Anda di halaman 1dari 16

KONSEP KETUHANAN

MENCARI “SUARA” TUHAN DI TEGAH PANDEMI COVID-19

“Fondasi dari hukum syariat yang adil tidak dibangun oleh kelompok-kelompok
mayoritas atau kelompok dominan dalam masyarakat, dan bukan pula oleh
kelompok-kelompok yang hanya mengejar kepentingan partisannya sendiri.
Fondasi hukum syariat yang adil ini hanya dibangun oleh Tuhan. Akan tetapi,
hukum syariat yang adil tersebut dijalankan, dijelaskan, dan diterapkan pada
realita-realita baru melalui tindakan perundang-undangan khusus oleh sekelompok
orang yang dipilih dan diawasi oleh rakyat. Maka dari itu, rakyat
punya kedaulatan atas sekelompok orang/badan tersebut, yang meliputi
proses pemilihan, pengawasan, dan hak pencabutan/pemberhentian. Inilah yang
disebut sebagai kewenangan rakyat (sultat al–umma) atau proses musyawarah.”
(Cetak miring oleh penulis sebagai penekanan)

-Rashid al-Ghannushi, al-Hurriyyat al-‘amma fi’l-dawla al-Islamiyya, 106.


PEMERINTAH Indonesia lambat mengatasi pandemi COVID-19 sejak awal.
Ketika negara lain mulai mengambil kebijakan serius menghadapi virus mematikan
ini, pemerintah malah sebaliknya. Mereka justru membuat kebijakan mengkorting
harga tiket pesawat dan mengucurkan dana triliunan rupiah untuk para pemengaruh
agar mempromosikan Indonesia. Semuanya dilakukan agar industri pariwisata
tetap berdenyut. Dua contoh kebijakan ini menunjukkan logika pemerintah yang
memprioritaskan kepentingan ekonomi jangka pendek, alih-alih melindungi
masyarakat.

Untuk menutupi dampak destruktif COVID-19, pemerintah lantas berkilah dengan


narasi ketuhanan, terutama dari perspektif Islam. Beragam kilah keagamaan ini,
misalnya bahwa masyarakat tidak terkena dampak karena doa kunut dan mereka
yang meninggal karena COVID-19 akan masuk surga, menunjukkan bahwa
mereka sebenarnya tengah mengerdilkan peran dan posisi Tuhan itu sendiri. Alih-
alih menjadi inspirasi keadilan dan komitmen kasih sayang untuk rakyat,
pemerintah telah menjadikan Tuhan sebagai topeng untuk menutupi ketidakmauan
mereka menjalankan tanggung jawab sebagai ‘ulil amri’.

Al-Qur’an jelas mengutuk obsesi materialistik yang mengorbankan kehidupan


mereka yang lemah seperti kasus di atas dengan ancaman neraka (Qur’an 10: 7-8,
17: 18, 4: 10).

Lalu, apa yang salah sehingga posisi Tuhan dalam teologi politik Indonesia yang
(kabarnya) berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi sedemikian
rendahnya? Mengapa klaim-klaim keagamaan yang dilontarkan para pejabat—
sebagian juga merupakan para pemuka agama—malah mereduksi makna teologis
yang dalam menjadi sekadar bagian dari praktik politik yang kotor?

Kesalahan utama dalam teologi politik pada konteks pemerintahan di Indonesia


adalah identifikasi ‘suara Tuhan’ yang dianggap terletak pada kedaulatan
pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo berdiri di atas asumsi bahwa merekalah
agen absolut kedaulatan, dan itu sebenarnya tidak jauh berbeda dari pemerintahan
‘syar’i’ yang diimpikan oleh para pendukung Islamisme garis keras. Hal ini terlihat
dari cara-cara non-demokratis dan anti-kritik yang mereka praktikkan berkali-kali.

Perbedaan mereka dengan pemerintahan ‘syar’i’ yang diimajinasikan para


Islamisme garis keras hanyalah basis legitimasi dari kekuasaan. Sementara Islamis
percaya bahwa konsep hukum syariah yang ahistoris dan anti-kritik merupakan
basis legitimasi keberadaan mereka, pemerintahan Jokowi percaya itu bersumber
dari kemenangan elektoral. Dengan kemenangan di pemilu, mereka merasa sahih
mengasingkan masyarakat yang telah memilihnya dari pembuatan dan
implementasi kebijakan.

Bagi para Islamis garis keras, Tuhan telah memberikan kerangka final untuk
kehidupan masyarakat di segala konteks yang kemudian menafikan proses
demokrasi, sementara bagi pemerintahan Jokowi, kemenangan elektoral adalah
basis yang cukup untuk menunjuk diri mereka sendiri sebagai ‘Tuhan’ dan
menafikan proses demokrasi.

Lalu, di manakah sebenarnya ‘suara’ Tuhan yang sesungguhnya?

Sejarah teologi politik Islam menunjukkan bahwa legitimasi suatu pemerintahan


tidak terlepas dari suara masyarakat. Bahkan legitimasi Nabi Muhammad saw
untuk menjadi pemimpin pun tak terlepas dari kesukarelaan para anggota
masyarakat (March, 2013). Sementara itu, dalam konteks teologi politik Islam
modern, para pemikir seperti Rashid al-Ghannushi dan Mohammad Fadel telah
menyatakan bahwa elemen keterwakilan demokratis tidak dapat dipisahkan dari
konseptualisasi pemerintahan yang Islami (bedakan dengan pemerintahan yang
Islamis). Konsepsi pemerintahan yang Islami, menurut al-Ghannushi, berdiri di
atas prinsip ‘aqd al-istikhlaf (perjanjian keterpilihan) yang memprioritaskan posisi
manusia sebagai deputi ketuhanan di muka bumi (khalifa, Qur’an 2:30). Ini berarti,
seperti yang tercantum dalam kutipan pembuka artikel ini, kedaulatan pemerintah
dibangun dari kepercayaan anggota masyarakat yang memilihnya.

Dengan demikian, posisi anggota masyarakat dalam konsepsi teologi politik ini
lebih dari sekadar obyek kebijakan politik yang teralienasi dari proses pembuatan
dan pertimbangan kebijakan, melainkan adalah rekanan setara pemerintah. Seperti
yang dikatakan Mohammad Fadel, seorang teolog dan fuqaha, satu prinsip pokok
pemikiran teologi politik pra-modern Sunni Islam adalah, “… penguasa dan
pejabat pemerintahan melaksanakan wewenangnya dalam kapasitas mereka
sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat muslim, dan dengan demikian, mereka
hanyalah pekerja yang tugasnya adalah untuk mencapai kemaslahatan bersama
bagi seluruh masyarakat muslim.” (Fadel, 2018).

Dari konseptualisasi kedaulatan individu dan pemerintah dalam konteks Islam


klasik maupun modern tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa teologi politik
Islam menempatkan kedaulatan rakyat sebagai salah satu ekspresi dari kedaulatan
Tuhan. Dalam konteks ini, legitimasi politik pemerintahan tak lebih dari sekadar
prasyarat praktis yang memungkinkan pejabat dapat menjalankan mandat dari
rakyat. Legitimasi politik bukanlah suatu pernyataan ontologis yang dapat
mengangkat derajat seseorang melebihi manusia lain karena hal itu akan dapat
diklasifikasikan sebagai tindakan menduakan Tuhan. Dengan kata lain, pemberian
legitimasi politik tidak menjadikan seseorang sebagai ‘Tuhan’ yang menguasai
kehidupan manusia lain.

Lalu bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan yang Islami dan berasaskan


ketuhanan bertindak? Muqtedar Khan, seorang teoretikus teologi politik Islam lain,
mengonseptualisasikan etika pemerintahan berasaskan ketuhanan sebagai
pemerintahan yang menjalankan kepemimpinan dalam prinsip ihsan–melakukan
yang terbaik/memperindah (Khan, 2019). Serupa dengan al-Ghannushi dan Fadel,
Khan memaknai kedaulatan pemerintah sebagai proses pelembagaan keinginan
kolektif masyarakat dalam sebuah negara. Dengan demikian, ia pun memandang
rakyat sebagai agen dari ‘Kedaulatan Tuhan’ (hakimiyya) di muka bumi.

Pemerintahan yang berbasiskan prinsip ihsan ditopang oleh dua pilar utama–yang


harus menjadi bagian dari praktik politik para pejabat. Pilar pertama adalah fokus
pemerintahan kepada pembentukan nilai-nilai kebajikan dan bukan kepada
pembentukan elemen-elemen identitas yang sifatnya superfisial. Dalam konteks
ini, negara berasas ketuhanan akan terlihat berlawanan dari prinsip kenegaraan
Machiavelli di mana pencitraan untuk terlihat adil jauh lebih berharga daripada
berlaku adil itu sendiri. Dalam negara berasaskan ihsan, praktik kebajikan menjadi
fokus proses pembangunan negara-bangsa bukan karena praktik tersebut akan
membawa akumulasi kekuasaan, melainkan karena praktik tersebut adalah perilaku
yang adil (Khan, 2019).

Pilar kedua negara berbasis ihsan terletak pada relasi kritis antara masyarakat dan
pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat wajib untuk menjalankan
prinsip muraqaba (keawasan, kesadaran kritis) dalam mengevaluasi kebijakan-
kebijakan pemerintah demi mencapai kemaslahatan bersama. Di sisi lain,
pemerintah harus menjalankan prinsip muhasaba (pertanggungjawaban) dalam
setiap kebijakan (Khan, 2019). Dengan kata lain, teologi politik Islam mengajarkan
bahwa masyarakat memiliki posisi setara terhadap dan/atau lebih tinggi daripada
pemerintah dalam suatu negara.

Dalam situasi pandemi saat ini, bagaimanakah perwujudan negara


berbasis ihsan itu? Lalu, lebih jauh dari itu, di mana kita dapat menemukan ‘suara’
Tuhan?

Posisi teologi politik Islam jelas menyatakan bahwa representasi ‘suara’ Tuhan
terletak pada anggota masyarakat yang memilih para pejabat untuk mengupayakan
kemaslahatan bersama. Legitimasi politik adalah konsep praksis yang berfungsi
untuk mendapuk beberapa individu menjadi pelayan masyarakat, bukan proses
penuh keajaiban yang mengubah individu-individu terpilih menjadi manusia
setengah dewa.
KONSEP DEMOKRASI

Konsep pemerintahan berbasis ihsan berangkat dari asumsi bahwa kewenangan


politik adalah fungsi pengabdian, bukan fungsi kekuasaan. Absennya pemerintah
mengadakan jaminan keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat dalam
pandemi COVID-19 adalah indikasi bahwa mereka membangun kuasa tanpa asas
ketuhanan. Lebih jauh, penggunaan narasi-narasi keagamaan seperti ibadah, doa,
surga, dan takdir untuk menutupi dampak pandemi tidak lain adalah penghinaan
terhadap asas ketuhanan dan keberagamaan itu sendiri.

Enggan untuk mendengarkan ‘suara’ Tuhan dalam suara rakyat, pemerintah malah
memilih untuk meludahi Sang Maha Agung dengan menggunakan nama-Nya
sebagai tudung yang menutupi kebobrokan praktik politik dan kebijakan
mereka.***

DALAM kurun waktu dua bulan terakhir segenap komponen bangsa mulai resah.
Selanjutnya, tercekam rasa takut, lantaran mulai merebaknya wabah corona virus
desease 2019 (covid-19).  Keresahan tersebut tentunya sangat manusiawi. Karena,
jika pandemi covid-19 tidak ditangani secara cepat dan tepat, akan berdampak fatal
terhadap kematian manusia, dan perekonomian Indonesia.

Oleh karena itu, wacana publik pun mulai dibanjiri diskursus tentang dua isu
tersebut. Sementara itu, apa pelajaran yang dapat dipetik dari musibah covid-19
terkait praktik demokrasi di Indonesia, pada khususnya, dan tata kelola negara
bangsa, pada umumnya, relatif belum mendapat perhatian secara seimbang dari
para akademisi.

Karakteristik transisi demokrasi Kendati konsep transisi demokrasi itu sendiri


masih terus dalam perdebatan di kalangan para akademisi, secara prinsipal dapat
dikatakan bahwa sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada 1998, Indonesia
mulai memasuki periode transisi demokrasi. Terkait dengan hal ini, secara teoretis
dapat dikemukakan sedikitnya ada sepuluh karakteristik utama dari transisi
demokrasi. Pertama, relasi antara negara dan masyarakat, tidak lagi bersifat satu
arah, tetapi sudah bersifat dua arah. Walaupun dibukanya peluang partisipasi
masyarakat cenderung belum sepenuhnya didasarkan pada iktikad untuk
memperkuat masyarakat sipil, tetapi, lebih pada kewajiban memenuhi agenda
reformasi.

edua, relasi negara dan masyarakat lebih berkarakterkan relasi antarelite, yaitu
antara elite penguasa dan elite masyarakat. Kondisi ini kemudian telah melahirkan
praktik demokrasi elitis.

Ketiga, reformasi politik lebih dititikberatkan pada reformasi kelembagaan negara,


namun minus penguatan kapasitas. Kondisi itu berimplikasi pada terjadinya
‘pengekalan’ praktik demokrasi prosedural. Keempat, telah terjadi perluasan arena
kebebasan sipil, namun minus kualitas. Realitas ini ditandai, antara lain, masih
dominannya ekspresi kebebasan sipil dengan cara-cara kekerasan, dan adanya
tindakan ke kerasan, baik oleh pihak negara maupun masyarakat, dalam meyikapi
ekspresi kebebasan sipil. Kelima, pemilu berkarakterkan vote minus voice.
Maksudnya, pemilu secara rutin dilaksanakan sebagai ‘ritual politik’ untuk
mendapat vote (suara masyarakat) guna melegitimasi kekuasaan para elite. Namun,
pada pascapemilu, sangat muskil memproduksi voice. Lebih buruk lagi, justru
yang dihasilkan adalah political noise. Keenam, munculnya oligarki partai politik.
Kenyataan ini ditunjukkan, antara lain, adanya sentralisasi kekuasaan dalam tubuh
partai politik, proses pengambilan keputusan dimonopoli segelintir elite partai.
Lalu, promosi posisi strategis tidak didasarkan pada sitem merit, dan proses
kaderisasi nyaris tidak berjalan. Ketujuh, maraknya praktik politik transaksionis,
yaitu memperlakukan kekuasaan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Fenomena ini terjadi hampir pada semua arena politik. Mulai dari praktik beli
suara pada pemilu, sampai dengan beli jabatan untuk posisi-posisi strategis pada
lembaga internal partai politik, maupun pada lembaga negara. Kedelapan,
munculnya realitas dinasti politik, yakni monopoli kekuasaan berdasarkan
hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Tendensi ini terjadi, sangat erat terkait
dengan adanya praktik politik transaksionis dan oligarki partai politik sebagaimana
dikemukakan di atas. Kesembilan, maraknya praktik shadow state, yaitu hadirnya
aktor di luar struktur formal pemerintahan. Namun, dapat mengendalikan dan
mengontrol para aktor penyelenggara pemerintah formal, baik di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah. Kecenderungan ini terjadi, juga tidak terlepas
dari adanya praktik politik transaksionis, utamanya pada pemilu. Kesepuluh,
hadirnya gerakan counter reform, yaitu suatu gerakan ‘reformasi tandingan’, yang
sejatinya membawa spirit antireformasi, namun dikemas dalam bungkus dan lebel
proreformasi. Gerakan ini relatif sulit untuk dideteksi, namun sangat
membahayakan bagi masa depan

PERDEBATAN BERKAMPANYE DI TENGAH PANDEMIK COVID-19


JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan akan membuat aturan
baru yang mengatur tata cara pelaksanaan kampanye Pilkada Serentak 2020 di
tengah pandemi Covid-19. Hal tersebut menyusul maraknya pelanggaran protokol
kesehatan dan munculnya kerumunan sepanjang fase pendaftaran peserta pekan
lalu.

Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan, dalam aturan baru tersebut KPU
membatasi jumlah kegiatan kampanye dan peserta kampanye yang hadir secara
fisik. “Jadi, terutama yang kita atur baru adalah jumlah kegiatan kampanye yang
dihadiri secara fisik oleh peserta kampanye. Jadi, kalau rapat umum, kita batasi
paling banyak 100 orang,” ujar Arief saat konferensi pers di Istana Presiden,
Jakarta, Selasa (8/9).

Regulasi tersebut sedianya sudah diatur juga dalam Peraturan KPU Nomor 10
Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada pada masa
pandemi. Namun, dalam aturan yang baru nantinya, kampanye terbuka hanya bisa
dilaksanakan satu kali untuk pemilihan bupati dan wali kota. 

ementara, untuk pemilihan gubernur, kampanye dapat digelar dua kali. Jumlah
peserta kampanye pun dibatasi maksimal 100 orang. “Rapat umum hanya
dilaksanakan satu kali untuk pemilihan daerah bupati, wali kota, dan dua kali untuk
pemilihan gubernur. Selebihnya, kehadiran peserta kampanye dapat dilakukan
secara daring, tapi kehadiran fisik dibatasi 100 orang,” kata dia menjelaskan.

menghadiri secara langsung, yakni maksimal 50 orang.

 “Jadi, kalau ada dua pasangan calon, jatah maksimal 50 itu harus dibagi menjadi
dua kontestan. Kemudian, kalau ada tiga, ya berarti 50 orang kehadiran itu ya
dibagi ke dalam tiga pasangan calon, begitu seterusnya,” ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 243


pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran bapaslon. Jumlah itu hampir
separuh dari total 687 pendaftar pilkada. Partai politik dan bakal pasangan calon
(bapaslon) yang melanggar itu tidak menerapkan protokol kesehatan, yaitu
membawa sejumlah pendukung dan melakukan pengerahan massa.

Jarak antarpendukung juga tidak dilakukan sesuai ketentuan protokol kesehatan,


terutama menjelang proses pendaftaran pencalonan. Di sisi lain, terdapat 75 bakal
calon pada 31 daerah yang belum menyerahkan hasil uji usap atau swab test saat
pendaftaran.
Terkait aneka pelanggaran itu, komisioner KPU periode 2012-2017 Hadar Nafis
Gumay meminta KPU melarang semua kegiatan tahapan pilkada yang berpotensi
menimbulkan kerumunan massa. "Kalau mau diteruskan, lebih baik dilarang saja
semua kegiatan pilkada yang berpotensi untuk terjadi kerumunan masa," ujar
Hadar saat dihubungi Republika, Senin (7/9).
Menurut Hadar, pelarangan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan
massa dapat diatur melalui PKPU. Sebab, PKPU pun disusun berdasarkan
konsultasi dengan DPR, pemerintah, penyelenggara pemilihan, dan harmonisasi
dengan pemangku kepentingan terkait lainnya.

Jika khawatir dengan sengketa atau gugatan di kemudian hari, pihak yang
berwenang dapat menyusun perubahan UU Pilkada. Presiden juga, menurut dia,
semestinya dengan tegas mementingkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Hadar mengatakan, sanksi pelanggaran protokol kesehatan berupa teguran,


peringatan, atau saran perbaikan belum cukup membuat peserta pilkada mematuhi
aturan. Sebaiknya, penyelenggara pilkada mencantumkan dalam PKPU ataupun
Peraturan Bawaslu terkait sanksi pelanggaran protokol kesehatan berupa
pembatalan pencalonan.

Sebelum sanksi pembatalan pencalonan itu, penyelenggara pilkada dapat


memberikan sanksi pembubaran kegiatan pilkada yang memunculkan kerumunan
massa. Kedua, penyelengara dapat menghilangkan hak pelanggar mengikuti
kegiatan pilkada berikutnya, seperti dilarang mengikuti kampanye.

Ketiga, apabila pelanggaran ketentuan protokol kesehatan masih dilakukan bakal


pasangan calon, pencalonannya dapat dibatalkan. "Apakah ini sesuai dengan
undang-undang? Memang tidak sesuai, tetapi sekarang masa pandemi yang apa
pun kita bisa lakukan sepanjang di-support, disepakati pembuat undang-undang,
yakni DPR, pemerintah penyelenggara pemilu," kata Hadar.
Hadar juga menyarankan, kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan
harus diganti dengan memanfaatkan teknologi. "Tidak ada pilihan lain
kalau gitu ya, diubah undang-undangnya karena saya sudah sejak awal
memperkirakan kita ini tidak bisa untuk tertib begitu, apalagi para elitenya juga
yang paling pertama-tama mengajak dan mengumpulkan (massa)," ucap Hadar.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo kembali meminta penyelenggaraan pilkada
serentak mengutamakan keselamatan dan kesehatan masyarakat. “Bahwa
keselamatan masyarakat, kesehatan masyarakat adalah segala-galanya. Jadi,
protokol kesehatan tidak ada tawar-menawar,” ujar Jokowi saat membuka rapat
terbatas lanjutan pembahasan persiapan pelaksanaan pilkada serentak di Istana
Merdeka, Selasa (8/9).

Jokowi menegaskan, pemerintah harus mengutamakan penanganan pandemi covid


saat ini sehingga berbagai risiko lainnya dapat teratasi. Karena itu, ia meminta agar
protokol kesehatan benar-benar dijalankan dengan ketat saat penyelenggaraan
pilkada serentak.

Menurut dia, saat ini masih banyak bakal pasangan calon pilkada yang justru
mengabaikan protokol kesehatan. Mereka menggelar deklarasi ataupun kampanye
dengan mengumpulkan ribuan massa di berbagai daerah. “Hal-hal seperti ini saya
kira harus menjadi perhatian kita. Dan, situasi ini tidak bisa dibiarkan,” kata
Jokowi menambahkan.

Jokowi menegaskan, pilkada serentak tetap harus diselenggarakan di tengah


pandemi. Sebab, hingga kini masih belum diketahui kapan wabah Covid-19 akan
berakhir. “Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada harus dilakukan dengan
norma baru, dengan cara baru,” ucap dia.
Presiden pun meminta seluruh pihak, baik penyelenggara pemilu, KPU dan
Bawaslu, aparat pemerintah, jajaran keamanan dan penegak hukum, maupun tokoh
masyarakat aktif mendisiplinkan masyarakat menjalankan protokol kesehatan
selama pandemi. 

Klaster pilkada bertambah


Bakal calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang
tertular Covid-19 dilaporkan bertambah. Hal tersebut seiring munculnya
kekhawatiran soal potensi tahapan-tahapan pilkada memunculkan klaster-klaster
penularan baru.

Pada Selasa (8/9), Ketua Komisi Pemilihan Umum Sidoarjo M Iskak


mengungkapkan, seorang kontestan pendaftar pilkada setempat terkonfirmasi
positif Covid-19. Bakal calon tersebut diketahui positif Covid-19 setelah menjalani
tes swab di RSUD dr Soetomo pada Senin (7/9). 
Iskak enggan menyebutkan identitas tokoh tersebut secara perinci. Namun,
menurut dia, orang yang positif Covid-19 tersebut merupakan bakal calon wakil
bupati Sidoarjo. "Identitas detail, kami kan terikat dengan undang-undang. Terkait
dengan informasi yang dikecualikan untuk daftar atau riwayat itu memang kami
tidak boleh untuk membuka. Juga tidak boleh menyebutkan nama," ujar Iskak,
Selasa (8/9).
Selanjutnya, KPU Sidoarjo melakukan komunikasi kepada bakal calon ataupun
partai politik pengusung agar yang bersangkutan melakukan isolasi selama 10
hingga 11 hari. "Setelah itu, kami akan melakukan swab ulang. Kalau hasil
menjadi negatif, baru pemeriksaan kesehatan kami bisa lanjutkan," ujar Iskak.
 Jika pada tes swab kedua, yang bersangkutan masih positif Covid-19, pemeriksaan
kesehatan lanjutan akan kembali ditunda hingga hasilnya benar-benar negatif.
Sejauh ini yang telah mendaftar di kontestasi Pilbup Sidoarjo 2020, ada tiga
pasangan calon. Yakni, pasangan Ahmad Muhdlor Ali-Subandi, pasangan
Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar, dan pasangan Aprilianto-Dwi Astutik.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),
Akmal Malik, juga mengungkapkan, Bupati Muna Barat Laode Muhammad Rajiun
Tumada yang juga bakal calon kepala daerah di Pilkada 2020 dinyatakan positif
Covid-19. 

Sebelummya, Mendagri Tito Karnavian menyampaikan teguran tertulis pada 14


Agustus kepada Rajiun karena membuat kerumunan massa. "Itu teguran pertama
yang kita sampaikan terkait pengumpulan massa. Hasilnya nyata, langsung diberi
Covid-19," ujar Akmal, Selasa (8/9). Hingga kemarin, sebanyak 53 pejawat kepala
daerah yang mengikuti kontestasi pilkada telah ditegur mendagri.

Wakil Bupati Agam, Trinda Farhan, juga dikonfirmasi positif Covid-19, kemarin.
Ia telah mendaftar dalam pancalonan bupati Agam di Pilkada Serentak 2020.
"Benar (Trinda positif). Sekarang beliau sedang isolasi mandiri di rumah," kata
Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sumatra Barat, Jasman Rizal,
Senin (7/9).

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Agam, Indra Rusli menyebut, pihaknya


bersama gugus tugas akan segera melakukan pelacakan dan pengambilan
sampel //swab// terhadap orang-orang yang terlibat kontak dengan Trinda. "Tadi
saya sudah pergi tracking ke rumahnya. Sudah diperiksa keluarga, sopir, ajudan,
dan semua kontak sebanyak 16 orang," katanya.
Trinda menjalani pengambilan sampel swab pada Jumat (4/9) lalu sebagai syarat
pencalonan sebagai bupati. Ia kemudian mendaftar ke KPU Agam pada Ahad
(6/9). Rencananya, komisioner KPU Agam akan menjalani tes swab di Puskesmas
Lubuk Basung sehubungan hal itu.
4 ALASAN PRESIDEN JOKOWI DODO TETAP MENGADAKAN PILKADA
DI TENGAH PANDEMI SAAT INI
"Pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai
penegakkan hukum dan sanksi tegas agar tidak terjadi klaster baru Pilkada," ujar
Juru Bicara Presiden RI Fadjroel Rachman dalam keterangan persnya, Senin
(21/9/2020). Fadjroel menuturkan, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan
penyelenggaraan Pilkada tetap dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan.

Presiden menegaskan penyelenggaraan Pilkada tidak bisa menunggu pandemi


berakhir, karena tidak satu negara tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir,"
kata dia. Karena itu, penyelenggaraan Pilkada harus sesuai dengan disiplin
protokol kesehatan yang ketat, aman dan tetap demokratis. Ia mencontohkan
sejumlah negara yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi
Covid-19.

"Pilkada di masa pandemi bukan mustahil. Negara-negara lain seperti Singapura,


Jerman, Perancis, dan Korea Selatan juga menggelar Pemilihan Umum di masa
pandemi. Tentu dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat," tutur Fadjroel.
Karena itu, pemerintah mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah
potensi klaster baru penularan Covid-19 pada setiap tahapan Pilkada. Berdasarkan
Peraturan KPU (PKPU) No.6/2020, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 harus
menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. "Semua
Kementerian dan Lembaga terkait, juga sudah mempersiapkan segala upaya untuk
menghadapi Pilkada dengan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penegakan
hukum," kata dia. Dia menyebut Pilkada serentak ini harus menjadi momentum
tampilnya cara-cara baru dan inovasi baru di tengah masyarakat. Kemudian
menjadikan pilkada ajang adu gagasan, adu berbuat dan bertindak untuk meredam
dan memutus rantai penyebaran Covid-19. "Sekaligus menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional serta
menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan demokratis sesuai dengan ideologi
Pancasila dan konstitusi UUD 1945," katanya.

Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan, keputusan Jokowi itu diambil


kemarin, Senin (21/9). “Presiden berpendapat bahwa Pilkada tidak perlu ditunda
dan tetap dilaksanakan. Pendapat Presiden ini sudah disampaikan oleh Mendagri
agar disampaikan ke DPR, KPU, Bawaslu, DKPP dan sebagainya," ujar Mahfud
usai rakor soal Pilkada 2020, Selasa (22/9).

Ada 4 alasan Jokowi memutuskan Pilkada 2020 tetap digelar 9 Desember.

Pertama, untuk menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih
dalam Pilkada 2020.

Kedua, penundaan Pilkada karena bencana Covid-19 tidak memberi kepastian


karena tidak ada satu pun orang atau lembaga yang bisa memastikan kapan corona
akan berakhir.

Mahfud Ia mencontohkan di negara-negara yang kasus corona lebih buruk dari


Indonesia, pemilu tidak ditunda. Misalnya di Amerika. Alhasil, Jokowi
berpandangan, Pilkada 2020 tidak perlu ditunda.

Ketiga, Jokowi tak ingin 270 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 dipimpin
oleh Pelaksana Tugas (Plt) dalam waktu yang bersamaan.
" Plt itu tak boleh mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis. Sedangkan
situasi sekarang saat pandemic, kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi
pada menggerakkan birokrasi dan sumber daya lain seperti dana itu memerlukan
pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis,” jelas
Mahfud.

Keputusan ini juga dengan mendengarkan dan mempertimbangkan masukan dari


berbagai unsur masyarakat termasuk ormas besar. Antara  PBNU dan
Muhammadiyah yang mendesak agar Pilkada  2020 juga telah menyampaikan
masukan mereka ke Jokowi.

"Dari ormas-ormas besar seperti dari NU dari Muhammadiyah pun memiliki


pendapat yang berbeda, itu semuanya didengarkan. Presiden berkali-kali
mengadakan rapat atau pembicaraan secara khusus untuk membahasnya," kata
Mahfud.

"Jadi pembicaraannya sudah mendalam semua sudah didengar," lanjut Mahfud.

Keempat, Pilkada 2020 sebenarnya sudah ditunda dari September ke Desember.


Oleh sebab itu, sebenarnya penundaan sudah pernah dilakukan untuk menjawab
desakan masyarakat.

Saat ini, kata Mahfud, yang perlu dilakukan bukan lagi menunda tapi bagaimana
mencegah penularan virus corona.

Anda mungkin juga menyukai