Anda di halaman 1dari 2

Hebat, Bisa Tetap Panen di Tengah Kekeringan

Penulis : Siswantini Suryandari


Kamis, 13 September 2012 06:25 WIB     
1 komentar
0 0

Ilustrasi--ANTARA/Ujang Zaelani/bb
JAKARTA--MICOM: Wajah Saidi dan Mahdi tampak cerah. Mereka tersenyum lega karena tahun ini
bisa panen raya padi.

"Alhamdulillah, kami masih bisa panen besar. Di tempat lain banyak yang kering dan tidak bisa
ditanami," kata Saidi petani asal Desa Pekayon, Kecamatan Sukadiri, Kabupaten Tangerang, Banten,
saat melihat hamparan padi menguning siap dipanen.

Kakak beradik ini bersama para petani lainnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Harapan
Makmur Desa Pekayon, bisa menikmati panen padi varietas Sidenuk sebanyak 11 ton gabah kering
panen (GKP) dan varietas Mira I sebanyak 12 ton (GKP). Dua varietas tersebut hasil pemuliaan padi
dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).

Panen raya itu dihadiri Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang Hermansyah, Kepala Dinas Pertanian
Kabupaten Tangerang Jarnaji, dan tamu undangan lainnya.

Hal menarik lainnya panen raya ini juga ditopang teknologi pertanian berupa penyediaan pupuk yang
ramah lingkungan yang diberi nama Slow Release Fertilizer (SRF), hasil riset para peneliti dari Pusat
Teknologi Industri Proses Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTIP BPPT).

Kepala Program Pengembangan Pupuk Berimbang PTIP BPPT, Abdul Ghofar menjelaskan penyebab
terjadinya gagal panen pada musim kemarau ada beberapa hal. "Selain air tidak mencukupi, juga
penggunaan pupuk yang berlebihan, tanah yang tidak subur, dan teknologi yang dipakai tidak
berkembang."

Menurutnya seiring dengan isu perubahan iklim maka sektor pertanian pun harus melakukan adaptasi
terhadap lingkungan. Namun dari hasil penelitiannya, petani sering boros pupuk yang menyebabkan
terjadinya pemakaian pupuk secara berlebihan.

Pada umumnya petani memakai empat jenis pupuk untuk menyuburkan tanah dan tanaman. "Mereka
memberi pupuk pada tanah dan tanaman melebihi kapasitas. Sementara pupuk yang berhasil diserap
tanaman cuma 20%, sisanya hilang."

Dampaknya limbah pupuk yang terbuang dalam jumlah berlebihan, saat musim kemarau menyebabkan
tanah cepat kering dan pecah-pecah.

"Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran kami untuk menciptakan pupuk yang hemat air, hemat
pemakaian, dan sawah tetap bisa ditanami meski kemarau panjang."

Kabid Teknik Industri Kimia PTIP BPPT, Hens Saputra menambahkan SRF ini merupakan pupuk hara
makro yang mengandung nitrogen, fosfat dan kalium.

Pupuk tersebut dikembangkan dengan material nano dari sumber alam yakni ziolith. Sifat ziolith tidak
bisa melepas air begitu saja. Ziolith ini nantinya memiliki fungsi sebagai pengikat air di dalam tanah.
Ketika musim kemarau tiba dan di saat air mulai berkurang, pupuk ini bisa dipakai selain untuk
menyuburkan tanah dan tanaman juga melepas air yang sudah diikat.

Bahkan ziolith ini juga membantu kapan nutrien di dalam pupuk dilepaskan ke tanaman. "Jadi intinya
dengan adanya ziolith ini, pupuk SRF yang mengontrol air dan nutrien," terang Hens.

Adapun bentuk pupuknya mirip gronola atau butiran-butiran kecil. Hens menambahkan BPPT sudah
melakukan ujicoba di 16 kabupaten di Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, dan Merauke. Termasuk di Desa
Pekayon ini dengan memakai lahan seluas 20 hektare dari total 50 hektare sawah yang ada.

Uniknya sebagian sawah yang ada di desa tersebut sudah puso akibat kekeringan. Namun wilayah uji
coba tersebut tetap subur, bahkan panen raya. (Nda/OL-9)

Anda mungkin juga menyukai