Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN & DAERAH PENYEBARAN

Anggrek (Orchidaceae) merupakan suku terbesar dari tumbuhan berbunga yang terdiri dari
hampir 25. 000 spesies di dunia (Gravendeel et al. 2004). Pakar anggrek menganggap bahwa
Indonesia merupakan negara dengan spesies anggrek paling kaya di dunia, bukan hanya dalam
jumlah genus, namun juga dalam hal spesies dengan varietas dan tipe-tipenya. Dari sekitar
25.000 spesies anggrek di dunia dan sekitar 6.000 jenis anggrek yang telah berhasil diidentifikasi
ada di Indonesia.

Salah satu pulau yang memiliki keanekaragaman anggrek yang tinggi adalah Papua. Beberapa
jurnal penyatakan bahwa Papua menyimpan hampir setengah dari seluruh spesies anggrek yang
terdapat di Indonesia yaitu kurang lebih 2500 spesies (Conservasi International, 1997; Bappenas,
2003). Jadi sekitar 42% dari keseluruhan spesies yang ada di Indonesia. Di Indonesia sendiri
tidak kurang dari 6000 jenis anggrek telah berhasil diidentifikasi (Widiastoety et al. 1998).

Genus Paphiopedilum merupakan salah satu anggrek yang memiliki nilai penting dalam bidang
hortikultura sekaligus dalam dunia konservasi. Paphiopedilum memiliki salah satu ciri labelum
yang termodifikasi menjadi bentuk kantung. Oleh karena itu, genus ini umum disebut sebagai
Anggrek Kantung. Saat ini terdapat 5 genus yang disebut sebagai anggrek kantung, namun
hanya genus Paphiopedilum yang memiliki persebaran di Indonesia.

Sedangkan genus Phragmipedium dan Selenipedium tersebar di Amerika Tropis


genus Cypripedium tersebar di belahan bumi utara sampai Amerika tengah, dan
genus Mexipedium yang tersebar di Meksiko (POWO Kew, 2019).

Paphiopedilum glanduliferum merupakan salah satu anggrek endemik Papua yang tersebar di
wilayah Papua, khususnya ditemukan di Papua Barat seperti di pulau Misool, pulau Salawati,
dan pesisir Waigeo. Anggrek ini juga ditemukan di Northwestern New Guinea.

TAKSONOMI

Kingdom : Plantae

Divisio : Tracheophyta

Classis : Liliopsida

Ordo : Asparagales

Familia : Orchidaceae

Genus : Paphiopedilum

Spesies : P. glanduliferum
MORFOLOGI

Paphiopedilum glanduliferum termasuk dalam famili Orchidaceae. Spesies ini merupakan


endemik Papua yang dapat ditemukan di hutan pantai dan hutan hujan dataran rendah dari
ketinggian 0 sampai dengan 200 m dpl.

ciri-ciri sebagai berikut :

Daun berwarna hijau dengan bentuk daun linear berjumlah 4-6 helai dengan panjang 40 cm dan
lebar sekitar 3,5 – 5 cm, tidak berbulu. Daun yang tebal sangat ideal untuk beradaptasi terhadap
kekeringan dan mampu pulih dengan cepat ketika hujan turun.

Bunga berbentuk seperti kasut atau selop sehingga sering disebut slipper orchids atau lady
slipper. Secara umum,di Indonesia sendiri lebih dikenal dengan anggrek kantung atau anggrek
kasut pita. Waktu berbunga yaitu Februari-Juni

Stamen berbentuk convex atau cembung dengan sisi yang berbulu, petal berpilin memiliki corak
bergaris dengan panjang sekitar 9-10 cm. Sepal membengkok dan corak garis berwarna merah.
Labellum berbentuk seperti tabung yang berfungsi sebagai perangkap polinator.

Dari referensi yang saya baca, labellum atau di Indonesia biasa disebut lidah ini termasuk
bagian dari petal/mahkota bunga. Jadi ada tiga jumlah petal, kedua petal yang berpilin itu
disebut petal lateral, sedangkan yang satu disebut labellum.

Salah satu karakter Paphiopedilum, yaitu labelum berbentuk kantung memiliki fungsi yang


sangat unik dan penting bagi kelangsungan hidup. Kantung tersebut berfungsi sebagai perangkap
polinator. Jika terdapat serangga yang hinggap di kantung, maka seketika akan terpeleset/terjatuh
ke dalam kantung karena struktur bagian dalam kantung yang licin (slippery). Untuk keluar dari
jebakan kantung tersebut, serangga tidak dapat terbang atau lompat karena terdapat cairan di
kantung. Serangga hanya memiliki satu jalan keluar yaitu dengan memanjat jalan sempit yang
berada di dekat anther/polinia. Sehingga polinia akan menempel di punggung serangga ketika
serangga tersebut melewati jalan sempit untuk ke luar. 

Sepal – kelopak
Petal – mahkota bunga
Stamen – benang sari

PERKEMBANGBIAKAN ANGGREK

Secara alami anggrek berkembang biak dengan biji dan secara vegetatif melalui keiki (anakan)
dan rumpun, terutama untuk anggrek simpodial. Biji anggrek sering disebut dengan dust seed
karena bentuknya yang seperti serbuk halus yang mengandung sedikit
sekali persediaan makanan, sehingga anggrek yang tumbuh di alam dapat berkecambah, tetapi
tidak akan tumbuh kecuali diinfeksi oleh jamur mikoriza. Mikoriza menyediakan nutrisi,
vitamin, dan hormon pada tanaman muda yang diperlukan sampai tanaman tersebut cukup besar
dan mampu memproduksi nutrisinya sendiri (Harrison 1977; Harrison & Arditti 1978).

Jika biji telah berkecambah, maka biji tersebut akan menghasilkan massa sel yang tidak
mengalami diferensiasi yang disebut protokorm (Arditti 1982). Protokorm ini akan
tumbuh setelah beberapa minggu, bulan, bahkan tahunan tergantung spesies, sampai tanaman
tersebut cukup besar untuk memproduksi daun dan akar.

Reproduksi anggrek secara alami dapat melalui biji (secara generatif) ataupun tunas
anakan yang muncul dari bagian pangkal batang (secara vegetatif). Biji dalam
buah mencapai fase kematangan antara 9-12 bulan setelah
terjadi fertilisasi. Buah yang matang dan cukup kering akan pecah dan biji akan
tersebar dengan bantuan angin. Perkecambahan akan terjadi segera setelah biji
tersebar pada tanah yang tertutup humus dan gelap atau pada media tumbuh yang
sesuai. Protocorm yang terbentuk setelah perkecambahan menghasilkan rizoid
yang bersimbiosis dengan mikoriza. Secara vegetatif, tanaman dewasa dapat
menghasilkan tunas pada pangkal batang yang akan berkembang sebelum
tanaman induk selesai berbunga (Cribb, 1997).

Perbanyakan Paphiopedilum melalui perkecambahan biji secara in vitro sangat baik untuk
diterapkan karena genus ini termasuk salah satu anggrek yang membutuhkan media khusus untuk
perkecambahannya.

Usaha untuk mengecambahkan biji anggrek dilakukan secara simbiotik, sebelum ditemukannya
metode perbanyakan tanamansecara in vitro. Metode simbiotik dilakukan dengan menebarkan
biji anggrek pada
permukaan media atau kompos dari tanaman induk. Keberhasilan biji untuk dapat
berkecambah melalui metode tersebut sangat kecil, hanya sekitar 10 persen.
Metode in vitro dapat mengecambahkan biji anggrek dengan persentase biji
berkecambah sampai dengan 100 %. Perbanyakan Paphiopedilum secara
konvensional sangat lambat, metode pengecambahan biji anggrek secara in vitro
dapat mempercepat perbanyakannya (Bennet, 1985). Anggrek tertentu memiliki
kriteria yang lebih khusus agar mampu berkecambah dengan baik pada media in
vitro. Paphiopedilum merupakan salah satu anggrek yang membutuhkan media
khusus untuk perkecambahan bijinya.
PENYEBAB KELANGKAAN

Anggrek adalah tumbuhan berbunga yang memiliki nilai komersial tinggi, karena memiliki
keunikan yang khas dalam hal estetika. Hal tersebut mendorong koleksi anggrek dari alam yang
berlebihan. Eksploitasi anggrek yang berlebihan dari para pemburu anggrek menyebabkan
keberadaannya di alam berkurang. Spesies yang tergolong langka disebabkan eksploitasi,
fragmentasi habitat, deforestasi, kebakaran hutan dan konversi hutan. Sehingga perlu strategi
konservasi yang komprehensif untuk melestarikannya.

Paphiopedilum merupakan salah satu genus dari famili Orchidaceae yang memiliki nilai jual dan
ancaman perburuan yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan genus ini memiliki bunga yang
cantik, unik, dan besar dengan usia mekar yang cukup lama.

Tren populasi P. glanduliferum mengalami penurunan yang disebabkan karena perusakan


habitat, penebangan pohon, koleksi yang berlebihan untuk hortikultur, perdagangan regional
dan internasional, terinjak tidak sengaja, rekreasi, dan perubahan ekologi. Jumlah populasi
dewasa diestimasikan kurang dari 250 individu dan terjadi penurunan populasi sejumlah 80%
dalam 3 generasi terakhir. Berdasarkan catatan, sampai dengan saat ini hanya terdapat 4 lokasi
populasi P. glanduliferum di Papua (Rankou & Sullivan, 2015). Hal tersebut menjadi
penyebab P. glanduliferum menjadi spesies Paphiopedilum yang paling terancam punah di
Papua.

KONSERVASI

Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar anggrek tidak punah melalui konservasi in situ
maupun ex situ.

Perbanyakan anggrek langka Paphiopedilum sudah jadi tugas prioritas Kebun Raya sebagai
lembaga konservasi. Perbanyakan beberapa spesies Paphiopedilum yang telah dikembangkan
oleh Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Bogor sudah pernah dilaporkan oleh Handini
dan Mursidawati (2008) antara lain: P. glaucophyllum, P. primulinum, P. superbiens, dan P.
limeanum.

Upaya yang telah dilakukan oleh Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Bogor untuk
mengkonservasi anggrek-anggrek langka selain dengan perbanyakan secara in vitro juga dengan
metode penyimpanan biji.
Sampai dengan 11 Desember 2019, genus Paphiopedilum memiliki sedikitnya 107 spesies
yang diterima secara ilmiah dengan persebaran dari India, China, Myanmar, Malaysia,
Sumatera, Borneo, Sulawesi, Filipina, New Guinea, sampai Kepulauan Solomon (POWO Kew,
2019).

STATUS

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora)
menggolongkan Anggrek Paphiopedilum kedalam Appendix I, yaitu daftar seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah jika perdagangannya tidak dihentikan. Segala
bentuk perdagangan internasional untuk jenis-jenis yang diambil dari alam sangat dilarang.

Semua species dari genus Paphiopedilum tergolong dalam CITES Apendix I. Hal tersebut karena
maraknya perdagangan spesies ini di tingkat internasional. Selain itu, berdasarkan IUCN
sebagian besar status konservasi anggrek kantung termasuk ke dalam terancam
punah/Endangered (EN).

Permenlhk Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 menetapkan P. glanduliferum


termasuk dalam tumbuhan yang dilindungi (bbksda-papua barat)

Anda mungkin juga menyukai