Anda di halaman 1dari 27

BAB II

BENTUK-BENTUK SYIQAQ DAN NUSYUZ


DALAM KONFLIK RUMAH TANGGA

A. Pengertian Syiqaq dan Nusyuz


1. Pengertian Syiqaq
Syiqaq adalah perselisihan, percekcokan, dan permusuhan.
Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami istri.
Kamal Muchtar, peminat dan pemerhati hukum Islam dari
Indonesia, pengarang buku asas-asas hokum Islam tentang perkawinan,
mendefinisikan Sebagai perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh
dua orang hakam (juru damai).1
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada
kedua belah pihak suami dan istri secara bersama-sama. Dengan
demikian, syiqaq berbeda dengan Nusyuz, yang perselisihannya hanya
berawal dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri.
Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara
suami dan istri agama Islam memerintahkan agar diutus dua orang hakam
(juru damai). Pengutusan hakam ini bermaksud untuk menelusuri sebab
terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan
penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapkan oleh kedua
suami istri tersebut.

2. Pengertian Nusyuz
Secara etimologi lafad Nusyuz adalah akar (Masdar) dari lafad
Nusyaza, Yansyuzu, dalam arti: terangkat, lafad Nusyuz diambil dari lafad
Nasyzi, yang berarti sesuatu yang terangkat dari Bumi.2 Abu Ubaid berkata
“Nusyuz atau Nasyazi” adalah sesuatu yang tebal dan keras.”

1
Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), hlm. 1708.
2
Shalih bin Ghonim As-Sadlan, Kesalahan-Kesalahan Istri, (Jakarta : Pustaka Progresif,
2004), Hlm. 3.

12
13

Nusyuz secara terminologi adalah suatu fenomena yang sebenarnya


berasal dari perempuan, tetapi ada kalanya juga ditimbulkan dari laki-laki,
walaupun bisa jadi berawal dari keduanya dengan saling menuduh dan
saling menghujat terhadap salah satunya. Ulama Fiqh mengartikulasikan
Nusyuz dengan pengertian yang lebih umum, mereka berpendapat bahwa
Nusyuz kemungkinan bisa dari pihak istri atau suami dengan melihat
konteks ayat diatas.
Nusyuz adalah konklusi yang tidak bisa dihindari dari pertikaian-
pertikaian besar yang menimpa pasangan suami istri. Telah diketahui,
bahwa manakala pertikaian-pertikaian berjalan cukup lama, ia pun akan
menjadi semakin gawat dan melahirkan suasana kebencian serta
permusuhan yang kadang kala pada klimaksnya sampai pada
keberpalingan. Dari kasus semacam ini yang kemudian muncul adalah
kata Nusyuz, yaitu keluarnya suami istri atau salah satunya dari tugas dan
kewajibannya, dan dia tidak melaksanakannya karena keengganan dan
tidak mau patuh.3

B. Bentuk-Bentuk Dan Ciri-Ciri Nusyuz


Nusyuz mempunyai ciri-ciri dan keadaan-keadaan yang telah
dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an. Keadaan Pertama, pendurhakaan yang
dilakukan istri : Al Qur’an menyebutkan keadaan seperti ini dan menjelaskan
bagaimana menyikapi dan sekaligus pula penyelesaiannya. Keadaan Kedua,
bentuk Nusyuznya suami. Keadaan Ketiga, adalah Nusyuz dari kedua belah
pihak.
a. Nusyuz dari Seorang Istri
Nusyuz dari pihak istri adalah bahwa sang suami terlepas dari
tanggung jawabnya, dan bahwa istrinyalah yang keluar dari bingkai
kepatuhan, atau melakukan sesuatu yang dibenci.4 Dan dialah yang

3
Ra’d Kamil Al-Hayali, Memecahkan Perselisihan Keluarga Menurut Qur’an dan
Sunnah, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004), hlm. 64.
4
Kamil Al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 40.
14

kemudian akan menanggung akibat Nusyuznya, bukan suaminya, sebagai


firman Allah Surat An Nisa’ ayat 34 diatas.
Ibnu Taimiyah sebagai mana dikutip oleh Shalih bin Ghanim
dalam kesalahan-kesalahan istri berpendapat bahwa Nusyuz adalah bentuk
pendurhakaan istri terhadap suami kemudian lari dari suami dengan arti
tidak taat padanya ketika sang suami menginginkannya untuk melakukan
persetubuhan, atau keluar dari rumah tanpa seizinnya maupun perbuatan
yang lain, karena kesemuanya itu berarti ketidakmauan istri untuk
melakukan kewajibannya untuk taat pada suami.5
Dengan melihat definisi yang dipaparkan Ibnu Taimiyah, para ahli
fiqh mengklasifikasikan Nusyuznya isteri pada empat poin.
1. Meninggalkan berhias di hadapan suami sedangkan suami
menginginkannya.
2. Melakukan pisah ranjang dan menolak untuk menanggapi
panggilannya.
3. Keluar dari rumah tanpa seijin suami atau tanpa hal Syar’i.
4. Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya seperti
Shalat, Puasa Ramadhan.6
b. Nusyuz dari Pihak Suami.
Nusyuz dari pihak suami adalah sesuatu yang sangat frontal dan
berbahaya. Paling tidak, ia akan berpengaruh buruk terhadap kebahagiaan
rumah tangga dan bahkan bisa meruntuhkannya. Dan bahwa, peristiwa-
peristiwa yang tidak di inginkan dan yang ditimbulkannya lebih banyak
dari pada yang di timbulkan oleh Nusyuz istri.7 Sebagai Firman Allah Q.S.
An Nisa’ : 128.
Hal ini benar, mengingat suami seperti yang kita ketahui, adalah
kepala dan tiang penyangga rumah tangga. Dialah yang mengatur roda
keluarga dan di tangan suamilah tanggung jawab tergenggam. Nusyuz dari
suami bisa berbentuk ucapan maupun perbuatan ataupun kedua-duanya
5
Shalih bin Ghonim As-Sadlan, op .cit., hlm. 8.
6
Ibid, hlm. 9.
7
Ra’d Kamil Al-Hayali, op.c it., Hlm. 94.
15

secara bersamaan. Sebagai contoh, suami memutuskan pembicaraan dan


komunikasi terhadap istri tanpa alasan yang jelas.
Dari uraian diatas dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Nusyuz
dari suami mempunyai beberapa dimensi pembahasan dalam istilah
syara’:
- Perlakuan congkak, sombong, dan acuh tak acuh yang ditonjolkan
oleh suami terhadap istrinya.
- Memusuhi dengan memukul, menyakiti, menyakiti dan melakukan
hubungan yang tidak baik.
- Tidak melaksanakan kewajibannya memberi nafkah.
- Memperlakukan istri dengan keras dengan melakukan pisah ranjang
dan menolak berbicara, dll.8

c. Nusyuz dari kedua pihak suami dan istri


Pendurhakaan, perpecahan, perselisihan dan interaksi yang buruk
dari kedua belah pihak baik suami maupun istri bisa membawa pada
persengketaan dan kehancuran. Hal itu mengakibatkan dampak negatif
yang tidak hanya terhadap suami maupun istri, namun juga menjalar
terhadap keluarga, anak-anak dan komunikasi masyarakat dalam skala
yang lebih jelas. Contohnya kebencian yang berasal dari salah satu
diantara mereka untuk melakukan komunikasi terhadap pasangannya.9
Kejadian ini digambarkan dengan bentuk penganiayaan yang
dilakukan keduanya seperti congkak terhadap suami dengan melawan
perintah-perintahnya dan menolak permintaannya serta sang istri berusaha
keluar dari jeratan pengaruh suaminya.
Adapun bentuk-bentuk konflik dalam rumah tangga yang bias
menghancurkan bahtera kehidupan rumah tangga adalah sebagai berikut :

8
Shalih bin Ghonim As-Sadlan, op .cit., hlm.10.
9
Ibid., hlm 24
16

1. Konflik antara suami dan istri.


Sering kali dalam membangun kehidupan rumah tangga yang
sakinah antara suami dan istri belum terjalin visi yang jelas. Biasanya, istri
selalu meminta sang suami untuk menuruti setiap kehendaknya. Namun
ironisnya, sang istri selalu menolak apa yang diperintahkan suami
terhadapnya. Kesalahan inilah yang berujung pada perbuatan Nusyuz, yaitu
durhakanya istri terhadap suami atau sebaliknya yaitu durhakanya suami
terhadap isteri.
a. Istri tidak memenuhi kewajiban suami.
Standar utama mencapai keharmonisan dan cinta kasih serta
sayang adalah kepatuhan istri dalam rumah tangganya. Allah
menggambarkan perempuan yang sholeh dengan perempuan yang
patuh terhadap suaminya serta menjadi wali bagi suaminya.10 Dalam
hal ini seorang istri harus menta’ati perintah dari seorang suami,
asalkan perintah tersebut tidak melenceng dari jalan Islam. Adapun
yang termasuk istri tidak memenuhi kewajiban suami adalah :
1) Meninggalkan berhias dihadapan suami, sedangkan suami
menginginkannya (tidak berpenampilan menarik).
Bagaimana mungkin suami akan merasa nyaman jika
bersanding dengan istrinya yang berpenampilan tidak menarik,
dengan baju dan badan yang kotor karena belum mandi sehingga
muncul bau badan yang kurang sedap. Ini juga menjadi salah satu
penyebab suami gampang berpaling kewanita lain, yang
11
membuatnya lebih nyaman dan senang disampingnya.
Wajah yang sedap saat dipandang merupakan magnet
utama kenyamanan lawan jenis. Wajah ceria dan penuh senyum
sangatlah penting pada saat menyambut teman-temannya,
keluarganya dan khususnya ketika berinteraksi dengan suami.
Bahkan senyum seorang istri terhadap suami dan orang lain adalah
10
Muhammad M. Dlori, Dicintai Suami (Istri) Sampai Mati, (Yogya, Kata Hati, 2005),
hlm. 87.
11
Ibid, hlm. 93.
17

termasuk ibadah.12 Sebagai mana sabda Nabi “Bahkan senyummu


ketika melihat saudaramu dianggap sebagai ibadah”
2) Tidak memuaskan hasrat seksual suami (melakukan pisah ranjang
dan menolak untuk menanggapi panggilannya.
Seks adalah kebutuhan pria dan wanita, karena itu mereka
(para istri) adalah pakaian bagi kamu (suami) dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka.13 Hubungan seks dalam rumah tangga
ternyata bukan sebatas sarana melainkan sebagai satu tujuan.
Terpenting yang harus dijaga oleh kaum perempuan agar kepuasan
seks suaminya tetap terjaga.
Dari ungkapan itu istri wajib memuaskan seks suami selagi
masih dalam batas-batas kewajaran dan tidak menyalahi hukum
syariat Islam. Istri wajib memenuhi tugas seksualnya terhadap
suami. Istri tidak boleh menolak kecuali karena alasan-alasan yang
dapat diterima atau dilarang hukum.14
3) Keluar dari rumah tanpa seijin suami atau tanpa hak syar’i.
Keluarnya istri dari rumah tanpa seijin suami walaupun
untuk menjenguk orang tua adalah merupakan kedurhakaan istri
terhadap suami, karena hal itu bias menyebabkan kerusakan dan
kehancuran rumah tangga.
4) Tidak mampu mengatur keuangan.
Disamping istri wajib memelihara dan mendidik anak-
anaknya, istri juga wajib memelihara harta suaminya. Dengan kata
lain tidak boros, berlaku hemat demi masa depan anak-anaknya
dan belanja secukupnya tidak hura-hura.
Kalau istri boros, itu merupakan kesalahan istri dalam
mengatur keuangan keluarga, karena hal itu sama halnya dengan
seorang istri yang tidak dapat menjaga harta kekayaan suami yang

12
Fatimah Umar Nasif, “Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Islam,” (Bandung :
Cendikiawan, 1999), hlm. 236.
13
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah Vol I,” (Jakarta, Lentera Hati, 2000), hlm.384.
14
Muhammad M. Dlori, op .cit, hlm. 91.
18

dipercayakan kepadanya. Bila hal ini dilakukan terus maka akan


mengakibatkan munculnya keretakan dalam rumah tangga.
5) Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya
seperti: Shalat, puasa, ramadhan dan zakat serta kewajiban yang
lain.15

b. Seorang Suami tidak memenuhi kewajiban istri.


Dalam rumah tangga tidak hanya istri yang selalu memenuhi
kewajibannya sebagai istri, suami pun harus memenuhi kewajibannya
sebagai suami terhadap istri. Karena kedua belah pihak sudah
melakukan ikatan pernikahan. Maka kedua-duanya harus menjalankan
kewajibannya masing-masing.
Kita tidak langsung boleh menyalahkan seorang istri yang telah
berkianat dengan berlaku serong bersama laki-laki lain. Boleh juga kita
menyalahkan suami karena penganggurannya dan tidak mau berusaha
sungguh-sungguh. Adapun hal yang termasuk suami tidak memenuhi
kewajiban istri adalah sebagai berikut:
1) Ketidakmampuan suami menafkahi keluarganya
Setiap suami harus memahami bahwa istri adalah amanah
yang dibebankan di pundak suami dan merupakan keharusan
baginya untuk memberikan nafkah sejauh kemampuannya. Suami
harus memberikan nafkah lahir batin pada istrinya dengan
kemampuannya, suami memberi makan, minum dan pakaian serta
menggaulinya dengan sebaik mungkin dan dengan kemampuannya
asalkan tidak mendholimi istrinya.16
Ulama mazhab imamiyah berpendapat bahwa, nafkah itu
diukur berdasarkan kebutuhan istri yang terdiri dari pangan, lauk
pauk, pakaian, tempat tinggal, pelayan, dan alat-alat rumah tangga,

15
Salih Bin Ghonim As Sadlan, “Kesalahan-Kesalahan Istri”, (Jakarta : Pustaka
Progresif, 2004), hlm. 236.
16
Adil Fathi Abdullah, Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah, (Jakarta: Gema Insani,
2005), hlm. 20.
19

yang semuanya itu sesuai dengan tingkat kehidupan daerahnya.


Bagaimanapun, dalam hal memberi nafkah ini kita harus
mempertimbangkan kondisi suami terlebih dahulu. Hal ini
dijelaskan Allah SWT dalam Al Qur’an.

‫ﻩ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺁﺗ‬‫ﻖ ِﻣﻤ‬ ‫ﻨ ِﻔ‬‫ﻴ‬‫ ﹶﻓ ﹾﻠ‬‫ﺯﻗﹸﻪ‬ ‫ﻴ ِﻪ ِﺭ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻦ ﻗﹸ ِﺪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻌِﺘ ِﻪ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻌ ٍﺔ ِﻣ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻖ ﺫﹸﻭ‬ ‫ﻨ ِﻔ‬‫ﻴ‬‫ِﻟ‬

‫ﺮﹰﺍ‬‫ﻳﺴ‬ ‫ﺴ ٍﺮ‬
 ‫ﺪ ﻋ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌﻞﹸ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺎ ﺁﺗ‬‫ﻧﻔﹾﺴﹰﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻒ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻳ ﹶﻜﻠﱢ‬ ‫ﻟﹶﺎ‬
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya, Allah tidak memikulkan beban kepada orang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (At
Thalaq : 7).17

Dengan firman diatas, seorang suami tetap wajib menafkahi


istrinya meski dalam kondisi sulit. Dalam hal ini, posisi suami
termasuk lemah dalam menafkahi istrinya.18
2) Suami tidak pengertian kepada istri.
Banyak sang suami yang tidak mengetahui gangguan-
gangguan kodrati yang dialami istri, seperti sedang hamil, haid,
nifas, dan lain-lain. Apalagi disaat istri sedang mengidam sang
suami harus pengertian pada sang istri.
Mengidam adalah keinginan sang istri yang sangat
mendesak terhadap sesuatu disaat dalam keadaan hamil. Boleh jadi
mengidam itu diingini oleh semangat ketidaksukaannya terhadap
sesuatu, sehingga ia tidak bisa melihat atau menciumnya, kadang
juga membenci sang suami dan rumah. Dalam keadaan ini suami
istri harus mengerti kondisi yang dialami sang istri.19Untuk

17
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 946.
18
Muhammad Tawad Mughaiyah, Fiqih Lima Mazhab : Ta’fari Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hambali, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), hlm. 432.
19
Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Kesalahan-Kesalahan Suami, Surabaya, (Pustaka
Progresif, 2004), hlm. 76.
20

memahami kondisi seperti ini, suami harus faham terlebih dahulu


tentang keberadaan istri yang terkadang kurang terbuka dan sering
merugikan diri sendiri pada kondisi-kondisi tertentu dimana
kekurangan-kekurangan yang berhubungan dengan rumah tangga
tidak terpenuhi. Karena itu alangkah baiknya jika suami lebih
faham dan pengertian tentang kekurangan yang dihadapi oleh istri.
Kedua belah pihak harus menjaga perasaan. Jika tidak ada rasa
pengertian dan perasaan yang terjaga maka akibatnya timbul
gejolak dalam rumah tangga.
3) Suami tidak mampu memuaskan hasrat seks istri.
Ejakulasi dini merupakan bentuk seks dimana suami tidak
dapat memuaskan istri, karena sperma keluar terlalu cepat sehingga
membuat istri tidak mencapai orgasme. Dari sana kemudian
muncul depresi seks yang tidak sampai pada puncaknya ketika
berhubungan badan.20
Kaum perempuan akan renta sekali mengalami friqiditas,
yang berarti tidak gampang puas atau sulit mencapai orgasme.
Inilah yang harus diperhatikan suami, karena itu suami harus
mempunyai strategi seks yang bisa sama-sama puas dan seimbang.
Seperti yang sudah dijelaskan buku kamasutra (kama : keinginan
dan sutra : tujuan).
4) Suami kurang peduli terhadap pendidikan agama istri.
Diantara kewajiban suami terhadap istri, adalah
meremehkan hak-haknya untuk diberikan pengajaran dan
pendidikan serta pemahaman agama. Boleh jadi, suami adalah
seorang saleh, alim, terpelajar, akan tetapi tidak peduli terhadap
agama istri dan keluarganya.21
Penyair mengatakan: “Ada orang yang peduli terhadap
orang-orang jauh, tetapi dia sangat berat untuk membimbing dan
mendidik orang-orang paling dekat yang selalu mendidik orang-

20
Muhammad M. Dlori, op. cit, hlm. 111.
21
Ibid., hlm. 33.
21

orang paling dekat yang selalu mendidik orang-orang paling


dekat yang selalu mengelilinginya.”

Sikap semacam ini tidak diragukan lagi. Sebab kebodohan


adalah penyakit yang membahayakan, dan kebodohan akan
mengerikan. Apabila istri tidak memahami agama, ia tidak akan
memahami hak-hak suami, tidak akan mampu mendidik putera-
puteri, dan tidak akan memelihara rumah tangganya, bahkan tidak
akan melaksanakan perintah-perintah Allah.

2. Cara Penyelesaiannya
Apabila pasangan suami istri saling bermusuhan, dan terjadi
perselisihan antar mereka semakin mengkristal (mengeras), keduanya
saling mengaku bahwa dirinyalah yang telah memenuhi hak-hak dan
kewajiban atas pasangannya. Ataupun suami tidak memenuhi
kewajibannya terhadap istri atau sebaliknya. Sehingga, hal ini
mengakibatkan semakin kacaunya kondisi keluarga, sementara salah
satunya tidak ada kemauan dan keinginan untuk berupaya melakukan
suatu pendekatan dan melakukan perbaikan. Maka suasana yang
sedemikian rupa bisa mengancam kelangsungan rumah tangga hancur.
Sehingga dibutuhkan pertolongan dan campur tangan dari pihak luar agar
bisa membantu keduanya dan melakukan intervensi guna proses
perdamaian bagi kedua pasangan tersebut.
Dalam hal demikian yang berhak pertama kali untuk mendamaikan
keduanya adalah seorang hakim muslim, yang bisa merekatkan kembali
hubungan rumah tangganya. Adapun dalam menyelesaikannya dibutuhkan
tiga tahap dalam menyelesaikan proses perdamaian.22
Pertama, menasihati dan mengingatkan keduanya dengan akibat
dan dampak yang bisa ditimbulkan dan di dapati keduanya, sekaligus
menjelaskan bahwa apa yang dilakukan keduanya adalah suatu kesalahan.

22
Sri Suhandjati sukri, Perempuan Menggugat (kasus dalam Al Qur’an dan Dialitas
Masa Kini), (Semarang : pustaka Adnan, 2005) hlm. 183-184.
22

Kedua, melakukan pukulan terhadap keduanya suami dengan


ijtihadnya.
Ketiga, mengkarantina (menjauhkan) keduanya diantara orang-
orang shalih yaitu orang-orang yang bisa diterima kesaksiannya, atau dari
orang muslim yang dipercaya akan keadilan serta dihormati oleh kedua
pasangan tersebut.
Usaha semacam ini diharapkan mampu melihat akar permasalahan
dan menemukan siapa yang sebenarnya melakukan kezaliman dan
akhirnya mengambil sebuah sikap solusi.

C. Pengertian Nikah dan Rumah Tangga Islam dalam Al Qur’an


1. Pengertian Nikah
Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti
“berhimpun penggabungan dan pencampuran”. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia mengartikan kata “Nikah” sebagai, Pertama : perjanjian antara
laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); Kedua : Sebagai
pernikahan.23 Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara
laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi
halal.24
Menurut ulama’ fiqih arti nikah adalah “Suatu akad yang
menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu ikatan
lahir antara dua oaring laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama
dalam satu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut
ketentuan-ketentuan syariat Islam.25
Pernikahan merupakan dasar pembentukan sebuah keluarga yang
merupakan proses pelestarian nilai-nilai kemanusiaan secara terhormat

23
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai
Pustaka, 1994), hlm. 752.
24
Hasbi Indra, MA., Potret Wanita Solehah, (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm. 78.
25
H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : Toha Putra, 1978), hlm. 453.
23

untuk menciptakan kehidupan yang bahagia, sejahtera. Pernikahan juga


mengharuskan sepasang suami istri menuju kesempurnaan moral dan
mental serta kesejahteraan jiwa dan raga. Allah telah menjadikan
pernikahan sebagai sunnah-Nya dalam upaya menjamin keberlangsungan
makhluk. Sepasang suami istri talah melakukan pernikahan akan memiliki
keturunan. Setiap generasi itu pasti akan mempunyai keturunan kembali.
Proses ini akan menjamin kelangsungan kehidupan yang merupakan bukti
kekuasaan dan kebesarannya. Pernikahan dalam Islam merupakan
perjanjian, akad atau perjanjian yang tidak bisa tercapai apabila dua pihak
tidak saling mengenal.26
Sedangkan pengertian rumah tangga Islami adalah rumah tangga
yang didalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu
maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah tangga Islami adalah
sebuah rumah tangga yang didirikan diatas landasan ibadah. Mereka
bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran
dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah.27
Rumah tangga Islam adalah rumah tangga teladan yang menjadi
panutan dan dambaan ummat. Mereka betah tinggal didalamnya karena
kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka berkhidmat kepada Allah
SWT. Dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun
sempit. Rumah tangga Islami adalah rumah yang didalamnya terdapat
iklim sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta), dan rohmah (surat kasih
sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setip harinya.
Seluruh anggota keluarga merasakan suasana Surga didalamnya “Baiti
Jannati”. Demikian selogan mereka sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah SAW. Dalam Firman Allah Q.S Ar Rum : 21

26
Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian, (BP4) Pusat, Membina
Keluarga Bahagia, (Jakarta : Pustaka Antara, 1996), hlm. 47.
27
Cahyadi Rakariyawan, Keakhwatan III Bersama Tarbiyah Mempersiapkan Tegaknya
Rumah Tangga Islami, (Solo : Era Inter Media, 2004), hlm. 21.
24

‫ﻌ ﹶﻞ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻮﺍ ِﺇﹶﻟ‬‫ﺴﻜﹸﻨ‬


 ‫ﺘ‬‫ﺍﺟﹰﺎ ِﻟ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺴﻜﹸ‬
ِ ‫ﻧﻔﹸ‬‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﻖ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﺎِﺗ ِﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬‫ﻦ ﺁﻳ‬ ‫ﻭ ِﻣ‬

‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮ‬‫ﻳ‬ ‫ﻮ ٍﻡ‬ ‫ﺕ ِﻟ ﹶﻘ‬


ٍ ‫ﻚ ﻟﹶﺂﻳﺎ‬
 ‫ﻤ ﹰﺔ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺩ ﹰﺓ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬
”an di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.28

Hal itu terjadi Karena Islam telah mengatur berbagai aspek


kehidupan manusia, baik yang berskala individu maupun kelompok,
hubungan antar individu, antar kelompok masyarakat bahkan antar negara.
Demikian pula, dalam keluarga terdapat peraturan-peraturan baik rinci
maupun yang global, yang mengatur individu maupun keseluruhannya
sebagai satu kesatuan.
Jelasnya, Pernikahan itu sebagai sarana penyaluran kebutuhan
biologis manusia secara terhormat dalam rangka menciptakan kehidupan
yang beradab menuju terwujudnya masyarakat yang beradab yang akan
menjadi landasan bagi kokohnya sebuah bangunan negara.29
Selain sebagai sarana untuk mengembangkan keturunan, pernikahan
dalam Islam juga merupakan sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah.
Pernikahan merupakan suatu yang sangat suci dan luhur dimana perikatan
antara seorang laki-laki dan perempuan akan menetapkan tanggung jawab
dan kelanggengan atas hubungan mereka. kondisi seperti ini pada akhirnya
akan memunculkan suatu komitmen untuk hidup bersama sesuai dengan
ajaran Islam. Suami dan istri harus berhati-hati terhadap tanggung jawab dan
kewajiban mereka kepada Allah dalam segala aspek interaksi. Firman Allah
SWT :

28
Soenardjo dkk., Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989),
hlm. 644.
29
Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), Terj. R. Kelani dan HM.
Bachrum, (Jakarta : Ikhtisar Baru Van Moeve), 1980, hlm. 406.
25

‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻖ ِﻣ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺪ ٍﺓ‬ ‫ﺍ ِﺣ‬‫ﺲ ﻭ‬


ٍ ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﺧﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸ‬ ‫ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻱ‬ ‫ ﹸﻜ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﺗﻘﹸﻮﺍ‬‫ﺱ ﺍ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻳ‬

‫ﺎ َﺀﻟﹸﻮ ﹶﻥ ِﺑ ِﻪ‬‫ﺗﺴ‬ ‫ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻱ‬ ‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠ‬‫ﺍ‬‫ﺎ ًﺀ ﻭ‬‫ﻭِﻧﺴ‬ ‫ﺎ ﹰﻻ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍ‬‫ﺎ ِﺭﺟ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻨ‬‫ﺑﺚﱠ ِﻣ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺟﻬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬

‫ﺭﻗِﻴﺒﹰﺎ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ‬ ‫ﻡ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ‬ ‫ﺎ‬‫ﺭﺣ‬ ‫ﺍﹾﻟﹶﺄ‬‫ﻭ‬


“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah
menciptakan istri-istrinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(Q.S. An-Nisa : 1)30

Pernikahan sebagai suatu yang suci dan mulia maka janganlah disia-
siakan. Upaya membentuk dan menciptakan keluarga yang bahagia perlu
adanya persiapan yang matang dan perencanaan yang mantap, baik dari segi
fisik, mental maupun ekonomi. Islam menganjurkan kepada siapa saja
(pemuda) yang telah mempunyai kesiapan untuk segera menikah dalam
rangka menghindari fitnah.
Beberapa langkah penting yang harus ditempuh dan diperhatikan
dalam mempersiapkan Pernikahan antara lain sebagai berikut :31
1. Menentukan calon istri/suami.
Islam menegaskan bahwa dalam masalah memilih jodoh itu
hendaknya ahklak dan agamanya menjadi prioritas utama meski tidak
harus mengenyampingkan yang lainnya, seperti kecantikan, kekayaan,
keturunan, maupun yang lainnya. Islam juga menekankan pentingnya
persamaan agama antar suami dan istri. Hal ini sangat penting sekali
untuk mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga (keluarga).

30
Soenarjdo dkk., op . cit., hlm. 114.
31
Maskuf Zuhdi, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta : Rajawali Press, 1993), hlm. 15
26

Firman Allah:

‫ﺎِﺋ ﹶﻞ‬‫ﻭﹶﻗﺒ‬ ‫ﻮﺑﹰﺎ‬‫ﻌ‬‫ﻢ ﺷ‬ ‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﻌ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻧﺜﹶﻰ‬‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﻦ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﺱ ِﺇﻧ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻳ‬

‫ﲑ‬ ‫ﺧِﺒ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻋﻠِﻴ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ‬ ‫ﺗﻘﹶﺎ ﹸﻛ‬‫ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻨ‬‫ﻢ ِﻋ‬ ‫ﻣﻜﹸ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺭﻓﹸﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﹶﺃ ﹾﻛ‬ ‫ﺎ‬‫ﺘﻌ‬‫ِﻟ‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujarat : 13).32

Ayat ini menegaskan bahwa orang yang bertaqwaklah orang


yang paling baik dalam pertimbangan pemilihan pasangan hidupnya
sebagai prioritas utama. Sebagaimana hadits nabi Muhammad saw yang
memberikan nasehat:

(‫ﻓﺎﻧﻈﺮ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﺎﻧﻪ ﺍﺣﺮﻯ ﺍﻥ ﻳﺆﺩﻡ ﺑﻴﻨﻜﻤﺎ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﳎﻪ‬


“Lihatlah terlebih dahulu perempuan itu sebab yang demikian akan
lebih menentukan bagi kebaikan hidupmu selanjutnya” (HR: Ibnu
Majjah)

2. Meneliti keadaan calon suami atau istri melalui khitbah.


Pada kesempatan ini kedua calon mempelai dapat bertemu muka
dan berdialog tentang pribadi masing-masing. Hal ini dapat dilakukan
dengan harapan akan dicapai persesuaian dan permufakatan. Akan tetapi
meskipun khitbah telah diterima kedua belah pihak, calon suami istri
tersebut tidak berarti bebas bergaul sebelum mereka melangsungkan
perkawinan (akad).
Seseorang yang akan melamar harus benar-benar mengetahui
jelas bahwa wanita (calon istri) yang akan dilamarnya bukan merupakan
lamaran atau yang sedang dilamar oleh orang lain. Mekanisme
peminangan seorang pemuda kepada perempuan boleh juga dilakukan

32
Soenarjdo dkk., op. cit., hlm. 847.
27

dengan sendirian, hal ini telah di jelaskan oleh Allah SWT. dalam surat
Al Baqarah ayat 235, yang berbunyi :

... ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﻨ‬‫ﻭ ﹶﺃ ﹾﻛ‬ ‫ﺎ ِﺀ ﹶﺃ‬‫ﻨﺴ‬‫ﺒ ِﺔ ﺍﻟ‬‫ﻦ ِﺧ ﹾﻄ‬ ‫ﻢ ِﺑ ِﻪ ِﻣ‬ ‫ﺘ‬‫ﺿ‬


 ‫ﺮ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﻓِﻴﻤ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺡ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻻ‬‫ﻭ‬
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu.” (Q.S. Al Baqarah : 235).33

Seperti sabda Rasulullah saw;

‫ﺍﺫ ﺍﺍﻟﻘﻰ ﺍﷲ ﰱ ﻗﻠﺐ ﺍﻣﺮﺉ ﺧﻄﺒﺔ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻓﻼﺑﺄﺱ ﺍﻥ ﻳﻨﻈﺮ ﺍﻟﻴﻬﺎ‬


“Apabila Allah telah memberikan ke dalam hati seseorang keinginan
untuk meminang perempuan, maka tidak mengapa dia melihat kepada
perempuan itu (HR: Ibnu Majjah)

3. Adanya persetujuan dari calon suami istri.


Dalam hal ini adalah perlu adanya musyawarah dalam keluarga
untuk mendapatkan persetujuan calon mempelai dan juga orang tua
masing-masing.
Pernikahan disebut juga dengan ikatan, karenanya sebelum
mengadakan ikatan hendaknya kedua belah pihak merasa senang (cinta)
dan bahwa keduanya akan membina keluarga seumur hidup.34 Hal ini
telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya sebagai berikut :

…‫ﻉ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺙ‬
‫ﻭﺛﹸﻼ ﹶ‬ ‫ﻰ‬‫ﻣﹾﺜﻨ‬ ‫ﺎ ِﺀ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﺏ ﹶﻟ ﹸﻜ‬
 ‫ﺎ ﻃﹶﺎ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻧ ِﻜﺤ‬‫…ﻓﹶﺎ‬
“ …, Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi,……..”
(Q.S. An Nisa : 3)35

33
Ibid., hlm. 57.
34
Biro Bina Mental Spiritual DKI Jakarta, Tema-Tema Pokok Al Qur’an, (Jakarta :
LBIQ, T. th) hlm. 188.
35
Soenarjdo dkk., op .cit., hlm.115
28

Musyawarah perlu dilakukan agar tidak terjadi unsur


keterpaksaan dalam perkawinan. Dan untuk mencapai kesepakatan
antara orang tua/wali dan calon mempelai, karena keridho’an orang tua
pasti juga diridloi Allah, begitu pula sebaliknya jika orang tua murka
maka Allah juga akan murka.
4. Calon suami hendaknya Kufu (pantas/seimbang) dengan calon istri.
Kriteria kafa’ah ini lebih ditemukan kepada calon suami agar
suami bisa menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dalam rumah
tangga dengan baik tanpa terjadi hambatan psikologis. Kriteria kafa’ah
ini yang lebih pokok adalah agama dan akhlak, akan tetapi faktor lainnya
pun tidak ada larangan untuk mempertimbangkannya seperti kekayaan,
status sosial, pendidikan, keturunan dan sebagainya.
Seperti firman Allah dalam surat al-Hujarat ayat 13.

‫ﺎِﺋ ﹶﻞ‬‫ﻭﹶﻗﺒ‬ ‫ﻮﺑﹰﺎ‬‫ﻌ‬‫ﻢ ﺷ‬ ‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﻌ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭﺃﹸﻧﺜﹶﻰ‬ ‫ﻦ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮ‬‫ﺎﻛﹸﻢ ﻣ‬‫ﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﺱ ِﺇﻧ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻳ‬

‫ﺮ‬ ‫ﺒِﻴ‬‫ﻢ ﺧ‬ ‫ﻋﻠِﻴ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ‬ ‫ﺗﻘﹶﺎ ﹸﻛ‬‫ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻢ ﻋِﻨ‬ ‫ﻣﻜﹸ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺭﻓﹸﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﹶﺃ ﹾﻛ‬ ‫ﺎ‬‫ﺘﻌ‬‫ِﻟ‬
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat: 13)

Adapun haditsnya yang artinya: “Semua manusia sama,


sebagaimana gigi sisir: tiada ketaqwaan bagi orang Arab atas orang luar
kecuali dengan ketaqwaan”36
5. Mahar atau maskawin sebagai salah satu syarat perkawinan.
Mahar adalah suatu pemberian, baik pakaian, perhiasan, perkakas
rumah tangga, uang atau barang lainnya. Mahar merupakan hak istri

36
Ra‘d Kamil al-Hayali, Memecahkan Perselisihan Keluarga Menurut Qur’an dan
Sunnah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004),cet.1, hlm. 32-33
29

sebagai konsekuensi dari akad nikah, sebagai mana telah ditegaskan


dalam Al Qur’an sebagai berikut :

‫ﻧﻔﹾﺴﹰﺎ‬ ‫ﻨﻪ‬‫ﻲ ٍﺀ ِﻣ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺒ‬‫ﺤﹶﻠ ﹰﺔ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ِﻃ‬
 ‫ﻦ ِﻧ‬ ‫ﺪﻗﹶﺎِﺗ ِﻬ‬ ‫ﺻ‬
 ‫ﺎ َﺀ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟ‬‫ﺁﺗ‬‫ﻭ‬

‫ﻣﺮِﻳﺌﹰﺎ‬ ‫ﻫﻨِﻴﺌﹰﺎ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﹶﻓ ﹸﻜﻠﹸﻮ‬


“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (keikhlasan). Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu yang
sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa : 4).37

Islam tidak menempatkan batas maksimal atau minimal dan


Islam tidak menyetujui maskawin yang terlalu berat karena dapat
menghambat proses Pernikahan.
Cara penentuan mahar dapat ditetapkan sebagai berikut :
a. Ditentukan oleh hakim (Pemerintah).
Cara ini dilaksanakan apabila seorang suami tidak mau menentukan
maskawinnya, maka pemerintah yang menentukan, dengan syarat
pemerintah mengetahui yang sebenarnya.
b. Ditentukan oleh calon suami istri.
Apabila suami istri telah mengetahui ukuran maskawin (yang sesuai
untuk dirinya) tidak ada soal lagi, tetapi apabila keduanya atau salah
satu tidak mengetahui menurut jumhur pernikahannya syah dengan
maskawin yang ditentukan keduanya, baik tunai maupun dihutang,
baik lebih atau kurang (dari ukuran yang tepat), dan kalau bercerai
sebelum berkumpul diharuskan membayar jumlah yang telah
ditentukan oleh berdua.
c. Ditentukan (diberikan ketika kumpul).
Kalau akan berkumpul padahal belum ada maskawin, baik yang
ditentukan hakim atau keduanya, suami terlebih dahulu harus

37
Ibid, hlm. 115.
30

memberi maskawin yang sesuai (dengan keadaan istri). Sebab yang


boleh berkumpul tanpa maskawin hanya Nabi sendiri.38
Banyak sedikitnya mahar tidak ada ketentuan dari agama, dan
boleh memberi maskawin dengan jasa (berupa jasa) Abu Tsaur
membatasi mahar pada lima dirham sedangkan Abu Hanifah membatasi
pada sepuluh dirham.39
Beberapa pendapat fuqoha tentang kualitas mahar yang
diwajibkan atas suami kepada istri disitu tidak didapati batasan
maksimal maupun minimal kualitas mahar, apalagi kondisi sosial yang
selalu berubah sehingga menimbulkan perubahan kelayakan dari kualitas
mahar. Hal ini sesuai dengan Islam, karena Allah tidak menentukan
batas kualitas mahar, bahkan membolehkan membayar mahar dengan
jasa.
Perlu ditekankan dalam pemberian mahar ini menurut penulis
adalah sebagai berikut :
1) Adanya kewajiban membayar mahar bagi suami disikapi sebagai
tanggungjawabnya kelak dalam memberikan nafkah keluarga,
sehingga tidak menganggap ringan untuk menjalani perkawinan.
Adapun mengenai tidak ditentukannya batas minimal ataupun
maksimal mahar adalah Islam tidak mempersulit umatnya untuk
melaksanakan pernikahan.
2) Kualitas mahar yang disepakati harus didasari pada kerelaan masing-
masing. Kerelaan inilah yang lebih diutamakan dari kualitas mahar
itu sendiri karena dalam perkawinan disitu didapati keadaan untuk
saling memberi dan menerima dengan keikhlasan.

Kaitannya dengan kriteria dan persiapan perkawinan, Rasulullah


bersabda :

38
Imam Taqyudin Abu Bakar Ibn Muhammad, Kifayatul Akhyar, Juz I, (Damascus :
Darul Kutub, tth.), hlm. 21
39
Ibid., hlm. 25
31

‫ﻋﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮﺻﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﳌﺮﺍﺓﻻﺭﺑﻊ ﳌﺎ‬

‫ﳍﺎﻭﳊﺴﺒﻬﺎﻭﳉﻤﺎﳍﺎﻭﻟﺪ ﻳﻨﻬﺎﻓﺎﻇﻔﺮﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪ ﻳﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﺍﻙ )ﺭﻭﺍﻩ‬

(‫ﻟﺒﺤﺎﺭﻱ ﻣﺴﻠﻢ‬
“Perempuan dinikahi karena empat alasan 1) karena hartanya, 2)
karena keturunannya, 3) karena kecantikannya, dan 4) karena
agamanya, pilihlah wanita yang beragama engkau pasti akan selamat.”
(HR. Bukhori Muslim)40

Beberapa deskripsi tentang perkawinan dalam Al Qur’an penulis


memandang bahwa dalam Pernikahan itu terdapat dua hal, yaitu antara
Ibadah dan Mu’amalah Ibadah, karena perkawinan merupakan perintah
Allah kepada hamba-Nya dan melaksanakannya adalah refleksi dari
ketaatan manusia kepada Allah, sedangkan muamalah, karena dalam
perkawinan didapati aturan-aturan dalam hubungan sesama manusia
untuk menjaga hasrat manusia dalam posisi mahluk yang mulia.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam pernikahan, pandangan
penulis itu meliputi dua hal, yaitu kesiapan lahir dan batin. Kesiapan
lahir ini meliputi kesiapan suami istri dalam hal ekonomi, fisik
(kedewasaan secara fisik) dan hal-hal lain yang bersifat materi. Kesiapan
batin ini meliputi kedewasaan psikis, kemantapan calon pasangan hidup,
saling menerima.

2. Kedudukan Pernikahan Dalam Al Qur’an.


Islam telah jelas memposisikan pernikahan sebagai suatu yang
sangat mulia demi menempatkan manusia sebagai mahluk Allah dalam
statusnya sebagai “Khalifatullah.” Kemuliaan yang dimaksud disini adalah
bahwa dalam rangka melangsungkan keturunan, Islam memberikan syari’at
perkawinan yang membedakan dengan mahluk hidup lainnya.

40
Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim, Shoheh Bukhori, Juz V, hlm.
116.
32

Kedudukan atau posisi Pernikahan dalam Islam adalah sebagai


berikut:
1) Pernikahan merupakan Sunnah Rasulullah dan juga sunnah para Nabi
terdahulu.
Pernikahan adalah fitrah manusia normal, dimana manusia
memiliki hasrat seksual kepada lawan jenisnya sebagai sunatullah yang
tidak bisa dihapuskan. Menyadari sebuah realita ini. Islam mengarahkan
pemenuhan hasrat itu kejalan yang susila, yaitu lewat pernikahan.
Begitu pentingnya Pernikahan dalam Islam, ia mempunyai
kedudukan sebagai sunnah yang harus dilaksanakan. Maka jika umat-
umat Muhammad tidak melaksanakannya maka ia tidak termasuk dalam
golongan umat Muhammad, hal ini diungkap pula dalam Al Qur’an :

... ‫ ﹰﺔ‬‫ﻳ‬‫ﻭ ﹸﺫﺭ‬ ‫ﺍﺟﹰﺎ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻌ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺒِﻠ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬ ‫ﻼ ِﻣ‬
‫ ﹰ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﺳ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺪ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ ﹶﻘ‬
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rasul sebelum
kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”
(Q.S. Ar Ra’d : 38).41

2) Pernikahan merupakan penyempurna agama yang termasuk dari bagian


ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT.
Para ulama ahli hukum menafsirkan, bahwa Al Qur’an menilai
perkawinan sebagai kewajiban agama, dimaksudkan untuk menjaga
keselamatan moral dan juga untuk kepentingan sosial. Kepentingan atau
kewajiban agama dalam rangka beribadah, dengan demikian tentu saja
semua orang harus memenuhinya karena seorang yang telah menikah
berarti telah menyempurnakan separuh agamanya.42
Secara moral manusia tidak mungkin dapat menahan secara terus
menerus gejolak seksualnya. Manusia saat kehilangan kontrol diri, maka
agama telah memerintahkan perkawinan pada pemeluknya sebagai salah

41
Soenarjdo dkk., op. cit., hlm. 376.
42
Hammudah Abdul Al Ati, Keluarga Muslim, Terjemahan Ansori Toyyib, (Surabaya,
Bina Ilmu, 1984), hlm. 71.
33

satu bentuk pengabdian (ibadah) manusia kepada Tuhannya dan dalam


upaya mencari keridhoan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :

‫ﲔ‬
 ‫ﺎﹶﻟ ِﻤ‬‫ﺏ ﺍﹾﻟﻌ‬
 ‫ﺭ‬ ‫ﺎﺗِﻲ ِﻟﻠﱠ ِﻪ‬‫ﻣﻤ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻱ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺤﻴ‬
 ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺴﻜِﻲ‬
 ‫ﻧ‬‫ﻭ‬ ‫ﻼﺗِﻲ‬‫ﹸﻗ ﹾﻞ ِﺇﻥﱠ ﺻ‬
“Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku
semuanya bagi Allah tuhan semesta alam.” (Q.S. Al An’am : 162).43

3) Pernikahan merupakan nikmat dan amanah yang dianugerahkan kepada


manusia yang harus disyukuri dan harus dipertanggungjawabkan kepada
Allah SWT.
Nikmat (pemberian) pernikahan harus disyukuri karena hal ini
merupakan kesempatan yang diperoleh seorang untuk mengarungi
bahtera rumah tangga, dimana orang lain belum tentu memiliki
kesempatan ini karena belum adanya kesiapan, padahal sudah sangat
menginginkan-Nya.
Pernikahan ini merupakan nikmat yang secara pasti setiap orang
menginginkannya dan juga sebagai amanah Allah yang harus dijaga
karena akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya.
4) Pernikahan merupakan ujian hidup dan penyelamat manusia dari dosa.
Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan pernikahan
merupakan salah satunya. Orang yang berkeluarga sering menghadapi
persoalan. Seorang harus menghadapi dirinya sendiri dan juga
menjalankan keluarganya (anak dan istrinya). Orang yang sudah
berkeluarga akan lebih banyak godaannya seorang mu’min yang sudah
menikah akan mempunyai nilai lebih ketika ia mampu menghadapi ujian
hidup yang menimpanya.
Pernikahan juga berkedudukan sebagai penyelamat manusia dari
dosa (Zina) dan lainnya. Sebelum menikah mungkin saja seorang akan
berlaku tidak baik karena kebutuhan mendesak sedangkan ia tidak atau
belum memiliki isteri. Maka anjuran agama hendaklah ia segera
menikah.
43
Soenarjdo dkk., op cit., hlm. 216.
34

5) Pernikahan merupakan media Silaturahmi, media Dakwah dan penyebar


Islam.
Pernikahan akan mempertemukan manusia yang tidak saling
mengenal menjadi saling kenal maka terjalinlah silaturahmi antar
keluarga dari dua keluarga besar. Pernikahan juga merupakan sarana
dakwah menyebarkan Islam. Mengawini perempuan yang bukan Islam,
seorang laki-laki muslim dianjurkan mengajaknya untuk masuk Islam.
6) Pernikahan merupakan pembuka rizki dan forum pendewasaan dan
pembentukan diri.
Secara nyata, seseorang yang sudah memiliki keluarga akan
mencari nafkah dengan sungguh-sungguh untuk menghidupi diri dan
keluarganya, berbeda dengan mereka yang masih sendiri, seorang yang
telah berkeluarga akan memaksakan sesuatu (nafkah) ketika
kebutuhannya tersebut meningkat.
Adanya dorongan tersebut, maka kesempatan untuk
memperoleh rizki atau nafkah akan selalu terbuka, yang berarti
menjadikan seorang bertambah dewasa dan menjadi dirinya sendiri.
Penulis memandang bahwa tujuan-tujuan pernikahan dengan
melihat pendapat yang dikemukakan di atas, mengklasifikasikan dalam
tiga hal, yaitu : sebagai sunnah Nabi, jalan untuk mencapai kebahagiaan
dan media pembentuk masyarakat yang beradab.
Sunnah Nabi, karena perintah nikah itu disampaikan sejak Nabi
pertama sampai Nabi Muhammad, sehingga menjalankannya adalah
mengikuti sunnah Nabi dan itu berarti ibadah kepada Allah SWT.
Pernikahan juga merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan, karena
dengan pernikahan akan didapati kehidupan keluarga sebagai tempat
berbagi suka duka serta penenang jiwa dan spiritual. Selain dari dua
tujuan tersebut pernikahan juga merupakan media untuk membentuk
masyarakat yang beradab yang diridha’i Allah SWT.
35

3. Tujuan Pernikahan dalam Al Qur’an


Pernikahan bukanlah suatu perbuatan yang tanpa tujuan, tetapi ia
adalah amanah dan sunnah Allah yang bisa menempatkan manusia
benar-benar pada posisinya sebagai mahluk yang paling sempurna.
Dengan pernikahan berarti manusia menghormati nilai-nilai sebuah
kehormatan yang dilakukan oleh mahluk Allah yang mempunyai cipta,
rasa, dan karsa.
Islam membuka pintu pernikahan seluas-luasnya bagi mereka
yang sudah mampu melaksanakannya, karena pernikahan akan
meningkatkan derajat manusia dari segi sosial.
Tujuan pernikahan telah disebut dalam buku Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia tentang dasar-dasar pernikahan pasal 3, yaitu
“Pernikahan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawadah dan rahmah.44
Sementara itu pernikahan dalam syari’at Islam telah dirumuskan
oleh Dr. Abdullah Nashih’ulwan sebagai berikut.45
1) Melestarikan keturunan.
Sesuai fitrahnya setiap mahluk hidup mempunyai keinginan
untuk menciptakan generasi penerus, begitu pula halnya dengan
manusia. Perkawinan merupakan satu-satunya cara yang efektif
untuk mengembangkan jenis keturunan yang merupakan jaminan
pemeliharaan dan sunatullah dalam masalah pemeliharaan
kelangsungan jenis manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Firman
Allah :

‫ﻢ‬ ‫ﺍ ِﺟ ﹸﻜ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﻌ ﹶﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺍﺟﹰﺎ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺴﻜﹸ‬
ِ ‫ﻧﻔﹸ‬‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﻌ ﹶﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻭ‬

‫ﺕ‬
ِ ‫ﺎ‬‫ﻴﺒ‬‫ﻦ ﺍﻟ ﱠﻄ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﺯﹶﻗﻜﹸ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺪ ﹰﺓ‬ ‫ﺣ ﹶﻔ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﺑِﻨ‬

44
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo,
1995), hlm. 114.
45
Abdullah Nashih’ulwan, Pengantin Islam, (Jakarta : Al-Ishlahy Press, 1993), hlm. 5-
11.
36

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri


dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan
cucu-cucu yang akan memberikan rizki-rizki yang baik.” (Q.S.
An Nahl : 72 ).46

2) Memelihara nasab (keturunan).


Anak-anak yang dilahirkan melalui jalan pernikahan
merupakan keturunan yang berharga karena ia lahir dari orang tua
yang sah dan terhormat. Seandainya tiada syari’at ini, penghalalan
segala cara akan menimpa manusia dan manusia sebagai mahluk
mulia tidak lagi memiliki kehormatan, yang ada hanyalah kerusakan
dan kebejatan moral.
3) Menyelamatkan masyarakat dari degradasi moral dan ancaman
berbagai penyakit.
Pernikahan yang syah, manusia dapat menyalurkan
kebutuhan biologisnya secara halal dan ini akan menyelamatkan
masyarakat dari akhlak yang buruk, memelihara manusia dari
keretakan hubungan dan menjauhkan manusia dari perzinahan dan
pergaulan bebas yang akan mendatangkan berbagai penyakit.
Sebagaimana Firman Allah;

‫ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ِﺑﻤ‬ ‫ﻮﹾﺍ ِﺇﻧ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺗ ﹾﻄ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻦ ﺗ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ﺃﹸ ِﻣ‬‫ﻢ ﹶﻛﻤ‬ ‫ﺘ ِﻘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬

‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺴﻜﹸﻢ‬


 ‫ﻤ‬ ‫ﺘ‬‫ﻮﹾﺍ ﹶﻓ‬‫ﻦ ﹶﻇﹶﻠﻤ‬ ‫ﻮﹾﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﺮ ﹶﻛﻨ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ (112) ‫ﲑ‬ ‫ﺼ‬
ِ ‫ﺑ‬

‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺼﺮ‬
 ‫ﻨ‬‫ ﹶﻻ ﺗ‬‫ﺎﺀ ﹸﺛﻢ‬‫ﻭِﻟﻴ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻭ ِﻥ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ِﻣ‬‫ﻦ ﺩ‬‫ﹶﻟﻜﹸﻢ ﻣ‬
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu
tiada mempunyai seorang penolongpun selain dari Allah,

46
Soenarjdo dkk., op. cit., hlm. 412.
37

kemudian kamu tiada akan diberi pertolongan. (QS: Hud: 112-


113).47

4) Membentuk rumah tangga (keluarga) yang ideal.


Melalui pernikahan sebuah keluarga terbentuk yang akan
menimbulkan kerjasama antara setiap anggotanya (suami-istri)
dalam upaya mewujudkan rumah tangga yang ideal. Membina dan
menjaga keluarga dengan sebaik-baiknya akan menimbulkan cinta
kasih.

‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻮﺍ ِﺇﹶﻟ‬‫ﺴ ﹸﻜﻨ‬


 ‫ﺘ‬‫ﺍﺟﹰﺎ ﻟﱢ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺴﻜﹸ‬
ِ ‫ﻦ ﺃﹶﻧﻔﹸ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻖ ﹶﻟﻜﹸﻢ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﺎِﺗ ِﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬‫ﻦ ﺁﻳ‬ ‫ﻭ ِﻣ‬

َ‫ﻭﻥ‬‫ﺘ ﹶﻔﻜﱠﺮ‬‫ﻳ‬ ‫ﻮ ٍﻡ‬ ‫ﺕ ﱢﻟ ﹶﻘ‬


ٍ ‫ﺎ‬‫ﻚ ﻟﹶﺂﻳ‬
 ‫ﻤ ﹰﺔ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺩ ﹰﺓ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﻜﹸﻢ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻌ ﹶﻞ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dan jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda babi kaum
yang berfikir. (QS. R-Rum: 21)48

5) Untuk ketenangan jiwa dan spiritual.


Tahap berikutnya diantara suami istri akan muncul hubungan
kasih sayang dan ketenteraman dan ketenangan jiwa. Masing-
masing akan merasa damai dibawah lindungan yang lain. Satu sama
lain merasa memiliki tempat pengaduan keluhan hati dan
mempunyai teman untuk berbagi rasa dan penderitaan.
6) Menumbuhkan kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
Pernikahan akan menumbuhkan rasa kasih sayang orang tua
terhadap anak-anaknya dan merasa tanggung jawab terhadap mereka
dibandingkan dengan anak yang dilahirkan tanpa orang tua yang
halal. Dan pernikahan sebagai sunatullah merupakan jembatan
menuju tercapainya sebuah keluarga dimana adanya perjanjian

47
Ibid., hlm. 344.
48
Ibid., hlm. 644
38

suami istri akan memikul tanggung jawab bersama dalam upaya


menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
Melihat deskripsi pendapat tersebut, maka penulis
memandang tujuan disyari’atkannya pernikahan secara sistematik
dapat diklasifikasikan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi diri, moral
dan sosial. Dimensi diri berkaitan dengan pemenuhan diri sebagai
manusia normal, dimensi moral berkaitan dengan pemeliharaan
nilai-nilai moral manusia yang mempunyai etika. Sedangkan
dimensi sosial berkaitan dengan pemeliharaan tatanan masyarakat
sebagai Khalifatullah fil Ardl.
Bentuk dan dimensi diri, meliputi pemenuhan penyaluran
kebutuhan biologis, kasih sayang, menyambung nasab. Dimensi
moral pernikahan akan menempatkan harkat manusia pada tempat
yang mulia, menyelamatkan manusia dari kebobrokan moral, yaitu
terjadinya perzinahan dimana-mana yang akibatnya akan
memunculkan penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari hubungan
tersebut. Sedangkan dimensi sosial, pernikahan akan menciptakan
masyarakat yang diridloi Allah SWT. Ini terjadi karena dengan
pernikahan didapati kejelasan keturunan. Lain halnya ketika dalam
satu masyarakat tidak ada kejelasan dalam keturunan, maka disitu
tidak jelas siapa ibunya, saudaranya, anaknya, dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai