Anda di halaman 1dari 2

NKRI DAN BAROKAH KIAI

Oleh: Idris Ahmadi

Menurut Hans Kohn seorang filsuf dan sejarawan Amerika mengatakan bahwa suatu
bangsa terbentuk karena persmaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara dan
kewarganegaraan. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang dari akar-akar sejarah yang
terbentuk melalui suatu proses sejarah. Dalam proses lahirnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia memang sangat erat kaitannya dengan kaum sarungan, kontribusi mereka
dalam memperjuangkan kemerdekaan ibu pertiwi telah mendapat pengakuan dari Negara,
terbukti dengan diresmikannya Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober dengan
berlandaskan terhadap Resolusi Jihad yang digelorakan oleh pendiri Nahdlatul Ulama
(NU) KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya dengan menggandeng santri untuk ikut berjihad
melawan penjajah Belanda yang kembali ingin menguasai Indonesia dengan sekutunya,
Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Selain KH. Hasyim Asy’ari, kita juga mengenal KH. Wahab Chasbullah yang memiliki
kontribusi tinggi dalam membangun peradaban negeri. Inovasi yang dilakukan kiai
Wahab dalam membangun jiwa kebangsaan dan kenegaraan adalah dengan menggunakan
kitab kuning, khususnya fiqh, ushul fiqh, dan kaidah fiqh. Hal ini dibuktikan dengan
sejarah Irian Barat yang dijanjikan oleh Belanda akan diserahkan kepada Indonesia pada
tahun 1948, namun sampai tahun 1951 Belanda masih belum menyerahkan kedaulatan
atas Irian Barat.

Kemudian Bung Karno mengadukan dan menanyakan hukum terkait kejadian diatas
kepada kiyai Wahab untuk mendapatkan pencerahan terkait konflik Irian Barat. Dengan
tegas, kiai Wahab menghukumi tindakan orang-orang Belanda dengan prilaku ghosob,
Istihqoqu ma lil ghoir bighoiri idznihi (menguasai milik orang lain tanpa izin
pemiliknya). Solusi yang didapat oleh Bung Karno adalah dengan mengadakan
perundingan kembali bersama pihak kolonial, namun perundingan yang dilakukan gagal
dan belum juga menemukan titik terang terkait Irian Jaya.

Tidak patah semangat, Bung Karno mengadu yang kedua kalinya kepada kiai Wahab
dengan menceritakan kegagalan perundingan yang telah dilakukan dengan pihak
penjajah. Kemudian kiai kelahiran Jombang tersebut mengeluarkan fatwa “Akhodzahu
Qohrun” Ambil/ kuasai dengan paksa. Fatwa tersebut bisa kita dapatkan dalam kitab
Fath al-Qorib dan syarahnya (Al-Baijuri).

Pendapat kiai Wahab dengan mengkontekstualisasi literature kitab kuning agar Irian
Barat direbut (dikuasai) kembali secara paksa telah membakar semangat juang bangsa
Indonesia saat itu, terbukti dengan terbentuknya Trikora (Tiga Komandan Rakyat) yang
akirnya pada tahun 1969 Irian Barat kembali berada dalam dekapan ibu pertiwi.

Kitab kuning akan selalu relevan bagi kaum santri, mereka akan terus mengaktualisasikan
pondasi keilmuan yang tertuang didalamnya, keilmuan dalam kitab kuning bukan hanya
sebatas tentang Teologi saja, namun politik, tata Negara dan pembinaan ekonomi umat
juga bisa kita dapatkan. Kitab kuning berbicara tentang kaidah-kaidah kunci yang sangat
strategis jika dikontekstualisasikan di masa sekarang. Santri harus bisa melakukan hal ini,
karena literature kitab kuning memiliki kesempatan besar untuk menggerakkan
perubahan sosial dan perpolitikan di Indonesia.

Santri Saat ini adalah harapan NKRI, mari kita jaga ketuhan negeri dari paham-paham
yang akan mengkebiri kebinekaan NKRI. Jangan mundur sejengkalpun untuk mengawal
kedaulatan bangsa dan Negara.

Anda mungkin juga menyukai