Anda di halaman 1dari 4

MANAJEMEN PERPAJAKAN

RMK BAB 4

“TAX PLANNING PPH 22, 23/26”

Oleh:

Nutiani Ratu Djaga (1833122115)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2021
Dalam praktik, kewajiban memotong, menyetor, dan melaporkan PPh sesuai mekanisme
withholding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar. Apalagi sejak adanya
perluasan objek withholding tax sejak tahun 2000.

Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26

1. Masalah Pembuatan Kontrak

Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus
diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal
bakal terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada dapat
digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja). atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu
kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang
memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.

Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya; maka PPh Pasal
23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi
dan jasa katering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, Jika di dalam kontrak tidak
ada pemisahan antara nilai jasa dan nilai material. maka PPh Pasal 23 dikenakan atm
keseluruhan nilai kontrak.

Di samping itu juga harus terdapat kejelasan atas hak dan kewajiban masing-masing
pihak agar dalam implementasinya tidak menimbulkan masalah perbedaan penafsiran.
Makin jelas dan detail pengaturan klausul perpajakannya, akan makin baik karena akan
mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah “Ingat
withholding tax, ingat kontrak."

2. Konflik dalam withholding tax

Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut


withholding tax, maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya ini
sebaik-baiknya. Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima penghasilan
tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak
dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi
antara bagian keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam satu perusahaan.

Oleh karena kewajiban pemotongan penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi
penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak
pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan
dapat melakukan salah satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang
terutang (PPh ditanggung) atau melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan
tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang. maka pajak
tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu pimpinan perusahaan melakukan gross
up maka pajak yang terutang boleh dibayarkan  kecuali dividen, dan PPh Final. Grosss up
sebaiknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang terkait
agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.

3. Rekonsiliasi objek withholding tax dengan laporan keuangan

Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut (withholder)
perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian perpajakan ( tax control) Untuk memastikan bahwa seluruh objek
withholding tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya.

Caranya adalah melalui rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh
yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.

Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding tax
dapat langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun. akun yang di dalamnya hanya
terdapat sebagian saja yang merupakan objek widholding tax, maka perlu dilakukan
pemisahan antara yang objek dan yang bukan objek withholding tax. Bila diperlukan
dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian objek withholding tax dikaitkan
dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor journal voucher,
jenis transaksi, jumlah objek, masa pelaporan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan
PPh yang dibuat.

4. Klausul Kontrak dengan WPLN

Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan rinci, khusus kontrak
dengan pihak Wajib Pajak Luar negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
1) Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat
pada ketentuan tax treaty atau tidak.
2) Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di negara treaty partner, perlu diperhatikan
agar WPLN memberikan CRT (certificate of residence taxpayer) kepada perusahaan
sebelum dilakukan pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam
kontrak dengan WPLN tersebut.

Anda mungkin juga menyukai