Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN


TRAUMA ABDOMEN

OLEH:
NI PUTU SUGIARTINI
NIM: P07120018098

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN
KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN
TRAUMA ABDOMEN RUPTUR HEPAR

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi trauma abdomen
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).

2. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan,
deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma
ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak,
trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen. Trauma pada
abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau
pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan,
ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50%
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di
dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan
oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada
organ internal diabdomen.

3. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara
umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan.
Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila
usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga
akan mengakibatkan peradangan atau infeksi
b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen
menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar, ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum, skrotum atau labia
pada fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

4. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu
mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma
kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat
merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan
ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil),
dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan
(shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush
injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap
belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar.
Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma
decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian
yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur
hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen.
Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul,
organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan
usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak
dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang
lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan
berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar
(40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak
menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya
perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun
kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan
tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon
(40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen
dan trauma pada isi abdomen.
a. Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi
karena trauma penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner
(2002) terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera
pada dinding abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli
bedah.
3) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma,
atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).

5. Patofisiologi
a. Patofisologi Trauma Tumpul Abdomen
Patofisiologi cedera intraabdomen pada trauma tumpul abdomen
berhubungan dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami
trauma dengan energi yang tinggi akan mengalami goncangan fisik yang berat
sehingga menyebabkan cedera organ. (Mehta, Babu and Venugopal, 2014).
Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
1. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding
abdomen anterior dan posterior
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan
dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi
menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini
terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti
pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik
(Guillion, 2009).
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya
menyebabkan cedera organ berongga. Berat ringannya perforasi
tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera 13
4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang
(fraktur pelvis, fraktur tulang iga)
5. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat
menyebabkan cedera diafragma bahkan cedera kardiak.

Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya


organ intraabdomen yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ)
seperti hati, limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen
sering disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang
ditabrak kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan benda
tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung abdomen
dengan objek padat yang mengakibatkan robeknya subscapular organ padat
seperti hati atau limpa. Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan
robeknya organ dan pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati
atau arteri renalis). Atau bisa karena kompresi eksternal yang menyebabkan
peningkatan intraluminal yang menyebabkan cedera organ berongga (usus halus).
Trauma tumpul abdomen yang mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar
40% - 55%, hati 35% - 45% dan usus halus 5%-10%. (Avini et al., 2011)
Berdasaran jenis organ yang cedera, organ intraabdomen dapat dibagi
menjadi dua yaitu organ padat dan organ berongga. Yang termasuk dalam organ
padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa, pankreas, buli buli, organ genetalia
interna pada wanita, dan diafragma, sedangkan yang termasuk organ berongga
yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon, rectum), ureter, dan saluran
empedu. Beberapa cedera organ yang sering terjadi pada pasien yang mengalami
trauma tumpul abdomen antara lain:
1. Cedera Hati/Hepar
Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung
dengan baik, namun organ tersebut sering mengalami cedera selain organ limpa.
Cedera organ hati paling utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan
kapsulnya yang tipis yang disebut Glisson capsule. Cedera organ hati umumnya
cedera akibat trauma tumpul. Hati menempati hampir seluruh regio hypochondrica
14 dextra, sebagian di epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio
hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria. Hati dapat mengalami cedera
dikarenakan trauma tumpul ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ yang
sering mengalami laserasi, sedangkan kantong empedu sangat jarang mengalami
trauma dan sulit untuk didiagnosis.
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari
15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati
yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada
hati, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun
penyakitpenyakit hati lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat
ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma (Garcia et al., 2010).
2. Cedera Limpa/Lien
Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang
merupakan jaringan limfe (limfoid) terbesar dari tubuh. Limpa berukuran kira-kira
sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di bawah hemidiafragma kiri. Proyeksi
letak limpa pada abdomen yaitu berada di hypocondriaca sinistra. Organ ini
terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel pada permukaan bawah
diafragma dan terlindung oleh lengkung iga. Sumbu panjangnya terletak
sepanjang iga 10. Sejajar bagian posterior iga 9, 10, 11 dan terpisah dari
diaphragma dan pleura (Sander, 2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat terjadi
trauma tumpul abdomen. Cedera limpa merupakan kondisi yang membahayakan
jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka
thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu
tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua
material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah
rusak.
Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah
putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga
abdomen. Cedera pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri
atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan cedera
limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil (Alonso et
al., 1997).
Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung pada ada
tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan ada atau
tidaknya kontaminasi rongga peritoneum.
Perdarahan hebat akibat cedera limpa dapat mengakibatkan syok
hipovolemik berat. Hipotensi atau takikardi merupakan tanda yang menunjukan
adanya cedera limpa. Tanda-tanda lain adanya cedera pada limpa yaitu : riwayat
trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh nyeri abdomen terutama kuadran kiri
atas, datang dengan gambaran menyerupai tumor intra abdomen bagian kiri atas
yang nyeri apabila di tekan disertai tanda anemia sekunder. Elevasi tungkai di
tempat tidur atau pada posisi Trendelenberg dapat menimbulkan nyeri pada
puncak bahu kiri yang disebut Kehr sign. Ciri diagnostik lain termasuk:
peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000, foto
rontgen yang memperlihatkan fraktur tulang iga kiri bawah, peninggian
diafragma, letak lambung bergeser mendesak ke arah garis tengah, gambaran tepi
limpa menghilang pada pemeriksaan CT scan (van der Vlies et al., 2011).
3. Cedera usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan gejala „burning epigastric pain‟ yang diikuti dengan nyeri tekan
dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus
akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya.
Sedangkan perdarahan pada duodenum biasanya bergejala adanya nyeri pada
bagian punggung.
4. Cedera Ginjal
Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah ginjal.
Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal
dapat menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar
trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan
dalam pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi
angka intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal.
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas atau
laserasi dan hematoma pada regio flank, lower thorax dan upper abdomen.
Penemuan lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah,
atau distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal
(Indradiputra and Hartono, 2016)
5. Cedera Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus
diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Cedera pankreas harus dicurigai
setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada benturan
18 stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas
memiliki tingkat kematian yang tinggi. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri
pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung.
Beberapa jam setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial.
Diagnosis dengan penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu
dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih
spesifik (Aziz, Bota and Ahmed, 2014).
6. Cedera Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan
morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat pasien
datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter
bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska trauma. Mekanisme trauma
tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari deselerasi dan
akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada daerah
lumbal 2 dan 3.
Gerakan tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun
pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction.
Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan
gambaran nyeri pada flank sampai ke perut bawah. (Lynch et al., 2005)
6. Pathway

Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus → Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Kekurangan volume Nutrisi kurang dari
cairan kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

(Sumber : Mansjoer, 2001)


7. Komplikasi
a) Trombosis Vena
b) Emboli Pulmonar
c) Stress ulserasi dan perdarahan
d) Pneumonia
e) Tekanan ulserasi
f) Atelektasis
g) Sepsis

8. Pemeriksaan diagnostik
a. Trauma Tumpul
1. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 %
sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh
team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan
trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai
dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG
ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya
indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain
adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka
atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih.
Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan
supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya
ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah
segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,
melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal
menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar
(>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer
Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara
menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan
diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 :
149-150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau
serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih
darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3
atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di
tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal
yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan
cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat
digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang
secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik
maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi
DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
i. Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di
diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
b. Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan
struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan
CT scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL
pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik
(kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang
tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL
maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun
DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-
mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh
ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun
intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
c. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah
tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas
dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum,
yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan
laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan
cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun
untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien
yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk
maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya
peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto
abdomen tidur.
3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
i. Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan
urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai
adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan
dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc
di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang
diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik
dengan sedikit tarikan pada pelvis.
ii. Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan
sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300
cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas
pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau
sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan,
atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan
foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan
(CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148)
iii. CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras
dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini
dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi
bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau
dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang
disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila
akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu
sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal,
thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun
parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi
keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan +
kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang
mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
iv. Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya
retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens)
tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi
dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT
Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper
GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus
dilakukan.(American College of Surgeon Committee of
Trauma,2004:149).
d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
4) Koagulasi : PT,PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7) CT Scan
8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
9) Scan limfa
10) Ultrasonogram
11) Peningkatan serum atau amylase urine
12) Peningkatan glucose serum
13) Peningkatan lipase serum
14) DPL (+) untuk amylase
15) Penigkatan WBC
16) Peningkatan amylase serum
17) Elektrolit serum
18) AGD
(ENA,2000:49-55)
9. Penatalaksanaan gawat darurat
a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka
trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan
prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka
dan bersihkan jalan napas.
1. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik „head tilt chin lift‟ atau menengadahkan kepala dan mengangkat
dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya
jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
2. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara „lihat-dengar-rasakan‟ tidak lebih dari 10 detik untuk
memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat
tidaknya pernapasan).
3. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-
sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak
ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio
kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali
kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan
kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga
tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban
steril.
4. Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.
b. Hospital
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli
bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk
menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka
masuk dan luka keluar yang berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rontgen
b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara
intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk
menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing, contohnya pada :
- fraktur pelvis
- trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus
seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan
multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal
di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang
keduanya memerlukan laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).

10. Penatalaksanaan Medis


a. Penatalaksanaan Non-Operatif
Merupakan pilihan pertama pada penderita dengan hemodinamik stabil.
Angka keberhasilan yang tinggi tidak tergantung pada derajat keparahan
berdasarkan CT scan, atau derajat hemoperitoneum yang terjadi. Keuntungan
dari penatalaksanaan non-operatif adalah menghindari terjadinya laparotomi
non-terapetik beserta komplikasinya, mengurangi kebutuhan transfusi, dan
komplikasi intra-abdominal yang lebih sedikit.
CT abdomen merupakan studi yang paling sensitif dan spesifik dalam
mengidentifikasi dan menentukan derajat kerusakan hepar dan lien. Adanya
kontras yang bebas atau perdarahan yang sedang berlangsung merupakan
indikasi untuk angiografi dan embolisasi.
Penatalaksanaan non-operatif meliputi observasi tanda vital,
pemeriksaan fisik, dan nilai laboratorium yang dilakukan secara serial. Bila
salah satu memburuk, maka hal tersebut merupakan indikasi untuk intervensi
pembedahan.
b. Penatalaksanaan Operatif
Tatalaksananya meliputi tiga upaya dasar, yaitu mengatasi perdarahan,
mencegah infeksidengan debrideman jaringan hati yang avaskuler dan
penyaliran, serta rekonstruksi saluran empedu. Penghentian untuk sementara
waktu dilakukan dengan cara penekanan manual langsung daerah yang
berdarah dengan tampon, atau dengan klem vaskuler atraumatik di daerah
foramen winslow. Penutupan ligamentum hepatoduodenale di dinding foramen
winslow dengan jari atau klem vaskuler, yang disebut perasat Pringle
menyebabkan a. hepatika dan v. porta tertutup sama sekali. Jaringan hati dapat
menahan keadaan iskemia sampai 60 menit apabila dilakukan oklusi itu.
Waktu tersebut umumnya cukup untuk melakukan resusitasi dan
menghentikan perdarahan secara definitive
Upaya kedua adalah mencegah atau mengatasi infeksi dengan
memasang penyalir ektern karena penyebab infeksi adalah kebocoran
empedu dan jaringan nekrotik. Kadang di pasang penyalir T ke dalam duktus
koledokus dengan tujuan dekompresi dan mencegah pembuntuan akibat
edema.
Upaya ketiga adalah rekonstruksi saluran empedu. Karena kerusakan
empedu yang besar tidak mungkin sembuh spontan maka tempat kebocoran
harus dicar dan dilakukan rekonstruksi.
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pasien Dengan
Trauma Abdomen
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Pada identitas pasien yang perlu di kaji yaitu nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, agama, alasan masuk dan diagnose medis .
b. Primary Survey
1) Airway:
Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau obstruksi.
2) Breathing:
Memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur, tidak ada
dyspnea, tidak ada napas cuping hidung, dan suara napas vesikuler,
3) Circulation:
Kaji tingkat kesadaran pasien , perdarahan (internal/eksternal), CRT,
tekanan darah, nadi karotis, dan akral perifer.
4) Disability:
Kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila adanya
diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis. Salah satu cara
sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah dengan metode AVPU:
A : alert (sadar)
V : respon terhadap rangsang vokal(suara)
P : respon terhadap rangsang nyeri(pain)
U : unresponsive ( tidak ada respon)
c. Secondary Survay
1) Riwayat Kesehatan
 Riwayat Kesehatan Dahulu
Menanyakan apakah pasien pernah mengalami trauma abdomen
rupture hepar sebelumnya atau tidak , dan riwayat pengobatan.
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Menanyakan keluhaan pasien saat ini, dan penyebab terjadinya
trauma.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
Menanyakan apakah pasien punya riwayat penyakit keturunan seperti
DM, Hipertensi, Asma.
2) Fokus Asesment
Kepala : Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan
mulut. Temuan yang dianggap kritis:Pupil tidak simetris,
midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
Leher : lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena
jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit
Dada : Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot
asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap
kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan
gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang atau melemah,
gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak
adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris).
Abdomen : Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan
auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan
yang dianggap kritis ditemukannya penurunan bising usus,
nyeri tekan pada abdomen bunyi dullness, kekauan dan spasme
pada perut karena akumulasi darah atau cairan.
Pelvis : Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan.
Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan
dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah pubik
Extremitas : Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik,
fungsi sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah
atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau menghilangnya
fungsi sensorik dan motorik.
Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow
Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.
3) AMPLE
Allergy : ada alergi/tidak
Medication : ada medikasi sebelumnya/tidak
Past Medical History : ada riwayat penyakit/tidak
Last Meal : ada makan terakhir/tidak
Event : lingkungan yang berhubungan dengan kejadian

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Syok dibuktikan dengan perdarahan
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma abdomen)
c. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive

3. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI (SIKI)
KEPERAWATAN KRITERIA
(SDKI) HASIL (SLKI)
1. Resiko Syok Setelah dilakukan Pencegahan syok
dibuktikan dengan tindakan Observasi:
perdarahan keperawatan  Monitor status pulmonal
....x… jam, (frekuens dan kekuatan nadi,
diharapkan syok frekuensi nafas, TD)
tidak terjadi  Monitor status oksigenasi
dengan  Monitor tingkat
kesadaran/pupil
KH: Terapeutik
Tingkat Syok  Berikan oksigen untuk
□ Kekuatan nadi mempertahankan saturasi O2
meningkat >94%
□ Tidak ada  Pasang jalur IV
penurunan Kolaborasi
kesadaran  Kolaborasi pemberian IV
□ Akral hangat
 Kolaborasi pemberian
□ Tidak pucat transfusi darah.
□ Frekuensi Nadi
normal
□ Frekuensi nafas
membaik
2. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawatan  Lakukan pengkajian nyeri
agen pencedera fisik ...x...... jam diharapkan komprehensif yang meliputi
(trauma abdomen) nyeri akut dapat lokasi, karakteristik,
berkurang dengan onset/durasi, frekuensi, kualitas,
criteria : intensitas atau beratnya nyeri
Tingkat nyeri dan factor pencetus
Kriteria Hasil :  Pastikan perwatan analgesic
 idak gelisah bagi pasien dilakukan dengan
 Tidak tampak pemantauan yang ketat
ekspresi wajah  Gunakan strategi komunikasi
kesakitan terapeutik untuk mengetahui
 Frekuensi napas pengalaman nyeri dan
dalam batas sampaikan penerimaan pasien
normal (dewasa terhadap nyeri
: 16-24 x/menit)  Gali bersama pasien dan
 Tekanan darah keluarga mengenai factor-faktor
normal (dewasa yang dapat menurunkan atau
: 120/80mmHg) memperberat nyeri
 Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
 Kendalikan factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (mis., suhu
ruangan,pencahayaan dan suara
bising)
 Kurangi atau eliminasifaktor-
faktor yang dapat mencetus atau
meningkatkan nyeri (mis.,
ketakutan, kelelahan, keadaan
monoton, dan kurang
pengetahuan)
 Pilih dan implementasikan
tindakan yang beragam (mis.,
farmakologi, nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri
sesuai kebutuhan
 Dorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan
tepat
 Ajarkan penggunaan teknik non
farmaklogi
(seperti,biofeedback,TENS,
hypnosiss,relaksasi,bimbingan
antisipasi, terapi musik, terapi
bermain, terapi aktivitas,
akupressur, aplikasi
panas/dingin dan pijatan,
sebelum, sesudah dan jika
memungkinkan ketika
melakukan aktivitas yang
menimbulkan nyeri sebelum
nyeri terjadi atau meningkat,
dan bersamaan dengan tindakan
penurun rasa nyeri lainnya)
 Kolaborasi dengan pasien
keluarga dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan
penurun nyeri nonfarmakologi
sesuai kebutuhan
 Berikan individu penurun nyeri
yang optimal dengan peresepan
analgesic
 Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
3. Resiko infeksi Setelah diberikan Pencegahan Infeksi
berhubungan dengan asuhan keperawatan Monitor hasil pemeriksaan
efek prosedur invasif selama …x...jam darah lengkap (WBC,
diharapkan tidak ada granulosit)
tanda-tanda infeksi Pertahankan kondisi aseptic
dengan kriteria hasil: pada luka
Tingkat infeksi Lakukan perawatan luka secara
Tidak ada berkala dengan teknik steril
kemerahan Monitor adanya tanda-tanda
Tidak terjadi infeksi (kemerahan, adanya pus,
hipertermia bau, pembengkakan,
Tidak ada nyeri peningkatan suhu)
Tidak ada Kolaborasi pemberian antibiotic
pembengkakan (topical, oral)
Suhu dalam batas Berikan intake nutrisi yang
normal (36,5o – adekuat (tinggi kalori tinggi
37oC) protein)
Tekanan darah Ajarkan klien dan keluarga
dalam batas mengenai tanda-tanda infeksi
normal (120/80 Ajarkan klien dan keluarga
mmHg) bagaimana menghindari
Nadi dalam batas terjadinya infeksi
normal (60-100 Ajarkan klien untuk tetap
x/mnt) mempertahankan hygiene tubuh
RR dalam batas Anjurkan klien untuk bedrest
normal (12-20 Hentikan prosedur invasive
x/mnt) lakukan pemeriksaan dalam bila
WBC dalam batas perlu untuk mencegah
normal (4,6 – 10,2 terjadinya infeksi.
k/ul)
Klien mampu
menyebutkan
factor-faktor resiko
penyebab infeksi
Klien mampu
memonitor
lingkungan
penyebab infeksi
Klien mampu
memonitor tingkah
laku penyebab
infeksi
Tidak terjadi
paparan saat
tindakan
keperawatan

4. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan.

5. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhur dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee of Trauma. 2004. Advanced Trauma Life Support
Seventh Edition. Indonesia: Ikabi
Ansjoer Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.
Aziz, A., Bota, R. and Ahmed, M. (2014) „Frequency and pattern of intra-abdominal injuries
in patients with blunt abdominal trauma‟, Journal of Trauma & Treatment, 3(3), p.
196. doi: 10.4172/2167-1222.1000196.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Garcia, C., Fuster, J., Bombuy, E., Sanchez, S., Ferrer, J. and Garcia-valdecasas, J. C. (2010)
„Treatment of Liver Trauma : Operative or Conservative Management‟,
Gastroenterology Research, 3(1), pp. 9–18. doi: 10.4021/gr2009.02.165w.
Ignatavicius & Workman. 2006. Medical Surgical Nurshing Critical Thingking For
Collaborative Care. Vol. 2 . Elsevier Sauders : Ohia.
Mehta N, Babu S, Venugopal K. 2014. An Experience with Blunt Abdominal Trauma:
Evaluation, Management and Outcome. Clin Pract.
Sander, M. A. (no date) „Kasus Serial Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen‟, pp. 18–28.
Schurink G (1997) „The value of physical examination in the diagnosis of patients with
blunt abdominal trauma: a retrospective study‟, Injury, 28(28), pp. 261–265.
Sjamsuhidajat, R dan Win de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Smeltzer, S.C., Bare,B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner 7 Suddarth.
Vol. 2 E/8. Jakarta: EGC.
van der Vlies, C. H., Olthof, D. C., Gaakeer, M., Ponsen, K. J., van Delden, O. M. and
Goslings, J. C. (2011) „Changing patterns in diagnostic strategies and the treatment of
blunt injury to solid abdominal organs.‟, International journal of emergency medicine.
Springer Open Ltd, 4(1), p. 47. doi: 10.1186/1865-1380-4-47

Anda mungkin juga menyukai