“Fondasi dari hukum syariat yang adil tidak dibangun oleh kelompok-kelompok
mayoritas atau kelompok dominan dalam masyarakat, dan bukan pula oleh
kelompok-kelompok yang hanya mengejar kepentingan partisannya sendiri.
Fondasi hukum syariat yang adil ini hanya dibangun oleh Tuhan. Akan tetapi,
hukum syariat yang adil tersebut dijalankan, dijelaskan, dan diterapkan pada
realita-realita baru melalui tindakan perundang-undangan khusus oleh sekelompok
orang yang dipilih dan diawasi oleh rakyat. Maka dari itu, rakyat
punya kedaulatan atas sekelompok orang/badan tersebut, yang meliputi
proses pemilihan, pengawasan, dan hak pencabutan/pemberhentian. Inilah yang
disebut sebagai kewenangan rakyat (sultat al–umma) atau proses musyawarah.”
(Cetak miring oleh penulis sebagai penekanan)
Lalu, apa yang salah sehingga posisi Tuhan dalam teologi politik Indonesia yang
(kabarnya) berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi sedemikian
rendahnya? Mengapa klaim-klaim keagamaan yang dilontarkan para pejabat—
sebagian juga merupakan para pemuka agama—malah mereduksi makna teologis
yang dalam menjadi sekadar bagian dari praktik politik yang kotor?
Bagi para Islamis garis keras, Tuhan telah memberikan kerangka final untuk
kehidupan masyarakat di segala konteks yang kemudian menafikan proses
demokrasi, sementara bagi pemerintahan Jokowi, kemenangan elektoral adalah
basis yang cukup untuk menunjuk diri mereka sendiri sebagai ‘Tuhan’ dan
menafikan proses demokrasi.
Dengan demikian, posisi anggota masyarakat dalam konsepsi teologi politik ini
lebih dari sekadar obyek kebijakan politik yang teralienasi dari proses pembuatan
dan pertimbangan kebijakan, melainkan adalah rekanan setara pemerintah. Seperti
yang dikatakan Mohammad Fadel, seorang teolog dan fuqaha, satu prinsip pokok
pemikiran teologi politik pra-modern Sunni Islam adalah, “… penguasa dan
pejabat pemerintahan melaksanakan wewenangnya dalam kapasitas mereka
sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat muslim, dan dengan demikian, mereka
hanyalah pekerja yang tugasnya adalah untuk mencapai kemaslahatan bersama
bagi seluruh masyarakat muslim.” (Fadel, 2018).
Pilar kedua negara berbasis ihsan terletak pada relasi kritis antara masyarakat dan
pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat wajib untuk menjalankan
prinsip muraqaba (keawasan, kesadaran kritis) dalam mengevaluasi kebijakan-
kebijakan pemerintah demi mencapai kemaslahatan bersama. Di sisi lain,
pemerintah harus menjalankan prinsip muhasaba (pertanggungjawaban) dalam
setiap kebijakan (Khan, 2019). Dengan kata lain, teologi politik Islam mengajarkan
bahwa masyarakat memiliki posisi setara terhadap dan/atau lebih tinggi daripada
pemerintah dalam suatu negara.
Posisi teologi politik Islam jelas menyatakan bahwa representasi ‘suara’ Tuhan
terletak pada anggota masyarakat yang memilih para pejabat untuk mengupayakan
kemaslahatan bersama. Legitimasi politik adalah konsep praksis yang berfungsi
untuk mendapuk beberapa individu menjadi pelayan masyarakat, bukan proses
penuh keajaiban yang mengubah individu-individu terpilih menjadi manusia
setengah dewa.
KONSEP DEMOKRASI
Enggan untuk mendengarkan ‘suara’ Tuhan dalam suara rakyat, pemerintah malah
memilih untuk meludahi Sang Maha Agung dengan menggunakan nama-Nya
sebagai tudung yang menutupi kebobrokan praktik politik dan kebijakan
mereka.***
DALAM kurun waktu dua bulan terakhir segenap komponen bangsa mulai resah.
Selanjutnya, tercekam rasa takut, lantaran mulai merebaknya wabah corona virus
desease 2019 (covid-19). Keresahan tersebut tentunya sangat manusiawi. Karena,
jika pandemi covid-19 tidak ditangani secara cepat dan tepat, akan berdampak fatal
terhadap kematian manusia, dan perekonomian Indonesia.
Oleh karena itu, wacana publik pun mulai dibanjiri diskursus tentang dua isu
tersebut. Sementara itu, apa pelajaran yang dapat dipetik dari musibah covid-19
terkait praktik demokrasi di Indonesia, pada khususnya, dan tata kelola negara
bangsa, pada umumnya, relatif belum mendapat perhatian secara seimbang dari
para akademisi.
edua, relasi negara dan masyarakat lebih berkarakterkan relasi antarelite, yaitu
antara elite penguasa dan elite masyarakat. Kondisi ini kemudian telah melahirkan
praktik demokrasi elitis.
Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan, dalam aturan baru tersebut KPU
membatasi jumlah kegiatan kampanye dan peserta kampanye yang hadir secara
fisik. “Jadi, terutama yang kita atur baru adalah jumlah kegiatan kampanye yang
dihadiri secara fisik oleh peserta kampanye. Jadi, kalau rapat umum, kita batasi
paling banyak 100 orang,” ujar Arief saat konferensi pers di Istana Presiden,
Jakarta, Selasa (8/9).
Regulasi tersebut sedianya sudah diatur juga dalam Peraturan KPU Nomor 10
Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada pada masa
pandemi. Namun, dalam aturan yang baru nantinya, kampanye terbuka hanya bisa
dilaksanakan satu kali untuk pemilihan bupati dan wali kota.
ementara, untuk pemilihan gubernur, kampanye dapat digelar dua kali. Jumlah
peserta kampanye pun dibatasi maksimal 100 orang. “Rapat umum hanya
dilaksanakan satu kali untuk pemilihan daerah bupati, wali kota, dan dua kali untuk
pemilihan gubernur. Selebihnya, kehadiran peserta kampanye dapat dilakukan
secara daring, tapi kehadiran fisik dibatasi 100 orang,” kata dia menjelaskan.
“Jadi, kalau ada dua pasangan calon, jatah maksimal 50 itu harus dibagi menjadi
dua kontestan. Kemudian, kalau ada tiga, ya berarti 50 orang kehadiran itu ya
dibagi ke dalam tiga pasangan calon, begitu seterusnya,” ujarnya.
Jika khawatir dengan sengketa atau gugatan di kemudian hari, pihak yang
berwenang dapat menyusun perubahan UU Pilkada. Presiden juga, menurut dia,
semestinya dengan tegas mementingkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Menurut dia, saat ini masih banyak bakal pasangan calon pilkada yang justru
mengabaikan protokol kesehatan. Mereka menggelar deklarasi ataupun kampanye
dengan mengumpulkan ribuan massa di berbagai daerah. “Hal-hal seperti ini saya
kira harus menjadi perhatian kita. Dan, situasi ini tidak bisa dibiarkan,” kata
Jokowi menambahkan.
Wakil Bupati Agam, Trinda Farhan, juga dikonfirmasi positif Covid-19, kemarin.
Ia telah mendaftar dalam pancalonan bupati Agam di Pilkada Serentak 2020.
"Benar (Trinda positif). Sekarang beliau sedang isolasi mandiri di rumah," kata
Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sumatra Barat, Jasman Rizal,
Senin (7/9).
Pertama, untuk menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih
dalam Pilkada 2020.
Ketiga, Jokowi tak ingin 270 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 dipimpin
oleh Pelaksana Tugas (Plt) dalam waktu yang bersamaan.
" Plt itu tak boleh mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis. Sedangkan
situasi sekarang saat pandemic, kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi
pada menggerakkan birokrasi dan sumber daya lain seperti dana itu memerlukan
pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis,” jelas
Mahfud.
Saat ini, kata Mahfud, yang perlu dilakukan bukan lagi menunda tapi bagaimana
mencegah penularan virus corona.