Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Berdasarkan penelitian perilaku masyarakat terhadap timbulnya gejala


penyakit yaitu rumah tangga yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI,
didapat data kuantitatif yaitu dibiarkan (5%), diobati dengan cara sendiri (5%),
diobati dengan obat jamu (9%), memakai obat dijual bebas (63%), dan pergi ke
dokter atau puskesmas (18%). Ternyata persentase penderita sakit yang
melakukan pengobatan sendiri cukup besar, sehingga dapat dijadikan dasar bahwa
masyarakat dapat melakukan pengobatan sendiri untuk penyakit yang ringan, atau
minimal melakukan pertolongan pertama bagi diri sendiri sebelum petugas
kesehatan menanganinya (Sartono, 2000).
Swamedikasi (Pengobatan sendiri) merupakan upaya yang dilakukan oleh
masyarakat dalam pengobatan tanpa adannya resep dari dokter atau tenaga medis
lainnya. Swamedikasi dilakukan berdasarkan dari pengalaman pasien atau dari
rekomendasi orang lain. Pengobatan sendiri dilakukan untuk mengatasi
keluhankeluhan ringan (Merianti et al., 2013), menurut World Health
Organization (WHO) peran pengobatan sendiri adalah untuk mengatasi dan
menanggulangi secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan
konsultasi medis, mengurangi beban biaya dan meningkatkan keterjangkauan
masyarakat terhadap pelayanan medis (Supardi & Notosiswoyo, 2005).
Salah satu penyakit ringan yang dapat diatasi dengan pengobatan sendiri
adalah penyakit batuk. Batuk merupakan simptom umum bagi penyakit respiratori
dan non-respiratori (Haque, 2005). Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan
beragam hal salah satunya adalah keberadaan mukus pada saluran pernafasan.
Normalnya, mukus membantu melindungi paru-paru dengan menjebak partikel
asing yang masuk. Namun apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus tidak
lagi membantu malahan mengganggu pernafasan (Koffuor dkk., 2014). Oleh
karena itu, tubuh memiliki respon batuk untuk mengurangi mukus yang
berlebihan tersebut.

1
Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh faktor luar seperti debu
maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak partikel
asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang.
Frekuensi batuk yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
Secara umum batuk dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu batuk kering yang
merupakan batuk yang disebabkan oleh alergi, makanan, udara, dan obat-obatan.
Batuk kering dapat dikenali dari suaranya yang nyaring, sedangkan yang kedua
adalah batuk berdahak yang disebabkan oleh adanya infeksi mikroorganisme atau
virus dan dapat dikenali dari suaranya yang lebih berat dengan adanya
pengeluaran dahak (Djunarko & Hendrawati, 2011). Kesulitan dalam pengeluaran
dahak akan berdampak pada sulitnya bernafas yang bisa menyebabkan sianosis,
kelelahan, apatis serta merasa lemah (Nugroho & Kristianti, 2011).
Swamedikasi batuk diperlukan pengetahuan mengenai pemilihan obat yang
rasional sesuai batuk yang dialami oleh pasien, untuk batuk berdahak digunakan
obat golongan mukolitik (pengencer dahak) dan ekspektoran (membantu
mengeluarkan dahak), sementara untuk batuk kering digunakan obat golongan
antitusif (penekan batuk) (Djunarko & Hendrawati, 2011). Obat batuk banyak
diiklankan dan bisa diperoleh tanpa resep dokter atau dikenal sebagai obat bebas
(over-the-counter medicine). Menurut Corelli (2007) jenis obat batuk bebas yang
sering ada di pasaran adalah jenis ekspektoran dan antitusif.
Masyarakat hari ini saat batuk tidak meminum obat batuk tetapi melakukan
swamedikasi non farmakologi seperti minum air hangat, minum perasan jeruk dan
adapula yang meminum obat yang berdasarkan iklan yang berasal dari media
social. Obat-obat yang dipilih mengandung lebih dari satu zat aktif y ang kurang
sesuai untuk pengobatan batuk. Menurut Kartajaya (2011) alasan masyarakat
Indonesia melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit
dianggap ringan (46%), harga obat yang lebih murah (16%) dan obat mudah
diperoleh (9%), walaupun jumlah dokter dan rumah sakit bertambah, hal ini tidak
mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan swamedikasi (Kartajaya et
al., 2011). Maka pengetahuan mengenai obat batuk sangat dibutuhkan dalam
memilih obat yang benar saat mengalami batuk (Djunarko & Hendrawati, 2011).

2
Oleh karena itu makalah ini dilakukan untuk menjadi bahan dalam
pemilihan obat pada swamedikasi batuk, sehingga dimaksudkan akan berdampak
positif kepada apoteker untuk lebih dapat menjelaskan dengan benar fungsi dari
masing-masing obat batuk yang akan dipilih oleh pasien (Kartajaya et al., 2011).

II. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dalam
swamedikasi batuk diperlukan pengetahuan mengenai pemilihan obat yang
rasional sesuai batuk yang dialami oleh pasien sebagai bekal menjadi seorang
seorang Apoteker.
III. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahuan tambahan kepada
Apoteker dalam pemilihan obat pada swamedikasi batuk di masyarakat

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Batuk merupakan mekanisme pertahanan diri paling efisien dalam
membersihkan saluran nafas yang bertujuan untuk menghilangkan mukus, zat
beracun dan infeksi dari laring, trakhea, serta bronkus. Batuk juga bisa menjadi
pertanda utama terhadap penyakit perafasan sehingga dapat menjadi petunjuk bagi
tenaga kesehatan yang berwenang untuk membantu penegakan diagnosisnya
(Chung, 2003).
II. Etiologi Batuk
Menurut McGowan (2006) batuk bisa terjadi secara volunter tetapi selalunya
terjadi akibat respons involunter akibat dari iritasi terhadap infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan atas maupun bawah, asap rokok, abu dan bulu hewan terutama
kucing. Antara lain penyebab akibat penyakit respiratori adalah seperti asma,
postnasal drip, penyakit pulmonal obstruktif kronis, bronkiektasis, trakeitis, croup,
dan fibrosis interstisial. Batuk juga bisa terjadi akibat dari refluks gastro-esofagus
atau terapi inhibitor ACE (angiotensin-converting enzyme). Selain itu, paralisis
pita suara juga bisa mengakibatkan batuk akibat daripada kompresi nervus
laryngeus misalnya akibat tumor.
III. Patofisiologi
Batuk adalah bentuk refleks pertahanan tubuh yang penting untuk
meningkatkan pengeluaran sekresi mukus dan partikel lain dari jalan pernafasan
serta melindungi terjadinya aspirasi terhadap masuknya benda asing. Setiap batuk
terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks. Hal ini diprakarsai oleh
reseptor batuk yang berada pada trakea, carina, titik percabangan saluran udara
besar, dan saluran udara yang lebih kecil di bagian distal, serta dalam faring.
Laring dan reseptor tracheobronchial memiliki respon yang baik terhadap
rangsangan mekanis dan kimia. Reseptor kimia yang peka terhadap panas, asam
dan senyawa capsaicin akan memicu refleks batuk melalui aktivasi reseptor tipe 1
vanilloid (capsaicin). Impuls dari reseptor batuk yang telah dirangsang akan
melintasi jalur aferen melalui saraf vagus ke „pusat batuk‟ di medula. Pusat batuk

4
akan menghasilkan sinyal eferen yang bergerak menuruni vugus, saraf frenikus
dan saraf motorik tulang belakang untuk mengaktifkan otot-otot ekspirasi yang
berguna membantu batuk.
Mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
1. Fase inspirasi: fase inhalasi yang menghasilkan volume yang diperlukan untuk
batuk efektif
2. Fase kompresi: penutupan laring dikombinasikan dengan kontraksi otot-otot
dinding dada, diagframa sehingga menghasilkan dinding perut menegang
akibat tekanan intratoraks.
3. Fase ekspirasi: glotis akan terbuka, mengakibatkan aliran udara ekspirasi yang
tinggi dan mengeluarkan suara batuk (Yahya, 2007).
IV. Klasifikasi
Berdasarkan durasinya, batuk dibedakan menjadi batuk akut, subakut, dan
batuk kronis. Batuk akut yaitu batuk yang terjadi kurang dari 3 minggu. Batuk
subakut yaitu batuk yang terjadi selama 3-8 minggu, sedangkan batuk kronis yaitu
batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Dari durasi batuk maka dapat diprediksi
penyakitnya. Misalnya batuk akut yang biasanya disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA) atau bisa juga karena pnemonia dan gagal jantung
kongestif. Batuk subakut bisa disebabkan oleh batuk pasca infeksi, bakteri
sinusitis maupun batuk karena asma. Sedangkan batuk kronis bila terjadi pada
perokok biasanya merupakan penyakit chronic obstructive pulmonary disease
(COPD) dan pada non perokok kemungkinan adalah post-nasal drip, asma dan
gastroesophageal reflux disease (GERD).
Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering dan
batuk berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan untuk
membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar. Sedangkan
batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme pengeluaran
mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009).
Menurut Digpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa diklasifikasikan
mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama kurang dari tiga

5
minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga hingga delapan minggu dan
batuk kronis berlangsung selama lebih dari delapan minggu.
1. Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan merupakan
simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter. Kebanyakan
kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus respiratori yang merupakan
self-limiting dan bisa sembuh selama seminggu (Haque, 2005). Dalam situasi
ini, batuk merupakan simptom yang sementara dan merupakan kelebihan yang
penting dalam proteksi saluran pernafasan dan pembersihan mukus. Walau
bagaimanapun, terdapat permintaan yang tinggi terhadap obat batuk bebas
yang kebanyakannya mempunyai bukti klinis yang sedikit dan waktu yang
diambil untuk konsultasi ke dokter tentang simptom batuk (Digpinigaitis,
2009).
2. Batuk Kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang berlangsung
secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup menurun yang akan
membawa kepada pengasingan sosial dan depresi klinikal (Haque, 2005).
Penyebab sering dari batuk kronis adalah penyakit refluks gastro-esofagus,
rinosinusitis dan asma. Terdapat juga golongan penderita minoritas yang batuk
tanpa dengan diagnosis dan pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk
idiopatik kronis. Batuk golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa
sebenarnya penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).
V. Mekanisme Batuk
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa
serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga
toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat pada laring,
trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada
cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar 6 reseptor di dapat di
laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Serabut aferen terpenting
terdapat pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea,
bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang

6
Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus
paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus
frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma. Rangsangan ini
oleh serabut afferen dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat
pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut aferen
nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus,
nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini
berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan
lain-lain.
Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya
mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensorik nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring
dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru.
Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan
diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan
peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah
banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi
sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup
sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adductor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan
intratoraks meningkat hingga 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif.
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk

7
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara
(Putri, 2012).
Dalam terjadinya mekanisme batuk, reseptor rangsangan batuk sangat
berperan dalam menginisiasi timbulnya refleks batuk. Rangsangan atau stimulus
yang dapat menimbulkan batuk secara garis besar terbagi menjadi 3, yaitu:
Serabut Aδ atau rapidly adapting receptors (RARs), serabut C, dan slowly
adapting stretch receptor (SARs). Mereka dibedakan berdasarkan neurochemistry,
letaknya, kecepatan konduksi, sensitivitas fisika-kimia, dan kemampuan adaptasi
terhadap lung inflation.
Rapidly adapting receptors (RARs) merupakan serabut Aδ termyelinasi yang
diduga berada didalam atau selapis dibawah sel epitel di sepanjang saluran
pernafasan bertanggung jawab dalam mekanisme pertukaran udara dalam saluran
pernafasan (Widdicombe, 2001). RARs merupakan reseptor yang aktivitasnya
meningkat apabila dirangsang oleh stimulus mekanis seperti sekresi mukus atau
oedema, namun tidak sensitif terhadap banyak stimulus kimia penginduksi batuk
seperti bradikinin dan capsaicin. (Lee dan Pisarri, 2001).
Reseptor serabut C memiliki peranan penting dalam refleks pertahanan diri
saluran pernafasan. Serabut C merespon terhadap baik mekanis (walaupun
memerlukan stimulus yang lebih besar dari RARs) maupun kimia, seperti sulfur
dioxide, bradikinin dan capsaicin (Lee dan Pisarri, 2001).
Walaupun SARs juga termasuk dalam lingkup keluarga „A‟, tidak seperti
RARs, aktivitas SAR tidak tergantung pada stimulus yang menginduksi batuk.

8
SAR juga diduga tidak terlibat secara langsung dalam refleks batuk. Namun, SAR
mungkin ikut memfasilitasi refleks batuk seperti yang ditunjukkan pada kucing
dan kelinci, melalui interneuron yang disebut „pump cells’ yang diduga
meningkatkan refleks batuk yang berasal dari aktivitas RARs (Shannon, 2000).
VI. Penatalaksanaan Terapi
A. Farmakologi
Menurut Beers (2003) batuk memiliki peran utama dalam
mengeluarkan dahak dan membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang
menghasilkan dahak umumnya tidak disupresikan. Yang diutamakan adalah
pengobatan kausa seperti infeksi, cairan di dalam paru, atau asma. Misalnya,
antibiotik akan diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada
penderita asma. Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya,
berbagai variasi jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Banyak
yang memerlukan batuknya disupresikan pada waktu malam untuk
mengelakkan dari gangguan tidur.
Menurut KKM (2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan
jenis obat batuk yang benar. Menurut Beers (2003) pengobatan batuk secara
umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau
tidak. Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan
tidak berdahak yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan
antitusif.
 Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan secret
saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein
dan mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik
berfungsi dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia
langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang
terdapat di pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein
(Estuningtyas, 2008).

9
1. Bromheksin HCl
Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine
merupakan suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan
kepada penderita bronchitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain.
Obat ini juga digunakan di unit gawat darurat secara lokal di bronkus
untuk memudahkan pengeluaran dahak pasien.
Menurut Estuningtyas (2008) data mengenai efektivitas klinis obat
ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam
pada masa akan datang. Efek samping dari obat ini jika diberikan
secara oral adalah mual dan peninggian transaminase serum.
Bromheksin hendaklah digunakan dengan hati-hati pada pasien tukak
lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti yang dianjurkan adalah tiga
kali, 4-8 mg sehari. Obat ini rasanya pahit sekali.

Nama Nama Aturan


Indikasi Produsen Gambar
Generik Paten Pakai
Bromheksin Bisolvon Batuk 8 mg PT
HCl Berdahak  tablet Boehringer
Ingelheim
Indonesia
Bronex Batuk Dus, 10 Pharmasi
Berdahak  catch Zenith
cover @
1 Strip
@10
tablet

2. Ambroxol

10
Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki
mekanisme kerja yang sama dengan bromheksin. Ambroksol sedang
diteliti tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis
sika dan sebagai perangsang produksi surfaktan pada anak lahir
prematur dengan sindrom pernafasan (Estuningtyas, 2008).
Nama Nama Aturan Pakai /
Indikasi Produsen Gambar
Generik Paten Bentuk Sediaan
Ambroxol Epexol Sebagai obat dos 10 x 10 PT. Sanbe
penyakit- tablet 30 mg Farma
penyakit pada botol 120 ml
saluran syrup
pernafasan
dimana terjadi
banyak lendir
atau dahak
Mucopec Terapi Mucopect Boehringer
t mukolitik/pen tablet, kotak, 10 ingelheim
gencer dahak strip x 10 tablet.
pada penyakit Mucopect sirup
saluran 30 mg/5 ml,
pernapasan botol @ 60 ml.
akut dan Mucopect sirup
kronik
15 mg/5 ml,
botol @125 ml
dan @ 60 ml.
Mucopect drops
(tetes) 15
mg/ml, botol, @
20 ml.
3. Asetilsistein

11
Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita
penyakit bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik,
obstruksi mukus, penyakit bronkopulmonari akut, penjagaan saluran
pernafasan dan kondisi lain yang terkait dengan mukus yang pekat
sebagai faktor penyulit (Estuningtyas, 2008). Ia diberikan secara
semprotan (nebulization) atau obat tetes hidung. Asetilsistein
menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Kerja
utama dari asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida.
Reaksi ini menurunkan viskositasnya dan seterusnya memudahkan
penyingkiran sekret tersebut. Ia juga bisa menurunkan viskositas
sputum. Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan mempunyai
aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-kira dengan pH 7
hingga 9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1 menit, dan efek
maksimal akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10 menit setelah
diinhalasi. Semasa trakeotomi, obat ini juga diberikan secara langsung
pada trakea. Efek samping yang mungkin timbul berupa spasme
bronkus, terutama pada pasien asma. Selain itu, terdapat juga timbul
mual, muntah, stomatitis, pilek, hemoptisis, dan terbentuknya sekret
berlebihan sehingga perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini
diberikan, hendaklah disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya,
larutan yang digunakan adalah asetilsistein 10% hingga 20%.

12
Nama Nama Aturan Pakai /
Indikasi Produsen Gambar
Generik Paten Bentuk Sdiaan
Asetilsitein Fluimucil Mukolitik Dus, botol Zambon
berisi dry syrup
netto 75 ml.
Dus, botol
berisi dry syrup
netto 150 ml. 

Sistenol Mengobati dos 6 x10 film Dexa


demam yang coated caplet medica
disertai batuk
yang terkait
dengan
gejala
influenza.

 Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini
didasarkan pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan
efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme
kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya
secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat
nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah
pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah ammonium
klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).

13
1. Ammonium klorida
Menurut Estuningtyas (2008) ammonium klorida jarang digunakan
sebagai terapi obat tunggal yang berperan sebagai ekspektoran tetapi
lebih sering dalam bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau
antitusif. Apabila digunakan dengan dosis besar dapat menimbulkan
asidosis metabolik, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru-paru. Dosisnya, sebagai
ekspektoran untuk orang dewasa ialah 300mg (5mL) tiap 2 hingga 4
jam. Obat ini hampir tidak digunakan lagi untuk pengasaman urin pada
keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal dan
menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit.
2. Gliseril Guaiakolat
Penggunaan gliseril guaiakolat didasarkan pada tradisi dan kesan
subyektif pasien dan dokter. Tidak ada bukti bahwa obat bermanfaat
pada dosis yang diberikan. Efek samping yang mungkin timbul dengan
dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah. Ia tersedia dalam
bentuk sirup 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan 2 hingga 4
kali, 200-400 mg sehari.
Nama Nama Aturan Pakai /
Indikasi Produsen Gambar
Generik Paten Bentuk Sdiaan
Ammonium Ikadryl Espektoran botol 60 ml, 100 Ikapharmindo
ml dan 120 ml
Klorida
syrup

14
 Antitusif
Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant
merupakan obat batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan
aktivitas pusat batuk di otak dan menekan respirasi. Misalnya
dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan opioid lemah. Terdapat
juga analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan metadon yang
mempunyai aktivitas antitusif.
Antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan derivatnya
termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin.
Kebanyakannya berpotensi untuk menghasilkan efek samping
termasuk depresi serebral dan pernafasan. Juga terdapat
penyalahgunaan.

1. Dekstrometorfan
Menurut Dewoto (2008) dekstrometorfan atau D-3-
metoksin-N metal morfinan tidak berefek analgetik atau bersifat
aditif. Zat ini meningkatkan nilai ambang rangsang refleks batuk
secara sentral dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein.
Berbeda dengan kodein, zat ini jarang menimbulkan mengantuk
atau gangguan saluran pencernaan. Dalam dosis terapi
dekstrometorfan tidak menghambat aktivitas silia bronkus dan efek
antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah sekali,
tetapi dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi
pernafasan. Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10mg
dan sebagai sirup dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5mL. dosis
dewasa 10-30 mg diberikan 3-4 kali sehari. Dekstrometorfan sering
dipakai bersama antihistamin, dekongestan, dan ekspektoran dalam
produk kombinasi (Corelli, 2007).

15
Aturan Pakai /
Nama
Nama Generik Indikasi Bentuk Produsen Gambar
Paten
Sdiaan
Dextromethorphan Vicks Untuk Botol 27 ml Procter &
Hbr Formula meringankan Botol 54 ml Gamble
44 batuk yang Botol 100 ml
tidak
berdahak
yang disertai
bersin-
bersin/alergi.
Konidin Meringankan Dewasa dan Konimex
batuk anak-anak Pharmace
diatas 12 -utical
tahun : 3 x Laborator
sehari 1-2 -ies
tablet
Anak-anak 6-
12 tahun : 3 x
sehari ½-1
tablet

2. Kodein
Menurut Corelli (2007) kodein bertindak secara sentral
dengan meningkatkan nilai ambang batuk. Dalam dosis yang
diperlukan untuk menekan batuk, efek aditif adalah rendah.
Banyak kodein yang mengandung kombinasi antitusif
diklasifikasikan sebagai narkotik dan jualan kodein sebagai obat
bebas dilarang di beberapa negara. Kodein merupakan obat batuk

16
golongan narkotik yang paling banyak digunakan. Dosis bagi
dewasa adalah 10-20 mg setiap 4-6 jam dan tidak melebihi 120 mg
dalam 24 jam. Beberapa efek samping adalah mual, muntah,
konstipasi, palpasi, pruritus, rasa mengantuk, hiperhidrosis, dan
agitasi (Jusuf, 1991).

Aturan Pakai /
Nama Nama
Indikasi Bentuk Produsen Gambar
Generik Paten
Sdiaan
Kodein Codipront Meredakan batuk Per kapsul Kimia
dan membantu codeine 30 Farma
pengeluaran dahak mg,
dari saluran napas Per 5 mL
pada kondisi alergi, sirup codeine
paroksismal, 11.11 mg,
bronkitis akut dan
kronik

B. Non-Farmakologi
Antara penjagaan sendiri untuk pencegahan batuk yang dianjurkan dalam
situs resmi KKM adalah :
1. Tidak merokok.
2. Minum air yang banyak, untuk membantu mengencerkan dahak,
mengurangi iritasi atau rasa gatal.

3. Cough drops.

4. Menjauhi dari penyebab batuk seperti etiologi abu dan asap rokok.

5. Meninggikan kepala dengan menggunakan bantal tambahan pada waktu


malam untuk mengurangkan batuk kering.

17
6. Hindari paparan debu yang merangsang tenggorokan, dan udara malam
yang dingin.

18
BAB III
SWAMEDIKASI

Dalam melakukan swamedikasi, ada beberapa obat-obat yang dapat


digunakan seperti golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek dan
obat herbal. Oleh karena itu, makalah ini membahas mengenai swamedikasi dari
penyakit batuk.
I. Obat Sintesis
1) Bromheksin HCl (Bisolvon® Tablet)
Pabrik : Boehringer Ingelheim
Indikasi : Untuk batuk berdahak, batuk yang disebabkan flu, batuk
karena asma dan bronkhitis akut atau kronis
Efek samping : Adakalanya terjadi efek samping pada saluran pencernaan.
Sangat jarang : kemerahan pada kulit karena alergi.
Perhatian : Hindari penggunaan BROMHEXINE pada tiga bulan
pertama kehamilan dan pada masa menyusui. Hati-hati
penggunaan pada penderita tukak lambung
Kegunaan : Bekerja dengan mengencerkan sekret pada saluran 
pernafasan dengan jalan menghilangkan serat-serat
mukoprotein dan mukopolisakaridayangterdapat pada
sputum/dahaksehingga lebih mudah dikeluarkan
Bentuk sediaan :
 Tiap tablet mengandung Bromhexine HCI 8 mg x 10 x 4 biji.
 5 ml eliksir mengandung Bromhexine HCI (mengandung etil alkohol
3,72% v/v)
 5 ml sirup mengandung Bromhexine HC
Aturan Pakai :
Tablet
 Dewasa dan anak > 10 tahun 1x 3 tablet
 Anak 5 – 10 tahun 3×1/2 tablet
 Anak 2 – 5 tahun 2×1/2

19
Atau menurut petunjuk dokter.
Sirup
 Dewasa dan anak >10 tahun: 3 x 10 ml per hari
 Anak 5- 10 tahun: 3 x 5 ml per hari
 Anak 2-5 tahun: 2 x 5 ml per hari
Atau menurut petunjuk dokter.
Interaksi : Pemberian bersamaan dengan antibiotika (amoksisilin,
sefuroksim, doksisiklin) akan meningkatkan konsentrasi
antibiotika pada jaringan paru.
Kontraindikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap Bromhexine HCI.
Golongan Obat: Obat Bebas Terbatas

2) Ambroxol (Epexol®)
Pabrik : PT. Sanbe Farma
Kemasan :
Epexol dipasarkan dengan kemasan sebagai berikut :
 dos 10 x 10 tablet 30 mg
 botol 120 ml syrup
Kandungan
Tiap kemasan epexol mengandung zat aktif (nama generik) sebagai berikut
:
 Ambroxol HCl setara ambroxol 30 mg / tablet
 Ambroxol HCl setara ambroxol 15 mg / 5 ml syrup

20
Indikasi :
Kegunaan epexol (ambroxol) adalah untuk kondisi-kondisi berikut :
 Sebagai obat penyakit-penyakit pada saluran pernafasan dimana terjadi
banyak lendir atau dahak, seperti : emfisema, radang paru kronis,
bronkiektasis, eksaserbasi bronkitis kronis dan akut, bronkitis asmatik,
asma bronkial yang disertai kesukaran pengeluaran dahak, serta penyakit
radang rinofaringeal.
 Obat ini juga digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada tenggorokan.
 Berguna juga sebagai anti inflamasi, dengan cara mengurangi kemerahan
saat sakit tenggorokan.
Kontra Indikasi :
 Jangan menggunakan obat ini untuk pasien yang memiliki riwayat alergi
terhadap  ambroxol.
 Pasien yang menderita ulkus pada lambung penggunaan obat ini harus
dilakukan secara hati-hati.
Efek Samping :
Berikut adalah beberapa efek samping epexol (ambroxol) yang umum
terjadi :
 Efek samping yang relatif ringan yaitu gangguan pada saluran
pencernaan misalnya mual, muntah, dan nyeri pada ulu hati.
 Efek samping yang lebih serius tetapi kejadiannya jarang misalnya
reaksi alergi seperti kulit kemerahan, bengkak pada wajah, sesak nafas
dan kadang-kadang demam.
Perhatian :
 Keamanan pemakaian obat ini untuk ibu menyusui belum diketahui
dengan jelas. Meski demikian, pemakaian obat ini selama menyusui
sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter.
 penggunaan obat sebaiknya dilakukan setelah makan atau bersama
makanan.

21
Penggunaan Oleh Wanita Hamil
Jangan gunakan obat ini untuk wanita hamil terutama pada trimester
pertama.
Interaksi Obat :
Obat-obat dengan kandungan zat aktif ambroxol termasuk epexol
berinteraksi dengan obat-obat lain sebagai berikut :
 Jika diberikan bersamaan dengan antibiotik seperti amoxicillin,
cefuroxim, erythromycin, dan doxycycline, konsentrasi antiobiotik-
antibiotik tersebut di dalam jaringan paru meningkat.
 Obat ini juga sering dikombinasikan dengan obat-obat standar
untuk pengobatan bronkitis seperti glikosida jantung, kortikosteroid dan
bronkospasmolitik.
Dosis Epexol :
epexol (ambroxol) diberikan dengan dosis :
 Anak < 2 tahun : 2 x sehari ½ sendok takar syrup.
 Anak 2-5 tahun : 3 x sehari ½ sendok takar syrup.
 5-10 tahun : 2-3 x sehari 1 sendok takar syrup atau 3 x sehari ½ talet.
 Dewasa dan anak > 10 tahun : 3 x sehari 1 tablet.
Golongan Obat : Obat Keras

3) Dekstromethorphan HBr (Konidin®)


Pabrik : Konimex Pharmaceutical Laboratories
Indikasi : Untuk meringankan batuk
Kegunaan : Bekerja sebagai antitusif, espektoran dan antihistamin
Kontra indikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap komponen obat ini

22
Efek samping : Mengantuk, gangguan pencernaan, sakit kepala, insomnia,
eksitasi, tremor, takikardi, aritmia, mulut kering, palpitasi,
sulit berkemih
Peringatan :
- Hati-hati penggunaan pada penderita dengan gangguan fungsi hati dan
ginjal, glaucoma, hipertrofi prostat, hipertiroid, gangguan jantung, dan
diabetes mellitus
- Tidak dianjurkan untuk anak-anak dibawah 6 tahun, wanita hamil dan
menyusui, kecuali atas petunjuk dokter
- Selama minum obat ini tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor atau
menjalankan mesin
- Hati-hati untuk penderita debil dan hipoksia (kekurangan oksigen)
- Dapat menyebabkan depresi pernafasan dan susunan saraf pusat pada
penggunaan dengan dosis besar atau pada pasien dengan gangguan fungsi
pernafasan (missal asma, emfisema)
Aturan pemakaian :
- Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 3 x sehari 1-2 tablet
- Anak-anak 6-12 tahun : 3 x sehari ½-1 tablet
Atau menurut petunjuk dokter
Interaksi Obat : Dapat terjadi rangsangan SSP dan depresi
pernafasan yang berat pada pemberian bersamaan
dengan penghambat MAO.
Cara penyimpanan : Simpan pada suhu dibawah 30 ºC
Golongan Obat : Obat Bebas Terbatas

23
II. Obat Herbal Moderen
1. Woods®

Indikasi : Membantu meredakan batuk berdahak


Komposisi:
Tiap 5 ml sirup mengandung :
- 35 mg Ekstrak Daun Ivy (Hedera helix folii extract)
- 25 mg Ekstrak Daun Meniran (Phyllanthus urinaria folii extract)
- 25 mg Ekstrak aun Mint (Menthae piperitae folii extract)
- 3 gram Madu
Aturan pakai
- 2 - 5 tahun : 2,5 ml, 3 kali sehari
- 6 – 12 tahun : 5 ml, 3 kali sehari
- Anak >12 tahun & dewasa : 10 ml, 3 kali sehari
Diproduksi oleh : UD. RACHMA SARI, Sukoharjo
Didistribusikan oleh : CV. GRIYA HERBA, semarang
Kemasan : Sirup 60 ml
IZIN PRODUKSI : 503/4683/2

24
2. Silex®

Indikasi : Dapat membantu meredakan batuk berdahak, membantu


melegakan tenggorokan dan pilek
Komposisi
Tiap 5 ml sirup mengandung :
- 41,67 mg Ekstrak Thymi herba Siccum
- 10 mg Extract Primulae Radix Siccum
- 58,33 mg Extract Althaeae folium siccum
- 25 mg Extract Droserae herba siccum
- 35 mg Extract Serphylli herba siccum
Aturan pakai
- Dewasa : 1 sendok makan (15 ml) 3-4 kali sehari
- Anak-anak : 1 sendok the (5 ml) 3-4 kali sehari
Diproduksi oleh : PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk Gunung Putri,
Bogor-Indonesia
Kemasan : Sirup 100 ml
IZIN PRODUKSI: POM TR 142 677 871

25
3. Obat Tradisional
 Bawang putih

Nama tanaman : Bawang putih


Spesies : Allium sativum L.
Khasiat : mengobati batuk, pilek, dan influenza.
Penggunaan : 1 bungkul bawang putih cuci dan tumbuk lalu
diletakkan dalam panic dengan air 300 ml atau 1½
cangkir the rebus hingga mendidih masak dengan
api kecil selama 20 menit. Tambahkan jus lemon
lalu masak selama 2-3 menit. Setelah dingin
saringlah ke dalam botol/gelas kaca yang bersih.
Minumlah 15 ml atau 1 sendok makan campuran ini
tiga kali sehari. Sirup ini dapat disimpan selama 2-3
minggu di lemari es.
Kandungan : minyak atsiri, allicin, aliin, kalsium, saltivine,
diallysulfide, belerang, sulfur, protein, lemak,
fosfor, besi, vitamin A, B1 dan C.
 Jahe

26
Nama tanaman : Jahe
Spesies : Zingiber officinale
Kandungan : Pati, damar, oleo resin, gingerin, minyak
atsiri yang mengandung zingeron,
zingiberol, zingiberin, borneol, kamfer,
sineol dan felandren
Khasiat : Jahe mengandung zat anti-bakteri yang
baik bagi tubuh. Selain bisa
menghangatkan tubuh jahe juga bisa
mengobati batuk berdahak. Bagi yang
sedang menderita batuk berdahak sangat
dianjurkan untuk mengkonsumsi sari jahe
atau lebih dikenal dengan wedang jahe
setidaknya satu kali sehari
Khasiat : Cara membuatnya sangat sederhana dengan
mengiris jahe lalu direbus dan air rebusan
tersebut dituang ke dalam cangkir dan
ditambahkan sedikit gula. Minum selagi
hangat atau bisa juga dengan menyiapkan
beberapa irisan jahe yang sudah dikupas
lalu masukkan ke dalam segelas teh hangat
lalu minum sebanyak dua hingga tiga kali
sehari.
 Belimbing wuluh

27
Nama tanaman : Belimbing wuluh
Spesies : Averrhoa bilimbi L.
Khasiat : Mengobati batuk, batuk rejan, beguk,
encok, sariawan, hipertensi, diabetes
mellitus, demam, radang poros usus, sakit
perut, gondok, bisul, menghilangkan
jerawat dan mengatasi ruam
Zat berkhasiat : buah belimbing wuluh mengandung asam
oksalat dan kalium
Penggunaan : 6- 8 buah belimbing wuluh ditambah gula
batu dan air secukupnya direbus sampai
habis air rebusannya, sehingga menyerupai
manisan, dimakan 2 kali sehari

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Batuk adalah suatu prose salami dan reflex proteksi yang dimiiki oleh
semua individu yang sehat. Refleks ini penting untuk menjaga agar tenggorokan
dan saluran napas senantiasa bersih. Namun demikian, batuk yang berlebihan
mungkin menandakan adanya suatu penyakit atau gangguan kesehatan yang
memerlukan perhatian dan penanganan medis ( (MIMS, 2016).

Batuk dapat bersifat kering atau produktif. Batuk kering atau batuk non
produktif, tidak disertai sputum (dahak) dan seringkali menimbulkan rasa gatal
pada tenggorokan. Batuk jenis ini dapat menyebabkan suara menjadi serak atau
hilang. Batuk kering biasanya dipicu oleh partikel-partikel makanan yang kecil
atau asap iritan yang terhirup oleh saluran pernapasan, asap rokok, perubahan
suhu udara, kelembaban udara yang rendah (kering) atau udara yang tercemar.
Juga dapat disebabkan karena infeksi virus, flu, atau selesma yang belum lama
terjadi sehingga terkadang disebut juga batuk pasca infeksi virus. Adakalanya
batuk kering juga merupakan salah satu tanda dari penyakit lainnya seperti: asma,
penyakit refluks gastro esophagus (PRGE), atau gagal jantung kongestif dan juga
dapat dipicu oleh obat-obat tertentu (ACE inhibitor, beta-blockers, aspirin)
( (MIMS, 2016).

Sedangkan batuk produktif adalah jenis batuk yang disertai pengeluaran


sputum (dahak). Batuk produktif mungkin merupakan gejala yang tetap tinggal
setelah nyeri tenggorokan atau hidung tersumbat dan kongesti sinus. Batuk juga
dapat berlangsung akut dan kronik. Batuk akut muncul secara tiba-tiba,
berlangsung selama kurang dari 2 atau 3 minggu, dan seringkali disebabkan oleh
selesma, flu, atau imfeksi virus. Batuk kronik berlangsung lebih lama dari 2-3
minggu.

Langkah awal dalam terapi batuk kering atau non produktif yaitu
mengobati penyakit/gangguan yang mendasarinya, misalnya asma, bronkitis
kronik, gagal jantung dengan kongesti paru, kanker paru, refluks esofagitis,
postnasal drip, sarkoidosis, atau trakeitis.

29
Jika penyebab batuk tidak diketahui atau jika terapi spesifik yang telah
diberikan tidak berhasil meredakan batuk, pemberian terapi simtomatik misalnya
obat penekan batuk untuk batuk kering, atau espektoran dan mukolitik untuk
batuk produktif (batuk berdahak) adakalanya bermanfaat.

Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan obat


batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan
menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan
opioid lemah. Terdapat juga analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan
metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.
Antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan derivatnya termasuk
morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin. Kebanyakannya berpotensi untuk
menghasilkan efek samping termasuk depresi serebral dan pernafasan. Juga
terdapat penyalahgunaan.
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini didasarkan
pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran
dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan
stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi
kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas
dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah
ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan secret
saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik berfungsi
dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan
komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat di pasaran adalah
bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas, 2008).
Adapun terapi farmakologi dengan tujuan penjagaan sendiri untuk
pencegahan batuk yang dianjurkan dalam situs resmi KKM adalah :
1. Tidak merokok.

30
2. Minum air yang banyak, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi
iritasi atau rasa gatal.
3. Cough drops.
4. Menjauhi dari penyebab batuk seperti etiologi abu dan asap rokok.
5. Meninggikan kepala dengan menggunakan bantal tambahan pada waktu
malam untuk mengurangkan batuk kering.
6. Hindari paparan debu yang merangsang tenggorokan, dan udara malam yang
dingin.
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia.
Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan
obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di
Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan
primer (WHO, 2003).
Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di
negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi
penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk
penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi
mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar E Y, 2006).
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga
mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat
tradisional (WHO, 2003).
Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada
penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki
efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

31
DAFTAR PUSTAKA

Sartono, 2000. Obat Wajib Apotek, Edisi ketiga, Gramedia Pustaka Utama;
Jakarta.

Merianti, N. W. E., Goenawi, L. R., & Wiyono. W., 2013. Dampak penyuluhan
pada pengetahuan masyarakat terhadap pemilihan dan penggunaan obat
batuk swamedikasi di kecamatan malalayang, Jurnal Ilmiah Farmasi,
2(03), pp.100–103.

Merianti, N. W. E., Goenawi, L. R., & Wiyono. W., 2013. Dampak penyuluhan
pada pengetahuan masyarakat terhadap pemilihan dan penggunaan obat
batuk swamedikasi di kecamatan malalayang, Jurnal Ilmiah Farmasi,
2(03), pp.100–103.

Haque, R. A., Chung, K. F., 2005. Cough: Meeting The Needs of A Growing
Field, London. Available from:
http://www.coughjournal.com/content/1/1/1/. [Accessed 27 March 2017]

Djunarko, I., & Hendrawati, D., 2011. Swamedikasi yang Baik dan Benar. Citra
Aji Parama,Yogyakarta.

Nugroho, A., & Kristianti, E., 2011. Stikes RS. Baptis Kediri. Batuk Efektif
Dalam Pengeluaran Dahak Pada Pasien Dengan Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Nafas Di Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Baptis
Kediri, 4(2).

Corelli, R. L., 2007. Therapeutic & Toxic Potential of Over-the-Counter Agents.


In : Katzung, B. G., Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. USA :
McGraw Hill, 1045-1046.

Kartajaya, H., Taufik., Mussry, J., Setiawan, I., Asmara, B., Winasis, N.T., 2011.
Self-Medication. Who Benefit and Who Is At Loss. Mark Plus Insight,
Indonesia.

32
Koffuor, G.A., Ofori-Amoah, J., Kyei, S., Antwi, S. dan Abokyi, S, 2014, Anti-
tussive, Mucosuppressant and Expectorant Properties, and the Safety
Profile of a Hydro-ethanolic Extract of Scoparia dulcis, International
Journal of Basic and Clinical Pharmacology, 3 (3), 447-453.

Chung, K.F., 2003, Management of Cough, dalam Chung, K.F., Widdicombe,


J.G., Boushey, H.A., (Eds.), Cough: Causes, Mechanisms and Therapy,
283-297, Blackwell Publishing Ltd., U.K.

McGowan, P., Jeffries, A., Turley, A., 2006. Crash Course: Respiratory System.
2nd ed. United Kingdom: Mosby.

Yahya, R.C., 2007, Batuk – Definisi, Jenis dan Penyebab Batuk Kronis,
http://www.jevuska.com/2014/02/24/batuk-definisi-jenis-dan-penyebab-
batuk-kronis/, 27 Maret 2017.

Ikawati, Z., 2009, Bahan Ajar Kuliah Materi Batuk, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Digpinigaitis, P., V., 2009. Acute Cough: A Diagnostic and Therapeutic


Challenge, USA. Available from:
http://www.coughjournal.com/content/5/1/11. [Accessed 27 Maret 2017]

Putri, C.A., Retorini, E., Irdiah, Wardani, P.K. dan Surtina, 2012, Obat-obat
Saluran Pernafasan, Poltekkes Kemenkes RI Pangkal Pinang, Bangka
Belitung.

Lee, L.Y. and Pisarri, T.E., 2001, Afferent Properties and Reflex Functions of
Bronchopulmonary C-fibers, Respiratory Physiology, 125 (1), 47–65

Widdicombe, J., 2001, Airway receptors, Respiratory Physiology, 125, 3–15.

Shannon, R., Baekey, D.M., Morris, K.F., Li, Z. dan Lindsey, B.G., 2000,
Functional Connectivity Among Ventrolateral Medullary Respiratory
Neurones and Responses During Fictive Cough in the Cat, The Journal of
Physiology, 525 (1), 207-224.

33
Kementerian Kesihatan Malaysia, 2007. Medicines for Cough. Perbadanan
Putrajaya: Kementerian Kesihatan Malaysia. Available from:
http://www.knowyourmedicine.gov.my/newsmaster.cfm?
&menuid=20&action=view&retrieveid=14&lang=EN. [Accessed 27
Maret 2017]

Beers, M. H., Fletcher, A. J., Jones, T. V., Porter, R., 2003. The Merck Manual of
Medical Information. 2nd ed. New York : Pocket Books.

Estuningtyas, A., Arif, A., 2008. Obat Lokal. In: Gunawan, S. G., Setiabudy, R.,
Nafrialdi, Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 531-532.

Martin, E. A., 2007. Oxford Concise Medical Dictionary. 7th ed. New York:
Oxford University Press.

Dewoto, H. R., 2008. Analgesik Opioid dan Antagonis. In: Gunawan, S. G.,
Setiabudy, R. Z., Nafrialdi, Farmakoogi dan Terapi. 5th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 228-229.

Sukandar E Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi


Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB,

WHO, 2003, Traditional medicine, http://www.who.int/mediacentre/


factsheets/fs134/en/, diakses Maret 2017

Agromedia Redaksi, Tanaman Obat. 2008. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta


Selatan
Hidjrati Siti. 2008. Mudah & Murah Menanggulangi Aneka Penyakit. Agromedia
Pustaka. Jakarta Selatan
Airey Raje, 50 rahasia alami meringankan gejala batuk-pilek

https://dasarfarmakognosi.wordpress.com/2014/10/17/rhizoma/

http://itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf, diakses Maret 2017

34
http://www.bawangputih.org/kandungan-senyawa-dan-khasiat-bawang-putih/

35

Anda mungkin juga menyukai