FITRI ANDRIANI
1018031048
A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Trauma abdomen adalah trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang
menyebabkan / timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di dalamnya.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imonologi dan gangguan faal berbagai organ (Yudhautama, 2013).
2. KLASIFIKASI
Trauma abdomen ada dua macam, yaitu: penetrasi dan non penetrasi.
1) Trauma tumpul (non penetrasi)
Trauma tumpul abdomen adalah suatu trauma pada abdomen oleh karena benda
tumpul yang didasarkan hasil autoanamnesa atau alloanamnesa baik adanya jejas
maupun tanpa jejas, tetapi didapatkan adanya tanda tanda klinis berupa rasa ketidak
nyamanan sampai rasa nyeri dibagian abdomen oleh karena perlukaan atau kerusakan
organ bagian dalam.
2) Trauma tembus (penetrasi)
Trauma tembus abdomen (luka tembak, luka tusuk) bersifat serius dan biasanya
memerlukan pembedahan. Pada cedera tembus, factor yang paling penting adalah
kecepatan peluru masuk ke dalam tubuh. Peluru kecepatan tinggi membuat kerusakan
jaringan yang sangat luas. Hamper semua luka tembak memerluka bedah eksplorasi.
Luka tusuk mungkin lebih ditangani secara konservatif. Trauma tembus abdominal
menimbulkan insiden yang tinggi dari luka terhadap organ beruang, terutama usus
halus. Hati adalah organ padat yang paling sering cedera (Brunner & Suddarth, 2001).
Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding
abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau
penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen
harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
3. ETIOLOGI
Penyebab trauma abdomen berdasarkan klasifikasinya:
1) Penyebab trauma tumpul abdomen:
a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil)
c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cedera
yang tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi.. insiden komplikasi berkaitan dengan
trauma yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden yang berhubungan dari
luka tusuk. Khususnya cedera tumpul yang mengenai hati, limpa, ginjal, atau
pembuluh darah, yang dapat menimbulkan kehilangan darah substansial kedalam
orgam perineum (Brunner & Suddarth, 2001).
4. PATOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan
lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka
beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan
tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan
kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan
karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan
disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh
juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada
benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat
melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam
beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut
dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
- Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan
dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
- Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae
atau struktur tulang dinding thoraks.
- Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek
pada organ dan pedikel vaskuler.
5. MANIFESTASI KLINIS
A. Manifestasi Klinis secara umum menurut Smeltzer (2001) :
Nyeri (khususnya karena gerakan) Demam
Nyeri tekan dan lepas (mungkin Anoreksia
menandakan iritasi peritoneum Cairan Mual dan muntah
gastrointestinal atau darah Takikardi
Distensi abdomen Peningkatan suhu tubuh
C. Manifestasi Klinis secara umum menurut (Hudak & Gallo, 2001), yaitu :
1) Nyeri Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat
timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
2) Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
3) Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
4) Mual dan muntah
5) Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh kehilangan
darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma,
kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. 1
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif
didokumentasi dengan baik pada status. (American College of Surgeons. 2004)
Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada
pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-
gejala perut.
a) Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada dinding perut
dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian
depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami
ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan,
benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan status
kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.
b) Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting
adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneum
ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya
bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang keluar,
tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda rangsangan
peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi
harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat
menentukan untuk tindakan selanjutnya.3 Cedera struktur lain yang berdekatan
seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus walaupun tidak
ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk
trauma intraabdominal. (American College of Surgeons. 2004)
c) Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda
peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi
lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada
hemoperitoneum.2 Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan
shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak
atau menghilang. (Ahmadsyah,2009)
d) Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien)
mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya,
kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang
peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang
kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan
dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus,
maupun hemoperitoneum tahap awal.
e) Evaluasi luka tusuk
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi karena
insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang tangensial
sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan
cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka tusukan pisau
biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera
intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan hemodinamik
yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan
nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang
berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu untuk
menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas iga
karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien dengan tanda
peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka tusuk di abdomen
anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini menjadi
kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur luka
diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti peritoneum tembus, pasien
mengaiami risiko lebih besar untuk cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah
menganggap ini sudah indikasi untuk melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang
sulit kita eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena
perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk
evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.
f) Menilai stabilitas pelvis
Penekanan secara manual pada sias ataupun crista iliaca akan menimbulkan rasa
nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan pada fraktur pelvis pada pasien
dengan trauma tumpul. Harus hati-hati karena manuver ini bisa menyebabkan atau
menambah perdarahan yang terjadi.
g) Pemeriksaan penis, perineum dan rektum
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya uretra.
Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan untuk melihat ada tidaknya ekimosis
ataupun hematom dengan dugaan yang sama dengan diatas. Tujuan pemeriksaan
rektum pada pasien dengan trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus sfingter,
posisi prostat (prostat yang lelaknya tinggi menyebabkan dugaan cedera uretra), dan
menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan
rektum bertujuan menilai tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena
perforasi usus.
h) Pemeriksaan vagina
Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur pelvis ataupun luka
tusuk.
i) Pemeriksaan glutea
Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan glutea. Luka tusuk di
daerah ini biasanya berhubungan (50%) dengan cedera intraabdominal.
3. Intubasi
Bilamana problem airway, breathing, dan circulation sudah dilakukan diagnosis dan
terapi, sering dilakukan pemasangan kateter gaster dan urine sebagai bagian dari
resusitasi.
A. Gastric tube
Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa resusitasi adalah
untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster sebelum melakukan DPL,
dan mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada
NGT menunjukkan kemungkinan adanya cedera esofagus ataupun saluran
gastrointestinal bagian atas bila nasofaring ataupun orofaringnya aman. Perhatian:
gastric tube harus dimasukkan melalui mulut (orogastric) bila ada kecurigaan fraktur
tulang fasial ataupun fraktur basis cranii agar bisa mencegah tube masuk melalui
lamina cribiformis menuju otak.
B. Kateter urin
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin, dekompresi buli-buli sebelum
melakukan DPL, dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu indeks perfusi
jaringan. Hematuria menunjukkan adanya cedera traktus urogenitalis. Perhatian:
ketidak mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada metus
urethra, hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum maupun prostat yang letaknya
tinggi pada colok dubur menjadi petunjuk agar dilakukan pemeriksaan uretrografi
retrograd agar bisa diyakinkan tidak adanya rupture urethra sebelum pemasangan
kateter. Bilamana pada primary survey maupun secondary survey kita ketahui adanya
robek uretra, mungkin harus dilakukan pemasangan kateter suprapubik oleh dokter
yang berpengalaman.
5. Pemeriksaan Radiologi
A. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP dan pelvis AP
dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen 3
posisi (telentang, tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara
bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitonium, yang kalau
ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya
bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
B. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan
pemeriksaan screening X-Ray. Pada pasien luka tusuk di atas umbilikus atau dicurigai
dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang normal, rontgen foto
thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan hemo atau pneumothorax, ataupun
untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang
hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun luka keluar dari
suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara
retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
C. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
1) Uretrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan
uretrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita curigai adanya ruptur
uretra. Pemeriksaan uretrografi dilakukan dengan memakai kateter No. 8-F
dengan balon dipompa 15-20 cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc
kontras yang tidak diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan proyeksi
oblik dengan sedikit tarikan pada penis.
2) Sistografi
Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan
pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi. Dipasang kateter uretra dan
kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm
di atas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam buli-buli atau sampai (1)
aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit.
Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan
periksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. (American College
of Surgeons. 2004). Pada trauma pelvis atau abdomen bagian bawah dengan
hematuria, dilakukan sistografi dan ureterogram bila ada kecurigaan cedera
uretra, terutama bila ada riwayat cedera pelana seperti jatuh di atas setang sepeda.
(Pusponegoro,2011).
3) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan
hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera sistem urinaria bias
diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera
ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan
IVP.2 Pada penderita dengan hematuria yang keadaannya stabil harus dilakukan
IVP. (Pusponegoro,2011).
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Azlina (2013) penatalaksanaan medis trauma abdomen yaitu:
A. Penanganan Awal
Trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
a. Stop makanan dan minuman
b. Imobilisasi
c. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh
dicabut kecuali dengan adanya tim medis
b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa
pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka.
c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan
dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam
tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
d. Imobilisasi pasien
e. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
f. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
g.Kirim ke rumah sakit
B. Penatalaksanaan Kedaruratan
1. Primery Survey
a. Nilai tingkat kesadaran
b. Lakukan penilaian ABCD
a. Airway : pastikan bahwa pasien memiliki jalan nafas yang lancar,
bersihkan jalan nafas dengan metode manual atau alat yang dianjurkan
b. Breathing : menjaga pernafasan dengan control ventilasi
Evaluasi rate, kedalaman nafas, kefektifan dalam bernafas, mempertimbangkan
kemungkinan terjadinya cedera torak secara bersamaan.
c. Circulation + control pendarahan : hentikan pendarahan dengan balud tekan, kaji
status pendarahan dan kaji tanda-tanda syok.
d. Disability : status neurologis (tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
ratelisasi)
e. Eksplosure : buka semua pasien tindakannya log roll
f. Folley catether : pasang kateter untuk melihat output cairan dan adanya pendarahan
pada urin
g. Gastric Tube : kontra indikasi, fraktur basis cranii ( rinorea, otorea, battle sign,
racoon eyes). Indikasi ( mengurangi distensi, mencegah aspirasi, nutrisi&obat dll).
2. Secondary survey
1) TTV
2) Head to toe
3) Anamnesa KOMPAK
7. KOMPLIKASI
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi trauma abdomen terdiri atas::
Segera: hemoragi, syok, dan cedera
Lambat: infeksi
Menurut Paul (2008), komplikasi trauma abdomen:
Trombosis Vena
Emboli pulmonar
Stres ulserasi dan perdarahan
Pneumonia
Tekanan ulserasi
Atelektasis
Sepsis
Menurut Catherino,( 2003):, komplikasi trauma abdomen :
Pankreas: pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pankreas-duodenal, dan perdarahan
Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis dan
syok
Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok
Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
a. Radiologi :
Foto BOF (Buick Oversic Foto)
Bila perlu thoraks foto.
USG (Ultrasonografi)
b. Laboratorium :
Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi)
Disini terpenting Hb serial ½ jam sekali sebanyak 3 kali.
Urine lengkap (terutama ery dalam urine)
c. Elektro Kardiogram
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun
B. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip-prinsip Penanggulangan
Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B (Breathing), C
(Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus dianggap sebagai dari multi trauma
dan dalam pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja.
1. Anamnesa
a) Biodata
Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan sakit.
Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.
b) Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru.
Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya saat jatuh.
Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada quadran
mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.
c) Riwayat Penyakit yang lalu
Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa.
Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan gangguan faal
hemostasis.
d) Riwayat psikososial spiritual
Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.
Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.
Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernapasan
Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta jalan
napasnya.
Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan tertinggal.
Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.
b. Sistem cardivaskuler (B2 = blood)
Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah abdominal
dan adakah anemis.
Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana suara
detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung paradoks.
c. Sistem Neurologis (B3 = Brain)
Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak.
Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS).
d. Sistem Gatrointestinal (B4 = bowel)
Pada inspeksi :
- Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
- Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum
abdomen.
- Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
- Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan adanya
abdomen iritasi.
Pada palpasi :
- Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
- Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
- Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
Pada perkusi :
- Adakah nyeri pada quadran mana.
- Kemungkinan-kemungkinan adanya cairan/udara bebas dalam cavum abdomen.
Pada Auskultasi :
- Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau
menghilang.
Pada rectal toucher :
- Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
- Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
e. Sistem Urologi (B5 = bladder)
Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi pada
daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
f. Sistem Muskuloskeletal (B6 = Bone)
Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah pelvis.
Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.
Diagnosa Keperawatan:
1. Nyeri akut
2. Resiko infeksi
3. Resiko syok
B. ANALISA DATA
N Analisa Data Etiologi Masalah
O
1. DS : (Trauma penetrasi,trauma Nyeri Akut
- Mengeluh nyeri non penetrasi,trauma
DO: perforasi)
- Tampak meringis ↓
- Bersikap protektif Gaya predisposisi trauma
- Gelisah melebihi elastisitas dan
- Frekuensi visikositas jaringan
- nadi meningkat ↓
- TD meningkat Jaringan tidak dapat
- Pola nafas berubah mengkompensasi
- Nafsu makan ↓
berubah Terjadi perforasi jaringan
- Proses berfikir abdomen
↓
Trauma abdomen
↓
Kerusakan jaringan dan
sistem saraf
↓
Pelepasan mediator nyeri
↓
Ditangkap persepsi nyeri
↓
dikirim ke otak
↓
nyeri dipersepikan
↓
Nyeri akut
Frekuensi menurun
Edukasi
nadi Gelisah
meningkat menurun informasikan penggunaan
TD Kesulitan tidur analgetik
meningkat menurun
Kolaborasi
Pola nafas Frekuensi nadi
berubah membaik
kolaborasi pemberian
Nafsu makan TD membaik
analgetik, jika perlu.
berubah Nafsu makan
Proses membaik
berfikir Pola tidur
membaik
Resiko syok Resiko syok Manajemen Hipovolemia
DS : Setelah dilakukan Observasi
- sangat cemas intervensi Periksa tanda dan gejala
keperawatan selama hipovolemia
DO : 1x60menit diharapkan Monitor intake dan output
- Terdapat tingkat syok menurun cairan
perdarahan dengan kriteria hasil:
Kekuatan nadi Terapeutik
meningkat
Hitung kebutuhan cairan
Tingkat
Berikan posisi modified
kesadaran
trendelenburg
meningkat
Berikan asupan cairan oral
Saturasi
Anjurkan menghindari
oksigen
perbahan posisi mendadak
meningkat
Berikan cairan IV isotonis
Pucat menurun
Berikan produk darah untuk
Haus menurun
meningkatkan tekanan
TD membaik
onkotik plasma
Tekanan nadi
membaik
Frekuensi nadi
membaik
Frekuensi
napas membaik
Risiko Infeksi b.d Risiko infeksi Pencegahan Infeksi
efek prosedur Observasi
invasif Setelah dilakukan Monitor
intervensi tanda gejala infeksi lokal
keperawatan selama dan sistemik
2x60menit diharapkan
tingkat infeksi Terapeutik
menurun dengan Batasi jumlah pengunjung
kriteria hasil : Pertahankan teknik aseptik
Kebersihan pada pasien berisiko tinggi
badan Ajarkan meningkatkan
meningkat asupan cairan
Nafsu makan Edukasi
meningkat Ajarkan tanda dan gejala
Nyeri menurun infeksi
Bengkak Ajarkan cara mencuci
menurun tangan dengan benar
Ajarkan cara menghindari
infeksi
Anjurkan meningktakan
nutrisi
Anjurkan meningkatan
asupan cairan
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, T., Putri, B. T., & Putri, K. D. (2016). Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Oman, K. S., McLain, J. K., & Scheetz, L. J. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.
Jakata: Buku Kedokteran EGC.
PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Indonesia.
Rab, T. (2008). Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: P.T. Alumni.