Anda di halaman 1dari 66

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM NEUROLOGI

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Nama : Sovia

NIM : 1018031119

Kelas : 3B

Pembimbing : Ns. Eka Ernawati, M.Kep


Tanggal : 26 September 2020

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS FALETEHAN

SEPTEMBER 2020
KONSEP TEORI DAN ASUHAN KEPERAWATAN

1. STROKE
2. CEDERA KEPALA
3. TUMOR OTAK
4. MENINGITIS
5. SPINAL CORD INJURY (SCI)
 KONSEP TEORI

1. STROKE

a. Pengertian
Stroke adalah defisit neurologik baik fokal maupun menetap yang timbul secara
mendadak akibat gangguan suplai darah ke otak.
Stroke dapat disebabkan karena suatu sumbatan yang diakibatkan berkurang atau
berhentinya suplai darah ke otak atau perdarahan yang diakibatkan pecah/ robeknya
dinding pembuluh darah otak.

b. Fakor Resiko Stroke


- Hipertensi
- Diabetes Mellitus
- Penyakit jantung
- Usia lanjut
- Obesitas
- Inaktifitas
- Hiperlipidemia

c. Manifestasi Klinis
- Bicara rero/pelo, afasia
- Nyeri kepala dan muntah proyektil
- Penurunan kesadaran ( dari somnolent sd comatus )
- Diplopia/ pandangan ganda
- Hemiparese/lemah sebelah anggota gerak
- Berkurang sensasi ( rasa, raba dll )
- Inkontinensia (urin & alvi)
- Tonus otot spastis atau flaksid
- Disfagia/ sulit menelan
- Atrofi otot & kontraktur
- Ptosis kelopak mata
- Penurunan/ hilang reflek fisiologis (Refleks menelan & Refleks gag)
- Ronchi ( akumulasi sekret )

d. Patofisiologi
Stroke disebabkan penurunan suplai darah ke otak yang disebabkan olehkecelakaan,
hipertensi, karena pada intinya stroke hemoragik disebabkan olehpembuluh darah
yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangansubarachnoid
yang menimbulkan perubahan komponen intra kranial yang tidak dapatdikompensasi
tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akanmenyebabkan
herniasi otak sehingga timbul kematian. Disamping itu, darah yangmengalir ke
subtansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema spasme pembuluh
darah otak atau penekanan pada daerah tersebut menimbulkanaliran darah berkurang
atau tidak ada, sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.Kematian sel-sel otak
berpengaruh terhadap penurunan fungsi dan kinerjaotak, otak memiliki dua fungsi
yaitu sensorik dan motorik, akibat awal dari strokeadalah hemiparesis kontralateral
(kelumpuhan separuh anggota ekstremitas atas danbawah yang bersilangan dengan
hemisfer yang terkena). Akibat yang muncul pertamakali dari hemiparesis
kontralateral adalah gangguan mobilitas fisik atauketidakmampuan melakukan
aktifitas sehari-hari.

e. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko inefektif perfusi jaringan serebral berhubungan dengan terputusnya aliran
darah :penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema
serebral.
2. Defisit nutrisi b.d reflek menelan menurun
3. Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuscular, ketidakmampuandalam
persespi kognitif.
4. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan sirkulasi serebral,
gangguanneuromuskuler, kehilangan tonus otot fasial / mulut, kelemahan umum/
letih
5. Perubahan persepsi sensori b.d penerimaan perubahan sensori
transmisi,perpaduan(trauma/penurunan neurologi), tekanan psikologis
(penyempitan lapangan persepsidisebabkan oleh kecemasan).
6. Defisit perawatan diri b.d kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan
danketahanan, kehilangan kontrol / koordinasi otot.
7. Bersihan jalan napas tidak b.d akumulasi secret

f. Klasifikasi Stroke

1. Stroke Hemoragik
a) Pengertian
Stroke hemoragik terjadi pada otak yang mengalami kebocoran atau pecahnya
pembuluh darah di dalam otak, sehingga darah menggenangi atau menutupi
ruang-ruang jaringan sel otak.

b) Etiologi
1. Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol (hipertensi)
2. Overtreatment dengan antikoagulan (pengenceran darah)
3. Pecahnya aneurisma pembuluh darah otak
4. Perdarahan intraserebral
5. Perdarahan subaraknoid

c) Manifestasi Klinis
- Mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan atau tungkai terutama pada
sisi tubuh
- Kebingungan atau perubahan situasi mental
- Kesulitan bicara atau memahami pembicaraan
- Gangguan visual
- Kesulitan berjalan, pusing, atau kehilangan keseimbangan
- Sakit kepala parah yang tiba-tiba
- Bicara rero/pelo, afasia
- Nyeri kepala dan muntah proyektil
- Penurunan kesadaran (dari somnolen sampai coma)
- Diplopia /pandangan ganda
- Hemiparese/lemah sebelah anggota gerak
- Berkurang sensai (rasa, raba dll)
- Inkontinensia (urine dan alvi)
- Tonus otot spastis atau flaksid
- Dispagia/sulit menelan
- Atrofi otot dan kontraktur
- Ptosis kelopak mata
- Penurunan atau hilang refleks (refleks menelan dan refleks gag)
- Ronchi (akumulasi sekret)

d) Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan serebrospinal,


analisa gas darah, biokimia darah, elektrolit
2. CT Scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga
untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya
infark.

3. Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah


sistem arteri karotis)

4. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara


spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri

5. MRI (magnetik resonance imaging) : menunjukan daerah yang mengalami


infark, hemoragis)

6. EEG (elektroensefalogram) : memperlihatkan daerah lesi yang spesifik

7. Sinar X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal


daerah yang berlawanan dari masa yang meluas, klasifkasi karotis interna
terdapat pada trombosit serebral; klasifikasi parsial dinding aneurisma
pada perdarahan subarachnoid

e) Penatalaksanaan Medis

1. Posisi kepala dan badan setinggi 20-30°, posisi miring apabila muntah dan
boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodialisa stabil.

2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu
diberikan oksigen sesuai kebutuhan

3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil

4. Bed rest

5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia

6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

7. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari


penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
8. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi atau cairan suction berlebih yang
dapat meningkatkan TIK

9. Nutrisi peroral hanya diberikan jika fungsi menelan baik, apabila kesadaran
menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT

10. Penatalaksanaan spesfiknya yaitu dengan pemberian obat neuroprotektor,


antikoagulan, trombolisis intraven, diuretic, antihipertensi dan tindakan
pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi

2. Stroke Iskemik
a) Pengertian
Stroke iskemik terjadi pada otak yang mengalami gangguan pasokan darah
yang disebabkan karena penyumbatan pada pembuluh darah otak.
Penyumbatannya adalah plak atau timbunan lemak yang mengandung
kolesterol yang ada di dalam darah. Penyumbatan bisa terjadi pada pembuluh
darah besar (arteri karotis) atau pembuluh darah sedang (arteri serebri) atau
pembuluh darah kecil.

b) Etiologi

1. Emboli : suatu kondisi dimana benda atau zat asing seperti gumpalan
darah atau gelembung gas tersangkut dalam pembuluh darah dan
menyebabkan penyumbatan pada aliran darah

2. Trombus : gumpalan darah yang terbentuk didalam pembuluh darah arteri


dan vena.

c) Manifestasi Klinis

 Mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan atau tungkai terutama pada
sisi tubuh

 Kebingungan atau perubahan situasi mental

 Kesulitan bicara atau memahami pembicaraan

 Gangguan visual
 Kesulitan berjalan, pusing, atau kehilangan keseimbangan

 Sakit kepala parah yang tiba-tiba

 Bicara rero/pelo, afasia

 Nyeri kepala dan muntah proyektil

 Penurunan kesadaran (dari somnolen sampai comatus)

 Diplopia /pandangan ganda

 Hemiparese/lemah sebelah anggota gerak

 Berkurang sensai (rasa, raba dll)

 Inkontinensia (urine dan alvi)

 Tonus otot spastis atau flaksid

 Dispagia/sulit menelan

 Atrofi otot dan kontraktur

 Ptosis kelopak mata

 Penurunan atau hilang refleks (refleks menelan dan refleks gag)

 Ronchi (akumulasi sekret)

d) Patofisiologi
Pada serangan otak iskemik, terdapat gangguan aliran darah otak karena
penyumbatan pembuluh darah, yang mengakibatkan aliran darah terganggu
dan memulai serangkaian kompleks peristiwa metabolisme selular yang
disebut dengan kaskadde iskemik, kaskade iskemik dimulai saat darah otak
menurun menjadi kurang dari 25 ml per 100 g darah permenit. Pada titik ini
neuron tidak lagi dapat mempertahankan respirasi aerob, mitokondria
kemudian harus beralih ke respirasi anaerobic, yang menghasilkan asam laktat
dalam jumlah besar, menyabebkan perubahan pH, respirasi anaerobic yang
efisien juga membuat neuron tidak mampu memproduksi adeosin ddalam
jumlah cukup trifosfat (ATP) untuk memicu proses depolarisasi. Pompa
membrane yang menjaga keseimbangan elektrolit mulai gagal dan sel-sel
berhenti berfungsi. Area dengan aluran darah otak rendah disebut dengan
daerah penumbra, ada disekitar daerah tersebut dari infark. Kaskade iskemik
mengancam sel-sel penumbra karena depolarisasi membrane dinding sel
menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler dan pelepasan glutamate,
vasokontriksi dan pembetukan radikal bebas yang dapat menyebabkan
pembesaran area infark, dan memperpanjang stroke, seseorang mengalami
stroke biasanya kehilangan 1,9 juta neuron setiap menit.

e) Pemeriksaan Penunjang
- Scan dupleks merupakan scan mode B dan velositometer ultrasonik
dopler yaitu metode pilihan untuk menilai derajat stenosis karotis
- Angiografi karotis, saat ini dilakukan MRA, yang lebih aman dari
aniografi standar
- CT Scan atau MRI otak menampilkan adanya infark serebral

f) Pelaksanaan Medis

Ada 2 tahapan penanganan yang biasa dilakukan oleh dokter yaitu:

- Terapi darurat dengan pemberian obat-obatan suntik. Salah satunya jenis


obat yang dianjurkan untuk diberikan pada penderita stroke adalah
ativaktor plasminogen atau tPA. Obat yang disuntikan ke lengan ini
berfungsi untuk meningkatkan aliran darah dan harus diberikan dalam
waktu kurang dari 4,5 jam setelah serangan stroke
- Rehabilitasi atau terapi pemulihan. Terapi ini dilakukan untuk
mengembalikan kemampuan kerja tubuh pasien setelah terkena stroke.
Terapi ini meliputi terapi fisik, okupasi hingga terapi bicara.
 ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus Pemicu 1

Seorang laki-laki berusia 70 tahun, dirawat dengan keluhan mulut tiba-tiba menceng ke
kanan, sisi tubuh sebelah kanan tidak bisa digerakkan, tidak mampu berjalan. Bicara pelo dan
tidak jelas. Hasil CT – scan menunjukkan lesi hemisfer kiri. Pasien punya riwayat hipertensi
selama 16 tahun. Hipertensi terkontrol. Keluhan dirasakan tiba-tiba setelah bangun dari tidur.

a. Faktor Predisposisi : Hipertensi, lansia


Faktor Presipitasi :-
b. Pengkajian (wawancara dan pemeriksaan fisik)
1. Wawancara

1) Identitas klien : Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan MRS,
nomor register, dan diagnosis medis.

2) Keluhan utama : Mulut menceng ke kanan, sisi tubuh sebelah kanan tidak bisa
digerakkan, tidak mampu berjalan. Bicara pelo dan tidak jelas.

3) Data riwayat kesehatan

- Riwayat kesehatan sekarang : Serangan stroke berlangsung sangat mendadak,


pada saat klien bangun tidur. Apakah sedang banyak pikiran? Apakah sering
melakukan pekerjaan yang berat?
- Riwayat penyakit dahulu: Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan anti kougulan, aspirin,
vasodilatator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Merokok/tidak. Apa saja diet
yang sedang rutin dijalani?
- Riwayat penyakit keluarga : ada/tidak riwayat keluarga yang menderita
hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi
terdahulu.
4) Riwayat psikososial dan spiritual : Peranan pasien dalam keluarga, status emosi,
interaksi sosial terganggu/tidak, ada/tidak rasa cemas yang berlebihan, hubungan
dengan tetangga harmonis/ tidak, status dalam pekerjaan. apakah rajin dalam
melakukan ibadah sehari-hari.

5) Aktivitas sehari-hari

- Nutrisi : Klien makan sehari-hari apakah sering makan makanan yang


mengandung lemak, kolestrol, gula, makanan apa yang sering dikonsumsi oleh
pasien, misalnya : masakan yang mengandung garam, santan, goreng-gorengan,
suka makan hati, limpa, usus, bagaimana nafsu makan klien.
- Minum : Apakah ada ketergantungan mengkonsumsi obat, narkoba, minum yang
mengandung alkohol. Jika iya, kapan, bagaimana frekuensi nya dalam sehari bisa
berapa gelas?
2. Pemeriksaan Fisik :

1) Menilai keadaan umum dan kesadaran dengan GCS.

2) TTV : (TD, Nadi, R, Suhu)

3) Kepala : ada jejas/lesi /tidak, pergerakan kepala ke atas-bawah, kanan-kiri,


pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau riwayat operasi.

4) Mata : Pupil, kanan-kiri, konjungtiva dan sklera, ptosis. Penglihatan adanya


kekaburan, akibat adanya gangguan nervus optikus (nervus II), gangguan dalam
mengangkat bola mata (nervus III), gangguan dalam memutar bola mata (nervus
IV) dan gangguan dalam menggerakkan bola mata kelateral (nervus VI).

5) Hidung : lubang hidung mana yang hembusannya lebih kuat. Ada/tidak gangguan
pada penciuman karena terganggu pada nervus olfaktorius (nervus I).

6) Mulut : Mencong/tidak, jika iya mencong ke kanan/ke kiri, kemampuan bicara


nya jelas/tidak, kemampuan menggerakan lidah dan mulut ke atas-bawah, kanan-
kiri, Ada/tidak gangguan pengecapan (lidah) akibat kerusakan nervus vagus,
adanya kesulitan dalam menelan
7) Telinga : kemampuan mendengar bisa dengan garpu tala.

8) Leher : ada peningkatan vena jugularis/tidak, ada pembengkakan kelenjar getah


bening/ tidak, ada pembengkakan kelenjar tiroid/tidak

9) Dada : inspeksi (bentuk dan kesimetrisan), auskultasi : (ada abnormal bunyi pada
paru dan jantung/tidak), Palpasi : (kesimetrisan pengembangan dada, nyeri
tekan), perkusi (ada/tidak abnormal bunyi paru dan jantung ketika di perkusi,
batas paru dan jantung).

10) Abdomen : inspeksi (bentuk dan kesimetrisan), auskultasi (bising usus), palpasi
(nyeri tekan/tidak), Perkusi (batas-batas organ).

11) Ekstermitas : Sensasi, Edema, Akral, CRT. Ditemukan/tidak hemiplegi paralisa


atau hemiparase, mengalami kelemahan otot dan perlu juga dilkukan pengukuran
kekuatan otot, normal : 5. Pengukuran kekuatan otot menurut (Arif
mutaqqin,2008)

1. Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.

2. Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada sendi.

3. Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan grafitasi.

4. Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawan tekanan
pemeriksaan.

5. Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi kekuatanya berkurang.

6. Nilai 5 : bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan kekuatan penuh

c. Patoflow

Hipertensi Lansia

Sumbatan aliran darah dan Oksigen Serebra l Penurunan Fungsi Organ


Infrak Jaringan Serebral Elastisitas pembuluh darah menurun

Perubahan perfusi jaringan Penebalan endotel pada bagian intima

Resiko Perfusi Lumen pembuluh darah menyempit

Serebral tidak efektif

Penurunan aliran darah ke otak

Lesi Hemisfer kiri Lesi Hemisfer kiri

Lobus Parietal Lobus Frontal

Hemipalmigi Kanan Aphasia

Gangguan Mobilitas Fisik Gangguan Komunikasi Verbal

d. Analisa Data

N DATA ETIOLOGI MASALAH


O

1. DS : Resiko Serebral
tidak efektif
- Pasien mengatakan mulut Hipertensi
tiba-tiba menceng ke kanan,
sisi tubuh sebelah kanan
Sumbatan aliran darah dan
tidak bisa digerakkan, tidak Oksigen Serebral
mampu berjalan.
- Keluhan dirasakan tiba-tiba
setelah bangun dari tidur. Infrak Jaringan Serebral
- Pasien mengatakan
mempunyai riwayat
hipertensi selama 16 tahun. Resiko Perfusi Serebral tidak
Efektif
DO :

- Hasil CT – scan
menunjukkan lesi hemisfer
kiri.

2. DS : Hipertensi Gangguan
Mobilitas Fisik
- Pasien mengatakan sisi
tubuh sebelah kanan tidak
bisa digerakkan, tidak Sumbatan aliran darah dan
mampu berjalan. Serebral

DO :

- Pasien tidak dapat Infrak Jaringan Serebral


melakukan aktifitas

Lesi Hemisfer kiri

Lobus Parietal

Hemipalmigi Kanan

Gangguan Mobilitas Fisik

3. DS : Hipertensi Gangguan

- Klien mengatakan mulut Komunikasi


tiba-tiba menceng ke kanan, Verbal
sisi tubuh sebelah kanan Sumbatan aliran darah dan
tidak bisa digerakkan, tidak Serebral
mampu berjalan.

DO : Infrak Jaringan Serebral

- Bicara pelo dan tidak jelas.

Lesi Hemisfer kiri

Lobus Pasialis

Aphasia

Gangguan Komunikasi
Verbal

e. Rencana Keperawatan

N MASALAH RENPRA
O
(SDKI) TUJUAN INTERVEN AKTIFITAS
SI
(SLKI)
(SIKI)

1. Resiko Setelah dilakukan Pemantauan Obseravasi


perfusi intervesi selama Tekanan
serebral 3x24 jam maka Intrakranial - Identifikasi penyebab
tidak efektif diharapkan Perfusi peningkatan TIK
dibuktikan Serebral meningkat - Monitor Peningkatan TD
dengan: dengan kriteria hasil - Monitor pelebaran Frekuensi
sebagai berikut : nadi
DS: - Monitor Penurunan frekuensi
- Tekanan jantung
Pasien Intrakranial - Monitor perlambatan atau
mengatakan menurun ketidaksimetrisan respon
memiliki - Reflek Saraf pupil
riwayat membaik - Monitor tekanan perfusi
Hipertensi serebral
DO: Terapeutik

Hasil CT – - Dokumentasikan hasil


scan pemantauan
menunjukka
n lesi Edukasi
hemisfer kiri - Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan

Observasi

Pemantauan - Monitor ukuran, bentuk


Neurologis kesimetrisan, dan reaktifitas
pupil
- Monitor tanda-tanda vital
- Monitor kesimetrisan wajah
- Monitor karakterisik bicara,
kelancaran, kehadiran afasia,
atau kesulitan mencari kata
- Monitor respon terhadap
pengobatan

Terapeutik

- Tingkatan frekuensi
pemantauan neurologis
- Hindari aktivitas yang dapat
meningkatkan tekanan
intracranial

Terapeutik

- Berikan dukungan untuk


menjalani program
pengobatan dengan baik dan
benar
Edukasi
Edukasi
Program
Pengobatan - Informasikan tujuan dan
manfaat program pengobatan
yang diberikan
- Informasikan perlunya
program pengobatan
dilakukan
- Informasikan fasilitas
kesehatan yang dapat
digunakan selama program
pengobatan
- Anjurkan pasien untuk
bertanya jika ada sesuatu
yang tidak dimengerti
sebelum program pengobatan
dilakukan

Kolaborasi

- Libatkan keluarga
memberikan dukungan
menjalani program
pengobatan

2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Observasi


Mobilitas intervesi selama Mobilisasi
Fisik b.d 3x24 jam maka - Identifikasi toleransi fisik
gangguan diharapkan Mobilitas melakukan pergerakan
neuromuskul Fisik meningkat - Monitor frekuensi jantung
ar d.d : dengan kriteria hasil dan tekanan darah sebelum
sebagai berikut : memulai mobilisasi
DS: - Monitor kondisi umum
- Pergerakan selama melakukan mobilisasi
Pasien Ekstremitas
mengatakan meningkat Terapeutik
sisi tubuh - Rentang gerak
sebelah - Fasilitasi aktivitas mobilisasi
(ROM) dengan alat bantu
kanan tidak meningkat
bisa - Fasilitasi melakukan
- Gerakan terbatas pergerakan
digerakkan, menurun
tidak mampu - Libatkan keluarga untuk
- Kelemahan fisik membantu pasien dalam
berjalan menurun meningkatkan pergerakan
DO:
Edukasi
Pasien tidak
- Jelaskan tujuan dan prosedur
dapat mobilisasi
melakukan - Anjurkan melakukan
aktifitas
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan

3. Gangguan Setelah dilakukan Promosi Observasi


Komunikasi intervesi selama Komunikasi
Verbal b.d 3x24 jam maka : Defisit  Monitor
gangguan diharapkan Bicara Kecepatan,
neuromuskul Komunikasi Verbal tekanan,
ar d.d: membaik dengan kuantitas, volume
kriteria hasil sebagai dan diksi bicara
DS: berikut : Terapeutik
Klien
 Kemampuan  Gunakan metode
mengatakan
bicara alternatif
mulut tiba-
meningkat
tiba menceng
 Sesuaikan gaya
ke kanan  Afasia komunikasi
menurun dengan kebutuhan
DO:
 Pelo menurun  Ulangi apa yang
Bicara pelo
dan tidak disampaikan
jelas pasien

Edukasi

 Anjurkan bicara
perlahan

Kolaborasi

 Rujuk ke ahli
patologi bicara
atau terapis

 KONSEP TEORI

2. CEDERA KEPALA
a. Pengertian
Brunner dan Suddarth (2005), cedera kepala adalah cedera
yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. Adapun menurut Brain Injury
Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Macam-macam cedera kepala
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak


atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan
oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi
jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan
melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.

b. Cedera kepala tertutup

Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak,
kontusio memar, dan laserasi.

Klasifikasi cedera kepala Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi


derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;

a.Ringan

1.) GCS = 13 – 15
2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

b. Sedang

1
GCS = 9 – 12
1
2 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari
2 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3

c. Berat

1 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia


1 lebih dari 24 jam.
2 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
2 hematoma intracranial

b. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:


1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam

c. Manifestasi Klinis

a) Gejala yang dapat dialami oleh penderita cedera kepala ringan:


- Kehilangan kesadaran untuk beberapa saat, Kehilangan keseimbangan.
- Terlihat linglung atau memiliki pandangan kosong.
- Pusing, Sulit tidur, Mudah merasa lelah.
- Mual atau muntah, Mulut terasa pahit.
- Mudah mengantuk dan tidur melebihi biasanya.
- Sensitif terhadap cahaya atau suara.
- Penglihatan kabur, Telinga berdenging.
- Kemampuan mencium berubah.
- Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi.
- Merasa depresi, Perubahan suasana hati.
b) Cedera kepala sedang hingga berat, berikut ini adalah gejala yang dapat
dialami:
- Kehilangan kesadaran selama hitungan menit hingga jam.
- Koma.
- Pusing hebat secara berkelanjutan, Perubahan perilaku secara intens.
- Mual atau muntah secara berkelanjutan.
- Kehilangan koordinasi tubuh, Kejang
- Pelebaran pupil, Cadel saat berbicara.
- Terdapat cairan yang keluar melalui hidung atau telinga, misalnya telinga
berdarah.
- Tidak mudah bangun saat tidur,
- Merasa sangat bingung.
- Jari-jari tangan dan kaki melemah atau kaku.

c) Pada anak-anak, gejala yang dapat menunjukkan kemungkinan terjadinya


cedera kepala:
- Menangis secara terus-menerus, Mudah merasa jengkel, Sering merasa
sedih / depresi.
- Perubahan dalam nafsu makan.
- Tidak mudah berkonsentrasi.
- Pola tidur berubah.
- Tidak ingin bermain, meskipun itu permainan kesukaannya.

d. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur
objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga
sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra
kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya
bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang
terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan


robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009)

e. Penatalaksanaan
1. Dexamethason/kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan

f. Pemeriksaan Penunjang

1. CT scan. Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema,


posisi henatoma, adanyajaringan otak yang infark atau iskemia, dan
posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens
fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan
otak.
2. MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan
otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan
infark akibat dari hemoragik

g. Diagnosa yang muncul


1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2. Nyeri akut
3. Resiko tinggi infeksi
4. Bersihan jalan napas tidak efektif
5. Resiko cedera
6. Gangguan integritas kulit/jaringan

 ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus 2
Seorang wanita usia 25 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas. Terjadi perdarahan intra
serebral. Telah dilakukan kraniotomi. Saat ini pasien telah dirawat selama 3 hari, dan sudah
dipindahkan ke ruang rawat saraf. Pasien masih merasakan sakit kepala dan mual. Muntah
tidak ada. Kelemahan otot tidak terjadi. Terdapat luka lebam di area periorbital kanan. Pasien
mendapatkan cairan intravena 500 ml/8 jam dan manitol 100 cc/ 8 jam

a. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Faktor Predisposisi: Perdarahan intraserebral
Faktor Presipitasi : -

b. Wawancara dan Pemeriksaan Fisik

1. Wawancara :

1) Identitas : Meliputi nama, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku


bangsa, tanggal dan MRS, nomor register.

2) Keluhan Utama : Pasien masih merasakan sakit kepala dan mual. Sakit
kepala yang dirasakan terasa seperti apa, menyebar/tidak, berapa skalanya,
kapan saja terasa sakit nya? Mual nya disebabkan oleh bau/apa? apa faktor
pencetus (saat berjalan, gerakan leher, mengunyah, paparan dingin) dan
apakah yang mengurangi gejala yang dirasakan?

3) Riwayat Penyakit Sekarang : waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat


kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.

4) Riwayat Penyakit Dahulu : Pernah mengalami kecelakaan yg mengakibatkan


benturan keras pada kepala atau/tidak. Ada riwayat hipertensi, hiperkolestrol,
DM, alkoholisme, penyalahgunaan obat, penyakit psikiatrik (OD) atau
epilepsy? Ada riwayat pembedahan dahulu terutama pada masalah
neurologis (gangguan spinal, neuropati perifer, bedah kranial)? apakah ada
alergi makanan atau obat terutama antibiotic, makanan seperti kerang, zat
pewarna kontras intravena? Apa ada diet yang sedang dijalani? Apakah
Konsumsi kafien berlebih?

5) Riwayat Penyakit Keluarga : Ada Riwayat Hipertensi, DM dan masalah


jantung pada keluarga?

2. Pemeriksaan Fisik :

1) Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital

2) Status Mental (Bahasa dan Komunikasi) Pemeriksaan status mental termasuk


pengkajian keadaan umum dan tingkat kesadaran menggunakan GCS.

3) Pemeriksaan Kepala, Leher, dan Punggung


- Inspeksi (Inspeksi kepala terdiri dari ukuran, bentuk, kontur, kesimetrisan.
Kaji apakah ada ekimosis (lebam) di sekitar mata atau belakang telinga.
Periksa jika terlihat tanda racoon eyes disertai ekimosis periorbital dan
keluar cairan serebrospinal dari lubang hidung yang mengindikasikan
adanya fraktur dasar tengkorak anterior.)
- Palpasi (Palpasi tulang tengkorak, normalnya teraba lembut serta kokoh.
Terjadi keabnormalan jika tulang tengkorak teraba menonjol atau
berlekuk. Palpasi otot leher untuk mengidentifikasi massa atau area
dengan rasa nyeri.)
- Perkusi (Perkusi secara gentle prosessus spinosus untuk mengidentifikasi
adanya nyeri dan temuaan abnormal.
- Auskultasi (Auskultasi pembuluh darah utama daerah leher untuk
menemukan bruit atau suara lain yang merupakan temuan abnormal.
Auskultasi arteri karotis menggunakan bell stetoskop. Bruit
mengindikasikan aliran turbulen atau manifestasi penyakit aterosklerosis.)

4) Syaraf Kranial (Pemeriksaan syaraf kranial, tiga reflex melibatkan syaraf


kranial yang disebut reflex protektif (reflex kornea, gag dan batuk). Jika ada
gangguan pada reflex protektif maka ada indikasi gangguan pada kemampuan
melindungi permukaan mata atau saluran napas. Hal ini sangat penting
terutama pada pasien tidak sadar.)

5) Sistem Motorik (Koordinasi dan Gaya Berjalan) terdiri dari pemeriksaan


ukuran otot, kekuatan otot, tonus otot, koordinasi, gaya berjalan dan sikap
tubuh klien.

6) Fungsi Sensoris terdiri dari pemeriksaan nyeri, rabaan, posisi dan


diskriminasi. Pengkajian sensoris juga meliputi pengkajian pendengaran,
penglihatan, penghidu, dan pengecapan. Pemeriksaan fungsi sensorik
mengindikasikan dermatom apakah normal, berkurang, meningkat, atau ada
sensasi tertunda.
c. Patoflow

Kecelakaan lalulintas

Trauma kepala

Terjadi penggumpalan darah di pembuluh darah

Suplai darah ke otak menurun Kraniotomi

↓ ↓

Risiko perfusi serebral tidak efektif Pembedahan otak

↓ ↓

Luka insisi pembedahan

Kerusakan integritas kulit/jaringan

Gangguan integritas kulit/jaringan

d. Analisa Data

No Analisa data Etiologi Masalah

1. DO : Kecelakaan lalu lintas Risiko perfusi


serebral tidak
- Pasien ↓ efektif
mengalami
perdarahan Trauma kepala
intraserebral

Terjadi penggumpalan darah di pembuluh


darah

Suplai darah ke otak menurun

Penekanan pada jaringan otak

Risiko perfusi serebral tidak efektif

2. DS : Kraniotomi Gangguan
integritas
- Pasien ↓ kulit/jaringan
mengatakan Pembedahan otak
masih sakit

kepala
Luka insisi pembedahan

DO : ↓

- Pasien tampak Kerusakan integritas kulit/jaringan

meringis ↓
- Kondisi pasca Gangguan integritas kulit/jaringan
pembedahan

e. Rencana Keperawatan

N MASALAH RENPRA
O
(SDKI) TUJUAN INTERVENS AKTIFITAS
I
(SLKI)
(SIKI)

1. Resiko perfusi Setelah dilakukan Pemantauan Obseravasi


serebral tidak intervesi selama 3x24 Tekanan - Identifikasi penyebab
efektif jam maka diharapkan Intrakranial peningkatan TIK
dibuktikan Perfusi Serebral - Monitor Peningkatan
dengan: meningkat dengan TD
kriteria hasil sebagai - Monitor pelebaran
DO: berikut : Frekuensi nadi
Pasien - Monitor Penurunan
- Tekanan Intrakranial frekuensi jantung
mengalami menurun
perdarahan - Monitor perlambatan
- Sakit kepala menurun atau ketidaksimetrisan
intraserebral
respon pupil
- Monitor tekanan
perfusi serebral

Terapeutik

- Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan

Observasi
Pemantauan
Neurologis - Monitor ukuran,
bentuk kesimetrisan,
dan reaktifitas pupil
- Monitor tanda-tanda
vital
- Monitor kesimetrisan
wajah
- Monitor karakterisik
bicara, kelancaran,
kehadiran afasia, atau
kesulitan mencari kata
- Monitor respon
terhadap pengobatan

Terapeutik
- Tingkatan frekuensi
pemantauan
neurologis
- Hindari aktivitas yang
dapat meningkatkan
tekanan intracranial

Terapeutik
Edukasi
- Berikan dukungan
Program
untuk menjalani
Pengobatan
program pengobatan
dengan baik dan benar

Edukasi

- Informasikan tujuan
dan manfaat program
pengobatan yang
diberikan
- Informasikan perlunya
program pengobatan
dilakukan
- Informasikan fasilitas
kesehatan yang dapat
digunakan selama
program pengobatan
- Anjurkan pasien
untuk bertanya jika
ada sesuatu yang tidak
dimengerti sebelum
program pengobatan
dilakukan

Kolaborasi

- Libatkan keluarga
memberikan
dukungan menjalani
program pengobatan
2. Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Observasi
integritas intervesi selama 3x24 Integritas
kulit/jaringan jam maka diharapkan Kulit - Identifikasi penyebab
Fisik b.d Integritas kulit/jaringan gangguan integritas
perubahan meningkat dengan kulit
sirkulasi d.d : kriteria hasil sebagai Terapeutik
berikut :
DS : - Ubah posisi tiap 2 jam
- Kerusakan jaringan jika tirah baring
Pasien menurun
mengatakan - Kerusakan lapisan
masih sakit kulit menurun Edukasi

kepala - Anjurkan minum air


yang cukup
- Anjurkan
DO : meningkatkan asupan
nutrisi
Pasien tampak
- Anjurkan
meringis
meningkatkan asupan
Kondisi pasca buah dan sayur
pembedahan - Anjurkan menghindari
terpapar suhu esktrem

 KONSEP TEORI
3. TUMOR OTAK
a. Pengertian
Tumor otak benigna adalah pertumbuhan jaringan abnormal di dalam otak, tetapi
tidak ganas. tumor otak maligna adalah kanker di dalam otak yang berpotensi
menyusup dan menghancurkan jaringan di sebelahnya atau yang telah menyebar
(metastase) ke otak dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah.

Tumor otak merupakan sebuah lesi yang terletak pada intracranial yang menempati
ruang di dalam tengkorak. Tumor-tumor selalu bertumbuh sebagai sebuah massa
yang berbentuk bola tetapi juga dapat tumbuh menyebar, masuk ke dalam jaringan.
Neoplasma terjadi akibat dari kompresi dan infiltrasi jaringan. Akibat perubahan
fisik bervariasi, yang menyebabkan beberapa atau semua kejadian patofisiologis
sebagai berikut :

- Peningkatan tekanan intracranial (TIK) dan edema serebral


- Aktivitas kejang dan tanda-tanda neurologis fokal
- Hidrosefalus
- Gangguan fungsi hipofisis
b. Manifestasi Klinis

1. Gejala peningkatan tekanan intrkranial


Disebabkan oleh tekanan yang berangsur-angsur terhadap otak akibat pertumbuhan
tumor. Gejala yang biasanya banyak terjadi adalah sakit kepala, muntah, papiledema
(“choken disc” atau edema saraf optic), perubahan kepribadian dan adanya variasi
penurunan fokal motorik, sensorik dan disfungsi saraf kranial.

2. Sakit kepala
3. Mual muntah
4. Papil edema
5. Kejang
6. Pening dan vertigo
7. Gejala terlokalisasi
Lokasi gejala-gejala terjadi spesifik sesuai dengan gangguan daerah otak yang terkena,
menyebabkantanda-tanda yang ditunjukkan local, seperti pada ketidaknormalan sensori
dan motorik, perubahan penglihatan dan kejang.
Karena fungsi-fungsi otak berbeda-beda di setiap bagiannya maka untuk
mengindentifikasi lokasi tumor dapat ditentukan dari perubahan yang terjadi, seperti :
1. Tumor korteks motorik memanifestasikan diri dengan menyebabkan gerakan seperti
kejang yang terletak pada satu sisi tubuh, yang disebut kejang Jacksonian.
2. Tumor lobus oksipital menimbulkan manisfestasi visual, hemianopsia homonimus
kontralateral (hilangnya penglihatan pada setengah lapang pandangan, pada sisi yang
berlawanan dari tumor) dan halusinasi penglihatan.
3. Tumor serebelum menyebabkan pusing, ataksia (kehilangan keseimbangan) atau gaya
berjalan sempoyongan dengan kecenderungan jatuh ke sisi yang lesi, otot-otot tidak
terkoordinasi dan nistagmus (gerakan mata berirama tidak disengaja) biasanya
menunjukkan gerakan horisontal.
4. Tumor lobus frontal sering menyebabkan gangguan kepribadian, perubahan status
emosional dan tingkah laku, dan disintegrasi perilaku mental. Pasien sering menjadi
ekstrem yang tidak teratur dan kurang merawat diri dan menggunakan bahasa cabul.
5. Tumor sudut serebopontin biasanya diawali pada sarung saraf akustik dan memberi
rangkaian gejal yang timbul dengan semua karakteristik gejala pada tumor otak.
6. Tumor intracranial dapat menghasilkan gangguan kepribadian, konfusi, gangguan fungsi
bicara dan gangguan gaya berjalan, terutama pada pasien lansia.

c. Patofisiologi
Tumor otak primer dianggap berasal dari sel atau koloni stem sel tunggal dengan DNA
abnormal. DNA abnormal menyebabkan pembelahan mitosis sel yang tidak terkontrol.
Sistem imun tidak mampu membatasi dan menghentikan aberrant, pertumbuhan sel baru.
Pada saat tumor meluas, kompresi dan infiltrsi menyebabkan kematian jaringan otak. Tumor
otak tidak hanya menyebabkan lesi pada otak, tetapi juga menyebabkan edema otak.
Tengkorak bersifat rigid dan hanya memiliki sedikit tempat untuk ekspansi isinya. Jika
perawatan tidak berhasil, tumor otak akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial
secara progresif yang akan menyebabkan displacement struktur stem otak (herniasi). Tekanan
pada stem otak menyebabkan kerusakan pusat vital signs kritis yang mengontrol tekanan
darah, nadi, dan respirasi, yang akan memicu kematian.
d. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan neurologist
2. CT scan
3. MRI
4. Biopsy
5. Cerebral angiography
6. EEG
7. Pemeriksaan sitology menggunakan CSF

e. Penatalaksanaan Medis

1. Operasi pengangkatan atau menghancurkan tumor tanpa menimbulkan defisit neuroligis


yang mungkin terjadi.
Operasi konvensional dengan craniotomy

2. Terapi radiasi stereotaktik


Terapi radiasi termasuk Gamma Knife atau terapi sinar proton, mungkin dilakukan pada
kasus tumor yang tidak mungkin dioperasi atau tidak mungkin direseksi atau jika tumor
menunjukkan transformasi maligna.Focus radiasi mungkin akan sangat membantu pada
tumor kecil yang terdapat dasar tengkorak.
3. Terapi modalitas termasuk kemoterapi konvensional terapiradiasieksternal beam
a. Kemoterapi konvensional
b. Brachyteraphy
c. Transplantasi sumsum tulang belakang autologous intra venus
d. Corticosteroid
e. Terapi transfer gen

f. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


Sebelum operasi

1. Nyeri akut
2. Self care deficit
3. Kerusakan perfusi jaringan serebral
4. Anxiety
5. Resiko injuri
6. Hopeless
7. Koping individu inefektif
8. Gangguan persepsi sensori
9. Pk : kejang
Setelah operasi

1. Kerusakan perfusi jaringan serebral


2. Kebersihan jalan nafas tidak efekti
3. Nyeri
4. Resiko defisit volume carian
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan
6. Anxiety dan fear
7. Kurang Pengetahuan
8. Kerusakan komunikasi verbal
9. Resiko kontraktur
10. Defisit perawatan diri
11. Resiko injuri
12. Kerusakan proses pikir

 ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus 3
Seorang perempuan berusia 45 tahun terdiagnosis SOL a.r tempoparietal kiri. Tampak
penurunan kesadaran pasien cenderung tertidur dan bangun bila diberi rangsangan verbal.
GCS 13 E 3 M 6 V 4. Riwayat sebelumnya pasien pernah mengalami batuk yang lama dan
pengobatan Tb paru selama 4 bulan dan tidak tuntas karena pasien merasa bosan. Pernah
dirawat dengan radang selaput otak , namun pulih dengan perbaikan. Saat ini pasien
mengalami SOL. Pendengaran menurun. Kernig sign (+). Kaku kuduk (+).

a. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Faktor Predisposisi: Radang selaput otak, tb paru
Faktor Presipitasi :-

b. Wawancara dan Pemeriksaan Fisik

1. Wawancara :

1) Identitas klien : Meliputi nama, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku


bangsa, tanggal dan MRS, nomor register.

2) Keluhan utama : Penurunan Kesadaran

3) Riwayat penyakit sekarang

4) Riwayat Penyakit Dahulu : pasien pernah mengalami batuk yang lama dan
pengobatan Tb paru selama 4 bulan dan tidak tuntas karena pasien merasa
bosan. Pernah dirawat dengan radang selaput otak, namun pulih dengan
perbaikan. Ada riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung?

5) Riwayat penyakit keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota


keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang,
yaitu riwayat keluarga dengan tumor kepala, riwayat Hipertensi, DM,
penyakit jantung?

6) Pengkajian psiko-sosio-spiritual : Perubahan kepribadian dan perilaku klien,


perubahan mental, kesulitan mengambil keputusan, kecemasan dan
ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya
perubahan peran.

2. Pemeriksaan Fisik : meliputi pemeriksaan fisik umum persystem dari observasi


keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3
(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).

 Pernafasan B1 (breath)

- Bentuk dada : Normal/tidak


- Pola napas : teratur/ tidak
- Suara napas : normal/ tidak
- Sesak napas : ya/ tidak
- Alat bantu pernapasan : ya/tidak
- Batuk : ya/ tidak
- Retraksi otot bantu napas ; ya/tidak

 Kardiovaskular B2 (blood)
- Irama jantung : Reguler/irregular
- Nyeri dada : ya/ tidak
- Bunyi jantung ; normal/tidak
- Akral : hangat/dingin
- Nadi : cepat/lambat

 Persyarafan B3 (brain)
- Penglihatan (mata) : ada/tidak penurunan penglihatan, hilangnya
ketajaman
- Penciuman (hidung) : mengeluh/tidak pada bau yang tidak biasanya
- Pengecapan (lidah) : ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia)
- Afasia : kerusakan / tidak pada fungsi bahasa, kesulitan/tidak berkata-kata.
- Ekstremitas : ada/tidak kelemahan genggaman tangan tidak seimbang,
ada/tidak berkurangnya reflex tendon.

 Perkemihan B4 (bladder)
- Kebersihan : bersih/tidak
- Produksi urin: normal/tidak

 Pencernaan B5 (bowel)
- Nafsu makan : menurun/tidak
- Mulut : bersih/tidak, sianosis/pucat/tidak.
- Mukosa : lembap/kering

c. Patoflow

Mycrobacterium Tuberculosis
Meningitis

Kromosom membelah abnormal

Tumor

Tulang tengkorak tidak dapat meluas

Mendesak ruang intrakranial

Peningkatan TIK

Penekanan jaringan otak

Massa menekan pembuluh darah otak

Pembuluh darah terjepit

Gangguan suplai darah arteri

Kerusakan perfusi jaringan serebral

Risiko perfusi serebral tidak efektif

d. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah

1 Ds : Mycrobacterium Tuberculosis Risiko


Perfusi
- Pasien pernah mengalami Serebral
batuk yang lama dan Tidak Efektif
pengobatan TB paru selama Meningitis
4 bulan dan tidak tuntas Kromosom Membelah
karena pasien merasa bosan. Abnormal
- Pernah dirawat dengan
radang selaput otak , namun
pulih dengan perbaikan.
Tumor
Do :

- Tampak penurunan
Tulang Tengkorak Tidak Dapat
kesadaran
Meluas
- Pasien cenderung tertidur
dan bangun bila diberi
rangsangan verbal
- GCS 13 E 3 M 6 V 4 Mendesak Ruang Intrakranial
- Pendengaran menurun.

Peningkatan Tik

Penekanan Jaringan Otak

Massa Menekan Pembuluh


Darah Otak

Pembuluh Darah Terjepit

Gangguan Suplai Darah Arteri

Kerusakan Perfusi Jaringan


Serebral

Risiko perfusi serebral tidak


efektif

2. DO: Tumor otak Risiko


Cedera
- Penurunan kesadaran
- Kernig sign (+).
- Kaku kuduk (+). Penekanan jaringan otak

Invasi jaringan otak

Kerusakan jaringan neuron

Gangguan neurologis fokal

Risiko cedera

e. Rencana Keperawatan

N MASALAH RENPRA
O
(SDKI) TUJUAN INTERVENS AKTIFITAS
I
(SLKI)
(SIKI)

1. Resiko perfusi Setelah dilakukan Pemantauan Obseravasi


serebral tidak intervesi selama 3x24 Tekanan
efektif jam maka diharapkan Intrakranial - Identifikasi penyebab
dibuktikan Perfusi Serebral peningkatan TIK
- Monitor Peningkatan
dengan: meningkat dengan TD
kriteria hasil sebagai - Monitor pelebaran
DO: berikut : Frekuensi nadi
Pasien - Monitor Penurunan
- Tekanan Intrakranial frekuensi jantung
mempunyai menurun
riwayat radang - - Monitor perlambatan
Sakit kepala menurun atau ketidaksimetrisan
selaput otak
respon pupil
- Monitor tekanan
perfusi serebral

Terapeutik

- Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan

Observasi
Pemantauan
- Monitor ukuran,
Neurologis
bentuk kesimetrisan,
dan reaktifitas pupil
- Monitor tanda-tanda
vital
- Monitor kesimetrisan
wajah
- Monitor karakterisik
bicara, kelancaran,
kehadiran afasia, atau
kesulitan mencari kata
- Monitor respon
terhadap pengobatan

Terapeutik

- Tingkatan frekuensi
pemantauan
neurologis
- Hindari aktivitas yang
dapat meningkatkan
tekanan intracranial

Terapeutik
Edukasi
Program - Berikan dukungan
Pengobatan untuk menjalani
program pengobatan
dengan baik dan benar

Edukasi

- Informasikan tujuan
dan manfaat program
pengobatan yang
diberikan
- Informasikan perlunya
program pengobatan
dilakukan
- Informasikan fasilitas
kesehatan yang dapat
digunakan selama
program pengobatan
- Anjurkan pasien
untuk bertanya jika
ada sesuatu yang tidak
dimengerti sebelum
program pengobatan
dilakukan

Kolaborasi

- Libatkan keluarga
memberikan
dukungan menjalani
program pengobatan

2. Risiko cedera Setelah dilakukan Pencegahan Observasi


dibuktikan intervesi selama 3x24 jatuh
dengan: jam maka diharapkan - Identifikasi faktor
resiko jatuh
- Penurunan Tingkat cedera menurun - Identifikasi faktor
kesadaran meningkat dengan lingkungan yang
- Kernig kriteria hasil sebagai meningkatkan risiko
sign (+). berikut : jatuh
- Kaku - Hitung risiko jatuh
kuduk (+). - Toleransi aktivitas dengan menggunakan
meningkat skala
- kejadian cedera
menurun Terapeutik

- Orientasikan ruangan
pada pasien dan
keluarga
- Pasang handrall
tempat tidur
- Atur tempat tidur
mekanis pada posisi
rendah
- Tempatkan pasien
berisiko tinggi jatuh
dekat denan pantauan
perawat dari nurse
station
- Dekatkan bel
pemanggil dalam
jangkauan pasien

Edukasi

- Anjurkan memanggil
perawat jika
membutuhkan
bantuan untuk
berpindah
- Anjurkan
menggunakan alas
kaki yang tidak licin
- Anjurkan
berkonsentrasi untuk
menjaga
keseimbangan tubuh
- Ajarkan cara
menggunakan bel
pemanggil untuk
memanggil perawat
 KONSEP TEORI

4. MENINGITIS

a. Pengertian
Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab
meningitis bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cedera
traumatik atau secara tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain di
dalam tubuh ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Berbagai agens dapat
menimbulkan inflamasi pada meninges termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat
kimia (Betz, 2009)

b. Etiologi
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur

c. Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti
dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis
bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur
bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang
melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid
menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini
penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi


radang di dalam meningen dan di bawah korteks yang dapat menyebabkan
trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami
gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi.
Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis.
Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis
bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri
dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier
otak), edema serebral dan peningkatan TIK.

d. Manifestasi Klinis
1. Neonatus : menolak untuk makan, refleks menghisap kurang, muntah,
diare, tonus otot melemah, menangis lemah.
2. Anak-anak Dewasa : demam tinggi, sakit kepala, muntah, perubahan
sensori, kejang, mudah terstimulasi, foto pobia, delirium, halusinasi,
maniak, stupor, koma, kaku kuduk, tanda kernig dan brudinzinski positif,
ptechial (menunjukkan infeksi meningococal).

e. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan pungsi lumbal
Dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal,
dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih,
sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh,
jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2. Pemeriksaan darah
a. Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di
samping itu, pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga
peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
3. Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin
dilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid,
sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada (Smeltzer, 2002).

f. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksaan medis meningitis yaitu :
1. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
2. Steroid untuk mengatasi inflamasi
3. Antipiretik untuk mengatasi demam
4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang
5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa dipertahankan
6. Pembedahan : seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Peritoneal Shunt)

g. Diagnosa Keperawatan yang Muncul


1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2. Nyeri akut
3. Resiko tinggi infeksi
4. Bersihan jalan napas tidak efektif
5. Resiko cedera
6. Gangguan integritas kulit/jaringan

 ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus 4

Seorang perempuan berusia 28 tahun terdiagnosis meningitis. Dirawat diruang neuro dengan
keluhan nyeri kepala yang dirasakan terus menerus skala nyeri 6. Hasil lumbal fungsi
ditemukan liquor cerebrospinal none dan pandi (+). Riwayat sebelumnya dengan TB paru
pengobatan 3 bulan dan tidak tuntas.pemeriksaan fisik ditemukan kaku kuduk, gangguan
fungsi menelan dan kelemahan anggota gerak

a. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Faktor predisposisi: Tb paru
Faktor presipitasi :-

b. Wawancara dan Pemeriksaan Fisik

1. Wawancara :

1) Identitas : nama, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, status


perkawinan, dan penanggung jawab.

2) Keluhan Utama : nyeri kepala yang dirasakan terus menerus skala nyeri 6.

3) Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri dirasakan seperti apa, menyebar/tidak,


kapan saja nyeri dirasa? Kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah
buruk?.

4) Riwayat Penyakit Dahulu : pernah/tidak mengalami infeksi jalan napas


atas, otitis media, mastoiditis, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala
dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya. Pemakaian obat
yang sering digunakan, apakah merokok, apakah minum alkohol?

5) Keadaan Psikologi : Respon emosi untuk menilai pasien terhadap penyakit


yang dideritanya dan perubahan peran pasien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

2. Pemeriksaan Fisik : memeriksa tanda-tanda vital (TTV).

o Tingkat kesadaran dengan GCS dan keadaan umum.

o Fungsi serebri Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang
pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.

o Pemeriksaan saraf kranial

 Saraf I. Ada / tidak ada kelainan fungsi penciuman.

 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan, Pemeriksaan papiledema.

 Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil.

 Saraf V. Ada/tidak paralisis pada otot wajah dan refleks kornea.

 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.

 Saraf VIII. Ada/tidak tuli konduktif dan tuli persepsi.

 Saraf IX dan X. Kemampuan menelan.

 Saraf XI. Ada/tidak atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada/tidak


usaha klien untuk fleksi leher dan kaku kuduk (regiditas nukal)

 Saraf XII. Lidah simetris/tidak, ada/tidak deviasi pada satu sisi & ada/ tidak
fasikulasi. Indra pengecapan.

o Sistem motorik Kekuatan otot, kontrol keseimbangan dan koordinasi.

o Pemeriksaan refleks Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,


ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal. Ada/tidak
refleks Babinski (tanda lesi UMN)

o Gerakan involunter/tidak, tremor/tidak, kedutan saraf, dan distonia.


o Sistem sensorik : sensasi raba, nyeri, dan suhu normal.

c. Patoflow

Penyakit TB/ BAKTERI TB

Penembus ke meningen,melalui sirkulasi pembuluh darah

Terjadi peradangan Menyebar kebagian tubuh salah satunya otak

Co2 meningkat di otak Adanya bakteri yang menembus lapisan otak

Edema serebral

↓ Terbentuk tuberkel-tuberkel berkembang

Kerusakan vagus

↓ ↓

Peningkatan TIK > 5-15 mmHg

↓ Daya imun menurun

Kaku kuduk

Nyeri Kepala

↓ Tuberkel pecah terjadi meningitis

Penurunan kekuatan otot

↓ ↓

Nyeri Akut
↓ Meningkatnya tekanan dalam kepala

Gangguan mobilitas fisik

↓ ↓

Terjadi kerusakan syaraf

Resiko perfusi serebral tidak efektif

d. Analisa Data

No Analisa data Etiologi Masalah

1. Do : Penyakit TB Risiko
perfusi
- Hasil lumbal fungsi ↓ serebral tidak
ditemukan liquor
cerebrospinal none dan Penembus kepembuluh darah,melalui efektif
pandi (+) sirkulasi pembuluh darah
- Adanya gangguan fungsi
menelan ↓

Menyebar kebagian tubuh salah satunya


otak

Adanya bakteri yang menembus lapisan


otak

Terbentuk tuberkel-tuberkel berkembang

Daya imun menurun

Tuberkel pecah terjadi meningitis


Meningkatnya tekanan dalam kepala

Terjadi kerusakan syaraf

Resiko perfusi serebral tidak efektif

2. DS: Invasi bakteri TBC Nyeri Akut



- Pasien mengeluh nyeri di Menyebar ke meningen melalui aliran
bagian kepala, dirasakan darah
terus menerus 
DO: Terjadinya proses peradangan pada
Meningen
- Skala : 6 
Co2 meningkat di otak
- 

Edema serebral

Peningkatan TIK > 5-15 mmHg

Nyeri Kepala

Nyeri Akut

3. DO: Meningitis Risiko cedera

– Ditemukan kaku kuduk


Penekanan jaringan otak
– Kelemahan pada anggota

Invasi jaringan otak

Kerusakan jaringan neuron


Gangguan neurologis fokal

Risiko cedera

e. Rencana Keperawatan

N MASALAH RENPRA
O
(SDKI) TUJUAN INTERVENS AKTIFITAS
I
(SLKI)
(SIKI)

1. Resiko perfusi Setelah dilakukan Pemantauan Obseravasi


serebral tidak intervesi selama 3x24 Tekanan
efektif jam maka diharapkan Intrakranial - Identifikasi penyebab
dibuktikan Perfusi Serebral peningkatan TIK
dengan: meningkat dengan - Monitor Peningkatan
kriteria hasil sebagai TD
DO: berikut : - Monitor pelebaran
Frekuensi nadi
Pasien - Tekanan Intrakranial - Monitor Penurunan
mempunyai menurun frekuensi jantung
riwayat radang - Sakit kepala menurun - Monitor perlambatan
selaput otak atau ketidaksimetrisan
respon pupil
- Monitor tekanan
perfusi serebral

Terapeutik

- Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan

Pemantauan Observasi
Neurologis
- Monitor ukuran,
bentuk kesimetrisan,
dan reaktifitas pupil
- Monitor tanda-tanda
vital
- Monitor kesimetrisan
wajah
- Monitor karakterisik
bicara, kelancaran,
kehadiran afasia, atau
kesulitan mencari kata
- Monitor respon
terhadap pengobatan

Terapeutik

- Tingkatan frekuensi
pemantauan
neurologis
- Hindari aktivitas yang
dapat meningkatkan
tekanan intracranial

Edukasi Terapeutik
Program
Pengobatan - Berikan dukungan
untuk menjalani
program pengobatan
dengan baik dan benar

Edukasi

- Informasikan tujuan
dan manfaat program
pengobatan yang
diberikan
- Informasikan perlunya
program pengobatan
dilakukan
- Informasikan fasilitas
kesehatan yang dapat
digunakan selama
program pengobatan
- Anjurkan pasien
untuk bertanya jika
ada sesuatu yang tidak
dimengerti sebelum
program pengobatan
dilakukan

Kolaborasi

- Libatkan keluarga
memberikan
dukungan menjalani
program pengobatan

3. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen Observasi


pencedera intervesi selama 3x24 Nyeri
fisiologis d.d: jam maka diharapkan - Identifikasi lokasi,
Tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi,
DS: dengan kriteria hasil frekuensi, kualitas,
sebagai berikut : intensitas nyeri
- Pasien - Identifikasi skala
mengeluh - Keluhan nyeri nyeri
nyeri di menurun - Identifikasi respon
bagian nyeri non verbal
kepala, - Identifikasi faktor
dirasakan yang memperberat
terus rasa nyeri
menerus
Terapeutik
DO:
- Berikan terapi
- Skala : 6 komplementer untuk
mengurangi rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat dan
tidur

Edukasi

- Ajarkan terapi
komplomenter
- Informasikan
penggunaan analgetik
Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian
analgetik

3. Risiko cedera Setelah dilakukan Pencegahan Observasi


dibuktikan intervesi selama 3x24 jatuh
dengan: jam maka diharapkan - Identifikasi faktor
Tingkat cedera menurun resiko jatuh
- Kelemaha dengan kriteria hasil - Identifikasi faktor
n anggota sebagai berikut : lingkungan yang
gerak meningkatkan risiko
- Kaku - Toleransi aktivitas jatuh
kuduk (+). meningkat - Hitung risiko jatuh
- kejadian cedera dengan menggunakan
menurun skala

Terapeutik

- Orientasikan ruangan
pada pasien dan
keluarga
- Pasang handrall
tempat tidur
- Atur tempat tidur
mekanis pada posisi
rendah
- Tempatkan pasien
berisiko tinggi jatuh
dekat denan pantauan
perawat dari nurse
station
- Dekatkan bel
pemanggil dalam
jangkauan pasien

Edukasi

- Anjurkan memanggil
perawat jika
membutuhkan
bantuan untuk
berpindah
- Anjurkan
menggunakan alas
kaki yang tidak licin
- Anjurkan
berkonsentrasi untuk
menjaga
keseimbangan tubuh
- Ajarkan cara
menggunakan bel
pemanggil untuk
memanggil perawat
 KONSEP TEORI

5. SPINAL CORD INJURY

a. Pengertian
Trauma medulla spinalis atau spinal cord injury merupakan trauma pada tulang
belakang yang berdampak pada timbulnya lesi di medulla spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis dan dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
menimbulkan mortalitas.
Spinal Cord Injury (SCI) dapat didefinisikan sebagai kerusakan atau trauma sumsum
tulang belakang yang dapat mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi yang
mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi).

b. Etiologi
Adapun penyebab dari cedera medulla spinalis antara lain karena kecelakaan lalu
lintas, tindakan kekerasan, jatuh, dan cedera olah raga (Smeltzer, 2012). Sedangkan,
menurut Black & Hawck (2014), etiologi dari cedera medulla spinalis juga dapat
disebabkan oleh gangguan non traumatic seperti:
Spondilosis servikal dengan mielopati (penyempitan kanal tulang belakang dengan
cedera progresif untuk tulang belakang dan akar), myelitis (infeksi atau non infeksi),
osteoporosis yang menyebabkan fraktur kompresi pada tulang belakang,
siringomielia (kavitasi pusat pada tulang belakang), tumor baik infiltrate maupun
kompresif, penyakit pembuluh darah seperti infark atau perdarahan.

c. Manifestasi Klinis

Medical Mini Notes (2015) menjelaskan bahwa manifestasi klinis cedera medulla
spinalis berdasarkan lokasi lesi atau cedera antara lain sebagai berikut.

a. Brown Sequard Syndrome : Gejala klinis berupa ipsilateral yaitu paresis UMN
dibawah lesi dan LMN setinggi lesi, gangguan propioseptif (raba da tekan). Jika
terjadi kontralateral maka biasanya terjadi gangguan sensasi, nyeri dan suhu.

b. Anterior Cord Syndrome : Gejala klinis berupa kelumpuhan pada otot di bawah
segmen yang mengalami kerusakan disertai hilangnya sensasi nyeri dan suhu
pada kedua sisi, sedangkan sensasi sentuhan dan posisi tidak terganggu.
c. Central Cord Syndrome : Gejala klinis berupa paresis lengan lebih berat dari
tungkai, terjadi gangguan sensorik yang bervariasi (disestesia/hiperestesia) di
ujung distal lengan, terjadi disosiasi sensibilitas dan disfungsi miksi, defekasi
dan seksual.

d. Posterior Cord Syndrome : Gejala klinis berupa gangguan sensasi sentuhan,


vibrasi, dan propriosentif di bawah segmen yang mengalami kerusakan,
sedangkan fungsi motorik, sensasi nyeri serta suhu tidak mengalami gangguan.

e. Sindrom Konus Medularis : Merupakan kerusakan pada medulla spinalis


setinggi vertebra L1-L2 yang mengakibatkan anastesi perianal, gangguan fungsi
defekasi, miksi, impotensi serta kehilangan refleks anal dan bulbokavernosa.

f. Sindrom Kauda Equine : Merupakan kondisi yang disebabkan oleh kompresi


pada radiks lumbosacral setinggi ujung konus medularis dan dapat
menyebabkan kelumpuhan serta anastesi daerah lumbosacral.

Sedangkan, manifestasi klinis berdasarkan tingkat cedera, derajat syok spinal, dan
fase serta derajat pemulihan antara lain :

 C 1-3 : Quadriplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan / sistem


muskuloskeletat total.

 C 4-5 : Quadriplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasaitas paru,


ketergantungan total terhadap aktivitas seharihari.

 C 6-7 : Quadriplegia dengan beberapa gerakan lengan / tangan yang


memungkinkan untuk melakukan kegiatan aktivitas sehari-hari.

 C 7-8 : Quadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat


kemandiriannya.

 T 1-L1 : Paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot intercostal
dan abdomen masih baik

 L 1-2 : dan/ atau dibawahnya : Kehilangan fungsi motorik dan sensorik,


kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

d. Patofisiologi

Cedera medulla spinalis paling sering terjadi sebagai akibat cedera pada vertebra.
Tempat cedera paling umum adalah di vertebra X1-2, C4-6, T11-L2. Segmen –
segmen tulang ini yang paling mudah bergerak dan karena itu paling mudah
mengalami cedera. CMS bisa terjadi akibat mekanisme akselerasi, deselerasi, atau
dorongan seperti benturan yang terjadi pada tulang belakang. Dorongan ini
mengakibatkan cedera pada tulang belakang yang pada akhirnya mengkompresi,
menarik, atau merobek jaringan. Perdarahan mikroskopik dapat terjadi setelah
cedera terutama pada area substansi kelabu di tulang belakang. Pada satu jam
pertama, akan terjadi edema yang akan menyebar ke sepanjang segmen tulang
belakang. Asam arakhidonat dan metabolitnya (prostaglandin, tromboksan,
leukotriene) dapat menyebabkan proses edema. Edema vertebra ini bisa mencapai
puncaknya dalam jangka waktu 2 - 3 hari dan mereda setelah 7 hari pertama pasca
cedera. Edema, perdarahan meluas hingga dua segmen tulang belakang di kedua sisi
cedera. Edema tersebut mengakibatkan hilangnya fungsi dan sensasi secara
temporer. Cedera jaringan tulang belakang berhubungan dengan perubahan
biokimia, dan hemodinamik yang tidak stabil. Sehingga tidak mudah dalam
menentukan tingkat akhir pada gangguan permanen segera setelah cedera.

Perubahan lebih lanjut meliputi fragmentasi penutup akson dan hilangnya myelin.
Sel fagosit dapat mencederai akson yang masih hidup saat membawa debris – debris
seluler. Mediator inflamasi dan kemotaktik selanjutnya memperluas nekrosis
jaringan. Makrofag akan menelan jaringan tulang belakang dan menyebabkan
terjadinya kavitas sentral dan berkembang paling cepat 9 hari setelah trauma. Selain
itu, sel – sel oligodendrogial yang menopang tulang belakang juga ikut hilang.
Cedera pada tulang belakang mengakibatkan hilangnya konduksi aksonal dengan
cepat akibat adanya perubahan ion, seperti adanya peningkatan jumlah kalium
ekstraseluler dengan sangat cepat serta masuknya kalsium ke dalam sel sehingga
berdampak pada pembentukan radikal bebas. Radikal bebas tersebut ditemukan di
dalam tubuh, akan tetapi dengan cepat dikendalikan oleh sistem enzim antioksidan.
Jika sistem antioksidan kewalahan, radikal bebas tersebut akan merusak jaringan.
Pada akhirnya respon fisiologis terhadap cedera medulla spinalis meluas melampaui
perubahan pada tulang belakang. Misalnya respon stress sistem syaraf pusat
mengakibatkan berkurangnya perfusi pada saluran gastrointestinal dan
berkurangnya produksi mucus gastrik untuk melindungi lapisan lambung. Ulserasi
dan perdarahan dapat terjadi.

Spastisitas ialah menigkatnya tonus atau kontraksi otot yang menghasilkan gerakan
kaku. Berbagai cedera SSP atau penyakit seperti CMS, stroke, palsi serebral dapat
menyebabkan spastisitas. Setelah CMS, otak tidak lagi dapat menimbulkan gerakan
refleks melalui tulang belakang. Pada akhirnya bagian bawah tulang belakang
dengan menggunakan busur refleks tulang belakang mulai bekerja otomatis.
Akitifitas refleks tulang belakang tersebut meliputi refleks penarikan fleksor dan
refleks pengosongan kandung kemih dan kolon. Mekanisme tulang belakang yang
primitive ini yang biasanya dijaga agar tetap tidak aktif oleh pusat yang lebih tinggi,
“dirilis” apabila inhibisi normal dari pusat yang lebih tinggi hancur. Sejalan dengan
proses pemulihan, respon fleksor berselang – seling dengan spasme ekstensor.
Gerakan – gerakan ini pada akhirnya berkembang menjadi aktifitas ekstensor
predominan. Anggota badan klien mengalami spasme ekstensi dengan gerakan.
Spastisitas dapat tetap ada tanpa batas waktu atau menurun secara bertahap seiring
dengan waktu.

e. Pemeriksaan penunjang dan Diagnostik


a) X-Ray: untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi), untuk reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
b) CT scan untuk menentukan tempat luka/jejas, mengidentifikasi tulang yang
terluka dan tekanan pada cord, mengevaluasi gangguan struktural, CT- Scan
juga berguna untuk mempercepat skrining dan menyediakan informasi
tambahan jika hasil dari sinar-x kurang akurat untuk mengetahui status patahan
dan spinal yang cedera.
c) MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
d) Foto rontgen thoraks: ditujukan untuk mengetahui keadaan paru klien, (contoh :
adakah perubahan pada diafragma, atelektasis).
e) Pemeriksaan analisa gas darah untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas
dan upaya ventilasi.

f. Penatalaksanaan

 Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan agar
leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien.

 Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan


Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.

 Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal
stabil ringan.

 Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk


mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui spinal
tidak aktif.

g. Diagnosa Keperawatan yang Muncul

 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular akibat


cedera medulla spinalis
 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubugan dengan akumulasi secret di jalan
napas akibat ketidakmampuan refleks batuk karena kelumpuhan otot – otot
abdomen dan interkostal

 Inkontinensia urin berhubungan dengan atoni kandung kemih, kelumpuhan otot


destrusor

 Inkontinensia atau Konstipasi berhubungan dengan paralisis

 Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi lama

 Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri fisik, biologis

 Resiko disrefleksia autonomi berhubungan dengan cedera medulla spinalis

 ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS 5

Seorang laki – laki usia 22 tahun terdiagnosis Cedera Medula Spinalis (Kompresi Torakal 3
dan Lumbal 1-3) setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. pasien post op laminectomy 2
tahun lalu. Saat ini mengeluh tidak bisa menggerakan kedua kakinya dan tidak bisa menahan
kencing dan BAB. Hasil pengkajian : kekuatan otot ekstremitas bawah kanan 0 dan kiri 0,
distensi bladder, BU hipoaktif, terdapat luka ulkus decubitus di area sacrum dan femur
medial (p=4 cm l=5 cm) grade 2.

a. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Faktor predisposisi: Cedera medula spinalis Spinalis (Kompresi Torakal 3 dan
Lumbal 1-3)
Faktor presipitasi : -

b. Wawancara dan Pemeriksaan Fisik

1. Wawancara

1) Keluhan utama : mengeluh tidak bisa menggerakan kedua kakinya dan


tidak bisa menahan kencing dan BAB
2) Riwayat Penyakit sekarang : Kapan keluhan mulai terjadi

3) Riwayat penyakit dahulu : apa ada riwayat cedera atau trauma di masa
lampau, apakah ada riwayat DM, hipertensi, hipoglikemia? apakah klien
memiliki riwayat DM, alkoholisme, penyalahgunaan obat, penyakit
psikiatrik (OD) atau epilepsy. Adakah riwayat penyakit TB, HIV, anemia
pernisiosa, kanker, infeksi, herpes zoster. apakah pernah menjalani
pemeriksaan diagnostic (EEG, MRI, CT Scan) karena menjadi data
pembanding pada pemeriksaan terbaru. Adakah riwayat pembedahan
dahulu terutama terkait masalah neurologis (gangguan spinal, neuropati
perifer, bedah kranial). apakah ada alergi makanan atau obat terutama
antibiotic, makanan seperti kerang, zat pewarna kontras intravena. adakah
konsumsi kafein berlebih.

4) Riwayat keluarga : apakah di keluarga ada yang mengalami penyakit


kanker otak primer atau lesi spinal atau kanker lain, apakah ada
abnormalitas genetic, epilepsi, gangguan neuromuscular (sclerosis multiple,
distrofi muscular, sclerosis lateral, penyakit Hutington)

5) Riwayat sosial : apakah ada perubahan aktifitas harian, ada perubahan pada
pola tidur, rutinitas harian, stressor, ketertarikan seksual dan performa?
riwayat seksual berisiko, konsumsi alcohol dan tembakau? apakah pernah
terpapar asap neurotoksik atau zat kimia seperti pestisida, cat, agen pelekat
(lem)? adanya penggunaan obat penenang, lama penggunaan

2. Pemeriksaan Fisik

1) TTV, Keadaan umum dan kesadaran mengunakan GCS

2) Pemeriksaan Sensorik (Pemeriksaan sensorik berupa sentuhan ringan (light touch)


dan pinprick test. Dilakukan pada 28 dermatom (mulai dari C2 sampai S4-5))
pada sisi kiri dan kanan tubuh. Setiap modalitas dinilai secara terpisah mulai dari:

 0 (absent),

 1 (terdapat gangguan sensasi atau hiperestesia)

 2 (normal atau intact) Total skor maksimal adalah 112 pada masing-
masing sisi, kiri dan kanan.

3) Pemeriksaan Motorik (Pemeriksaan motorik meliputi pemeriksaan kekuatan otot


pada sepuluh myotom berpasangan (C5-T1 dan L2-S1)). dengan skala:

 0 = Tidak ada kontraksi atau gerakan


 1 = Gerakan minimal

 2 = Gerakan aktif, tidak mampu melawan gravitasi

 3 = Gerakan aktif, melawan gravitasi

 4 = Gerakan aktif, melawan tahanan

 5 = Gerakan aktif, melawan tahanan penuh

Kekuatan motorik dinilai dari kekuatan maksimum yang dicapai tanpa melihat
seberapa lama kekuatan tersebut dapat dipertahankan. Skor kekuatan motorik
maksimal ekstremitas atas dan bawah adalah 50 poin untuk masing-masing sisi
tubuh, kiri dan kanan.

4) Pemeriksaan Rektal (Sacral Sparing) : untuk menilai fungsi motorik dan


sensorik pada anal mucocutaneous junction melalui berbagai pemeriksaan sebagai
berikut:

a. Sensasi perianal terhadap sentuhan ringan (light touch)

b. Pinprick test

c. Refleks bulbokavernosus (S3 atau S4),

d. Anal wink (S5)

e. Rectal tone (pemeriksaan rektal tidak akurat pada pasien trauma yang
terintubasi dan dalam pengaruh obat muscle relaxant (seperti vecuronium,
rocuronium))

f. Retensi inkonensia urine

c. Patoflow
Kecelakaan lalu lintas

Kerusakan medulla spinalis

Hemoragi

Serabut-serabut membengkak/hancur
Trauma medulla spinalis

Kerusakan Lumbal 1-3

Paraplegia paralisis

Penurunan pergerakan sendi

Kerusakan mobilitas fisik/Gangguan Mobilitas Fisik.

d. Analisa Data

N DATA ETIOLOGI MASALAH


O

1 DS : Kecelakaan lalu lintas Gangguan mobilitas fisik

- Pasien mengeluh tidak bisa


menggerakan kedua kakinya
Kerusakan medulla
DO : spinalis
- kekuatan otot ekstremitas
bawah kanan 0 dan kiri
Hemoragi

Serabut-serabut
membengkak/hancur

Trauma medulla
spinalis

Kerusakan Lumbal 1-3

Paraplegia paralisis

Penurunan pergerakan
sendi

Gangguan mobilitas
fisik

2. DS : Inkontinensia urine
- Pasien mengatakan tidak
fungsional
bisa menahan kencing dan Kerusakan medulla
BAB. spinalis
-
DO :
- distensi bladder Hemoragi

Serabut-serabut
membengkak/hancur

Trauma medulla
spinalis

Disrefleksia otonom

Gangguan fungsi
rectum dan vesika
urinaria
Inkontinensia urine
fungsional

e. Rencana Keperawatan

N MASALAH RENPRA
O
(SDKI) TUJUAN INTERVENS AKTIFITAS
I
(SLKI)
(SIKI)

1. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Observasi


mobilitas intervesi selama Mobilisasi
fisik b.d 3x24 jam maka - Identifikasi toleransi fisik
penurunan diharapkan Mobilitas melakukan pergerakan
kekuatan otot Fisik meningkat - Monitor frekuensi jantung
d.d: dengan kriteria hasil dan tekanan darah sebelum
sebagai berikut : memulai mobilisasi
DS : - Monitor kondisi umum
- Pergerakan selama melakukan mobilisasi
- Pasien Ekstremitas
mengeluh meningkat Terapeutik
tidak bisa - Rentang gerak
menggera - Fasilitasi aktivitas mobilisasi
(ROM) dengan alat bantu
kan meningkat
kedua - Fasilitasi melakukan
- Gerakan terbatas pergerakan
kakinya menurun - Libatkan keluarga untuk
DO : - Kelemahan fisik membantu pasien dalam
menurun meningkatkan pergerakan
- kekuatan
otot Edukasi

ekstremit - Jelaskan tujuan dan prosedur


as bawah mobilisasi
kanan 0 - Anjurkan melakukan
dan kiri mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan

2. Inkotinensia Setelah dilakukan Kontinensia Observasi


urin intervesi selama urine
fungsional 3x24 jam maka - Identifikasi penyebab
b.d diharapkan inkontinensia urine
kerusakan Kontinensia Urin - Identifikasi perasaan dan
sensori dan membaik dengan persepsi terhadap
motorik d.d: kriteria hasil sebagai inkontinensia urine
berikut : Terapeutik
DS :
 Frekuensi - Sediakan pakaian dan
Pasien
berkemih lingkungan yang mendukung
mengatakan
membaik program inkontinensia urine
tidak bisa
 Sensasi berkemih - Ambil sampel urine untuk
menahan
membaik pemeriksaan urine lengkap
kencing dan
BAB. dan kutur

Edukasi

DO : - Jelaskan definisi, jenis dan


penyebab inkontinensia urine
distensi - Diskusikan program
bladder inkontinensia urine

Kolaborasi

- Kolaborasi dengan dokter


dan fisioterapi untuk
mengatasi inkontinensia
urine

Anda mungkin juga menyukai