkan menurut hukum Islam, jika dilakukan sesuai dengan batasan-batasan yang diperbolehkan
syara‟.
Contoh dalam perdagangan, seseorang memiliki modal tetapi tidak pandai berdagang atau tidak
memiliki kesempatan untuk berdagang, sedangkan orang lain pandai dan cakap serta memiliki waktu
yang cukup untuk berdagang, tetapi tidak memiliki modal.
Dari ketiga landasan tersebut yaitu Al-Qur’an, hadits Rasulullah SAW dan ijma’ ulama secara
jelas membolehkan pelaksanaan Al-Qardhul Hasan, tetapi kebolehan tersebut belum bersentuhan dengan
harta yang dapat dipinjamkan. Para ulama sepakat bahwa boleh meminjamkan harta yang bisa ditakar,
ditimbang ataupun makanan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa boleh meminjamkan segala sesuatu
kecuali manusia. Sementara itu, Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh meminjamkan sesuatu yang
tidak bisa ditakar dan ditimbang.
Menurut Imam Hanafi seperti dikutip oleh Wahbah Zuhaeli, sah memberi pinjaman barang-
barang mistly, yaitu barang-barang yang memiliki unit yang serupa di pasar atau barang-barang yang
tidak memiliki perbedaan yang mencolok bila ditinjau dari aspek harga. Adapun yang termasuk barang
mistly adalah barang yang dapat ditakar dan ditimbang karena bentuknya sama seperti buah kelapa, telor
dan dapat diukur dengan sesuatu ukuran panjang seperti kain.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan Hambali seperti dikemukakan oleh Wahbah Zuhaeli,
mengatakan bahwa boleh memberikan pinjaman pada setiap harta yang sah untuk dijual baik itu barang
yang dapat ditakar atau ditimbang seperti emas, perak dan makanan atau barang-barang tersebut adalah
barang qimiy, yaitu barang-barang yang tidak mempunyai unit yang serupa di pasar seperti barang
perniagaan dan hewan.
Rukun dan Syarat Utang Piutang
1. Rukun Utang Piutang
Dari paparan surat Al Baqarah (2):282 tersebut, maka terdapat rukun dalam hutang piutang yang
perlu kita ketahui, yaitu:
1. Ijab Qabul Hutang Piutang
a. Pernyataan hutang harus ditulis secara jelas untuk menghindari salah pengertian kedua belah pihak
dikemudian hari.
b. Terjadi ijab qabul (sighat) antara pemberi hutang (kreditur) dengan penerima hutang (debitur).
Contoh: “Saya memberikan pinjaman (hutang) sebanyak Rp. 5.000.000 kepada Anda untuk jangka waktu
5 bulan. Kemudian dijawab oleh penerima hutang dengan mengatakan, “Saya berhutang kepada Anda
sebanyak Rp. 5.000.000 dan saya akan melunasinya dalam jangka waktu 5 bulan.”
2. Penulis Surat Perjanjian Hutang
a. Penulis surat perjanjian hutang harus adil dan dipercayai oleh kedua pihak, pemberi dan penerima
hutang.
b. Harus melaksanakan amanah seperti yang dikehendaki oleh kedua belah pihak.
3. Saksi
a. Jumlah saksi minimal adalah dua orang laki-laki. Jika tidak ada, boleh seorang laki-laki dan dua
orang perempuan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
b. Saksi yang ditunjuk haruslah bersedia untuk memberi kesaksian bilamana dibutuhkan.
4. Pihak-pihak yang terlibat
a. Pihak-pihak yang memberi pinjaman dan peminjam harus jelas dan saling ridho satu sama lain.
b. Perjanjian boleh diwakilkan berdasarkan kuasa yang diberikan salah satu pihak.
5. Jumlah uang (harta) yang dipinjamkan
Surat perjanjian dan jumlah uang (jenis harta) yang dipinjamkan harus dinyatakan dengan jelas
untuk menghindari permasalahan yang muncul di masa yang akan datang.Sementara itu, Bank Indonesia
dan Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN MUI) menggariskan Rukun dan Syarat
Qardh (pinjaman/hutang) adalah sebagai berikut:
Rukun Qardh
1. Peminjam (Muqtaridh)
2. Pemilik dana atau pemberi pinjaman (Muqridh)
3. Jumlah dana (Qardh)
4. Ijab Qabul (Sighat)
Syarkhul Islam Abi Zakaria al-Ansari sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syafe‟i Antonio
dalam bukunya yang berjudul Bank Syari’ah dari Teori ke Praktekmemberi penjelasan bahwa rukun
hutang piutang itu sama dengan jual beli, yaitu:
a) Yang berhutang dan yang berpiutang
b) Barang yang dihutangkan
c) Bentuk persetujuan antara kedua belah pihak.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun hutang piutang („ariyah) hanyalah ijab dari yang
meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun, ariyah. Menurut ulama Syafi‟iyah,
dalam ‘ariyah disyaratkan adanya lafazh sighat akad yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang
meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya
izin. Sedangkan Drs. Chairuman Pasaribu berpendapat bahwa rukun hutang piutang ada 4 macam , yaitu:
a) Orang yang memberi hutang
b) Orang yang berhutang
c) Barang yang dihutangkan (objek)
d) Ucapan Ijab dan Qabul (Lafadz)
Dengan demikian hutang piutang dianggap telah terjadi apabila sudah terpenuhi rukun dan syarat
dari hutang piutang itu.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat yaitu:
a) Mu‟ir (peminjam)
Syarat-syarat bagi mu‟ir adalah:
1) Baligh
2) Berakal
3) Orang tersebut tidak dimahjur
b) Musta‟ir (yang meminjamkan)
Syarat-syarat bagi musta‟ir adalah:
1) Baligh
2) Berakal
3) Orang tersebut tidak dimahjur
c) Mu‟ar (barang yang dipinjamkan)
Syarat-syarat bagi benda yang dihutangkan:
1) Materi yang dipinjam dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat
digunakan.
2) Pemanfaatan itu diperbolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan
oleh syara‟ seperti meminjam benda-benda najis.
d) Sighat (yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan
maupun perbuatan). Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti orang berkata “saya hutangkan benda ini
kepada kamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku berhutang kepada kamu (sebutkan benda yang
dipinjam)”.
2. Syarat Utang Piutang
Dr. H. Nasrun Haroen MA dalam bukunya Fiqh Muamalah20 menyebutkan bahwa syarat dalam
akad 'ariyah adalah sebagai berikut:
a. Mu‟ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Orang yang tidak berakal
tidak dapat dipercayai memegang amanah, sedangkan 'aiyah ini pada dasarnya amanah yang harus
dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya.
1) ‘ariyah batal jika dilakukan oleh anak kecil
2) ‘ariyah batal jika dilakukan oleh orang yang sedang tidur atau orang gila
3) ‘ariyah tidak sah jika dilakukan oleh orang yang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti
pemboros.
b. Pemegangan barang oleh peminjam
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah
peminjam, seperti halnya dalam hibah. Adapun syarat barang yang akan dipinjamkan adalah:
1) Barang tersebut halal atau milik sendiri
2) Barang yang dipinjamkan memiliki manfaat
3) Barang yang akan dipinjamkan bukanlah barang rusak
c. Barang (musta‟ar) dapat dimanfaatkan tanpa
merusak zatnya, jika musta‟ar tidak dapat dimanfaatkan maka akad menjadi tidak sah.
1) ‘ariyah tidak sah apabila materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah
hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi
2) ‘ariyah batal apabila pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-
benda najis.
d. Manfaat barang yang dipinjamkan itu termasuk manfaat yang mubah (dibolehkan syara‟).
e. Besarnya pinjaman harus diketahui dengan takaran, timbangan atau jumlahnya.
b. Sifat pinjaman dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan dan pinjaman berasal dari orang
yang layak dimintai pinjaman.
Sedangkan syarat-syarat hutang piutang terdiri dari muqridh (kreditur) dan muqtaridh (debitur).
Syarat-syarat bagi kreditur dan debitur adalah berakal, atas kehendak sendiri dan tidak mubazir, sehingga
pinjaman tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan, dan syarat yang terakhir bagi kedua
belah pihak adalah baligh (dewasa, sudah cukup umur). Menurut Imam Hanafi, memberikan hutang
kepada anak kecil atau orang yang berada dalam perwalian tidak dibolehkan. Syarat Al-Qardhul Hasan
yang kedua adalah ijab qabul. Ijab dan qabul merupakan syarat yang harus dilakukan oleh pihak-pihak
yang melakukan aqad qard. Kontrak ini tidak sah dilakukan kecuali dengan ijab dan qabul, sebab Al-
Qardhmerupakan kontrak pemberian milik kepada seseorang. Lafadz yang sah digunakan ialah lafadz Al-
Qardh dan Al-Salaf, sebab syara’ menyebutkan keduanya.
Selain rukun dan syarat, fatwa DSN MUI Nomor 19 Tahun 2000 juga menjelaskan tentang
ketentuan umum al Qardh, yakni:
1. Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada muqtaridh yang memerlukan
2. Nasabah (penerima) qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah
disepakati bersama
3. Biaya administrasi (bila ada) dibebankan kepada nasabah
4. Lembaga Keuangan Syariah (yang memberikan qardh) dapat meminta jaminan kepada nasabah
(penerima qardh) bilamana dipandang perlu.
5. Nasabah (penerima) qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada lembaga
keuangan syariah selama tidak diperjanjikan dalam akad
6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah
disepakati dan lembaga keuangan syariah telah memastikan ketidak mampuannya (si penerima qardh),
lembaga keuangan syariah dapat:
a. Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b. Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Didalam fatwa yang dikeluarkan tanggal 09 April 2001 juga dijelaskan mengenai sanksi dan sumber-
sumber dana yang dapat diperoleh untuk dijadikan dana qardh.
Sanksi:
1. Dalam hal penerima qardh (nasabah) tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau
seluruh kewajibannya, lembaga keuangan syariah dapat menjatuhkan sanksi.
2. Sanksi yang dijatuhkan sebagaimana dimaksud diatas dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan
barang jaminan.
3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah (penerima qardh) tetap harus memenuhi kewajibannya
secara penuh.
Pembayaran dan Tanggung Jawab Peminjam
1. PembayaranSetiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang
kepada yang memberikan pinjaman (musta‟ir). Setiap hutang wajib dibayar sehingga berdosalah orang
yang tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan pembayaran hutang juga termasuk aniaya.
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Abu Yaman meriwayatkan: Syu‟aib meriwayatkan dari Zuhri, dan Ismail meriwayatkan. Dia
berkata: saudara laki-laki ku telah menceritakan kepadaku, dari Sulaiman, dari Muhammad bin Ibnu Atiq,
dan Ibnu Syihab dari Urwah, sesungguhnyaAisyah RA., bahwa Rasulullah SAW selalu berdoa dalam
sholat beliau, “Wahai Allah” sesungguhnya saya berlindung kepadamu dari dosa dan hutang. Seseorang
berkata kepada beliau, “alangkah banyaknya engkau berlindung dari hutang, wahai Rasulullah?” beliau
bersabda, “sesungguhnya seseorang apabila hutang dan berkata, maka ia berdusta, dan apabila berjanji,
maka ia mengingkari.”(HR. Bukhari no. 2397).
Pembayaran hutang adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh peminjam (mu‟ir). Dalam hal
ini tentunya mu‟ir harus benar-benar mempunyai niat baik serta keyakinan untuk menunaikan
pembayaran atas hutang tersebut. Berikut adalah firma Allah tentang pembayaran hutang:QS Al-
Muzammil ayat 20
Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang
yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan
kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada
di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada
Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.
Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Peminjam juga mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan hutangnya sesuai dengan perjanjian pada
awal terjadinya hutang piutang. Peminjam (mu‟ir) mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan
perjanjian hutang piutang seperti pada ayat Al-Qur‟an berikut ini. QS. Al-Isra‟ ayat 34:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat) sampai ia dewasa, dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya.
Sumber Dana Qardh.
Sumber-sumber dana qardh dapat berasal dari internal maupun eksternal lembaga keuangan
syariah, seperti:
1. Bagian modal dari lembaga keuangan syariah tersebut
2. Keuntungan lembaga keuangan syariah yang disisihkan, dan
3. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaq-nya melalui lembaga
keuangan syariah.
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah dijelaskan tentang qardh sebagai berikut:
1. Pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan
namun tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian.
2. Bank syariah disamping memberikan pinjaman qardh, juga dapat menyalurkan pinjaman dalam bentuk
qardhul hasan. Qardhul hasan adalah pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam untuk
menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama
pada akhir periode yang disepakati. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena kelalaiannya maka
kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman. Pelaporan qardhul hasan disajikan tersendiri dalam
laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan asset bank yang
bersangkutan.
3. Sumber dana qardhul hasan berasal dari eksternal dan internal. Sumber dana eksternal meliputi dana
qardh yang diterima bank syariah dari pihak lain (misalnya sumbangan, infaq, shadaqah, dan sebagainya),
dana yang disediakan oleh para pemilik bank syariah dan hasil pendapatan non-halal. Sumber dana
internal meliputi hasil tagihan pinjaman qardhul hasan.
Dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai panduan akuntansi bagi bank syariah di Indonesia, dijelaskan tentang qardh sebagai berikut:
1. Pinjaman qardh merupakan pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbalan. Namun demikian,
peminjam dana diperkenankan untuk memberikan imbalan.
2. Sumber dana pinjaman qardh dapat berasal dari intern dan ekstern bank. Sumber pinjaman qardh yang
berasal dari ekstern bank berasal dari dana hasil infaq, shadaqah dan sumber dana non-halal, sedangkan
pinjaman qardh yang berasal dari intern bank adalah dari ekuitas/modal bank.
3. Sumber pinjaman qardh yang berasal dari ekstern bank dilaporkan dalam laporan sumber dan
penggunaan dana qardhul hasan, sedangkan sumber pinjaman qardh yang berasal dari intern bank
dilaporkan di neraca bank sebagai pinjaman qardh.
4. Atas pinjaman qardh, bank hanya boleh mengenakan biaya administrasi.
5. Jika ada penerimaan imbalan (bonus) yang tidak dipersyaratkan sebelumnya maka penerimaan imbalan
tersebut dimasukkan sebagai pendapatan operasi lainnya.
6. Jika pada akhir periode, peminjam dana qardh tidak dapat mengembalikan dana, maka pinjaman qardh
dapat diperpanjang atau dihapusbukukan.
7. Bank dapat meminta jaminan atas pemberian qardh.
8. Jika giro bersaldo negatif maka saldo giro negatif tersebut dicatat di neraca bank sebagai pinjaman
qardh.
Manfaat Utang Piutang
Menurut Syafi’i Antonio, pada dasarnya manfaat Al-Qardh itu banyak sekali, salah satu di
antaranya adalah memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapatkan
dana pinjaman jangka pendek/panjang yang sesuai dengan aqad. Al-Qardhul Hasan juga merupakan salah
satu ciri pembeda antara bank syari’ah dengan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi
sosial, di samping misi komersial. Adanya misi sosial kemasyarakatan ini akan meningkatkan loyalitas
masyarakat terhadap bank syari’ah dan syari’ah itu sendiri. Manfaat lainnya adalah berupa santunan
kebajikan yang diberikan untuk membantu meringankan beban ekonomi para mustahiq.
Resiko dalam Al-Qardhul Hasan tergolong tinggi, karena itu dianggap pembiayaan yang tidak ditutup
dengan jaminan. Dapat disimpulkan bahwa, semua manfaat Al-Qardhul Hasan juga dapat dijadikan
sebagai produk untuk pembiayaan sosial kemasyarakatan seperti pengusaha kecil yang kekurangan dana,
tetapi memiliki prospek bisnis yang sangat baik.
Faktor Terjadinya Hutang Piutang
Ada 3 penyebab utama terjadinya hutang piutang yaitu:
1. Under Earning
Ini terjadi karena penghasilan terlalu kecil dibandingkan kebutuhan sehari-hari.
2. Over Spending
Boros merupakan gaya hidup seseorang di mana mereka yang memiliki penghasilan yang cukup tapi
pengeluarannya pun cukup besar. Penghasilannya mungkin akan menutupi kebutuhan hidupnya, tapi
mereka bisa mengontrol keinginan pribadinya yang begitu besar.
3. Un-Expected
Biasanya terjadi karena kecelakaan dan sesuatu yang diduga-duga. Seperti halnya tertipu orang, terkena
musibah dan lain-lain sehingga mereka terpaksa berhutang karena harus menanggung kerugian
tersebut.Sedangkan menurut H.A Khumedi Ja‟far dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indonesia
dijelaskanbahwa faktor yang mendorong seseorang berhutang, antara lain:
a) Keadaan ekonomi yang memaksa (darurat) atau tuntunan kebutuhan ekonomi
b) Kebiasaan berhutang sehingga jika hutangnya sudah lunas menimbulkan perasaan ingin berhutang lagi
c) Karena kalah judi sehingga ia berhutang untuk membayar kekalahannya
d) Ingin menikmati kemewahan yang tidak (belum) bisa dicapainya
e) Untuk dipuji orang lain sehingga berhutang demi memenuhi yang diinginkannya (gengsi).
Tata Krama Berhutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam ‘ariyah tentang nilai dan sopan santun
yang terkait di dalamnya, ialah:
1. Sesuai dengan QS Al-Baqarah: 282, hutang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak
berhutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua
orang saksi perempuan. Tulisan tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati
akan membayarnya /mengembalikannya.
3. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berhutang.
4. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat pembayaran
hutangnya. Lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
Sedangkan solusi Islam untuk orang yang tidak mampu membayar hutang27 adalah sebagai
berikut:
1. Mengambil hutang pokoknya saja (kapital). Mengambil hutang pokok tidak akan mendzalimi orang
yang berhutang dengan mengambil laba dari hutang pokok.
2. Menambah penangguhan waktu pembayaran hutang, seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT QS.
Al-Baqarah:280 yang artinya “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran maka berilah
penangguhan sampai dia lapang”.
3. Membebaskan hutang.
Beberapa hal yang menjadi sebuah amal ibadah antar sesama (hablun minannaas) dan untuk
menghindari masalah dikemudian hari akibat transaksi hutang, ada adab yang harus diketahui oleh pihak
pemberi maupun penerima hutang. Adab Pemberi Hutang
a. Sebaiknya memberikan hutang kepada orang yang benar-benar membutuhkan
b. Memberi hutang dengan niat bertolong menolong dalam kebajikan
c. Sebaiknya memberikan waktu/tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemampuan
maupun kemudahan untuk membayar
d. Sebaiknya jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang telah disepakati sebelumnya
e. Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut dan persuasif
f. Diperkenankan meminta orang lain untuk menagih hutang dengan terlebih dahulu member nasihat agar
bersikap baik, bertutur kata lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih
g. Tidak mensyaratkan tambahan/imbalan atas jumlah hutang sesuai dengan kaidah fiqih, “Setiap hutang
yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.
h. Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang mengalami kesulitan dalam pelunasan setelah
jatuh tempo dan mengikhlaskan (untuk sedekah) sebagian atau keseluruhan hutang tersebut adalah
perbuatan yang lebih baik. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah (2):280, “Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan, dan menyedekahkan
(sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Nabi Muhammad SAW juga
pernah bersabda hal yang serupa sebagaimana diriwayatkan Ibnu Majah, “Barangsiapa yang ingin
dinaungi Allah dengan naungan-Nya, maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi
orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.”
Adab Peminjam (Penerima Hutang)
a. Berhutang hanya dalam keadaan terpaksa/sulit
b. Tidak menunda-nunda dalam membayar hutang
c. Berniat sungguh-sungguh untuk melunasi
d. Menunda pelunasan hutang adalah kezaliman sebagaimana hadits Rasulullah, “Memperlambat
pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang
kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima
pengalihan tersebut”. (HR Bukhari, Muslim)
e. Menunda-nunda hutang padahal diberikan kelapangan untuk membayar maka akan bertambah satu
dosanya setiap hari selama masa penundaan tersebut (HR Baihaqi)
f. Apabila belum diberikan kemampuan untuk membayar hutang hendaknya banyak berdoa kepada Allah
agar diberikan kemudahan untuk melunasi.
g. Berupaya untuk berhutang dari orang sholeh yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal, dengan
demikian diharapkan hutang tersebut dapat menenangkan jiwa dan mendatangkan keberkahan.
h. Jika terjadi keterlambatan membayar karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang
memberitahukan kepada yang memberikan pinjaman.
i. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin seraya menyadari bahwa pinjaman merupakan
amanah yang harus dikembalikan.
j. Disunnahkan melafalkan tahmid (Alhamdulillah) manakala hutang telah terbayar sebagai rasa syukur
kepada Allah.
k. Bila ada orang masuk surga karena piutang, kemudian hari juga akan ada orang yang kehabisan amal
baik dan akan masuk neraka karena kelalaiannya dalam membayar hutang. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan Baihaqi, Thabrani, dan Hakim sebagai berikut: “Barang siapa (yang
berhutang) didalam hatinya tidak ada niat untuk membayar hutangnya, maka pahala kebaikannya akan
dialihkan kepada yang memberi piutang. Jika masih belum terpenuhi, maka dosa-dosa yang memberi
hutang akan dialihkan kepada orang yang berhutang.”
Hutang dan Integritas Muslim
Pada bagian ini kami menginginkan kepuasan segera tanpa memikirkan tentang harusmemeriksa
implikasi agama dan moral dari hutang di masa depan, kurangnya tanggung jawab dan kemandirian
danuntuk Muslim dan lebih khusus lagi. ; memahami bagaimana hutang miskin distribusi kekayaan
mempengaruhi integritas umat Islam. Dalam perspektif Islam yang umum digunakan tentang hutang
menyoroti doareligius, Muslim mencari perlindungan kepada Tuhan dari sejumlah poin etika yang
menarik. Pertama, umat Islam yangberhutang berlebihan (ghalabat al-dayn) dan penyalah gunaannya
dituntut untuk senantiasa menumbuhkan karakter yang ikhlas bagi manusia; anggapan utama adalah
bahwa hutang hutang akuntabilitas, menghormati hasil keuangan mereka dalam kondisi stres dan kejam
yang tak terhindarkan. komitmen, melepaskan semua tanggung jawab mereka,menghindari Pembacaan
doa semacam itu menghubungkan umat Islam dengan pengeluaran yang boros, menghindariperjudian
finansial dan dunia nyata mereka sambil mempertahankan kesadaran agama untuk memastikan bahwa
bisnismereka adil dan bebas bunga. Baik itu perencanaan keuangan, tanggung jawab dan
pertanggungjawaban.
Instruksi agama membentuk dan mengontrol hutang berlebih Muslim Muslim mempengaruhi
pemikiran, emosi dan keputusan agama mereka sehubungan dengan integritas keuangan dalam berbagai
tingkat. Dalam pinjaman spiritual danpembayaran. Apa yang memahat situasi keuangan dunia, umat
Islam berusaha untuk membebaskan pikiran dan jiwamereka dari seorang debitur Muslim namun, lebih
buruk lagi tidak membujuk dari segala macam tekanan yang mungkin mempengaruhi keyakinan agama,
agama dan moral mereka yang tertanam dalam kesehatan sosial sosial dan fisik.Ibadah haji, misalnya,
budaya religius membutuhkan kejujuran dan ketulusan dengan menjelaskan kebutuhan umat Islam untuk
membebaskan kreditor mereka, tetapi juga keyakinan bahwa kewajiban finansial spiritual dan moral
agarintegritas agama mereka menjadi sempurna tidak pernah kekurangan tanpa pembebasan total taruhan.
Sebelum haji Muslim secara religius direkomendasikan kewajiban keuangan dan komitmen
keuangan serta budaya terbiasa untukmembersihkan tanggung jawab pribadi mereka terhadap rumah
tangga, keluarga dan hutang dan memperbaiki masalahyang berkaitan dengan hak-hak publik. Faktanya,
komunitas. Dengan demikian, dalam pergaulan yang intrinsik danintim menurut sejumlah ahli hukum
Muslim, umat Islam tampaknya ada antara berutang dan moral yang tidak diijinkanuntuk menjalankan
kewajiban kejujuran seperti yang ditunjukkan dalam haji Nabi berikut dengan hutang dan pinjaman.Doa
pendapat hukum lainnya: “Ya Tuhan, saya berlindung denganMu dari dosa dan mengizinkannya ketika
debiturdengan percaya diri mampu membayar hutang yang berat” [12].hutang kembali. Hebatnya, ketika
hutang menghabiskan semua Hutang dilihat sebagai sumber penghinaan pada sianghari pendapatan
seorang Muslim, mereka kemudian akan menjadi dan kecemasan di malam hari. Khalifah kedua
'Umarmenjelaskan menurut ajaran Islam, sebagai orang miskin ibn al-Khattab (w. 644 M) yang
mendasarkankewaspadaannya pada (faqir) atau individu yang membutuhkan (miskin) dan karenanya
menjadi berhutang padakenyataan bahwa hutang itu dimulai dengan kekhawatiran berhak atas dukungan
keuangan yang berasal dari dandiakhiri dengan permusuhan. Misalnya, komunitas Qurtubi (wafat
1273CE).
Bahaya Kebiasaan Berhutang
Nabi Muhammad SAW memang memperkenankan hutang sebagaimana dalam ajaran yang dibawanya,
namun Rasulullah juga mengajarkan kepada umatnya untuk menghindari berhutang karena menurutnya
hutang dapat membawa mudharat lain bagi seseorang, sebagaimana dalam salah satu hadits yang
diriwayatkan Bukhari: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” Hutang menurut Rasulullah cenderung membuat seseorang
(yang berhutang) banyak bicara (mencari alasan-alasan untuk menunda pembayaran) sehingga berpotensi
untuk melakukan kedustaan, banyak memberikan janji mengenai tanggal dan hari pelunasan yang juga
berpotensi untuk di ingkari. Rasulullah juga pernah diriwayatkan menolak menshalatkan jenazah
seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasinya.
“Diriwayatkan dari Salamah bin Al Akwa, dia berkata,”Dulu kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW,
kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu pun berkata,
“Shalatilah dia!” Beliaupun bertanya, “Apakah dia punya hutang?” Mereka pun menjawab, “Tidak”
Beliaupun bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?” Mereka pun menjawab, “Tidak”
Kemudian Beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang
membawanya pun berkata, “Shalatilah dia” Beliau pun bertanya, “Apakah dia punya hutang?” Mereka
pun menjawab, “Ya” Beliaupun bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?” Mereka pun
menjawab, “Tidak” Beliau pun bertanya, “Apakah dia punya hutang?” Mereka pun menjawab, “Ada tiga
dinar” Beliau pun berkata, “Shalatlah kalian kepada sahabat kalian”, Kemudian Abu Qatadah pun berkata,
“Shalatilah dia Yaa Rasulullah, hutangnya menjadi tanggung jawabku” Kemudian Beliau pun
menshalatinya.” (HR Bukhari).
Hutang atau mempunyai kebiasaan berhutang akan mendatangkan kerisauan dan kehinaan, hal ini
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi: “Berhati-hatilah kamu dalam
berhutang, sesungguhnya hutang itu mendatangkan kerisauan di malam hari dan menyebabkan kehinaan
di siang hari.”. Hadits ini secara nyata dan tegas menganjurkan kepada kita agar menjauhi hutang, jika
diberikan kemampuan membeli secara tunai hendaklah jauhi berhutang (membayar dengan tempo).
Kesimpulan
Secara umum para ulama menganggap sah melakukan jual beli piutang kepada orang yang
berutang, dan tidak sah dilakukan kepada orang yang tidak memunyai tanggung jawab hutang. Alasan
utama dalam hal ini adalah karena objek transaksinya tidak bisa diserah-terimakan. Hutang piutang
adalah muamalah yang dibolehkan dalam ajaran agama islam namun diberikan rambu-rambu kepada kita
untuk berhati-hati menjalankannya karena hutang dapat membawa kita ke surga dan dapat juga membawa
kita ke neraka. Pemberi maupun penerima hutang hendaklah satu sama lain mengetahui adab-adab yang
digariskan dalam berhutang sehingga hutang menjadi sebuah solusi, menjadi sebuah pertolongan kepada
seseorang yang mengalami kesulitan finansial. Dengan mengetahui adab-adab itu pula diharapkan tidak
muncul permasalahan dikemudian hari yang pada akhirnya dapat merusak hubungan sesama (hablun
minannaas) dan memutuskan tali silaturrahim.
Perjanjian utang piutang yang dilakukan oleh kreditur dan debitur telah memenuhi syarat-syarat
sah perjanjian sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 sepakat, cakap, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal dan pada kasus skripsi ini juga tidak memenuhi dengan prinsip 5 C’S
( the five c’s of credit analysis.
Jaminan yang tidak sebanding yang diberikan oleh debitur kepada kreditur mengakibatkan
wanprestasi dilakukan oleh pihak debitur yang tidak dipenuhinya isi perjanjian dengan adanya
kesepakatan antara pihak debitur kepada kreditur, yang mana debitur sudah memberikan somasi beberapa
kali kepada para debitur untuk memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian kepada kreditur, pada
skripsi ini debitur telah melakukan wanprestasi dan tidak melaksanakan prestasi sama sekali sesuai
dengan isi perjanjian, sehingga mengakibatkan kreditur mengalami kerugian baik materil maupun
immateriil, maka hakim yang memutuskan perkara ini meminta agar para debitur mengganti kerugian
yang terdiri dari tiga unsur yaitu biaya, rugi, dan bunga dari utang piutang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fanika,Noor , Azzafi, Ashif. 2020. "PANDANGAN ISLAM TERHADAP ADAT KEBIASAAN
HUTANG PIUTANG MASYARAKAT DESA DAREN KECAMATAN NALUMSARI
KABUPATEN JEPARA". Vol.5 No.1. 28-40
Cahyadi, Ady. 2014. "MENGELOLA HUTANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM". Vol. 4 No.1. 67-78
Arriza, Muhamad Rifqi. 2015. "TEORI DAN PRAKTEK AKAD QARDH (HUTANG PIUTANG)
DALAM SYARIAT ISLAM". Vol. 9 No.2. 244-266
Nwaraswati, Bresima. 2017. "JAMINAN DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG". Vol.

Anda mungkin juga menyukai