Anda di halaman 1dari 10

RESUME PKn V

Tentang
“Menjelaskan Konsep Dasar Kewarganegaraan, Sejarah Kewarganegaraan dan Sistem
Kewarganegaraan”

Oleh:

RINI ANJELY

(18129034)

Dosen Pembimbing:

Dra.Reinita,M.Pd

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
A. Konsep Dasar Kewarganegaraan
1. Pengertian warga Negara
Wewenang sebuah organisasi negara meliputi kelompok manusia yang
berada di dalamnya. Kelompok tersebut dapat dibedakan antara warga negara
dengan bukan warga negara (orang asing).
Warga negara sebagai pendukung sebuah negara merupakan landasan
bagi adanya negara. Dengan kata lain bahwa warga negara adalah salah satu
unsur penting bagi sebuah negara, selain unsur lainnya
Warga negara itu sendiri bisa diartikan dengan orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini biasa juga
disebut hamba atau kawula Negara. Meskipun demikian istilah warga negara
dirasa lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang-orang merdeka bila
dibandingkan istilah hamba dan kawula negara, karena warga negara
mengandung arti peserta, anggota atau warga yang menjadi bagian dari suatu
negara.
2. Unsur Unsur yang Menentukan Kewarganegaraan
a. Unsur Darah Keturunan (Ius Sanguinis)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan
kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orangtua
yang berkewarganegaraan Indonesia, Ia dengan sendirinya juga warga
Negara Indonesia.
Prinsip ini adalah prinsip asli yang telah berlaku sejak dahulu, yang
diantaranya terbukti dalam sistem kesukuan, dimana anak dari anggota
suatu suku dengan sendirinya dianggap sebagai anggota suku itu. Sekarang
prinsip ini berlaku diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang dan
juga Indonesia.

b. Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)


Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan.
Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia
dengan sendirinya menjadi warga Negara Indonesia. Terkecuali anggota-
anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam
ikatan dinas. Disamping dan bersama-sama dengan prinsip ius sanguinis,
prinsip ius soli ini juga berlaku juga di Amerika, Inggris, Perancis, dan
juga Indonesia. Tetapi di jepang, prinsip ius soli ini tidak berlaku. Karena
seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orangtuanya
berkebangsaan jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga Negara Jepang.

c. Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)


Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis ataupun ius
soli, orang dapat juga memperoleh kewarganegaraan dengan jalan
pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur
pewarganegaraan ini di berbagai Negara sedikit banyak dapat berlainan,
menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi Negara
masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif dan ada pula yang pasif.
Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi
untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga Negara dari
suatu Negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang
tidak mau diwarganegarakan oleh suatu Negara atau tidak mau diberi atau
dijadikan warga Negara suatu Negara, maka yang bersangkutan dapat
menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian
kewarganegaraan tersebut.

d. Hak dan Kewajiban Warga Negara


Menurut Winarno (2009:64) Dalam konteks Indonesia, hak Warga
Negara terhadap negaranya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-
hak umum yang digariskan dalam UUD 1945. Diantara hak-hak warga
Negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Asasi Manusia yang
rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD Perubahan Kedua.
Dalam pasal tersebut dimuat hak-hak asasi yang melekat dalam setiap
individu warga Negara seperti hak kebebasan beragama dan beribadat
sesuai dengan kepercayaannya, bebas untuk berserikat dan berkumpul
(pasal 28E), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan, hak atas status kewarganegaraan (pasal
28F), dan hak-hak asasi lainnya terutang dalam pasal tersebut.
Sedangkan contoh kewajiban yang melekat bagi setiap warga
Negara antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama
antara Negara dengan wajib membela tanah air (pasal 27), membela
pertahanan dan keamanan Negara (pasal 29), menghormati hak asasi orang
lain dan memahami pembatasan yang terutang dalam dalam peraturan
(pasal 28), dan berbagai kewajiban lainnya dalam undang undang. Prinsip
utama dalam penentuan hak dan kewajiban warga Negara adalah
terlibatnya warga (langsung atau perwakilan) dalam setiap perumusan hak
dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan
kewajiban tersebut sebagai bagian dari kesepakatan mereka yang dibuat
sendiri.

B. Sejarah kewarganegaraan

Sejarah kewarganegaraan menggambarkan hubungan timbal balik antara


individu dengan negara, umumnya dikenal sebagai kewarganegaraan.
Kewarganegaraan secara umum diidentifikasi bukan sebagai aspek dari peradaban
Timur melainkan dari peradaban Barat. Ada pandangan umum bahwa
kewarganegaraan pada zaman kuno adalah suatu hubungan yang lebih sederhana
daripada bentuk-bentuk kewarganegaraan modern seperti sekarang ini, meskipun
pandangan ini telah ditentang.

Ada ketidaksepakatan tentang kapan hubungan kewarganegaraan dimulai,


banyak pemikir merujuk kepada negara-kota di awal Yunani kuno, mungkin
sebagai reaksi terhadap ketakutan soal perbudakan, meskipun yang lain melihat
hal ini sebagai sebuah fenomena modern sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Di
masa Roma kuno, kewarganegaraan mulai lebih banyak mengenai hubungan yang
berdasarkan hukum, dengan partisipasi politik yang lebih sedikit daripada di
Yunani kuno, tetapi dalam lingkup yang lebih luas daripada definisi tentang warga
negara. Dalam Abad Pertengahan di Eropa, kewarganegaraan diidentifikasikan
terutama dengan kehidupan komersial dan sekuler di kota-kota yang sedang
berkembang, dan kemudian dilihat sebagai keanggotaan di dalam negara-
bangsa yang muncul. Dalam alam demokrasi modern, kewarganegaraan memiliki
indera yang berbeda, termasuk pandangan "individualis-liberal" yang menekankan
pada masalah kebutuhan dan hak mendapatkan perlindungan hukum bagi makhluk
politik yang pada dasarnya pasif, serta pandangan "sipil-republik" yang
menekankan partisipasi politik dan melihat kewarganegaraan sebagai suatu
hubungan aktif dengan hak dan kewajiban yang khusus.

C. Sistem Kewarganegaraan
1. Dari Sisi Kelahiran
Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada
kelahiran seseorang (sebagaimana disebut di atas) dikenal dengan 2 asas
kewarganegaraan, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah tersebut
berasal dari bahasa latin. Ius berati hukum, dalil atau pedoman, soli berasal
dari kata solum yang berarti negeri, tanah, atau daerah. Sanguinis berasal dari
kta sanguis yang berati darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman
kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan
ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan daerah atau
keturunan.
Sebagai contoh, jika sebuah Negara menganut asas ius soli, maka
seseorang yang dilahirkan di Negara tersebut, mendapatkan hak sebagai warga
negara tersebut, tidak melihat orang tersebut keturunan dari mana. Begitu pula
dengan asas ius sanguinis, maka seseorang yang lahir dari orangtua yang
memiliki kewarganegaraan misalnya Indonesia, maka anak tersebut berhak
mendapat status kewarganegaraan orang tuanya, yakni kewarganegaraan
Indonesia.

2. Dari Sisi Perkawinan


Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran,
kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang
mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas kesatuan
hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan
keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera,
sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
suami-istri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu
kesatuan yang bulat. Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam
keluarga atau suami-istri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang
sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan
kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya
kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak terdapat
perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga.
Berdasarkan UU No. 12 tahun 2006 kewarganegaraan Republik
Indonesia dapat di peroleh melalui :
a. Kelahiran Setiap anak yang lahir dari orang tua (ayah atau ibunya)
berkewargaan negara indonesia akan memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia.
b. Pengangkatan Anak warga negara asing yang berumur 5 tahun yang
diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh
warga negara negara indonesia memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia.
c. Perkawinan/Pernyataan Orang asing yang menikah dengan warga negara
indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 19.
d. Turut Ayah atau Ibu Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin,
berada dan bertempat tinggal diwilayah negara Republik Indonesia, dari
ayah atau ibu yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia.
e. Pemberian Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik
Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi
kewarganegaraan Republik Indonesia oleh presiden setelah memperoleh
petimbangan DPR Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian
kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan
berkewarganegaraan ganda (pasal 20).
f. Pewarganegaraan Syarat dan tatacara memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia melalui pewarganegaraan diatur dalam pasal 9 s/d 18
Undang-Undang ini.

Selanjutnya untuk memperoleh status kewarganegaraan pada sebuah


Negara dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara aktif dan pasif, dimana
cara aktif ini lebih dikenal dengan pewarganegaraan. Pewarganegaraan adalah
tata cara bagi orang asing (WNA) untuk memperoleh kewarganegaraan
Indonesia dengan melalui permohonan. Undang-undang No 12 Tahun 2006
menjelaskan pada pasal 1 ayat 3 Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang
asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui
permohonan.

Seseorang warganegara asing (WNA) dapat melakukan permohonan


pewarganegaraan jika yang bersangkutan rnemenuhi persyaratan sebagimana
UU No 12 tahun 2006 pasal 9 menjelskan bahwa Permohonan
pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan
sebagai berikut :

a. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin


b. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau
paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut
c. Sehat jasmani dan rohani
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Panca sila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
e. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancarn dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih
f. Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
menjadi berkewarganegaraan ganda
g. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap
h. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Kemudian setelah memenuhi persyaratan di atas menurut undang-


undang nomor 12 tahun 2006 Permohonan harus memahami prosedur
pengajuan sebagai berikut :

a. Permohonan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam


bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada Presiden melalui
Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM)
b. Berkas permohonan kemudian disampaikan kepada pejabat yang ditunjuk
menteri yang bertugas menangani masalah kewarganegaraan RI
c. Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud disertai dengan
pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak permohonan diterima.
d. Pemohon akan dikenakan biaya pewarganegaran yang besarnnya
ditentukan melalui Peraturan Pemerintah
e. Presiden berwenang mengabulkan atau menolak permohonan
pewarganegaraan
f. Pengabulan permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan
kepada pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
keputusan Presiden ditetapkan
g. Jika permohonan tidak dikabulkan maka penolakan harus disertai alasan
dan diberitahukan oleh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3
(tiga) bulan sejak tanggal pemohonan diterima Menteri
h. Keputusan Presiden mengenai pengabulan permohonan berlaku efektif
terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan
janji setia, sumpah dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Keputusan
Presiden dikirim kepada pemohon. Jika setelah dipanggil secara tertulis
oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada
waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan
yang sah, maka Keputusan Presiden tersebut batal demi hukum.
Seandainya pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan
janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian
Pejabat, maka dapat dilakukan di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk
Menteri, menyampaikan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan
janji setia kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal pengucapan sumpah.
i. Pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah.

Selain itu juga dijelaskan perihal kehilangan kewarganegaraan


Republik Indonesia yang diatur dalam pasal 123 UU No.12 tahun 2006 yang
menyatakan bahwa warga negara indonesia kehilangan kewarganegaraannya
jika yang bersangkutan:
a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan
orang yang bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu.
c. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau
sudah kawin, bertempat tinggal diluar negeri, dan dengan dinyatakan
hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan.
d. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari presiden.
e. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan semacam
itu di indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan hanya boleh
dijabat oleh warga negara indonesia.
f. Secara sukarela menyatakan sumpah atau janji setia kepada negra asing.
g. Tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing.
h. Mempunyai paspor dari negra asing atau surat yang dapat diartikan
sebagai kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas
namanya.
i. Bertempat tinggal diluar wilayah negara republik indonesia selama 5 tahun
terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan
dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga
negara indonesia sebelum jangka waktu 5 tahun itu berakhir, dan setiap 5
tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin
tetap menjadi warga negara indonesia kepada perwakilan negara republik
indonesia.

Daftar Rujukan

Dwiyatmi, Sri Harini. dkk. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Pocock, J.G.A. 1998. The Citizenship Debates. Chapter 2 – The Ideal of Citizenship
since Classical Times (originally published in Queen's Quarterly 99, no. 1).
Minneapolis, MN: The University of Minnesota. hlm. 31. ISBN 0-8166-2880-
7

Rahmawati, Anita. 2018. KEWARGANEGARAAN. Jombang : Icme Press.

Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jakarta.

Salim, Arskal dan A. Ubaidillah. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press.

Weber, Max. 1998. Citizenship in Ancient and Medieval Cities. Chapter 3.


Minneapolis, MN: The University of Minnesota. hlm. 43–49. ISBN 0-8166-
2880-7.

Winarno. 2009. Kewarganegaraan Indonesia dari Sosiologis menuju Yuridis.


Bandung : Alfabeta 2009.

Zarrow, Peter. 1997. Fogel, Joshua A.; Zarrow, Peter G., ed., Imagining the People:
Chinese Intellectuals and the Concept of Citizenship, 1890–1920, Armonk,
NY: M.E. Sharpe, hlm. 3, ISBN 0-7656-0098-6

Anda mungkin juga menyukai