Anda di halaman 1dari 4

Adinda Nabila Fuadilah A/14020120120033

Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik


Overview Jurnal: Tema Aktor, Elite, dan Kekuasaan
Teori Elite dan Kekuasaan
Pareto mengemukakan bahwa setiap masyarakat dipimpin oleh
sekelompok kecil orang yang memiliki kualitas yang mampu memimpin dalam
kekuasaan politik. Pareto juga berpendapat bahwa setiap elite ada pada
pekerjaan dan lapisan masyarakat. Menurutnya ada 2 lapisan kelas elite di
dalam masyarakat yaitu lapisan pertama, atas elite yang memerintah
(governing elite) dan lapisan elite yang tidak memerintah (non-governing
elite). Sedangkan lapisan kedua, kelompok elite yang lebih rendah seperti
masyarakat pada umumnya. Dalam kondisi tertentu, yang membedakan elite
satu dan lainnya adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol
politik. Artinya, dalam kondisi tertentu posisi kelompok elite dapat kehilangan
kredibilitasnya di mata masyarakat sehingga dapat digantikan oleh kelompok
baru yang akan menjadi elite baru dalam masyarakat. Robert Putnam
mengemukakan bahwa ada lima aspek yang berkaitan dengan elite dan
kekuasaan politik.
Pertama, kekuasaan seperti barang politik yang didistribusikan secara
tidak merata. Kedua, pada hakikatnya orang dikelompokkan atas 2 kelompok
yaitu yang memiliki kekuasaan politik dan tidak memiliki kekuasaan politik.
Ketiga, secara internal elite bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran.
Keempat, elite mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dengan keanggotaan
terbatas berasal dari suatu lapisan. Kelima, pada hakikatnya kelompok elite
bersifat otonom. Untuk memahami elite dan kekuasaan politik pada kondisi
tertentu, menurut Putnam ada tiga model analisis elite yang dapat digunakan
yaitu pertama, analisis posisional yang menempatkan elite berada dalam posisi
struktural organisasi, mereka yang memberi andil dalam masyarakat. Kedua,
analisis reputasional yang menempatkan elite sebagai orang yang berpengaruh
terhadap keputusan yang di dalam di dalam masyarakat, meskipun terlibat atau
tidak terlibat di dalam organisasi. Ketiga, analisis keputusan menempatkan
elite sebagai orang yang berpengaruh dalam memberikan gagasan atau ide
sehingga menjadi referensi dalam mengambil keputusan.
Aktor dalam proses demokrasi penting dilalukan yaitu yang pertama
sebagai agen budaya yang menjadi penerus nilai budaya politik dan
berkembang. Kedua, kaitannya dengan demokrasi proses transisi politik telah
memberikan wadah sekaligus menempatkan para aktor baik nasional maupun
lokal (R.S. Zuhro, 2009 : 2). Mills mengungkapkan bahwa elite kekuasaan
adalah orang yang berada pada posisi pembuatan keputusan, menempati posisi
pimpinan strategis, serta memiliki alat-alat efektif dalam membangun
kekuasaan. Dalam kasus di Indonesia studi tentang elite dan kontrol terhadap
kekuasaan sering kali membahas tentang perubahan arena elite di ranah publik
yang menyebabkan tidak efektifnya birokrasi yang terjadi. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh rasa ingin memiliki kekuasaan oleh golongan elite
sebagai aktor untuk melancarkannya. Perlu adanya konsolidasi yang solid
antara golongan elite sebagai aktor di dalamnya agar kekuasaan politik berjalan
demokratis dan mencegah adanya kejadian mal administrasi.
Jurnal pertama yang berjudul "Elit dan Kekuasaan Pada Masyarakat Desa
Studi Kasus Relasi Antara Pemerintah dan Masyarakat di Desa Rias
Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kep. Bangka
Belitung" yang mengulas penyebab hilangnya kredibilitas para elite di Desa
Rias yaitu tidak transparansinya sistem pemerintahan serta sirkulasi elite yang
berada di luar kontrol masyarakat. Adanya tindak diskriminatif dan tidak
meratanya pembangunan yang disorot oleh warga Desa Rias sebagai
pencerminan para aktor elite yang menjalankan kekuasaan. Fenomena lainnya
berupa polarisasi kepentingan elite di Desa Rias yaitu afiliasi para elite dengan
partai politik yang tampak jelas yaitu masing-masing kelompok elite
menjagokan pasangan calon dari partai politik dukungannya. Hal ini
menyebabkan intrik sentimen antar elite yang berujung pada hilangnya
kredibilitas. Tidak hanya itu, relasi yang tidak baik antara pemerintah dan
masyarakat tercermin dari kecenderungan reduksi di semua aspek.
Penyebabnya adalah banyak pemerintah di Desa Rias tidak sepenuhnya
mengerti cara demokratis dalam menjalankan pemerintah, pelayanan publik
dijalankan secara prosedural yang masih menempatkan masyarakat sebagai
pihak yang membutuhkan dan pemerintah yang memberikan layaknya
penguasa.
Jurnal kedua yang berjudul "Konfigurasi Aktor dan Institusi Politik dalam
Penetapan Bakal Calon Kepala Daerah Pada Pilkada Kota Pekanbaru Tahun
2017" yang mengulas faktor eksistensi dan popularitas sebagai pendukung
utama individu dipilih dalam proses pemilu. Namun, hal ini menghancurkan
elektabilitas incumbent di mata masyarakat sebab mereka berpendapat tidak
perlu banyak cara yang dibutuhkan untuk menarik minat pemilih dan cukup
mengandalkan faktor popularitas dari aktor politik di dalam lingkup keluarga.
Pemilu yang dilakukan di Pekanbaru pada tahun 2017 pada proses rekrutmen
oleh PAN mengarah pada model semi tertutup, sentralistis, dan sifat
keputusannya bersifat personal. Dengan demikian, PAN menunjukkan bahwa
belum adanya perilaku politik yang demokratis yang dijunjung olehnya. Selain
itu, penetapan bakal calon kepala daerah di Pekanbaru tidak dapat diganggu
gugat karena pada akhirnya keputusan yang diambil berasal dari UU yang ada
di tangan DPP PAN.
Jurnal ketiga yang berjudul “Relasi Kuasa Antar Elite dalam Proses
Perencanaan Pembangunan di Desa Sukodono Kecamatan Sukodono
Kabupaten Sidoarjo” yang mengulas relasi kuat antara kepala desa dan BPD
dalam membawahi pihak lain di bawahnya seperti sekretaris desa, tokoh
masyarakat, tokoh agama, komite sekolah, ketua RT/RW, muslimat NU, PKK
Desa, dan kelompok miskin. Dari relasi alasi elite ini ada pihak yang
diuntungkan yaitu pihak elite berkuasa dan strategis sedangkan yang tidak
diuntungkan adalah kelompok elite paling bawah. Pihak yang diuntungkan
adalah kepala desa karena memiliki akses dalam proses perencanaan
pembangunan yaitu memiliki kedekatan dengan kepala desa seperti ketua BPD,
tokoh masyarakat, tokoh agama, dan komite. Kepala desa diuntungkan karena
ke empat kelompok ini akan mendapatkan suara banyak dari kelompoknya.
Melalui suara terbanyak ini, kepala desa berhasil mendapat simpati warga dan
akan melancarkan proses kebijakan dalam proses perencanaan pembangunan
yang akan dilakukan. Kelompok yang tidak diuntungkan dalam hal ini adalah
kelompok miskin, kelompok muslimat NU, PKK desa, dan ketua RT/RW.
Mereka tidak memiliki akses kedekatan dalam proses perencanaan
pembangunan sebaliknya, kepala desa hanya melibatkan orang terdekatnya saja
Jurnal keempat yang berjudul “Fenomena Elite Capture Dalam
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa: Studi Kasus Strategi Bekerjanya
Kekuasaan Elite Dalam Pengelolaan BUMDES Argosari, Desa Pulosari,
Kabupaten Pemalang” yang mengulas dominasi elite dalam proses
pembentukan BUMDES Argosari yang terjadi karena adanya akses yang
bertele-tele dalam penguasaan informasi dan acuhnya masyarakat terhadap
pemerintahan desa. Masyarakat desa yang masih belum paham terkait dengan
pembentukan BUMDES ini menyakitkan pemerintah desa dalam
melaksanakan pembangunan sehingga dalam proses pembentukannya
menunjukkan adanya pembajakan oleh elite yang mencoba memotong alur
partisipatif dari masyarakat. Di unit – unit yang terbentuk dalam BUMDES
tetap terjadi dominasi elite yang tidak terhindarkan. Selain kedua elite (Kepala
desa dan Ketua BPD) pola relas antar aktor yang terbangun antar aktor juga
memungkinkan akan memperkuat ataupun melemahkan posisi aktor tersebut
karena setiap aktor memiliki pola hubungannya sendiri yang nantinya akan
melalukan koalisi (saling mendukung) dan mungkin saja akan berseberangan
dalam hal orientasi politiknya.
Sumber :
Amin, K., Dan, E., Pada, K., & Desa, M. (n.d.). Khairul Amin | 167 Elit Dan
Kekuasaan Pada Masyarakat Desa. 167–187.
Handoko, T., & Erman, M. (2018). Konfigurasi Aktor Dan Instisusi Politik
Dalam Penetapan Bakal Calon Kepala Daerah Pada Pilkada Kota
Pekanbaru Tahun 2017. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2(2), 1–23.
Politik, J. I. (2018). Community Driven Development. 9, 20–37.

Anda mungkin juga menyukai