Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sastra ialah karya tulis yang jika dibandingkan dengn karya tulis lain memiliki

berbagai ciri keunggulan seperti, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan

ungkapannya. Karya sastra merupakan salah satu bentuk seni dengan menggunakan

media bahasa. Karya sastra tercipta melalui perenungan yang mendalam dengan

tujuan untuk dinikmati, dipahami, dan diilhami. Lahirnya karya sastra bersumber

dari kenyataan-kenyataan hidup yang ada di dalam masyrakat yang kemudian diolah

dan dipadukan dengan khayalan pengarang sehingga menjadi sebuah karya yang

memiliki keindahan.

Novel Api Awan Asap karya Korrie Layun Rampan merupakan novel

Kalimantan yang dicetak pada tahun 1999 oleh percetakan PT Grasindo.

Berdasarkan pengamatan penulis, bahasa yang digunakan dalam novel tersebut

menarik dan belum pernah diteliti. Oleh karena itu, penulis mencoba mengkajinya

lewat kajian stilistika sebagai langkah awal dalam penelitian ini

Pengkajian stilistika juga menyadarkan kita akan kiat pengarang dalam

memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana

pengungkapannya (Sudjiman, 1993: viii ). Stilistika adalah ilmu bagian linguistik

yang memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, yang paling sadar

dan kompleks dalam kesusastraan. Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa,
menyugestikan sebuah ilmu, paling sedikit sebuah studi yang metodis’ (Pradopo,

1997:254).

Dalam upaya memahami, menghargai, membandinngkan dan mengkritik karya

sastra. Tentunya kita harus membaca dan mendengarkan karya sastra tersebut lebih

dalam guna meneliti dan menelaahnya lebih jauh untuk merasakan seluruh manfaat

yang ada. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam meneliti dan

menelaah karya sastra. Stilistika itu sendiri memiliki beberapa aspek bahasan,

diantaranya aspek gaya bahasa dan maknanya serta ciri gaya khas yang pengarang

gunakan.

Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan kajian stilistika yang menitik

beratkan pada gaya bahasasa dan makna kata serta gaya kepengarangan pada karya

sastra. Penulis beranggapan objek ini sangat menarik untuk di teliti dan dianalisis,

mengingat gaya bahasa dan makna serta ciri gaya kepengarangan yang terkandung di

dalamnnya cenderung menonjol dipergunakan dalam karya sastra.

Umumnya ada tiga kelompok gaya bahasa yang sering muncul dalam sebuah

karya sastra, yaitu kelompok gaya bahasa bedasarkan struktur kalimat dan gaya

langsung tidaknya makna yang terdiri dari kelompok gaya bahasa retoris kiasan.

Melalui kajian stilistika penulis ingin mengetahui bagaimana gaya dan makna

gaya bahasa pada novel Awan Asap Api. Di dalam sebuah novel, gaya bahasa

merupakan bagian terpenting. Salah satu kutipan yang menarik perhatian penulis

yaitu ”Bau asap api menyeruak dari luar lou. Kebakaran hutan seperti momok dan

hantu yang menyerang kawasan desa dan kota. Di cmakrawala menggantung awan-
awan asap yang datang dari berbagai arah... mendung yang menggantung, bukan

mendung mengandung hujan, tapi mendung asap api yang datang dari lahan orang

kaya dari kota” (hal. 34). Pada kutipan tersebut, pengarang dengan amat cermat

melukiskan suasana. Kita diajak mengembara, memasuki belantara di

mana indigenous people (Dayak Benuaq) bermukim, menyatu dengan alam dan

hidup bergantung pada alam. Kemampuan dan keterampilan pengarang dalam

memainkan bahasa inilah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti makna

makna yang terselubung dalam novel ini

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Gaya bahasa apa saja yang terdapat di dalam Novel Api Awan Asap karya

Korrie Layun Rampan?

2. Apa fungsi penggunaan gaya bahasa tersebut di dalam Novel Api Awan Asap

karya Korrie Layun Rampan?

1.3 Batasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan supaya masalah yang akan dijelaskan lebih dalam.

Dengan demikian, pembatasan masalah yang akan disediakan menjadi lebih dalam.

Oleh karena itu, penelitian dalam skripsi ini hanya akan membahas tentang kajian

stilistik atau gaya bahasa di dalam novel, langsung tidaknya makna yang meliputi

gaya bahasa kiasan adalah persamaan (simile), metafora, persamaan epos,


personifikasi, metonimia, sinekdoke, yang terkandung di dalam Novel Api Awan

Asap karya Korrie Layun Rampan, serta fungsi penggunaan gaya bahasa tersebut di

dalam membangun novel tersebut.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Mendeskripsikan jenis gaya bahasa apa saja yang terdapat di dalam Novel Api

Awan Asap karya Korrie Layun Rampan.

2. Mendeskripsikan fungsi gaya bahasa tersebut dalam membangun Novel Api

Awan Asap karya Korrie Layun Rampan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Manfaat praktis yaitu dapat mendorong penelitian sastra aspek stilistikanya.

Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan pengertian sastra secara lebih

mendalam dan dapat memberikan makna yang lebih menyeluruh mengenai karya

sastra yang diteliti oleh para pembaca.

2. Manfaat teoritis yaitu untuk menyumbangkan pandangan bagi pengembangan

ilmu sastra, khususnya dalam kajian stilistika. Diharapkan penelitian ini dapat

menyumbangkan gagasan penulisan stilistika di Indonesia.


1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini bedasarkan sistematika penulisan yang berlaku dan meliputi

tiga bab, yaitu:

Bab I : Pendahuluan. Menyajikan latar belakang penelitian, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Dasar Teori. Membahas ntentang pengertian novel, stilistika, dan analisis

tentang gaya bahasa

Bab III : Metode penelitian. Dalam bab ini diuraikan definisi operasional data yang

diperlukan, teknik pengumpulkan data, dan teknik analisis data.

Bab IV : Penyajian data, analisis data, hasil penelitian dan pembahasan

Bab V : Kesimpulan dan saran.


BAB II
DASAR TEORI

2.1 Pengertian Novel

Novel adalah genre yang gemar mengungkapakan budaya cinta. Sejak itu pula

budaya semakin hidup, sebab seluruh kesadaran manusia di masyarakat itu budaya.

Budaya tidak hanya masalah benda, melainkan dunia gagasan. Sikap dan perilaku

manusia dalam masyarakat, yang diimajinasikan sastrawan pun budaya. Novel

merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan

masyarakat.

Menurut Johnson (dikutip Faruk, 2005:45-46) novel mempresentasikan suatu

gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel

sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang

dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan 9 dunia seakan-akan

terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya.

Dalam Dola (2014:18), mendefinisikan novel sebagai cerita yang melukiskan

sebagian dari kehidupan tokoh-tokohnya, utamanya bagian hidup yang mengubah

nasibnya. Sementara menurut Stanton (2012:90) novel mampu menghadirkan

perkembangan suatu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan

banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa

tahun silam secara lebih mendetail. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang
kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Pengarang

berusaha untuk menggambarkan realita yang terjadi dalam masyarakat melalui

novelnya kepada pembaca. Sehingga tidak jarang novel menggambarkan suatu

karakter bangsa atau negara. Pengarang dapat pula mengangkat sebuah peristiwa ke

dalam novelnya berdasarkan peristiwa atau realita yang telah terjadi dalam suatu

bangsa atau negara.

Yenhariza (2012:168), “Novel sebagai alat untuk mendidik agar mengerti

dan memahami berbagai persoalan kehidupan yang dialami manusia. Dengan

membaca novel, pembaca akan mengetahui mana perilaku baik yang harus ditiru dan

perilaku yang harus ditinggalkan.

Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan

kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia

sebenarnya. Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi

pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak

sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula 10

bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi

pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal

yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan.

Menurut Hauser (dikutip Ratna, 2003:63), karya seni sastra memberikan

lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada

mempengaruhinya.
Unsur–unsur pembentuk novel yakni:

1) Tema Dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel (Nurgiyantoro,

2009:70). Tema dapat juga disebut ide utama, pengarang akan mengembangkan

cerita.

2) Plot Merupakan hubungan antar peristiwa yang bersifat sebab akibat, tidak hanya

jalinan peristiwa secara kronologis (Nurgiyantoro, 2009:112).

3) Tokoh Menurut Aminuddin (2002:79) tokoh adalah pelaku yang mengemban

peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.

4) Latar Latar adalah keterangan mengenai ruang, waktu serta suasana terjadinya

peristiwa-peristiwa didalam suatu karya sastra. Latar atau setting yang disebut

juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu

sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan (Abrams, 1999:284, dalam buku Nurgiyanntoro, 2013:302).

2.2 Stilistika: Pengertian, Lingkup Telaah dan Tujuannya

Penelitian stilistika didasarkan pada asumsi bahwa Bahasa sastra mempunyai

tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna.

Tanpa keindahan Bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan karyya sastra,

hampir sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan penulis memainkan bahasa.


Kelenturan penulis mengolah Bahasa akan menciptakan keindahan khas karya sastra.

Dengan kata lain, Bahasa adalah wahana khusus ekspresi sastra

(Endraswara,2011:720).

Secara etimologi stylistics berkaitan dengan style. Style artinya gaya,

sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya dalam

kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan Bahasa dalam karya

sastra (Sayuti dalam Jabrohim. 2001: 172).

Endaswara (2003: 72) menyebutkan stilistika adalah ilmu yang mempelajari

gaya Bahasa suatu karya sastra. Selanjutnya dikatakan ada dua pendekatan analisis

stilistika: “(1) dimulai dengan analisis system tentang linguistic karya sastra, dan

dilanjutkan ke interprestasi tentang ciri-ciri sastra, interprestasi diarahkan ke makna

secara total; (2) mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu system

dengan system yang lain”.

Sementara itu Ratna (2013: 10) memberikan definisi tentang stilistika dengan

beberapa poin sebagai berikut:

1. Ilmu tentang gaya Bahasa.

2. Ilmu interdisipliner antara linguistic dengan sastra.

3. Ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya

Bahasa.

4. Ilmu yang menyelidiki pemakaian Bahasa dalam karya sastra.


5. Ilmu yang menyelidiki pemakaian Bahasa dalam karya sastra dengan

mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya sekaligus latar belakang

sosialnya.

Ratna (2009: 167) mendefisinikan stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan

gaya Bahasa dan gaya Bahasa. Tetapi pada umumnya lebih mengacu pada gaya

Bahasa. Dalam bidang Bahasa dan sastra stilistika berarti cara-cara pengunaan

Bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu yang berkaitan dengan aspek-

aspek keindahan. Menurut Teeuw (dalam Fananie, 2000: 25) stilistika merupakan

sarana yang dipakai pengarang untuk mencapai suatu tujuan, karena stilistika

merupakan cara untuk mengungkapkan pikiran, jiwa, dan kepribadian pengarang

dengan cara khasnya.

Berdasarkan pengertian-pengertian stilistika menurut beberapa ahli di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa stilitika adalah cabang linguistic yang mepelajari

tentang gaya Bahasa. Pengunaan gaya Bahasa menimbulkan efek tertentu yang

berkaitan dengan aspek aspek keindahan yang merupakan ciri khas pengarang untuk

mencapai suatu tujuan yaitu mengungkapkan pikiran, jiwa, dan kepribadiannya.

Unsur-unsur stilistika menurut Sudjiman (1993: 14) dapat bersifat fonologis

(pola bunyi Bahasa, mantra, rima), sintaksis (pola bunyi Bahasa), leksikal (diksi,

frekuensipenggunaan kelas kata tertentu), atau retoris (gaya Bahasa, citraan).

Endraswara (2011: 73) menguraikan lingkup telaah unsur stilistika dari aspek.

Petama ialah melihat dari sudut pandang penulis, dengan mempelajari kedalaman
penulis dalam menampilkan gaya Bahasa. Kedua, dilihat dari ciri teks sastra, dengan

cara mempelajari dan mengkatagorikan gayaa Bahasa yang tampil dalam teks.

Ketiga, gaya yang dihungkan dengan kesan yang diperoleh dari khalayak. Entah itu

sedih, bahagia, terharu, senang, marah, dan sebagainya. Adapun tujuannya, Purba

(2009:8) menyatakan ada enam tujuan yang ingin dicapai oleh stilistika, yaitu:

1. Menerangkan hubungan antara Bahasa dengan fungsi artistic dan maknanya.

2. Menentukan dan memperlihatkan penggunaan Bahasa sastrawan, khusus

penyimpangan dan penggunaan linguistic untuk memperoleh efek khusus.

3. Menjawab pertanyaaan mengapa sastrawan mengekspresikan dirinya justru

memilih cara khusus. Bagaimana efek estis yang dapat dicapai melalui

Bahasa? Apakah pemilihan bentuk-bentuk Bahasa tertentu dapat

menimbulkan efek estis? Apakah fungsi penggunaan bentuk tertentu

mendukung tujuan estis.

4. Mengganti kritik sastra yang bersifat subyektif dan ilmiah.

5. Menggambarkan karakteristik khusus sebuah karya sastra.

6. Mengkaji berbagai bentuk gaya Bahasa yang digunakan oleh sastrawan dalam

karyanya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

stilistika sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai penggunaan Bahasa, tidak

terbatas pada sastra saja. Namun, biasanya stilistika lebih sering dikaikan dengan

Bahasa sastra.
2.3 Gaya Bahasa

A. Pengertian gaya Bahasa

Stilistika adalah ilmu yang meneliti gaya Bahasa, akan tetapi penegertian

mengenai gaya Bahasa sangat beragam defisininya, namun menunjukan adanya

persamaan bahwasanya gaya Bahasa merupakan cara bertutur secaara tertentu guna

mendapatkan efek tertentu pula, yakni efek estetika atau kepuitikan. Telepas dari

fungsi Bahasa sebagai alat komunikasi, Bahasa bias menjadi sebuah karya sastra yang

indah jika disusun dengan diksi (pilihan kata) yang bagus dan penuh akan makna

yang mendalam. Dari sini, muncul berbagai cara yang khas dalam menggunakan

Bahasa itu.

Pengertian gaya Bahasa ada enam menurut Enkvist (dalam Endraswara 2008: 72)

pada buku “Metodologi Penelitian Sastra”, sebagai berikut: (a) bungkus yang

membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya, (b) pilihan

di antara beragam pernyataan yang mungkin, (c) sekumpulan ciri kolektif, (d)

penyimpangan norma kaidah, (e) sekumpulan ciri pribadi, dan (f) hubungan antara

satuan Bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat.

Dalam rumusan yang tidak jauh berbeda, Baldic (dalam Nurgiantoro 2014:

369) pada buku “Teori Pengkajian Fiksi” mengemukakan bahwa style (gaya Bahasa)

adalah penggunaan gaya Bahasa Bahasa secara khusus yang ditandai oleh penulis,

aliran periode, dan genre. Secara lebih khusus lagi berwujud Bahasa itu ditandai oleh

diksi, sintaksis, citraan, irama, dan Bahasa figuratif, atau tanda-tanda linguistic yang
lain. Jadi style dapat berbeda-beda tergantung siapa penulisnya, aliran apa, periode

yang mana, dan genre apa.

Gaya Bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Pandangan

terhadap gaya Bahasa dapat dibedakan dari jenisnya dibagi menjadi dua segi yakni

segi non Bahasa dan segi Bahasa. Guna melihat secara luas, maka pembagian

bedasarkan maslah non Bahasa tetap diperlukan, namun gaya Bahasa dilihat dari

aspek kebahasaan lebih diperlukan.

Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian gaya Bahasa

di bagi atas tiga poin, yakni:

1. Pemanfaatan atas kekayaan bahsa oleh seorang dalam bertutur atau penulis.

2. Pemakaian ragam tertentu untuk mendapatkan efek tertentu, keseeluruhan ciri

sastra sekelompok penulis sastra.

3. Cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan lisan.

Bedasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya

Bahasa dapat diartikan sebagai suatu cara dalam penggunaan Bahasa secara khas oleh

penulis untuk menyakinkan atauu mempengaruhi pembaca guna mendapatkan efek

tertentu. Karena tiap pengarang mempunyai gaaya Bahasa sendiri. Hal ini sesuai

dengan sifat dan kegemaran masing masing pengarang. Dalam hal ini tentunya

berkaitan dengan sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa

dipergunakan. Jenis-jenis ini disebut dengan sarana retorika.


B. Jenis Gaya Bahasa

Ada berbagai macam jenis gaya Bahasa yang dapat digunakan ooleh seorang

pengarang mnyampaikan dan menekankan suatu pesan agar membawa efek yang

diinginkan. Jenis gaya Bahasa tersebt dapat diklasifikasikan dalam berbagai macam

cara pula.

Keraf (2009: 115) pada buu “diksi dan gaya Bahasa” membagi empat

kelompok jenis gaya Bahasa yaitu gaya Bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya

Bahasa berdasarkan nanda, gaya Bahasa berdaasarkan struktur kalimat, dan gaya

Bahasa berdasaarkan lasung tidaknya makna.

Gaya Bahasa bedasarkan pilihan kata dapat dapat dibagi dalam gaya Bahasa

resmi, tidak resmi, dan percakapan. Gaya Bahasa adalah gaya dalam bentuknya yang

lengkap dann digunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi. Gaya Bahasa tidak

resmi adalah gaya Bahasa yang umumnya digunakan dalam karya-karya tulis biasa,

artikel, editorial, dan lain-lain. Sedangkan, gaya Bahasa ialah gaya Bahasa yang

digunakan dalam berbagai kesempatan percakapan.

Gaya Bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari

rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana.

Gaya Bahasa berdasarkan nada dapat dibagi dalam tiga gaya yaitu gaya

sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.

Gaya Bahasa bedasarkan struktur kalimat adalah gaya Bahasa yang

menjadikan struktur kalimat menjadi landasan untuk menciptakan gaya Bahasa.

Struktur kalimat yang dimaksud yaitu alimat bagamana tempat sebuah unsur kalimat
yang dipentingan dalam kalimat tersebut. Gaya Bahasa bedasarkan struktur kalimat

antarra lain adalah gaya Bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antithesis, dan

repetisi. Untuk lebih jelasnya akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Antithesis adalah suatu gaya Bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang

bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang

berlawanan.

“Untuk apa berdoa?” tanyamu. “Untuk hidup dan mati,” kataku. (Doa, Maroeli

Simbolon)

Kutipan di atas adalah contoh gayabahasa antithesis. Kalimat “Untuk hidup

dan mati” pada kutipan tersebut menggunakan kata “hidup” dan “mati” dimna

kdua kata tersebut mempunyaii arti yang bertentangan.

2. Anti klimaks adalah semacam gaya Bahasa berisi kata, frasa, atau khalimat yang

bersifat periodic dan menyatakan beberapa hal berurutan dengan susunan gagasn

yang kepentingannya menurun.

“Inilah pengorbananku. Kutunggalkan kekuasaanku. Kulepas sayap-sayap


kelamku, kucabut taring, tanduk, dan culaku. Kubuang darah hitamku. Segalanya
kukorbankan”…
(Segalanya Untukmu, Maroeli Simbolon)

Kutipan di atas adalah contoh gaya bahasa antiklimaks. Berawal dari gagasan

yang paling besar ialah kalimat “inilah pengorbananku” kemudian menurun pada

kalimat yang lebih kecil gagasannya yaitu “kutinggalkan kekuasaanku”,


selanjutnya menurun lagi kepada kalimat yang lebih kecil gagasannya yaitu

“kulepaskan sayap-sayap kelamku, kucabut taring,…”.

3. Klimaks adalah semacam gaya bahasa berisi kata frasa atau kalimat yang bersifat

periodic dan menyatakan beberapa hal berurutan dengan susunan gagasan yang

kepentingannya meningkat.

“Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun keluar masuk hutan,
menyusuri bengawan, melintas padang, dan akhirnya sampai pada sebuah kebun
mentimun milik seorang petani”.
(Dongeng Kancil, Sapardi Djoko Damono)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya bahasa klimaks. Peningkatan susunan

gagasan dapat dilihat dari kata yang paling kecil waktunya yaitu hari, kemudian

bulan, dan kemudian tahun.

4. Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha menegaskan sesuatu dengan

menggunakan pengulangan kata pada baris atau kalimat.

“Barangkali juara-juara lomba lari atau lomba renang pernah merasakannya.


Hanya pada mereka tidak ada rasa ngeri, rasa takut, rasa diburu omesodiplosis,
analepsis, dan anadiplosis.leh hantu yang amat menakutkan”.
(Tidak Ada Esok, Mochtar Lubis)

Kutipan di atas adalah contoh gaya bahasa paralelisme. Terlihat pada

kalimat “rasa ngeri”, “rasa takut”, “rasa diburu oleh hantu yang amat

menakutkan”, ketiganya memiliki derajat makna yang sama. Dipakai dengan


maksud menegaskan suatu namun, dengan menggunakan variasi kalimat dengan

makna yang sama.

5. Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang

dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam konteks yang sesuai. Gaya

bahasa repetisi dibagi menjadi delapan macam, yaitu epizeuksis, tautotes,

anaphora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, analepsis, dan anadiplodid. Untuk

lebih lengkapnya dapat dilihat pada penjabaran sebagai berikut.

a. Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat

menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.

“Dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara. Dalam mutiara: ah ada
apa. Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati. Dalam hati: ah taka da jua
yang ada. Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna. Dalam makna:
mudah-mudahan ada kau”.
Contoh di atas memiliki ciri gaya bahasa repetisi anadiplosis namun, gaya

bahasa jenis tersebut cukup sulit ditemui. Pengulangan terjadi pada kata “tiram” dan

“mutiara”. Kata “tiram” yang sebelumnya menjadi kata akhir pada kalimat pertama

kemudian menjadi kata pertama selanjutnya. Begitu pula dengan kata “mutiara”.

b. Anafora adalah salah satu gaya repetisi yang berupa perulangan kata pertama

pada tiap baris atau kalimat berikutnya.

“Dia yang menunggu suaminya pulang, dia yang anaknya menangis tujuh
hari tujuh malam, dan dia yang dinding batunya meneteskan air
melambangkan tangis orang kampong itu sebagaimana dikatakan Rapian
menjadi gelapan”.
(Air Mata Batu, Taufik Ikram Jamil)
Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya bahasa repetisi anafora.

Pengulangan terjadi pada kata “dia yang” berturut-turut sebanyak tiga kali pada awal

kalimat.

c. Epanalepsis adalah salah satu gaya pengulangan berupa kata terakhir dari baris,

klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama.

“Percayalah kak, itu tanda tangan palsu. Tanda tangan orang-orang


kampong ini dipalsukan, juga tanda tanganku”, kata Jodang.
(Air Mata Batu, Taufik Ikram Jamil)

Kutipan di atas contoh gaya bahasa repetisi epanalepsis. Pengulangan terjadi

pada kata “tanda tangan” di akhir kalimat dengan mengulang kata pertama padaawal

kalimat.

d. Epistrofa adalah salah satu gaya repetisi yang berupa pengulangan kata atau

frasa pada akhir baris atau kalimat berturut-turut.

“Coba, semua versi asal mula padi dari Jawa, Bali, Lombok, sampai Irian
sudah kuceritakan, aku tidak bias mengingat cerita apa-apa lagi sekarang.
Kata Hendak Jadi Lembu sudah. Burung Pungguk Merindukan Bulan sudah.
Calon Arang sudah. Bandung Bandawasa sudah”.
(Dongeng Sebelum Tidur, Seno Gumira Ajidarma)

Kutipan diatas adalah salah satu gaya repetisi epistrofa. Pengulangan terjadi

pada kata “sudah” secara berturut-turut pada akhir kalimat sebanyak empat kali.
e. epizeuksis adalah salah satu gaya repetisi yang bersifat langsung, arti kata yang

dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.

“Datuk keliru. Justru kejadian ini akan mengekalkan hati kami untuk
melawan, melawan”.
(Air Mata Batu, Taufik Ikhram Jamil)

Kutipan diatas adalah contoh gaya bahasa repetisi epizeusis. Kutipan tersebut

langusng mengulang kata “melawan” untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

f. Mesodiplosis adalah salah satu gaya repetisi di tengah-tengah baris atau

beberapa kalimat berurutan.

“Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat,
mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang
pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas di
buat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas
dilakukan dan hidup yang pantasnya dijadikan kehidupan”.
(Laki-laki sejati, Putu Wijaya)

Kutipan diatas adalah contoh untuk gaya bahasa repetisi mesodiplosis.

Pengulangan terjadi pada kata “yang pantas” pada masing-masing bagian tengah dari

kalimat secara berturut-turut. Sebanyak delapan kali.

g. Simploke adalah salah satu gaya repetisi pada awal dan akhir beberapa baris

atau beberapa kalimat yang berturut-turut.

“Kamu bilang hidup ini brengsek, aku bilang biarin. Kamu bilang hidup ini

gak punya arti, aku bilang biarin. Kamu bilang aku gak punya kepribadian,
aku bilang biarin. Kamu bilang aku ini gak punya pengertian, aku bilang

biarin”.

Contoh diatas memiliki ciri gaya bahasa repetisi simploke namun, gaya

bahasa jenis tersebut cukup sulit ditemui. Pengulangan terjadi pada kata “kamu

bilang” pada awal dan kata “aku bilang biarin” pada akhir beberapa kalimat berturut-

turut sebanyak tiga kali.

h. Tautotes adalah satu gaya repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam

sebuah konstruksi.

“Mulanya saling bertatapan, lalu saling melengos. Bertatapan lagi dan


melengos lagi”.
(Penumpang kelas tiga, A.A Navis)

Kutipan diatas adalah contoh untuk gaya bahasa repetisi tautotes. Pola kutipan

diatas mengulang kata “bertatapan” dan “melengos” dalam pola kalimat berbeda

awalnya namun, pada kalimat selanjutnya digunakan lagi kata “bertatapan” dan

“melengos” pada kalimat yang sama.

Berikutnya, gaya bahasa berdasarkan langsung-tidaknya makna menekankan

adanya pemisahan gaya bahasa yang makna denotatifnya sudah menyimpang dari

makna dasar. Dalam hal ini Keraf (2009: 129) pada buku “Diksi dan Gaya Bahasa”

membagi dalam dua kelompok yaitu retoris dan kiasan. Macam-macam gaya bahasa

retoris menurut Keraf (2009: 130) pada buku “ Diksi dan Gaya Bahasa” meliputi gaya
bahasa aliterasi, anastrof, apofasis, apostrof, asonansi, asidenton, elipsis, erotesis,

eufenismus, hiperbola, histeron, proteron, yasmus, koreksio, litotes, oksimoron,

paradoks, perifresis, pleonasme, polisindeton, prolepsis, silepsis. Untuk lebih jelasnya

akan disampaikan dalam penjabaran berikut ini.

a. Aliterasi adalah sebuah gaya bahasa yang perulangan konsonan yang sama

sebagai penghias atau untuk penekanan.

“biasanya beberapa temannya disekeliling rumahnya suka bermain macam-


macam karena orangtua Rini suka membelikannya mainan, mulai masak-
masakan sampai mobil-mobilan, meskipun ia anak perempuan”.
(Ketika Gerimis Jatuh, Sapardi Djoko Darmono)

Kutipan diatas didominasi oleh perulangan konsonan “n” pada kata dalam

kalimat yang saling berdekatan jaraknya, yaitu pada kata “mainan”, “masak-

masakan”,” mobil-mobilan”, dan “anak perempuan”.

b. Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan

membalik susunan kat yang biasa dalam kalimat.

“Masih jelas teringat oleh kami, hari perkenalan kami dengan Zulbahri”.
(Ave Maria, Idrus)
Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa anastrof atau inversi. Kalimat di

atas dalam susunan kata yang biasa dalam kalimat berbunyi “hari perkenalan kami

dengan Zulbahri masih teringat jelas”.

c. Apofasis atau Preterrisio adalah sebuah gaya Bahasa dimana penulis atau

pengarang menegaskan sesuatu, tetapi seperti menyangkal.


“Begitulah kami mengetahui berturut-turut, bahwa ia dulu seorang

pengarang. Sungguhpun belum dikenal umum, tapi bukunya banyak juga

yang diterbitkan”.

d. Apostrof adalah sebuah gaya Bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari

para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.

“Ia telanjur mabuk kepayang ditikam panah asmara Dewa Kamajaya. Begitu
pula perempuan jelita itu lupa pada posisinya sebagai selir raja. Perempuan
itu telah di goda Dewi Ratih”.
(Reinkarnasi, Wayan Sunartha)

Kutipan di atas contoh untuk gaya Bahasa apostrof. Tokoh laki-laki

digambarkan dalam keadaan mabuk kepayang seakan dittikam oleh panas asmara

Dewa Kamajaya. Padahal sosok Dewa Kamajaya tersebut tidaklah nyata. Itu pula

yang terjadi pada tokoh perempuan oleh Dewi Ratih.

e. Asonansi adalah berupa perulangan vocal yang sama.

“Sinar matahari yang sangat menyengat berkali-kali mendatangkan keringat.


Kuseka peluh di seluruh wajahku dengan punggung tanganku”.
(Dusun Itu Kini Asing, Isbedy Setiawan ZS)
Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa asonansi. Kalimat pertama

menggunakan perulangan vocal “i” dan “a” pada kata “matahari”, “berkali-kali”, dan

“keringat”. Sedangkan kalimat kedua menggunakan perulangan vocal “u” pada kata

“peluh”, diseluruh”, “wajahku”, punggung”, dan “tanganku”


f. Asidenton adalah sebuah gaya Bahasa yang berupa acuan, yang bersifat padat

dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sama tidak dihubungkan

dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan

koma.

“Tentang perawakannya tak banyak yang dapat diceritakan. Ia punya dua


kaki, dua tangan, dua mata, dan satu hidung”.
(Jalan Lain Ke Roma, Idrus)

Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa asidenton. Kata “dua kaki”, “dua

tangan”, “dua mata”, dan “satu hidung” dipisahan saja dengan tanda koma.

g. Elipsis adalah sebuah gaya Bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur

kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca

atau pendengar.

“Kalau Andre baik, Andre akan dihukum Zwartepiet, Ma?”


“Tentu saja tidak. Zwartepiet suka sama anak yang berbuat baik. Kalau
Andre baik, Zwartepiet juga menyayangi Andre.”
(Natal Biru, Najib Kertapati Z)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa ellipsis. Penghilangan

prediket “berbuat” atau “bersikap” pada kalimat “kalau Andre baik”.

h. Erotesis atau Pertanyaan Retoris adalah sebuah pernyataan yang

dipergunakan dalampidato maupun tulisan dengan tujuan untuk mencapai


efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan tidak menghendaki

adnanya jawaban.

“Tak akan kami sia-siakan perjuangan bang toha, perjuangan kami selama
ini, perjuangan mempertahankan hak. Ya, kalau tak kami siapa
lagi?|”Timpal Raipan”.
(Air Mata Batu, Taufik Ikram Jamil)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa erotesis. Pertanyaan “Kalau

tak kami siapa lagi?” ialah pertanyaan yang tidak perlu mendapat jawaban dari

pendengar.

i. Eufemismus adalah sebuah gaya Bahasa halu yang berupa ungkapan-unkapan

yang tidak menyinggung perasaan orang atau untuk menghindari sesuatu yang

tidak menyenangkan.

“Kata orang itu baru, itu baru ketahuan demikian, yaitu ketika terjadi
persaingan untuk mendapatkan hati seorang gadis”.
(Penumpang Kelas Tiga,A.A.Navis)
Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa Eufimismus. Kalimat

“Terjadi persaingan untuk mendapatkan hati seorang gadis”maksutnya

memperebutkan dan mencari perhatian gadis tersebut.

j. Hiperbola Adalah Sebuah gaya Bahasa yang mengandung suatu pernyataan

yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal.

“Mereka cari senang saja, sementara peluh kita sedah berbatu-batu tumpah
untuk ini semua. Tak bersuratlah, tanah negaralah”.
(Air Mata Batu, Taufik Ikram Jamil)
Kutipan di atas adalah contoh untuk bahasan hiperbola. Kutipan tersebut

membesar-besarkan kenyataan bahwa keluh atau keringat itu berasal dari batu,

bukan air seperti biasanya. Penulis menggunakan kata “berbatu-batu” guna

melenbih-lebihkan kenyataan akan kerja yang dilakukan tokoh melibih keringat

yang berasal dari air.

k. Histeron Proteron adalah sebuah gaya bahasa yang merupakan kebalikan

dari suatu yang logis atau kebalikan dari suatu yang wajar.

“Dia melihat api kemarahan yang terpancar dari muka suaminya itu, padam
secara mendadak”.
(Air Mata Batu, Taufik Ikram Jamil)

Kutipan diatas adalah contoh untuk gaya bahasa histeron proteron. Api tidak

logis jika terpancar dari wajah manusia akibat kemarahan. Paling tidak harus ada

hal yang mendasarinya. Misalnya akibat kebakaran.

l. Kiasmus adalah sebuah gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa

atau klausa yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain,

tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa

atau klausa yang lainnya.

“Kau telah hancur leburkan hatiku, ya Allah. Kau telah lembur


hancurkan hatiku”.
(Butiran Debu, Taufikurrahman Al-Aziziy)

Kutipan diatas adalah contoh untuk gaya bahasa Kiasmus. Unsur yang

mengandung gaya kiasmus adalah kutipan yang terdiri dari dua kalimat,
kalimat yang pertama mengandung kata “hancur-leburkan” sedangkan kalimat

yang kedua mengandung kata “lebur-hancurkan”

m. Koreksio atau Epanortonis adalah sebuah gaya bahasa yang mula-mula

menegaskan sesuatu tetapi kemudian memperbaikinya.

“Dulu, dulu sekali, jauh sebelum saya lahir, bapak menggaet ibu ketika ibu
sudah punya dua anak, eh satu anak”.
(Janda, Kasta)

Kutipan diatas adalah contoh untuk gaya bahasa Koreksio. Tokoh dalam

kutipan diatas memberikan informasi bahwa bapak menggaet ibunya ketika

sudah punya dua anak kemudian, memperbaiki pernyataan sebelumnya yang

ia anggap salah hanya dengan satu anak.

n. Lilotes adalah sebuah gaya baahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu

dengan tujuan merendahkan diri. Suatu hal yang dinyatakan kurang dari hal

sebelumnya.

“Maaf. Jika kau tak suka. Suaraku terdengar parau dan sumbang. Kau tau
aku
Tak pintar bernyanyi”
(Kau dan Aku, Maroeli Simbolon)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya bahasa lilotes. Kalimat “maaf.

Jika kau tak suka” di atas berusaha merendahkan diri dengaan kalimat “kau

tau, aku tak pintar bernyanyi”. Padahal kenyataannya belum tentu seperti itu.

o. Oksimoron adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung pertentangan

dengan mempergunakan kat-kata yang belawanan dalam frasa yang sama.


“O, dia sangat baik, peramah, tapi ia suka berkata yang buruk-buruk tentang
orang lain”.
(Surabaya, Idrus)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya bahasa oksimoron. Kata-kata

yang berlawanan ditunjukan oleh kata “baik, peramah”. Namun,

dipertentangkan dengan pernyataan “tapi ia suka berkata yang buruk-buruk

tentang orng lain”.

p. Paradoks adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung pertentagan yang

nyata dengan fakta-fakta yang ada.

“Hanya persaingan yang membuat kami tetap hidup”.


(Menunggu Sepi, Chairil Gibran Ramadha)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya bahasa paradoks. Dalam

kehidupan yang nyata, seseorang di katakana hidup dengan adanya makanan

dan minuman, bukan persaingan.

q. Perifrasis adalah sebuah gaya bahasa yang menggantikan sebuah kata dengan

frasa atau serangkaian kata yang sama artinya.

“Dan mamanya hanya memeluk. “dia sudah lebih tenang di banding kamu
dan mama. Tidak ada lagi orang yang bisa mengganggunya. Tuhan sudah
menjaganya”.
(Perempuan Yang Memandang Dari Jendela, Chairil Gibran Ramadhan)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya gaya bahasa periphrasis. Kata

“dia sudah lebih tenang” dan “tuhan sudah menjaganya” menunjukan atau

menggantikan kata meninggal atau berpulang.

r. pleonasme atau tautologi adalah gaya bahasa dengan pemakaian kata yang

dianggap berlebihan, naman perbedaan diantara keduanya ialah dalam


pleonasme walaupun kelebihan kata tersebut dihilangkan, artinya masih tetap

utuh, sedangkan tautology, kelebihan kata yang dimilikinya mengundung

perulangan dari kata yang lain.

“Jika kalau memang ingin mendapatkan pelanggan yang berkantong tebal,


biasanya aku mencari tempat lain; plaza, mall, atau taman-taman rindang.
Pokoknya tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang”.
(Menunggu Sepi, Chairil Gibran Ramadhan)

Kutipan di atas adalah contoh gaya bahasa pleonasme. Kata “tempat lain”

sekalipun tidak perjelas dengan “plaza, mall, atau taman-taman rindang”

artinya masih tetap utuh, yaitu tempat selain tempat yang biasa terjadi suatu

peristiwa. Contoh yang lain dapat di lihat pada kutipan berikut.

“Ibu mencintai kita berdua, kau dan aku” bisikku menghiburnya”


(Reinkarnasi, Wayan Sunartha)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya bahasa tautologi. Kata “kau dan

aku” merupakan perulangan dari kata “berdua”

s. polisindeton adalah sebuah gaya Bahasa kebalikan dari asidenton. Beberapa

kata, frasa, ata u klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan

kata-kata sambung.

“Dan sebenarnya diam-diam perempuan itu beruntung juga adiknya belum


kawin, ia suka menemani suaminya nonton bola di TV sampai larut malam
kalau sedang ada piala dunia. Masakan indomi atau goreng pisang nyegat
tukang sate yang suka sengaja dagang malam-malam kalau ada bola”.
(Ketika Gerimis Jatuh, Supardi Djoko Damono)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa polisindeton. Beberapa

kegiatan seperti masak indomi, goreng pisang, dan nyegat tukang sate seperti

yang ada dalam kutipan di atas dihubungkan dengan kata sambung “atau”.
t. Prolepsis atau Antisipasi adalah sebuah gaya Bahasa dimana orang

mempergunakan lebih dahulu kata-kata sebelum perestiwa atau gagasan yang

sebenarnya terjadi.

“Masih teringat jelas oleh kami, hari perkenalan kami dengan Zulbahri.”
(Ave Maria, Idrus)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya bahasa prolepsis atau antisipasi.

Peristiwa yang sebenarnya terjadi ialah hari perkenalan dengan Zulbahri,

sementara kalimat “masih teringat jelas oleh kami,” hanya sebuah lampiran

yang seharnya terletak di belakang, bukan di depan. Jika diubah kepada

susunan yang benar, kutipan di atas menjadi “hari perkenalan kami dengat

Zulbahri masih teringat jelas”.

u. Silepsis dan Zeugma adalah sebuah gaya Bahasa dimna orang

mempergunakan dua kontruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata

dengan dua buah kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai

hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, kontruksi yang dipergunakan

itu secara gramatikal benar, namun secara semantic tidak benar, sementara

dalam zeugma, kedua kata hanya cocok untuk salah satu daripadanya.

“Wanita itu kehilangan harta dan kehormatannya”.

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa silepsis. Dalam

penulisan, kehilangan harta dan kehormatan memang benar, namun dalam

makna kehilangan harta dan harga dirinya, melainkan hanya sebagian akibat

insiden atau kejadian. Contoh lain dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Ia memang anak yang malas dan rajin di sekolahnya”

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa zeugma. Malas dan

rajin adalah sesuatu yang bertentangan, sehingga hanya dimungkinkan oleh

salah satu unsur saja yang digunakan dalam penulisan.

Sementara gaya Bahasa kiasan menurut Keraf (2009:136) pada buku diksi

dan gaya Bahasa” terdiri dari gaya Bahasa alegori, alusi, antifrasis,

antonomasia, epitet, eponym, hipalase, innuendo, metafora, metonimia,

personifikasi, paronomasia, satire, persamaan atau simile, sinekdoke, ironi,

sinisme, dan sarkasme. Untuk lebih jelasnya, lihat penjabaran sebagai berikut.

1) Alegori, Parabel, dan Fabel. Tiga wujud ini merupakan perluasan dari

metafora. Alegori merupakan secara singkat yang mengandung kiasan dan

makna yang harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Parable dan fable

merupakan alegori-alegori singkat. Parable merupakan cerita yang biasa

berkaitan dengan kitap suci tentang moral dan kebenaran, biasanya berkaitan

dengan tokoh manusia. Sementara fable berkaitan dengan hewan, tumbuh-

tumbuhan maupun makhluk tak bernyawa.

“Cerita Adam dan Hawa, Cerita Yusuf” (parabel).


“Cerita Kancil dan Buaya, Cerita Kelinci dan Kura-kura” (fable).

2) Alusi adalah semacam acuan yang berusaha menyugestikan kesamaan antara

orang, tempat, atau peristiwa.

“Kartini kecil itu turut memperjuankan haknya”.


Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa alusi. Perempuan yang

memperjuangkan hak pada masa sekarang ini selalu dikaitkan dengan tokoh

emansipasi wanita yaitu R.A kartini.

3) Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaaan sebuah kata

dengan makna kebalikannya.

“Lihatlah, sang raksasa telah tiba”.

Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa antifrasis. Pada contoh di atas

maksudnya si cebol, kata “raksasa” digunakan sebagai upaya menyindir

dengan kata berlawanan.

4) Antonomasia adalah sebuah gaya Bahasa dengan menggunakan nama diri,

gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.

“Urusanku sekarang dengan polisi, tidak dengan si gila itu lagi”.


(Membunuh Orang Gila, Sapardi Djiko Damono)

Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa antonomasia. Gelar resmi

polisi menggantikan nama seseorang.

5) Epitet adalah acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari

seseorang atau sesuatau hal.

“Mereka bertiga kelurga yang sederhana, tidak pernah macam-macam, dan


menganggap masalah keluarga sebagai ajinomoto dalam kehidupan
berkeluarga”.
(Ketika Gerimis Jatuh, Sapardi Djiko Damono)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa epitet. Kata

“ajinomoto” digunakan sebagai lambang atau bentuk acuan dari bumbu, dan

dalam hal ini maksudnya ialah bumbu dalam kehidupan berkeluarga.


6) Eponim adalah sebuah gaya Bahasa dimana seorang yang Namanya begitu

sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu digunakan untuk

menyatakan sifat itu.

“Sesekali waktu aku pernah berselisih dengan Mince. Apalagi kalau bukan
perkara lelaki. Mas Tajir, begitu kami biasa memanggilnya, yang menjadi
pangkalan persoalan”.
(Menunggu Sepi, Chairil Gibran Ramadhan)

Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa eponim. Kata “tajir” biasanya

dipakai sebagai lambang seseorang yang memiliki banyak uang.

7) Hipalase adalah semacam gaya Bahasa dimana sebuah kata tertentu

dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan

pada sebuah kata yang lain.

“Jangan-jangan, di tengah kebahagian serupa ini tersembunyi duka yang


akan menyerap tiba. Kuusap mataku, mengusir kekhawatiran yang
mengganggu”.
(Jalan Teduh Menuju Runah, Kurnia Effendi)
Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa hipalase. Dalam kutipan di

atas, tokoh mengusap mata untuk mengusir kekhawatiran. Padahal

kekhawatiran itu dirasakan oleh hati, bukan mata.

8) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme. Ironi ialah suatu acuan yang ingin

mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang

tergandung dalam rangkaian kata-katanya. Kadang-kadang digunakan istilah

lain, yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk

kesangsian yang mengandung ejean terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.


Sedangkan sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan

sinisme.

“Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantic di dunia ini dan
perlu mendapat tempat terhomat”.

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa ironi. Pola menyindir

terhadap pada kalimat “gadis yang paling cantik di dunia ini”, padahal sangat

berlebihan dengan kenyataan yang ada, selain itu pola menyindir terdapat

“perlu mendapat tempat terhormat”, tokoh sebenarnya tidak benar-benar ingin

memberikan tempat terhormat tersebut. Contoh sinisme dapat di temui pada

kutipan di bawah ini.

“Tapi mereka tertawa dan berkata dalam dalam Bahasa Belanda, kata yang
laki-laki; Hm, enak betul disini. Seperti dalam pasar ayam”.
(Kota-Harmoni, Idrus)

Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa sinisme. Kalimat “Hm, enak

betul disini. Seperti pasar ayam” merupakan kalimat sindiran yang lebih kasar

dari ironi. Pasar ayam biasanya melekat dengan gambaran tempat yang bau

dan tidak nyaman, sementara contoh sarkasme dapat dilihat pada kutipan di

bawah ini.

“Alangkah sombongnya engkau ini. Burkat, baru jadi kepala kampung icak-
icak saja, sudah sepongah itu. Dicekik hendaknya engkau ini biar mampus”.
(Bertengkar Berisik, M. Kasim)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa sarkasme. Kalimat

“dicekik hendaknya engkau ini biar mampus” merupakan sesuatu yang belum
terjadi dan seakan menyindir sementara penggunaan kata “mampus” dirasa

sangat kasar.

9) Innuendo adalah semacam sindiran yang mengecilkan kenyataan yang

sesungguhnya.

“Tapi mereka tertawa dan berkata dalam dalam Bahasa Belanda, kata yang
laki-laki; Hm, enak betul disini. Seperti dalam pasar ayam”.
(Kota-Harmoni, Idrus)

Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa innuendo. Pasar ayam yang

lekat dengan gambaran pengap atau bau dikecilkan dengan kata sindiran “Hm,

enak betul di sini”.

10) Metafora adalah semacam anologi yang membandingkan dua hal secara

langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.

“Dan gambar itu, kenapa harus jantung, dan bukan perahu dengan layer
kembar, kendaraan yang melambangkan dua sejoli akan mengurangi hidup”.
(Sampan Asmara, Kuntowijoyo)

Kutipan di atas adalah contoh gaya Bahasa metafora. Dua sejoli artinya

sebuah pasangan yang terdiri dari laki laki dan perempuan.

11) Metonomia adalah suatu gaya Bahasa yang mempergunakan sebuah kata

untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat

dekat.

“Dan sebenarnya diam-diam perempuan itu beruntung juga adiknya belum


kawin, ia suka menemani suaminya nonton bola di tv sampai larut malam
kalau sedang ada piala dunia. Masak indomi atau goreng pisang atau nyegat
tukang sate yang suka sengaja dagang malam-malam kalau ada bola”.
Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa metonomia. Kata

“indomi” menggantikan mie instan dan kata indomi dipakai karena adanya

mie instan bermerek “indomi” yang sudah sangat dikenal oleh masyrakat.

12) Personifikasi atau Prosopopoeia adalah sebuah gaya Bahasa yang

menggambarkan benda-benda atau barang-barang yang tak bernyawa

memiliki sifat kemanusiaan.

“Kami kembali menikmati keriangan perjalanan. Pucuk-pucuk daun tebu tak


henti melambai, gemulai”.
(Dusun Itu Kini Asing, Isbedy Setiawan ZS)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa personifikasi. Dalam

kutipan tersebut pucuk dan tebu digambarkan sedang melambai dengan

gemulai, dimna melambai dan gemulai biasanya haya dilakukan oleh manusia.

13) Pun atau Paronomasia adalah sebuah kiasan menggunakan kemiripan bunyi.

“Tanggal dua gigi saya tanggal dua”.

Kalimat di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa pun atau paronomasia.

“tanggal dua” yang pertama dimaksudkan untuk waktu sedangkan “tanggal

dua” yang kedua berate lepas dua.

14) Satire adalah sebuah ungkapan menertawakan atau menolak sesuatu.

“Kita tinggal di sini dari dulu dan dulunya lagi, juga tidak bersurat, atu
jangan-jangan kita pun harus hengkang dari sini”.
(Air Mata Batu, Taufik Ikram Jamil)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa satire. Ungkapan

“jangan-jangan kita pun harus hengkang dari sini” sebenarnya ialah ungkapan

menolak, namun terlihat seperti menduga.


15) Persamaan atau Simile adalah sebuah perbandingan yang bersifat eksplisit.

Yakni lasung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.

“Mereka terkenang pada masa tiga detengah tahun yang lalu dan kepada
ayah-ayahnya, Belanda betul-betul. Dan mereka merasa terhina seperti ayah-
ayahnya sendiri ditelanjangi orang’.
(Surabaya, Idrus)

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa persamaan atau simile.

Perbandingan tampak pada “Dan mereka merasa terhina seperti ayah-ayahnya

sendiri di telanjangi orang” kata “seperti” menegaskan perbandingan yang

bersifat langsung.

16) Sinekdoke adalah semacam figurative yang menggunakan sebagai dari

sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau menggunakan

keseluruan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).

“Aku berlari sekencang-kencangnya menuju arah Ayah berjalan. Tapi,


sampai aku terengah-engah tak kutemui lagi bayangan Ayah”.
(Jalan Teduh Menuju Rumah, Kurnia Effendi)

Kutipan di atas contoh untuk gaya Bahasa sinekdoke pars pro toto.

Tokoh menyebutkan bahwa ia mengejar bayangan ayahnya, padahal yang

dimaksud ialah ayahnya secara keseluruhan.

“Dalam pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Arab Saudi di

Gelora Bung Karno, tuan rumah menderita kekalahan 1-2”.

Kutipan di atas adalah contoh untuk gaya Bahasa sinekdoke totem

proparte. Pada contoh di atas, Negara Indonesia beserta seluruh penduduknya,


digambarkan sedang melawan Arab Saudi beserta seluruh warganya, namun

pada kenyataanya hanya tim olahraga sepakbola saja yang bertanding.

2.3 Makna Gaya Bahasa

Masalah ketetapan pilihan kata dan gaya Bahasa berhubungan erat dengan

aspek makna, bagaimana seorang pengarang memutuskan untuk menggunakan

sebuah kata dan gaya Bahasa untuk menyampaikan maksud dan tujuan yang ingin

disampaikan kepada pembaca. Djajasudarma (1999: 5) menyatakan pengertian makna

adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur Bahasa itu sendiri, terutama kata-

kata. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 703) pengertian makna

merujuk pada maksud penulis atau pengarang yang diberikan kepada suatu bentuk

kebebasan. Sementara Keraf (2010: 25) menyatakan bahwa makna ialah reaksi yang

timbul pada apa yang diutarakan si pengucap.

Bedasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Batasan

tentang makna ialah sesuatu yang bergantung dari cara pandang seseorang dalam

mengartikan sebuah ujaran atau kata. Makna dapat diuraikan dalam empat jenis,

yaitu:

1. Makna denotative

Makna denotatif atau makna kognitif adalah makna yang menunjukan adanya

hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan (Djajasudarma, (1999b: 9).


Rahardi (2010: 31) menyatakan bahwa makna denotative ialah makna yang

ditunjuk oleh suatu yang disimbolkan atau makna yang sebenarnya serta tidak

mengandung makna tambahan.

Contoh makna denotatif dapat dilihat dari kutipan berikut:

Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak, sambal menunjuk ketengah jalan. Kami

menoleh dan tampaklah kepada kami seorang laki-laki, sedang asyik

membaca buku, sambal berjalan juga. (Ave Maria, Idrus)

Dari kutipan di atas terlihat pada kalimat pertama dan kedua ialah contoh

kalimat denotatif. Kalimat “tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak, sambal menunjuk

ketengah jalan” menunjukan makna yang sebenarnya dan tidak menimbulkan

tafsir ganda, pembaca pasti langsung menafsirkan bahwa tokoh yang ada pada

kutipan tersebut sedang tertawa terbahak-bahak sambal menunjuk ke arah

jalan. Begitu pula pada kalimat kedua, tampak beberapa orang tokoh pada

cerpen di atas menoleh dan pandangan mereka tertuju pada seorang laki-laki

yang sedang membaca buku sambal berjalan.

Dari kedua pendapat dan contoh di atas dapat diambil suatu kesimpulan

bahwa makna denotative bersifat lugas dan apa adanya sesuai dengan makna

sebenarnya. Oleh karena itu sering digunakan dalam istilah-istilah Teknik atau

dipergunakan untuk tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda.

2. Makna Konotatif

Makna konotatif atau konotasi disebut juga makna konotasional adalah

makna kias, bukan makna sebenarnya dan dapat diartikan berbeda anatara
pendengar yang satu dan pendengar yang lain (Rahardi,2010: 32). Kamus

Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian bahwa makna konotatif ialah

aspek-aspek makna satuan Bahasa yang berhubungan dengan ciri-ciri di luar

kebahasaan (2007); 703). Sementara Wibowo memberi pengartian singkat

bahawa makna konotasi adalah makna tambahan terhadap makna denotasi

yang melihat

Contoh makna konotatif dapat dilihat pada kutipan kalimat sebagai berikut:

Sejak itu aku tidak pernah melihat lelaki tua itu lagi. Dia pergi entah kemana.

Pernah ada kabar burung yang mengatakan bahwa dia telah menikah lagi

dengan perempuan yang lebih muda dari pada ibu dan tentunya bisa

memberi keturunan.

Kata “lelaki tua” dapat berarti leki-laki tua yang umurnya 50 tahun

keatas, selain itu dapat juga bermaknakan laki-laki yang lebih tua dari umur

pengucap. Sementara kata “kabar burung” bukan kabar yang disampaikan

oleh burung melainkan kabar yang tak jelas pasti darimana asalnya.

Dari beberapa pengertian dan contoh di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwa makna konotatif ialah makna tambahan atau makna yang bukan

sebenarnya dan sering berhubungan dengan ciri-ciri diluar kebahasaan serta

menimbulkan respon yang beragam.

3. Makna Leksikal

Makna leksikal merupakan makna kata bedasarkan kamus atau leksikon

yang sesuai dengan referensinya. Makna kata leksikal disebut juga makna kata
berdefinisi, yaitu kata yang memiliki definisi tertentu yang diketahui secara

umum.

Menurut Chaer 1994, makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil

observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam

kehidupan kita.

Contoh:

a. “Petani di desa itu gagal panen karena serangan hama tikus”

Kata tikus dalam kalimat di atas mengandung makna leksikal yaitu sejenis

binatang pengerat yang dapat menyebabkan penyakit tifus dan merusak

tanaman.

b. “Anak itu selalu minum susu sebelum tidur”.

Kata minum pada kalimat di atas mengandung makna leksikal yaitu

kegiatan memasukan zat cair ke dalam mulut dan menelannya.

4. Makna Gramatikal

Makna Gramatikal adalah kata yang terjadi karena proses ketatabahsaan

seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.

Contoh:

a. “Batu seberat itu terangkat juga oleh adik”.

Penambahan awalen ter- pada kata angkat memberikan makna dapat

dalam kalimat tersebut adalah adik dapat mengangkat batu seberat itu.
b. “Ketika bermain di taman, Dina terdorong ke parit”.

Penambahan awalan ter- pada kata dorong memberikan makna tidak

sengaja sehingga maksud dari kalimat tersebut adalah ada seorang atau

sesuatu yang tanpa sengaja mengakibatkan Dina jatuh.

2.4 Definisi konsepsional

Menurut Mardalis (2006: 46) konsep merupakan suatu hal atau persoalan yang

perlu dirumuskan. Bedasarkan pengertian tersebut, maka Batasan konsep dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Analisis adalah suatu penyelidikan serta mengkaji, menelaah, dan

menganalisa karya fiksi.

2. Stilistika adalah analisis tentang penggunaan Bahasa dan gaya Bahasa di

dalam karya sastra.

3. Novel Api Awan Asap adalah suatu karya Korrie Layun Rampan yang di

terbitkan pada tahun 2015 oleh Grasindo.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Definisi Operasional

Analisis Unsur Stilistika dalam Novel Api Awan Asap karya Korrie Layun

Rampan, dimaksudkan untuk mengkaji gaya Bahasa dan makna yang terdapat pada

novel tersebut serta menganalisa gaya cerita yang dominan yang di gunakan oleh

pengarang.

Gaya Bahasa yang dikaji adalah gaya Bahasa yang secara menonjol terdapat

pada isi novel tersebut. Sedangkan gaya Bahasa yang menonjol pada isi novel

tersebut ialah gaya Bahasa yang tergolong dalam kelompok sebagi berikut:

1. Kelompok gaya Bahasa bedasarkan stuktur kalimat, mencakap:

a. Klimaks (ungkapan yang semakin menguat)

b. Antiklimaks (ungkapan yang semakin melemah)

c. Repitisi (perulangan kata)

2. Kelompok gaya Bahasa retoris, mencangkup:

a. Aliterasi (perulangan konsonan)

b. Asonasi (perulangan bunyi vocal)

c. Anastrof (susunan kata yang terbalik)

d. Apofasis (ungkapan yang berlawanan)

e. Apostrof (pengalihan ungkapan kepada sesuatu yang abstrak)

f. Asindeton (acuan yang dihubungkan dengan tanda koma)

g. Elipsis (kalimat dengan penafsiran sendiri)

h. Pleonasme (kelibihan kata)


i. Litotes (ungkapan yang merendahkan diri)

j. Perifrasis (kata yang berbelit-belit)

k. Erotesis (pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban)

l. Zeugma (dua ungkapan yang hanya cocok pada salah satunya)

m.Hiperbola (ungkapan yang berlebihan)

3. Kelompok gaya Bahasa kiasan, mencangkup:

a. Simile (perumpamaan yang eksplisit)

b. Metafora (perumpamaan yang implisit)

c. Sinekdoke (suatu hal yang menyatakan keseluruhan)

d. Metonimia (kata yang menyatakan hal lain)

e. Hipalase (makna yang seharusnya untuk hal lain)

f. Pun / Paronomasia (kemiripan bunyi dengan makna yang berbeda)

B. Jenis Penelitian

Menurut moleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan Bahasa. Oleh sebab itu, penelitian

ini merupakan penelitian kualitatif yang tujuannya mendiskripsikan analisis dari

sudut stilistika, terutama gaya Bahasa dan makna Bahasa yang disampaikan
pengarang dalam Novel Api Awan Asap. Dengan demikian, peneliti ini dapat disebut

sebagai penelitian deskriptif kualitatif.

C. Data Yang Diperlukan

Data yang diperlukan yaitu kata atau kalimat-kalimat yang menggambarkan

atau mendukung objek yang diteliti. Dalam hal ini, data yang diperlukan adalah

kalimat-kalimat yang dinyatakan dalam gaya Bahasa tertentu terutama gaya

bedasarkan stuktur kalimat, gaya retoris dan kiasan yang diidentifikasikan dari novel

Api Awan Asap.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

teknis pengamatan terhadap objek sebagai sumber data penelitian. Penulis akan

melakukan pengamatan secara langsung pada novel Api Awan Asap karya Korrie

Layun Rampan dengan cara membaca dan mencatat kalimat-kalimat yang

teridentifikasi sebagai kalimat yang mengandung gaya Bahasa tertentu.

E. Teknik Analisi Data

Teknik penulisan data yang digunakan oleh penulis adalah analisis structural

dengan tujuan memaparkan secarmat mungkin fungsi dan keterkaitan berbagai unsur

karya sastra yang Bersama menghasilkan keseluruan (Nurgiyanto (2010: 37).

Struktural itu menurut Hawkes (Pradopo. 2009: 119) ialah susunan hubungan yang

tidak memiliki makna sendiri, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan

dengan semua unsur lainnya yang tergantung dalam struktur itu.


Struktur pembangunan karya sastra terbagi menjadi dua bagian yaitu struktur internal

dan struktur eksternal. Struktur karya sastra merupakan sebuah struktur yang

kompleks (Pradopo. 2009: 120). Kompleks dapat diartikan sebagai sesuatu yang diisi

dengan unsur yang saling melengkap.

Struktur internal karya sastra berupa tema, alur, tokoh, sudut pandang dari

karya sastra. Sedangkan penelitian gaya Bahasa dan makna ialah unsur eksternal

karya sastra. Unsur penting yang mendukung analisis tentang gaya Bahasa dan makna

ini ialah:

1) Mendeskripsikan jenis gaya Bahasa pada novel Api Awan Asap.

a. Kelompok gaya Bahasa bedasarkan struktur kalimat, mencangkup:

Klimaks, antiklimaks, dan repetisi.

b. Kelompok gaya Bahasa retoris, mencakup: Aliterasi, asonansi,

anastrof, apofasis, apostrof, asindeton, elipsis, pleonasme, litotes,

periphrasis, erotesis, zeugma, dan hiperbola.

c. Kelompok gaya Bahasa kiasan, mencakup: simile, metafora,

sinekdoke, metonimia, hipalase, dan paronomasia.

2) Mencatat kata dan kalimat yang sesuai dengan topik penelitian.

3) Menyusun deskripsi Analisa.

Anda mungkin juga menyukai