Overview Jurnal: Tema Aktor, Elite, dan Kekuasaan Teori Elite dan Kekuasaan Pareto mengemukakan bahwa setiap masyarakat dipimpin oleh sekelompok kecil orang yang memiliki kualitas yang mampu memimpin dalam kekuasaan politik. Pareto juga berpendapat bahwa setiap elite ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat. Menurutnya ada 2 lapisan kelas elite di dalam masyarakat yaitu lapisan pertama, atas elite yang memerintah (governing elite) dan lapisan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). Sedangkan lapisan kedua, kelompok elite yang lebih rendah seperti masyarakat pada umumnya. Dalam kondisi tertentu, yang membedakan elite satu dan lainnya adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik. Artinya, dalam kondisi tertentu posisi kelompok elite dapat kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat sehingga dapat digantikan oleh kelompok baru yang akan menjadi elite baru dalam masyarakat. Robert Putnam mengemukakan bahwa ada lima aspek yang berkaitan dengan elite dan kekuasaan politik. Pertama, kekuasaan seperti barang politik yang didistribusikan secara tidak merata. Kedua, pada hakikatnya orang dikelompokkan atas 2 kelompok yaitu yang memiliki kekuasaan politik dan tidak memiliki kekuasaan politik. Ketiga, secara internal elite bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran. Keempat, elite mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dengan keanggotaan terbatas berasal dari suatu lapisan. Kelima, pada hakikatnya kelompok elite bersifat otonom. Untuk memahami elite dan kekuasaan politik pada kondisi tertentu, menurut Putnam ada tiga model analisis elite yang dapat digunakan yaitu pertama, analisis posisional yang menempatkan elite berada dalam posisi struktural organisasi, mereka yang memberi andil dalam masyarakat. Kedua, analisis reputasional yang menempatkan elite sebagai orang yang berpengaruh terhadap keputusan yang di dalam di dalam masyarakat, meskipun terlibat atau tidak terlibat di dalam organisasi. Ketiga, analisis keputusan menempatkan elite sebagai orang yang berpengaruh dalam memberikan gagasan atau ide sehingga menjadi referensi dalam mengambil keputusan. Aktor dalam proses demokrasi penting dilalukan yaitu yang pertama sebagai agen budaya yang menjadi penerus nilai budaya politik dan berkembang. Kedua, kaitannya dengan demokrasi proses transisi politik telah memberikan wadah sekaligus menempatkan para aktor baik nasional maupun lokal (R.S. Zuhro, 2009 : 2). Mills mengungkapkan bahwa elite kekuasaan adalah orang yang berada pada posisi pembuatan keputusan, menempati posisi pimpinan strategis, serta memiliki alat-alat efektif dalam membangun kekuasaan. Dalam kasus di Indonesia studi tentang elite dan kontrol terhadap kekuasaan sering kali membahas tentang perubahan arena elite di ranah publik yang menyebabkan tidak efektifnya birokrasi yang terjadi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh rasa ingin memiliki kekuasaan oleh golongan elite sebagai aktor untuk melancarkannya. Perlu adanya konsolidasi yang solid antara golongan elite sebagai aktor di dalamnya agar kekuasaan politik berjalan demokratis dan mencegah adanya kejadian mal administrasi. Jurnal pertama yang berjudul "Elit dan Kekuasaan Pada Masyarakat Desa Studi Kasus Relasi Antara Pemerintah dan Masyarakat di Desa Rias Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kep. Bangka Belitung" yang mengulas penyebab hilangnya kredibilitas para elite di Desa Rias yaitu tidak transparansinya sistem pemerintahan serta sirkulasi elite yang berada di luar kontrol masyarakat. Adanya tindak diskriminatif dan tidak meratanya pembangunan yang disorot oleh warga Desa Rias sebagai pencerminan para aktor elite yang menjalankan kekuasaan. Fenomena lainnya berupa polarisasi kepentingan elite di Desa Rias yaitu afiliasi para elite dengan partai politik yang tampak jelas yaitu masing-masing kelompok elite menjagokan pasangan calon dari partai politik dukungannya. Hal ini menyebabkan intrik sentimen antar elite yang berujung pada hilangnya kredibilitas. Tidak hanya itu, relasi yang tidak baik antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari kecenderungan reduksi di semua aspek. Penyebabnya adalah banyak pemerintah di Desa Rias tidak sepenuhnya mengerti cara demokratis dalam menjalankan pemerintah, pelayanan publik dijalankan secara prosedural yang masih menempatkan masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan dan pemerintah yang memberikan layaknya penguasa. Jurnal kedua yang berjudul "Konfigurasi Aktor dan Institusi Politik dalam Penetapan Bakal Calon Kepala Daerah Pada Pilkada Kota Pekanbaru Tahun 2017" yang mengulas faktor eksistensi dan popularitas sebagai pendukung utama individu dipilih dalam proses pemilu. Namun, hal ini menghancurkan elektabilitas incumbent di mata masyarakat sebab mereka berpendapat tidak perlu banyak cara yang dibutuhkan untuk menarik minat pemilih dan cukup mengandalkan faktor popularitas dari aktor politik di dalam lingkup keluarga. Pemilu yang dilakukan di Pekanbaru pada tahun 2017 pada proses rekrutmen oleh PAN mengarah pada model semi tertutup, sentralistis, dan sifat keputusannya bersifat personal. Dengan demikian, PAN menunjukkan bahwa belum adanya perilaku politik yang demokratis yang dijunjung olehnya. Selain itu, penetapan bakal calon kepala daerah di Pekanbaru tidak dapat diganggu gugat karena pada akhirnya keputusan yang diambil berasal dari UU yang ada di tangan DPP PAN. Jurnal ketiga yang berjudul “Relasi Kuasa Antar Elite dalam Proses Perencanaan Pembangunan di Desa Sukodono Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo” yang mengulas relasi kuat antara kepala desa dan BPD dalam membawahi pihak lain di bawahnya seperti sekretaris desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, komite sekolah, ketua RT/RW, muslimat NU, PKK Desa, dan kelompok miskin. Dari relasi alasi elite ini ada pihak yang diuntungkan yaitu pihak elite berkuasa dan strategis sedangkan yang tidak diuntungkan adalah kelompok elite paling bawah. Pihak yang diuntungkan adalah kepala desa karena memiliki akses dalam proses perencanaan pembangunan yaitu memiliki kedekatan dengan kepala desa seperti ketua BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan komite. Kepala desa diuntungkan karena ke empat kelompok ini akan mendapatkan suara banyak dari kelompoknya. Melalui suara terbanyak ini, kepala desa berhasil mendapat simpati warga dan akan melancarkan proses kebijakan dalam proses perencanaan pembangunan yang akan dilakukan. Kelompok yang tidak diuntungkan dalam hal ini adalah kelompok miskin, kelompok muslimat NU, PKK desa, dan ketua RT/RW. Mereka tidak memiliki akses kedekatan dalam proses perencanaan pembangunan sebaliknya, kepala desa hanya melibatkan orang terdekatnya saja Jurnal keempat yang berjudul “Fenomena Elite Capture Dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa: Studi Kasus Strategi Bekerjanya Kekuasaan Elite Dalam Pengelolaan BUMDES Argosari, Desa Pulosari, Kabupaten Pemalang” yang mengulas dominasi elite dalam proses pembentukan BUMDES Argosari yang terjadi karena adanya akses yang bertele-tele dalam penguasaan informasi dan acuhnya masyarakat terhadap pemerintahan desa. Masyarakat desa yang masih belum paham terkait dengan pembentukan BUMDES ini menyakitkan pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan sehingga dalam proses pembentukannya menunjukkan adanya pembajakan oleh elite yang mencoba memotong alur partisipatif dari masyarakat. Di unit – unit yang terbentuk dalam BUMDES tetap terjadi dominasi elite yang tidak terhindarkan. Selain kedua elite (Kepala desa dan Ketua BPD) pola relas antar aktor yang terbangun antar aktor juga memungkinkan akan memperkuat ataupun melemahkan posisi aktor tersebut karena setiap aktor memiliki pola hubungannya sendiri yang nantinya akan melalukan koalisi (saling mendukung) dan mungkin saja akan berseberangan dalam hal orientasi politiknya. Sumber : Amin, K., Dan, E., Pada, K., & Desa, M. (n.d.). Khairul Amin | 167 Elit Dan Kekuasaan Pada Masyarakat Desa. 167–187. Handoko, T., & Erman, M. (2018). Konfigurasi Aktor Dan Instisusi Politik Dalam Penetapan Bakal Calon Kepala Daerah Pada Pilkada Kota Pekanbaru Tahun 2017. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2(2), 1–23. Politik, J. I. (2018). Community Driven Development. 9, 20–37.