Disusun Oleh :
CINDY DENTI P.
NIM. 150070300113019
PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA ABDOMEN
A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Trauma adalah penyebab kematian ketiga di Amerika serikat setelah
aterosklerosis dan kanker. Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang
mengakibatkan cedera. Ada banyak sekali macam trauma sesuai dengan dengan
jenis yang terjadi pada tubuh kita. Salah satu trauma adalah trauma abdomen.
Trauma abdomen adalah trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen
yang menyebabkan \ timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di
dalamnya.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen
yang
dapat
menyebabkan
perubahan
fisiologi
sehingga
terjadi
gangguan
atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
3. ETIOLOGI
Penyebab trauma abdomen berdasarkan klasifikasinya:
1) Penyebab trauma tumpul abdomen:
a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil)
c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi
cedera yang tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi.. insiden komplikasi
berkaitan dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden
yang berhubungan dari luka tusuk. Khususnya cedera tumpul yang mengenai
hati, limpa, ginjal, atau pembuluhdarah, yang dapat menimbulkan kehilangan
darah substansial kedalam orgam perineum (Brunner & Suddarth, 2001).
2) Penyebab truma tembus abdomen:
a. Luka akibat terkena tembakan
b. Luka akibat tikaman benda tajam
c. Luka akibat tusukan
4. PATOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor
faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi
berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan
tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan
tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari
permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada
elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan
jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah
kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan.
Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan
dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan
dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal
tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa
mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat
oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman
yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari
5. MANIFESTASI KLINIS
iritasi
peritoneum
Demam
Anoreksia
Mual dan muntah
Takikardi
Peningkatan suhu tubuh
Laserasi, memar,ekimosis
Hipotensi
Tidak adanya bising usus
Hemoperitoneum
Mual dan muntah
Adanya tanda Bruit (bunyi
abnormal pd auskultasi pembuluh
C. Manifestasi Klinis secara umum menurut (Hudak & Gallo, 2001), yaitu :
1) Nyeri Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat.
Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat
ditekan dan nyeri lepas.
2) Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga
peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
3) Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang
disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi
rekumben.
4) Mual dan muntah
5) Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh
kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi
D. Berdasarkan jenis trauma (FKUI, 1995) :
1. Trauma tembus trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritoneum
Kontaminasi bakteri
Kematian sel
Kehilangan darah
Memar / jejas pada dinding
perut
Kerusakan organ organ
bentuk
pisau
dan
cara
memegang
alat
penusuk
tersebut.
(Pusponegoro,2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena
trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat
trauma.1 Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis
meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif
ataupun negatif didokumentasi dengan baik pada status. (American College of
Surgeons. 2004)
h) Pemeriksaan vagina
Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur pelvis ataupun
i)
luka tusuk.
Pemeriksaan glutea
Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan glutea. Luka tusuk
di daerah ini biasanya berhubungan (50%) dengan cedera intraabdominal.
3. Intubasi
Bilamana problem airway, breathing, dan circulation sudah dilakukan diagnosis dan
terapi, sering dilakukan pemasangan kateter gaster dan urine sebagai bagian dari
resusitasi.
A. Gastric tube
Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa resusitasi adalah
untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster sebelum melakukan
DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya
darah pada NGT menunjukkan kemungkinan adanya cedera esofagus ataupun
saluran gastrointestinal bagian atas bila nasofaring ataupun orofaringnya aman.
Perhatian: gastric tube harus dimasukkan melalui mulut (orogastric) bila ada
kecurigaan fraktur tulang fasial ataupun fraktur basis cranii agar bisa mencegah
tube masuk melalui lamina cribiformis menuju otak.
B. Kateter urin
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin, dekompresi buli-buli
sebelum melakukan DPL, dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu
indeks perfusi jaringan. Hematuria menunjukkan adanya cedera traktus
urogenitalis. Perhatian: ketidak mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak
stabil, darah pada metus urethra, hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum
maupun prostat yang letaknya tinggi pada colok dubur menjadi petunjuk agar
dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa diyakinkan tidak adanya
rupture urethra sebelum pemasangan kateter. Bilamana pada primary survey
maupun secondary survey kita ketahui adanya robek uretra, mungkin harus
dilakukan pemasangan kateter suprapubik oleh dokter yang berpengalaman.
4. Pengambilan Sampel Darah Dan Urin
Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya adalah
menentukan tipe darah. Pada pasien yang hemodinamiknya stabil adalah untuk
penentuan tipe dan crossmatch bagi yang hemodinamiknya tidak stabil. Bersamaan
dengan itu dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, kalium + glukosa + amylase
(pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah.
Cara lain adalah dengan periksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama
bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun
tulang pelvisnya. (American College of Surgeons. 2004).
Pada
trauma
cedera
pelana
seperti
jatuh
di
atas
sepeda.
(Pusponegoro,2011).
3) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera sistem
urinaria bias diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan
derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya
adalah
pemeriksaan
IVP.2
Pada
penderita
dengan
hematuria
yang
obat-obatan.
Perubahan sensasi akibat trauma spinal.
Cedera organ yang berdekatan dengan iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas.
Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang
agak
lama,
misalnya
pasien
menjalani
pembiusan
untuk
cidera
Kontaindikasi
relatif
lainnya
antara
lain
operasi
abdomen
Bisa
dipakai
teknik
terbuka
atau
tertutup
(Seldinger)
di
infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis
maupun ibu hamil lebih baik digunakan supraumbilikal guna mencegah
terjadinya hematoma pelvis atau membahayakan uterus.
Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran maupun
empedu yang keluar melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah
segar (lebih dari 10 cc) atau cairan geses, dilakukan lavase dengan 1000 cc (10
cc/kgBB) larutan Ringer Laktat. Sesudah cairan tercampur dengan cara
menekan maupun melakukan log-roll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di
laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal, serat
dinyatakan positif apabila dijumpai eritrosit lebih dari 100.000 /mm3, leukosit >
500/mm3 atau pengecatan gram positif untuk bakteri.
Ultrasound FAST memberikan cara yang cepat, noninvasif, akurat, dan
murah untuk mendeteksi hemoperitoneum dan dapat diulang kapan pun.
Ultrasound juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside di kamar
resusitasi yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan
DPL. Faktor yang mempengaruhi penggunaannnya antara lain obesitas, adanya
udara subkutan ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya. Scanning dengan
ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum.
Dicari scan dari kantung perikard, fossa hepatorenalis, fossa splenorenalis serta
cavum Douglas. Sesudah scan pertama, idelanya dilakukan lagi scan kedua
atau scan kontrol 30 menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat
pertambahan
hemoperitoneum
pada
pasien
dengan
perdarahan
yang
berangsur-angsur.
CT Scan merupakan prosedur diagnostik di mana kita perlu memindahkan
pasien ke tempat scanner, memberikan kontras intravena untuk pemeriksaan
abdomen atas, bawah serta pelvis. Akibatnya, dibutuhkan banyak waktu dan
hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil, di mana kita tidak
perlu segera melakukan laparatomi. Dengan CT scan kita memperoleh
keterangan
mengenai
organ
yang
mengalami
kerusakan
dan
tingkat
kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, atau alergi terhadap
bahan kontras yang dipakai bilamana bahan kontras non ionik tidak tersedia.
Tabel Perbandingan prosedur diagnostik DPL, FAST, serta CT scan
Indikasi
Keuntungan
DPL
Menunjukkan
FAST
darah Menunjukkan
bila hipotensif
bila hipotensi
Deteksi
dini,
pasien,
cepat
semua Deteksi
dini,
98% pasien,
CT Scan
cairan Menunjukkan
kerusakan organ bila
tensi normal
semua Lebih spesifik
untuk
tidak
transport
Invasif,
rendah,
butuh tidak
membutuhkan
transport
spesifisitas Bergantung
tidak
untuk
diafragma
retroperitoneal
bisa distorsi
oleh
operator, Memakan
udara dibutuhkan
untuk
waktu,
transpor,
trauma
pankreas
7. Pemeriksaan diagnostik pada trauma tajam adalah sebagai berikut: (American College
of Surgeons. 2004)
A. Cedera toraks bagian bawah
Untuk pasien asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan
struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun foto toraks
berulang, torakoskopi atau laparaskopi, serta pemeriksaan CT scan.
Dengan pemeriksaan tersebut kita masih bisa menemukan adanya hernia
diafragma sebelah kiri karena luka tusuk torakoabdominal sehingga untuk luka
lain diperlukan eksplorasi bedah. Untuk luka tembak torakoabdominal, pilihan
terbaik adalah laparatomi.
B. Eksplorasi lokal luka dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan DPL pada
luka tusuk abdomen depan
Sebanyak 55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan
mengalami hipotensi, peritonitis ataupun eviserasi omentum maupun usus halus.
Untuk pasien seperti ini harus segera dilakukan laparatomi. Untuk pasien lain,
sesudah konfirmasi adanya luka tusuk tembus peritoneum dilakukan eksplorasi
lokal pada luka sampai laparatomi. Laparatomi merupakan salah satu pilihan
relevan untuk semua pasien. Untuk pasien yang relatif asimptomatik, pilihan
diagnostik non-invasif adalah pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam,
DPL, maupun laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial
membutuhkan sumber daya manusia yang besar. Dengan DPL bisa diperoleh
diagnosis lebih dini pada pasien asimptomatik dan akurasi mencapai 90% bila
menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul. Laparaskopi diagnostik
bisa mengkonfirmasi dan menyingkirkan tembusnya peritoneum tetapi kurang
bermakna untuk mengenali cedera tertentu.
C. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan CT dengan double atau triple
kontras pada cedera fisik maupun punggung
Ketebalan otot pinggang maupun punggung melindungi organ visera di
bawahnya pada luka tusuk maupun luka tembak. Walaupun laparatomi merupakan
pilihan yang relevan, untuk pasien asimptomatik terdapat pilihan diagnostik lain yaitu
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple kontras atau DPL. Dengan
pemeriksaan fisik diagnostik serial untuk pasien asimptomatik yang menjadi
simptomatik, diperoleh akurasi terutama untuk deteksi cedera retroperitoneal
maupun intraperitoneal di belakang linea aksilaris anterior.
CT scan dengan kontras memakan banyak waktu serta membutuhkan
ketelitian untuk memeriksa bagian kolon retroperitoneal pada sisi luka tusuk.
Ketajamannya sebanding dengan pemeriksaan fisik diagnostik serial, tetapi
memungkinkan deteksi yang lebih dini.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Azlina (2013) penatalaksanaan medis trauma abdomen yaitu:
A. Penanganan Awal
dalam
keadaan
syok
tidak
boleh
dilakukan
tindakan
selain
l.
dikeluarkan
m. Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan
n. Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan dengan
pembedahan
C. Penatalaksanaan Kedaruratan
1) Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai
indikasi.
a) Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan
menimbulkan hemoragi masif.
b) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem
saraf.
c) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
d) Gunting baju dari luka.
e) Hitung jumlah luka.
f) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
2) Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen,
khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
muntah.
Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan
7)
8)
status neurologik.
Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian
9)
infeksi.
trauma
dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari
lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi
nosokomial).
12) Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan
darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.
8. KOMPLIKASI
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi trauma abdomen terdiri atas::
Trombosis Vena
Emboli pulmonar
Stres ulserasi dan perdarahan
Pneumonia
Tekanan ulserasi
Atelektasis
Sepsis
Pankreas:
dan perdarahan
Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis
pankreatitis,
Pseudocyta
formasi,
fistula
pankreas-duodenal,
dan syok
Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok
Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)
B. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Dalam pengkajian pada trauma abdomen
harus
berdasarkan
prinsip-prinsip
a. Sistem Pernapasan
Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta
jalan napasnya.
Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan
tertinggal.
Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.
b. Sistem cardivaskuler (B2 = blood)
Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah
abdominal dan adakah anemis.
Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana
suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung
paradoks.
c. Sistem Neurologis (B3 = Brain)
Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak.
Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS).
d. Sistem Gatrointestinal (B4 = bowel)
Pada inspeksi :
- Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
- Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum
abdomen.
- Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
- Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan
adanya abdomen iritasi.
Pada palpasi :
- Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
- Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
- Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
Pada perkusi :
- Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
- Kemungkinan-kemungkinan adanya cairan/udara bebas dalam
cavum
abdomen.
Pada Auskultasi :
- Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau
menghilang.
Pada rectal toucher :
- Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
- Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
e. Sistem Urologi (B5 = bladder)
Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi
pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
f. Sistem Muskuloskeletal (B6 = Bone)
Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah
pelvis.
Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.
3. Pemeriksaan Penunjang :
a. Radiologi :
Foto BOF (Buick Oversic Foto)
Bila perlu thoraks foto.
USG (Ultrasonografi)
b. Laboratorium :
Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi)
Disini terpenting Hb serial jam sekali sebanyak 3 kali.
Urine lengkap (terutama ery dalam urine)
c. Elektro Kardiogram
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun.
B. ANALISA DATA
No Data
1
DO :
- Trauma panggul
- Ada asites
DS :
- Klien mengatakan diare
- Klien muntah muntah
- Klien
mengatakan
mengalami dehidrasi
- Mempunyai
riwayat
diabetes insipidus
Etiologi
Trauma
(kecelakaan)
tekanan intra
abdomen
terjepitnya organorgan abdomen
sering
penyakit
Diagnosa
Resiko Gangguan
keseimbangan
cairan
dan
elektrolit
Trauma organ
Perforasi lapisan organ
abdomen kontusio,
laserasi, jejas,
hematom
Penyebaran bakteri /
iritan kedalam cavum
peritoneum
Ileus peristaltic
aktivitas peristaltic
usus
Usus atoni &
meregang
Asorbsi terganggu &
output cairan
DO :
- Perubahan tekanan darah
- Edema
Trauma
(kecelakaan)
tekanan intra
Gangguan perfusi
jaringan
kelembapan, sensasi,
suhu)
DS :
- Klien mengatakan nyeri
abdomen
terjepitnya organorgan abdomen
Trauma organ padat
berhubungan
dengan
hypovolemia
DS :
- Klien melaporkan nyeri secara
verbal
DO :
- Klien tampak gelisah
- Perubahan nafsu makan
- Perubahan tekanan darah
- Perubahan nadi
- Perubahan frekuensi nafas
- Gangguan tidur
Trauma
(kecelakaan)
tekanan intra
abdomen
terjepitnya organorgan abdomen
Nyeri berhubungan
dengan
rusaknya
jaringan lunak/organ
abdomen
DO :
- TD meningkat
- Nadi meningkat
Trauma
(kecelakaan)
tekanan intra
Cemas
berhubungan
- RR meningkat
- Klien tampak bingung
DS :
- Klien mengatakan sulit tidur
- Klien
mengatakan
badannya
gemetar
- Klien merasa nyeri di perut
- Klien merasa ketakutan
abdomen
terjepitnya organorgan abdomen
dengan pengobatan
pembedahan
Kurang
pengetahuan
(penyakit+pengob
atan)
Rasa khawatir
ansietas
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
1. Resiko Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
terputusnya pembuluh darah arteri/vena suatu jaringan (organ abdomen) yang
ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, terjadi
keseimbangan volume cairan.
Kriteria Hasil :
Cairan yang keluar seimbang , tidak didapat gejala-gejala dehidrasi.
Perdarahan yang keluar dapat berhenti, tidak didapat anemis, Hb diatas 80 gr %.
Tanda vital dalam batas normal.
Perkusi : Tidak didapatkan distensi abdomen.
Intervensi :
1. Kaji tentang cairan perdarahan yang keluar adakah gambaran klinik hipovolemik.
2. Jelaskan tentang sebab-akibat dari kekurangan cairan/perdarahan serta tindakan
yang akan dilakukan.
3. Observasi TTV dan kesadaran pasien setiap 15 menit atau 30 menit.
4. Batasi pergerakan yang tidak berguna dan menambah perdarahan yang keluar.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pelaksanaan :
Pemberian cairan infus (RL) sesuai dengan kondisi.
Pemberian transfusi bila Hb kurang dari 8 gr %.
Pemeriksaan EKG.
6. Monitoring setiap tindakan perawatan/medis yang dilakukan serta catat dilembar
observasi.
7. Monitoring cairan yang masuk dan keluar serta perdarahan yang keluar dan catat
dilembar observasi.
Intervensi :
1. Identifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta
rasa kekhawatirannya.
2. Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan
pembedahan yang akan dilakukan.
3. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
4. Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu
mengungkapkan perasaannya.
5. Observasi tanda-tanda kecemasan baik verbal dan non verbal.
6. Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan
prosedur.
7. Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic.
Evaluasi
1. Diagnosa 1
S
O
A
P
2.
Diagnosa 2
S
3. Diagnosa 3
S
: nafsu makan meningkat dan TTV dalam rentang normal(TD 120/80, RR:1620, N:80-100, S : 370c )
4. Diagnosa 4
S
DAFTAR PUSTAKA
Aesculapius
2009.
Primarytraumacare.(http
EGC
://www.primarytraumacare.org/