OLEH:
NI PUTU SUGIARTINI
NIM: P07120018098
2. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan,
deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma
ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak,
trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen. Trauma pada
abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau
pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan,
ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50%
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di
dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan
oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada
organ internal diabdomen.
3. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara
umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan.
Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila
usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga
akan mengakibatkan peradangan atau infeksi
b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen
menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar, ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum, skrotum atau labia
pada fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
4. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu
mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma
kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat
merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan
ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil),
dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan
(shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush
injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap
belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar.
Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma
decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian
yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur
hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen.
Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul,
organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan
usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak
dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang
lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan
berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar
(40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak
menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya
perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun
kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan
tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon
(40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen
dan trauma pada isi abdomen.
a. Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi
karena trauma penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner
(2002) terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera
pada dinding abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli
bedah.
3) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma,
atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).
5. Patofisiologi
a. Patofisologi Trauma Tumpul Abdomen
Patofisiologi cedera intraabdomen pada trauma tumpul abdomen
berhubungan dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami
trauma dengan energi yang tinggi akan mengalami goncangan fisik yang berat
sehingga menyebabkan cedera organ. (Mehta, Babu and Venugopal, 2014).
Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
1. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding
abdomen anterior dan posterior
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan
dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi
menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini
terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti
pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik
(Guillion, 2009).
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya
menyebabkan cedera organ berongga. Berat ringannya perforasi
tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera 13
4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang
(fraktur pelvis, fraktur tulang iga)
5. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat
menyebabkan cedera diafragma bahkan cedera kardiak.
Trauma
(kecelakaan)
↓
Penetrasi & Non-Penetrasi
↓
Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)
↓
Menekan saraf peritonitis
↓
Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri
↓
Motilitas usus
↓
Disfungsi usus → Resiko infeksi
↓
Refluks usus output cairan berlebih
↓
Kekurangan volume Nutrisi kurang dari
cairan kebutuhan tubuh
↓
Kelemahan fisik
↓
Gangguan mobilitas fisik
8. Pemeriksaan diagnostik
a. Trauma Tumpul
1. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 %
sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh
team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan
trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai
dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG
ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya
indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain
adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka
atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih.
Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan
supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya
ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah
segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,
melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal
menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar
(>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer
Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara
menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan
diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 :
149-150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm 3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau
serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih
darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3
atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di
tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal
yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan
cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat
digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang
secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik
maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi
DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
i. Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di
diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
b. Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan
struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan
CT scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL
pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik
(kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang
tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL
maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun
DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-
mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh
ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun
intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
c. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah
tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas
dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum,
yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan
laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan
cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun
untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien
yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk
maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya
peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto
abdomen tidur.
3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
i. Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan
urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai
adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan
dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc
di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang
diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik
dengan sedikit tarikan pada pelvis.
ii. Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan
sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300
cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas
pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau
sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan,
atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan
foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan
(CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148)
iii. CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras
dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini
dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi
bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau
dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang
disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila
akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu
sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal,
thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun
parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi
keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan +
kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang
mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
iv. Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya
retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens)
tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi
dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT
Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper
GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus
dilakukan.(American College of Surgeon Committee of
Trauma,2004:149).
d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
4) Koagulasi : PT,PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7) CT Scan
8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
9) Scan limfa
10) Ultrasonogram
11) Peningkatan serum atau amylase urine
12) Peningkatan glucose serum
13) Peningkatan lipase serum
14) DPL (+) untuk amylase
15) Penigkatan WBC
16) Peningkatan amylase serum
17) Elektrolit serum
18) AGD
(ENA,2000:49-55)
9. Penatalaksanaan gawat darurat
a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka
trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan
prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka
dan bersihkan jalan napas.
1. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat
dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya
jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
2. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk
memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat
tidaknya pernapasan).
3. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-
sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak
ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio
kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali
kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan
kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga
tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban
steril.
4. Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.
b. Hospital
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli
bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk
menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka
masuk dan luka keluar yang berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rontgen
b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara
intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk
menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing, contohnya pada :
- fraktur pelvis
- trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus
seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan
multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal
di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang
keduanya memerlukan laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Syok dibuktikan dengan perdarahan
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma abdomen)
c. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive
3. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI (SIKI)
KEPERAWATAN KRITERIA
(SDKI) HASIL (SLKI)
1. Resiko Syok dibuktikan Setelah dilakukan Pencegahan syok
dengan perdarahan tindakan Observasi:
keperawatan ....x… Monitor status pulmonal
jam, diharapkan (frekuens dan kekuatan nadi,
syok tidak terjadi frekuensi nafas, TD)
dengan Monitor status oksigenasi
Monitor tingkat
KH: kesadaran/pupil
Tingkat Syok Terapeutik
□ Kekuatan nadi Berikan oksigen untuk
meningkat mempertahankan saturasi O2
□ Tidak ada penurunan >94%
kesadaran Pasang jalur IV
□ Akral hangat Kolaborasi
□ Tidak pucat
Kolaborasi pemberian IV
□ Frekuensi Nadi
Kolaborasi pemberian transfusi
normal
□ Frekuensi nafas darah.
membaik
2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukanManajemen Nyeri
dengan agen pencedera tindakan keperawatan Lakukan pengkajian nyeri
fisik (trauma abdomen) ...x...... jam diharapkan komprehensif yang meliputi
nyeri akut dapat lokasi, karakteristik, onset/durasi,
berkurang dengan criteria frekuensi, kualitas, intensitas atau
: beratnya nyeri dan factor pencetus
Tingkat nyeri Pastikan perwatan analgesic bagi
Kriteria Hasil : pasien dilakukan dengan
idak gelisah pemantauan yang ketat
Tidak tampak Gunakan strategi komunikasi
ekspresi wajah terapeutik untuk mengetahui
kesakitan pengalaman nyeri dan sampaikan
Frekuensi napas penerimaan pasien terhadap nyeri
dalam batas Gali bersama pasien dan keluarga
normal (dewasa : mengenai factor-faktor yang dapat
16-24 x/menit) menurunkan atau memperberat
Tekanan darah nyeri
normal (dewasa : Berikan informasi mengenai nyeri,
120/80mmHg) seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan dirasakan, dan
antisipasi dari ketidaknyamanan
akibat prosedur
Kendalikan factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap ketidaknyamanan
(mis., suhu ruangan,pencahayaan
dan suara bising)
Kurangi atau eliminasifaktor-
faktor yang dapat mencetus atau
meningkatkan nyeri (mis.,
ketakutan, kelelahan, keadaan
monoton, dan kurang
pengetahuan)
Pilih dan implementasikan
tindakan yang beragam (mis.,
farmakologi, nonfarmakologi,
interpersonal) untuk memfasilitasi
penurunan nyeri sesuai kebutuhan
Dorong pasien untuk memonitor
nyeri dan menangani nyerinya
dengan tepat
Ajarkan penggunaan teknik non
farmaklogi
(seperti,biofeedback,TENS,
hypnosiss,relaksasi,bimbingan
antisipasi, terapi musik, terapi
bermain, terapi aktivitas,
akupressur, aplikasi panas/dingin
dan pijatan, sebelum, sesudah dan
jika memungkinkan ketika
melakukan aktivitas yang
menimbulkan nyeri sebelum nyeri
terjadi atau meningkat, dan
bersamaan dengan tindakan
penurun rasa nyeri lainnya)
Kolaborasi dengan pasien
keluarga dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan
penurun nyeri nonfarmakologi
sesuai kebutuhan
Berikan individu penurun nyeri
yang optimal dengan peresepan
analgesic
Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
3. Resiko infeksi Setelah diberikan asuhanPencegahan Infeksi
berhubungan dengan efek keperawatan selama … Monitor hasil pemeriksaan darah
prosedur invasif x...jam diharapkan tidak lengkap (WBC, granulosit)
ada tanda-tanda infeksi Pertahankan kondisi aseptic pada
dengan kriteria hasil: luka
Tingkat infeksi Lakukan perawatan luka secara
Tidak ada kemerahan berkala dengan teknik steril
Tidak terjadi Monitor adanya tanda-tanda
hipertermia infeksi (kemerahan, adanya pus,
Tidak ada nyeri bau, pembengkakan, peningkatan
Tidak ada suhu)
pembengkakan Kolaborasi pemberian antibiotic
Suhu dalam batas (topical, oral)
normal (36,5o – Berikan intake nutrisi yang
37oC) adekuat (tinggi kalori tinggi
Tekanan darah dalam protein)
batas normal (120/80 Ajarkan klien dan keluarga
mmHg) mengenai tanda-tanda infeksi
Nadi dalam batas Ajarkan klien dan keluarga
normal (60-100 bagaimana menghindari terjadinya
x/mnt) infeksi
RR dalam batas Ajarkan klien untuk tetap
normal (12-20 x/mnt) mempertahankan hygiene tubuh
WBC dalam batas Anjurkan klien untuk bedrest
normal (4,6 – 10,2 Hentikan prosedur invasive
k/ul) lakukan pemeriksaan dalam bila
Klien mampu perlu untuk mencegah terjadinya
menyebutkan factor- infeksi.
faktor resiko
penyebab infeksi
Klien mampu
memonitor
lingkungan penyebab
infeksi
Klien mampu
memonitor tingkah
laku penyebab
infeksi
Tidak terjadi paparan
saat tindakan
keperawatan
4. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan.
5. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhur dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee of Trauma. 2004. Advanced Trauma Life Support
Seventh Edition. Indonesia: Ikabi
Ansjoer Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.
Aziz, A., Bota, R. and Ahmed, M. (2014) ‘Frequency and pattern of intra-abdominal injuries
in patients with blunt abdominal trauma’, Journal of Trauma & Treatment, 3(3), p.
196. doi: 10.4172/2167-1222.1000196.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Garcia, C., Fuster, J., Bombuy, E., Sanchez, S., Ferrer, J. and Garcia-valdecasas, J. C. (2010)
‘Treatment of Liver Trauma : Operative or Conservative Management’,
Gastroenterology Research, 3(1), pp. 9–18. doi: 10.4021/gr2009.02.165w.
Ignatavicius & Workman. 2006. Medical Surgical Nurshing Critical Thingking For
Collaborative Care. Vol. 2 . Elsevier Sauders : Ohia.
Mehta N, Babu S, Venugopal K. 2014. An Experience with Blunt Abdominal Trauma:
Evaluation, Management and Outcome. Clin Pract.
Sander, M. A. (no date) ‘Kasus Serial Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen’, pp. 18–28.
Schurink G (1997) ‘The value of physical examination in the diagnosis of patients with
blunt abdominal trauma: a retrospective study’, Injury, 28(28), pp. 261–265.
Sjamsuhidajat, R dan Win de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Smeltzer, S.C., Bare,B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner 7 Suddarth.
Vol. 2 E/8. Jakarta: EGC.
van der Vlies, C. H., Olthof, D. C., Gaakeer, M., Ponsen, K. J., van Delden, O. M. and
Goslings, J. C. (2011) ‘Changing patterns in diagnostic strategies and the treatment of
blunt injury to solid abdominal organs.’, International journal of emergency medicine.
Springer Open Ltd, 4(1), p. 47. doi: 10.1186/1865-1380-4-47