Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


PRINSIP PRINSIP KONSTITUSI HAN

Disusun oleh :

Adinda Nabila Fuadilah Al Khumairoh 14020120120033

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
1. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL)
A. Definisi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL)
Menurut bahasa Belanda istilah behoorlijk yang berarti betamelijk dan
passend memiliki arti pantas, patut, cocok, sesuai, dan layak. Selain itu, fatsoenlijk,
betamelijk wijze, juga memiliki arti sopan dan terhormat, tata cara yang pantas dan
sopan. Mengacu kepada asal kata behoorlijk ini, yang semuanya menunjukkan kata
sifat dari kata bestuur, maka penerjemahan algemene beginselen van behoorlijk
bestuur menjadi asas-asas umum pemerintahan yang layak. AAUPL dapat dipahami
sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian
penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas
dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang, dan
tindakan sewenang-wenang.
B. Sejarah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL)
Sejak dianutnya konsepsi welfare state, yang menempatkan pemerintah
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umum warga negara
maka, diberikannya wewenang untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat,
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, tanpa peraturan perundang-
undangan, dan berdasarkan inisiatif sendiri melalui Freies Ermessen, ternyata
menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga negara. Freies Ermessen ini
menyebabkan munculnya peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah
dengan rakyat, baik dalam bentuk onrechtmatig overheidsdaad, detournement de
pouvoir, maupun dalam bentuk willekeur.
Ketiganya ini merupakan bentuk penyimpangan tindakan pemerintahan yang
mengakibatkan terempasnya hak-hak asasi warga negara. Langkah untuk menghindari
atau meminimalkan terjadinya benturan tersebut maka, pada tahun 1946 Pemerintah
Belanda membentuk komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas
memikirkan dan meneliti beberapa alternatif tentang Verhoogde Rechtsbescherming
atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara
yang menyimpang.
Pada tahun 1950 komisi de Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya
tentang verhoogde rechtbescherming dalam bentuk algemene beginselen van
behoorlijk bestuur atau asas-asas umum pemerintahan yang layak. Hasil penelitian
komisi ini tidak seluruhnya disetujui pemerintah atau ada beberapa hal yang
menyebabkan perbedaan pendapat antara komisi de Monchy dengan pemerintah. Hal
ini menyebabkan komisi de Monchy dibubarkan pemerintah. Kemudian, muncul
komisi yang sama dengan de Monchy namun, komisi ini juga dibubarkan karena ada
beberapa pendapat yang diperoleh dari hasil penelitian tidak disetujui oleh
pemerintah. Dengan dibubarkannya dua komisi tersebut, menyimpulkan bahwa
munculnya kekhawatiran di kalangan pejabat dan para pegawai pemerintahan Belanda
terhadap AAUPL. Asas-asas dalam AAUPL ini dikhawatirkan akan digunakan
sebagai ukuran atau dasar pengujian dalam menilai kebijakan-kebijakan pemerintah
yang menyebabkan pemerintahan tidak berjalan lancar karena diawasi oleh rakyat.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan beberapa masukan dari pihak-
pihak yang terkait seperti birokrat, anggota politik, dan masyarakat umum,
kekhawatiran para pejabat dan pegawai pemerintahan dari penerapan AAUPL
akhirnya hilang. Sebagai hasilnya AAUPL (Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Layak) telah diterima dan dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di
Belanda.
C. Kedudukan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL) dalam Sistem
Hukum
Kedudukan AAUPL dalam sistem hukum adalah sebagai hukum tidak tertulis.
Menurut Philipus M. Hadjon, AAUPL harus dipandang sebagai norma-norma hukum
tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat
dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti.
Dapat pula dikatakan bahwa AAUPL adalah asas-asas hukum tidak tertulis, untuk
keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.
Sebenarnya menyamakan AAUPL dengan norma hukum tidak tertulis dapat
menimbulkan salah paham sebab dalam konteks ilmu hukum telah dikenal bahwa
antara asas dengan norma itu terdapat perbedaan.
Asas atau prinsip merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, ide,
atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah aturan yang
konkret, penjabaran dari ide, dan mempunyai sanksi. Berdasarkan keterangan ini
tampak, sebagaimana juga disebutkan Jazim Hamidi, bahwa sebagian AAUPL masih
merupakan asas hukum, dan sebagian lainnya telah menjadi norma hukum atau kaidah
hukum.
D. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Indonesia
Dalam pasal 3 UU No.28 Tahun 1999 disebutkan beberapa asas umum
penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut:
 Asas kepastian hukum, yaitu asas negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan negara. Individu harus mendapatkan perlakuan yang sama di
depan hukum tanpa memandang latar belakang sosial budaya.
 Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
Diharapkan individu dapat ikut andil dalam penyelenggaraan negara melalui
kegiatan demokratis.
 Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspirasi, akomodatif, dan selektif, antara satu dengan yang
lainnya saling melengkapi dan memenuhi kepentingan umum.
 Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
 Asas proporsional, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara. Individu seharusnya mampu memenuhi
kewajiban dan saling terpenuhinya hak.
 Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. Pembagian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL)
Berkenaan dengan ketetapan (beschikking), AAUPL terbagi dalam dua bagian,
yaitu asas yang bersifat formal atau prosedural dan asas yang bersifat material atau
substansial. Menurut P. Nicolai, “Een onderscheid tussen procedurele en materiele
beginselen van behoorlijk bestuur is relevant voor de rechtsbescherming“ (perbedaan
antara asas-asas yang bersifat procedural dan material, AAUPL ini penting untuk
perlindungan hukum). Asas yang bersifat formal berkenaan dengan prosedur yang
harus dipenuhi dalam setiap pembuatan ketetapan, atau asas-asas yang berkaitan
dengan cara-cara pengambilan keputusan seperti asas kecermatan, yang menuntut
pemerintah untuk mengambil keputusan dengan persiapan yang cermat, dan asas
permainan yang layak (fair play beginsel).
Menurut Indroharto, asas-asas yang bersifat formal yaitu asas-asas yang
penting artinya dalam rangka mempersiapkan susunan dan motivasi dari suatu
beschikking. Jadi, menyangkut segi lahiriah dari beschikking itu, yang meliputi asas-
asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan, dan
asas-asas yang berkaitan dengan pertimbangan (motivering) serta susunan keputusan.
Asas-asas yang bersifat material tampak pada isi dari keputusan pemerintah.
Termasuk kelompok asas yang bersifat material atau substansial ini adalah asas
kepastian hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan
penyalahgunaan kewenangan.
F. Macam-macam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL)
Menurut Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun. Macam-macam AAUPL
tersebut adalah sebagai berikut :
 Asas kepastian jukum : setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses
pengadilan.
 Asas keseimbangan : keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau
ketidakhadiran seorang pegawai juga kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis
risiko dengan memperhatikan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian
hukum.
 Asas kesamaan dalam mengambil keputusan : badan pemerintahan mengambil
tindakan yang sama atas kasus-kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian,
agaknya dalam kenyataan sehari-hari sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak
dalam dua atau lebih kasus. Oleh karena itu, menurut Philipus M. Hadjon, asas ini
memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan.
 Asas bertindak cermat : pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam
melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sehingga
tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara dan berlalu juga saat pengambilan
keputusan.
 Asas motivasi : keputusan badan-badan pemerintah harus mempunyai motivasi
atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat
mungkin alasan atau motivasi itu tercantum dalam keputusan.
2. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
A. Definisi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Tindakan atau campur tangan pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan
(welfare state) sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakatnya semakin besar. Sebagai negara
hukum, maka tindakan pemerintah untuk memberikan kesejahteraan tersebut juga
harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sering bertindak
berdasarkan freies ermessen, namun tindakan tersebut sering menimbulkan
penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan terjadi benturan kepentingan antara
warga masyarakat dengan pemerintah.
Menurut Jazim Hamidi, berdasarkan rumusan pengertian para pakar dan
tambahan pemahaman penulis (Jazim Hamidi) tentang AAUPB, maka dapat ditarik
unsur-unsur yang membentuk pengertian tentang AAUPB secara komprehensif, yaitu:
a. AAUPB merupakan nilai nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan
hukum administrasi negara
b. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi Pejabat Administrasi Negara dalam
menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai
tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai
dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat.
c. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih
abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat.
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam
berbagai peraturan hukum positif. Sebagian asas telah berubah menjadi kaidah
hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.
B. Sejarah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
Tata kelola pemerintahan yang baik selalu berkembang serta mengikuti
perkembangan global, tidak mungkin hanya bersifat nasional saja. Penyelenggaraan
pemerintahan adalah untuk memberi pelayanan publik kepada masyarakat, yang
dipengaruhi oleh dinamika politik, ekonomi, perkembangan teknologi informasi,
sosial budaya yang kesemuanya bercampur dan memberi pengaruh penyelenggaraan
pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan di negara maju tentu berbeda dengan
negara berkembang, beberapa faktor penting memberi pengaruh, yaitu cara berpikir
yang mengutamakan kualitas pelayanan, transparansi, integritas, kapasitas
pengembangan kemampuan dan didukung oleh hal lain bersifat non-teknis tetapi
sangat menunjang terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh bagaimana
pemerintah bekerja tetapi juga ditentukan oleh kebijakan yang diambil untuk
kesejahteraan warga. Kebijakan yang dilaksanakan pun tetap harus berdasarkan
AUPB dan peraturan perundangan yang berlaku.Hotma P. Sibuea mengemukakan
AAUPB lahir dari praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehingga bukan
produk formal suatu negara seperti undang-undang. AAUPB lahir sesuai dengan
perkembangan zaman untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak individu.
Fungsi AAUPB dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai pedoman atau
penuntun bagi pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam rangka
pemerintahan yang baik atau good governance. Perkembangan AUPB dapat dibagi
dalam 3 fase.
a. Fase pertama adalah bahwa secara historis penggunaan AUPB sudah berlangsung
sejak lama. Penggunaan AUPB tidak didasarkan pada landasan hukum dalam
bentuk normatif yaitu undang-undang atau peraturan perundangan lainnya, namun
lebih diutamakan berdasarkan konsep, doktrin, kebiasaan yang timbul dalam
praktik penyelenggaraan negara.
b. Fase kedua, normativasi AUPB pertama kali dilakukan dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ditegaskan bahwa pembentukkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan bagian atau subsistem dari
peraturan perundang-undangan berkaitan dengan penegakan hukum di bidang
korupsi, kolusi dan nepotisme. Fungsi AUPB adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Jadi, sebenarnya tidak mengatur sama sekali mengenai penyelenggaraan
administrasi pemerintahan, yang menjadi urat nadi pelaksanaan pelbagai fungsi
dan tugas pemerintah.
c. Fase ketiga adalah setelah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan disahkan sebagai perundangan yang pertama kali
mengatur mengenai tata laksana pemerintahan yang sesuai dengan UUD NRI
1945 dan Pancasila. Hal-hal penting terkait penyelenggaraan pemerintahan mulai
dari kewenangan, wewenang, AUPB, atribusi, delegasi, mandat, larangan
penyalahgunaan wewenang, diskresi, keputusan berbentuk elektronis, izin,
dispensasi, konsesi, konflik kepentingan, sosialisasi yang harus dilakukan oleh
Pemerintah, standar operasional prosedur, syarat sahnya keputusan, legalisasi
dokumen, sanksi administratif diatur secara jelas. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sangat diperlukan bagi semua
pihak, baik pemerintah, masyarakat serta PTUN dengan faktor kepentingan yang
berbeda tetapi secara keseluruhan memiliki persamaan yaitu untuk meningkatkan
tata kelola pemerintahan yang baik. Selain berdasarkan peraturan perundang-
undangan, penyelenggaraan pemerintahan juga berdasarkan AUPB baik yang
telah dicantumkan dalam perundang-undangan, maupun putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap serta praktik pemerintahan.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik berkembang menjadi wacana yang
dijadikan kajian para sarjana dan ini menunjukkan bahwa AAUPB merupakan konsep
terbuka (open begrip). Sebagai konsep terbuka, maka akan berkembang dan
disesuaikan dengan ruang dan waktu dimana konsep ini berada. Atas dasar ini
tidaklah mengherankan jika secara kontemplatif maupun aplikatif AAUPB ini
berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
C. Kedudukan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam Sistem
Hukum
Menurut Philipus M. Hadjon AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma
hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti
yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan
dengan teliti. Dapat dikatakan bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis,
dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang
dapat diterapkan. Pada kenyataannya, AAUPB ini meskipun merupakan asas, namun
tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa
hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam
pasal undang-undang serta mempunyai sanksi tertentu.
Apabila asas-asas umum pemerintahan yang baik dimaknakan sebagai asas
atau sendi hukum , maka asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dimaknakan
sebagai asas hukum yang digali dan ditemukan dari unsur susila, etika, kesopanan,
dan kepatutan berdasarkan norma yang berlaku. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa
sebagian AAUPB masih merupakan asas hukum, dan sebagian lainnya telah menjadi
norma hukum atau kaidah hukum.
D. Pembagian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Konsepsi AAUPB menurut Crince le Roy yang meliputi: asas kepastian
hukum, asas keseimbangan, asas bertindak cermat, asas motivasi untuk setiap
keputusan badan pemerintah, asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan, asas
kesamaan dalam pengambilan keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan
atau kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-
akibat suatu keputusan yang batal, dan asas perlindungan atas pandangan hidup
pribadi. Koentjoro menambahkan dua asas lagi, yakni: asas kebijaksanaan dan asas
penyelenggaraan kepentingan umum.
E. Fungsi dan Arti penting Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Pada awal kemunculannya, AAUB hanya dimaksudkan sebagai sarana
perlindungan hukum dan dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan
perlindungan hukum bai warga negara dari tindakan pemerintah. Fungsi asas-asas
umum pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai
pedoman atau penuntun bagi pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam
rangka pemerintahan yang baik. Dalam hubungan ini, Muin Fahmal mengemukakan
bahwa asas umum pemerintahan yang layak sesungguhnya adalah rambu-rambu bagi
para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya.
Rambu-rambu tersebut diperlukan agar tindakan-tindakan tetap sesuai dengan
tujuan hukum yang sesungguhnya. AAUPB dapat di ibaratkan sebagai rambu lalu
lintas dan pedoman perjalanan dalam rangka memperlancar hubungan pemerintahan
yaitu antara pemerintah dan yang diperintah atau warga masyarakat. AAUPB
selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dan upaya administrasi, di samping
sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintah. Dalam
perkembangannya, AAUPB memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut :
a. Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan
penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang bersifat sumir, samar atau tidak jelas. Kecuali itu sekaligus membatasi dan
menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen/
melakukan kebijakan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian, administrasi negara diharapkan terhindar dari perbuatan
onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de droit, dan ultravires.
b. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat dipergunakan
sebagai dasar gugatan sebagaimana disebut dalam pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986.
c. Bagi Hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan
keputusan yang dikeluarkan badan atau Pejabat TUN.
d. AAUPB juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu Undang-
Undang.
Menurut Indroharto, AAUPB merupakan bagian dari asas-asas hukum yang
umum yang secara khusus berlaku dan penting artinya bagi perbuatan-perbuatan
hukum pemerintahan. Arti penting dari keberadaan AUPB disebabkan oleh beberapa
hal:
a. AUPB merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku
b. AUPB merupakan norma bagi perbuatan-perbuatan administrasi negara, di
samping norma-norma dalam hukum tertulis dan tidak tertulis
c. AAUPB dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan, dan pada akhirnya
AUPB dapat dijadikan “alat uji” oleh Hakim administrasi, untuk menilai sah atau
tidaknya, atau batal atau tidaknya keputusan administrasi Negara
3. Freies Ermessen
Freies ermessen, yaitu kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah
(eksekutif ) untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang
memaksa, sedangkan peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada. Kebebasan
yang diperlukan administrasi negara ini yang menjadi konsekuensi turut sertanya
pemerintah dalam kehidupan rakyat yang terkenal dengan nama freies ermessen (bahasa
Jerman) atau pouvoir discretionaire (bahasa Prancis) atau asas diskresi (bahasa Indonesia)
atau vrij Bestundang-undangrszorg (bahasa Belanda).
Dengan adanya freies ermessen ini, berarti sebagian kekuasaan yang dipegang oleh
badan legislatif dipindahkan ke tangan badan eksekutif karena administrasi negara
melakukan penyelesaian tanpa harus menunggu perubahan undang-undang dari bidang
legislatif. Sekalipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa administrasi negara dapat
begitu saja melanggar undang-undang. Kemerdekaan administrasi negara berarti bahwa
administrasi negara dapat mencari kaidah baru dalam lingkungan undang-undang atau
sesuai dengan jiwa undang-undang. Apakah hal itu bertentangan dengan asas legalitas
dari suatu negara hukum? Untuk negara Republik Indonesia, kekuasaan membuat
peraturan atas inisiatif sendiri oleh administrasi negara didasarkan pada Pasal 22 ayat 1
UUD 1945. Inisiatif administrasi negara ini tidak keluar dari pengawasan bidang legislatif
(lihat Pasal 22 ayat 2 dan 3 UUD 1945).
Peraturan yang dibuat atas inisiatif sendiri disebut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang/Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Agar tidak
keluar dari pengawasan bidang legislatif, pada sidang DPR berikutnya dibicarakan
apakah tindakan administrasi negara itu diterima atau ditolak oleh DPR. Apabila diterima,
Perpu itu dapat dijadikan undang-undang, sedangkan apabila ditolak, Perpu harus dicabut
(ayat 2 dan 3 UUD 1945). Contoh beberapa Perpu: Perpu Penundaan Undang-Undang
No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Jalan Raya, Perpu Kepailitan untuk menangani
masalah bank-bank dan perusahaan yang pailit akibat krisis moneter pada tahun 1997.
4. Delegasi Perundang-undangan
Delegasi perundang-undangan (delegasi van wetgeving) berarti administrasi negara
diberi kekuasaan untuk membuat peraturan organik pada undang-undang. Artinya, karena
pembuat undang-undang pusat tidak dapat memerhatikan setiap masalah secara terperinci
yang timbul di semua wilayah negara, sesuai sifatnya suatu undang-undang, pembuat
undang-undang pusat hukum administrasi negara membuat peraturan secara garis
besarnya saja. Demikian kepada pemerintah atau administrasi negara diberi tugas
menyesuaikan peraturan-peraturan yang dibuat badan legislatif dengan keadaan yang
konkret pada masing-masing bagian wilayah negara atau menyesuaikan peraturan
tersebut dengan keadaan umum yang telah berubah setelah peraturan tersebut diadakan
(namun perubahan itu bukan perubahan yang prinsip).
Dengan demikian, berdasarkan delegasi perundang-undangan, pemerintah atau
administrasi negara dapat membuat peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945). Contoh: Administrasi negara
mendapat delegasi perundang-undangan adalah pembentukan PTUN di daerah-daerah
sesuai Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Perbedaannya dengan freies ermessen adalah bahwa Pasal 5 ayat 2 UUD 1945 tidak
memberi kekuasaaan inisiatif sendiri pada administrasi negara yang menerima delegasi.
Inisiatif membuat undang-undang tetap berada pada tangan yang memberi delegasi, yaitu
badan legislatif. Contoh lain adalah: Kekuasaan membuat peraturan diberikan juga
kepada pemerintah daerah. Sebagian kekuasaan itu menjadi kekuasaan berdasarkan
inisiatif sendiri (otonomi daerah), sebagian lagi adalah kekuasaan berdasarkan delegasi
(mede bewind) supaya pemerintah daerah dapat menyelenggarakan rumah tangganya
sesuai hak otonomi berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 (desentralisasi dan dekonsentrasi).
5. Droit Function
Droit function adalah kemerdekaan seorang pejabat administrasi negara tidak
berdasarkan delegasi yang tegas dalam menyelesaikan suatu persoalan yang konkret.
Kemerdekaan ini perlu agar administrasi negara dapat menjalankan pekerjaannya secara
lancar, untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu dan sekaligus mengoreksi
hasil pekerjaan pembuatan undang-undang. Ditambah dengan syarat yang bukan
termasuk wewenangnya, misalnya izin mendirikan bangunan yang baru diberikan setelah
pemohon/pemilik tanah mau menyerahkan sebagian dari tanahnya secara cuma-cuma
untuk dibuat jalan (pelebaran); detournement de pouvoir adalah penggunaan daripada
wewenang yang menyimpang dari tujuannya menurut undang-undang yang bersangkutan,
contohnya :
Pasal 1 ayat 1 HO (Hinderordonantie/Undang-Undang Gangguan) secara enumeratif
menyebut objek yang tidak boleh didirikan tanpa izin dari pihak pemerintah. Ketentuan
ini berakhir dengan kata-kata, “... dan semua bangunan-bangunan lain yang dapat
menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan.” Kata-kata ini memberi pada administrasi
negara yang berwenang mengeluarkan izin suatu kemerdekaan untuk menentukan
(vrijheid van beslissend). Pejabat administrasi negara mempunyai kemerdekaan untuk
menentukan bahwa objek yang hendak didirikan itu termasuk atau tidak termasuk salah
satu macam objek yang disebut secara enumeratif.
Jadi, pejabat administrasi negara itu bebas untuk menentukan bahwa objek yang
hendak didirikan itu memerlukan atau sama sekali tidak memerlukan suatu izin dari pihak
pemerintah. Satu hal yang penting untuk diketahui bahwa pejabat administrasi negara
tidak boleh melakukan droit function sedemikian rupa sehingga merugikan kepentingan
individu tanpa alasan yang masuk akal (redelijk). Dengan demikian, batas untuk
kemerdekaan bertindak yang dinamakan freies ermessen dan droit function adalah
menyelenggarakan kepentingan umum, agar tidak disalahgunakan sehingga menimbulkan
akibat yang dalam hukum administrasi negara terkenal dengan nama detournement de
prouit.
6. Asas-asas Hukum Administrasi Negara
Asas dalam istilah asing adalah beginsel, berasal dari kata begin yang artinya
permulaan atau awal. Jadi, asas itu mengawali atau menjadi permulaan “sesuatu”. Dalam
lapangan hukum administrasi negara dikenal juga asas-asas hukum sebagai berikut:
a. Asas legalitas maksudnya adalah setiap perbuatan administrasi negara, baik dalam
membuat peraturan maupun dalam membuat ketetapan harus berdasarkan hukum
yang berlaku.
b. Asas tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan atau tidak boleh melakukan
detournement de pouvoir merupakan asas-asas preventif untuk mencegah timbulnya
ekses-ekses sebagai akibat kebebasan yang diberikan pada adminisirasi negara (freies
ermessen).
c. Asas tidak boleh menyerobot wewenang badan administrasi negara yang satu oleh
yang lainnya (exes de pouvoir) merupakan asas-asas preventif untuk mencegah
timbulnya ekses-ekses sebagai akibat adanya pembagian wewenang/tugas dalam suatu
unit organisasi pemerintah.
d. Asas kesamaan hak bagi setiap penduduk adalah asas untuk mencegah timbulnya
perbuatan administrasi negara yang diskriminatif terhadap penduduk Indonesia karena
hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah hukum
administrasi negara dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah hukum
administrasi negara itu dengan tidak ada kecualinya”.
e. Asas upaya memaksa adalah asas untuk menjamin ketaatan penduduk pada peraturan-
peraturan administrasi negara.
f. Asas kepastian hukum adalah hukum administrasi negara positif harus dapat
memberikan jaminan kepastian hukum kepada penduduk, dalam hal ini kepastian
hukum mempunyai tiga arti berikut :
 Pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah tertentu
yang abstrak.
 Pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukum-nya dalam
pelaksanaan peraturan hukum administrasi negara.
 Mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang (eigenrichting)
dari pihak mana pun, juga tidak dari pihak pemerintah.
Ketiga pengertian tersebut berkaitan secara erat yang satu dengan lainnya dalam
pelaksanaan peraturan hukum administrasi negara. Sebagai contoh, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang pasti peraturan
hukumnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Peraturan pemerintah
ini mengatur masalah pemerintah tertentu, yaitu masalah pendaftaran tanah,
kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya, yaitu aparat badan pertanahan
hukum administrasi negara nasional dan para pemegang hak atas tanah, objeknya
adalah tanah yang dimiliki atau yang dikuasai pemegang hak atas tanah.
g. Asas keadilan sosial adalah keadilan yang berlaku di dalam masyarakat, keadilan
objektif, yaitu keadilan berdasarkan perasaan keadilan masyarakat, bukan keadilan
subjektif, yaitu keadilan semata-mata berdasarkan perasaan orang perseorangan. Teori
Aristoteles membedakan keadilan sebagai berikut:
 Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan pada tiap-tiap orang jatah
atau hak menurut jasanya. Jadi, bukan persamaan, melainkan kesebandingan.
Keadilan dalam hukum privat.
 Keadilan komunikatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama
banyaknya dengan mengingat jasa-jasanya. Keadilan dalam hukum publik.
Contoh keadilan distributif dalam hukum privat, misalnya hukum tukar-menukar
barang dianggap adil apabila barang yang dipertukarkan itu sebanding nilainya.
Adapun contoh keadilan komutatif, dalam hukum publik, yaitu berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 6 ayat (1) “Presiden ialah orang Indonesia
asli”, artinya setiap orang Indonesia, asli sama haknya untuk menjadi presiden,
tetapi tidak semua orang Indonesia asli dapat menjadi presiden, sebab ada syarat
yang harus dipenuhi, yaitu yang telah memberikan jasa kepada masyarakat,
bangsa dan negara.
h. Asas orang yang tepat di tempat yang tepat adalah asas yang menjadi dasar norma-
norma Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, tentang Dasar Perubahan hukum
administrasi negara UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian. Adapun Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 ini berfungsi sebagai
pedoman dan ukuran bagi badan-badan pemerintah dalam membuat keputusan yang
menyangkut kepegawaian. UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999, sebagai pedoman,
artinya menunjuk ke arah pembentukan keputusan yang baik dan benar, sesuai
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
i. Asas persatuan dan kesatuan, asas ini menjadi dasar dari Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999, yaitu: “Setiap pegawai negeri wajib setia dan taat kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah serta menjaga
kesatuan dan persatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
j. Asas batal karena kecerobohan hukum administrasi negara bahwa suatu keputusan
pemerintah yang dibuat secara ceroboh, artinya lepas dari sengaja atau tidak sengaja
sehingga isi keputusan itu tidak sesuai dengan isi dari peraturan yang menjadi dasar
keputusan tersebut. Misalnya, isi Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak sesuai
dengan permohonan Izin Mendirikan Bangunan, nama pemohon tidak sama, lokasi
tidak sama, luas tanah bangunan yang tidak sama, ini semua dapat menjadi sebab
keputusan itu menjadi batal karena mengandung kekurangan yuridis, yaitu dibuat
secara ceroboh.
k. Asas kebebasan atau asas freies ermessen. Dalam suatu negara hukum modern,
lapangan administrasi negara menjadi sangat luas. Hal ini disebabkan ikut campurnya
pemerintah (staats-bemoeienis) dalam segala lapangan kehidupan masyarakat maka
tugas administrasi negara bertambah banyaknya karena harus melayani kebutuhan
hukum administrasi negara masyarakat yang tidak terhingga banyaknya dan yang
beragam coraknya
7. Detournement de pouvoir
Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan authority dalam bahasa
Inggris dan bevoegdheid dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black S Law Dictionary
diartikan sebagai Legal power, a right to command or to act, the right and power of
public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public
duties. (Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah
atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam
lingkup melaksanakan kewajiban publik).
Bevoegdheid dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan
berkaitan dengan penggunaan istilah wewenang dan bevoegdheid. Istilah bevoegdheid
digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum. Dalam pemberian suatu kewenangan
kepada orang/badan dapat menimbulkan masalah baru yaitu penyalahgunaan
kewenangan. Pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum
administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi,
kelompok atau golongan
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar
ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain
agar terlaksana.
Berdasarkan hal diatas, konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum
Adiministrasi Negara dapat dibagi menjadi dua, salah satunya detournement de pouvoir.
Detournement de pouvoir atau melampaui wewenang/batas kekuasaaan dapat
didefinisikan sebagai melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar
wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Berdasarkan
pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang menguraikan unsur dari pemenuhan suatu tindakan
administrasi point kedua: “yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian
atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik”.
Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan
(cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara.
Cacat hukum keputusan dan/atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada
umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan
unsur substansi, dengan demikian cacat hukum tindakan penyelenggara negara dapat
diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni: cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat
substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan
kewenangan.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 17 menyatakan bahwa (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang
menyalahgunakan Wewenang. (2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Larangan melampaui Wewenang;
b. Larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. Larangan bertindak sewenang-wenang.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. Melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b. Melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan
dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. Di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
b. Bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenangwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. Tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sumber:
Abd, R., Baso, M., Kewarganegaraan, P., & Tinggi, P. (2014). Wewenang dan
penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dikaitkan dengan undang-
undang nomor 30 tahun 2014. 1–13.

Maiti, & Bidinger. (1981). Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–
1699.
Solechan, S. (2019). Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pelayanan Publik.
Administrative Law and Governance Journal, 2(3), 541–557.
https://doi.org/10.14710/alj.v2i3.541-557

Anda mungkin juga menyukai