Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2020


DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KESADARAN MENURUN

Oleh:

Anugrah Pratama Putra, S.Ked


10542047113

Pembimbing:
Dr. dr. Hisbullah, Sp.An, KIC, KAKV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anestesi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih
yang mendalam kepada Dr. dr. Hisbullah, Sp.An, KIC, KAKV selaku
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam
membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas
ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna
adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat
kepada semua orang.

Makassar, Desember 2020

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Anugrah Pratama Putra, S.Ked
NIM : 10542 0471 13
Judul Lapsus : Kesadaran Menurun

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, November 2020

Pembimbing Mahasiswa

Dr. dr. Hisbullah, Sp.An, KIC, KAKV Anugrah Pratama Putra, S.Ked

BAB I

3
LAPORAN KASUS

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 60 tahun dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar
sejak 1 jam yang lalu. Riwayat nyeri perut sejak 1 minggu yang lalu. Pemeriksaan
fisik didapatkan perut tampak cembung. Tanda vital TD 80/50 mmHg, nadi 128
x/menit, RR 30 x/menit, suhu 38,5C. Laboratorium didapatkan WBC 20.000/m3

KATA KUNCI

 Laki-laki 60 tahun
 Tidak sadar sejak 1 jam yang lalu
 Riwayat nyeri perut sejak 1 minggu yang lalu
 Perut tampak cembung
 Tekanan darah 80/50 mmHg
 Nadi 128 x/menit
 RR 30 x/menit
 Suhu 38,5C
 WBC 20.000/ m3

DAFTAR PERTANYAAN

1. Bagaimana menilai tingkat kesadaran?


2. Jelaskan penyebab kesadaran menurun!
3. Jelaskan anatomi dan fisiologi saluran pencernaan!
4. Jelaskan patomekanisme kesadaran menurun pada skenario!
5. Diagnosis sementara.
6. Bagiamana langkah-langkah diagnosis kasus di atas?
7. Bagaimana tatalaksana pada skenario di atas ?

PEMBAHASAN
4
1. Penilaian tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos
mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma.1
 Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat
menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya.

 Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan
berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.

 Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung


tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu
memberikan jawaban secara verbal, namun mudah tertidur kembali.

 Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata


tertutup. Pasien dalam keadaan tidur yang dalam atau tidak memberikan
respon dengan pergerakan spontan yang sedikit atau tidak ada dan hanya
bisa dibangunkan dengan rangsangan kuat yang berulang (rangsang
nyeri).
 Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun
dengan semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Pasien
dalam keadaan tidak sadar yang dalam, yang tidak dapat dibangunkan
akibat disfungsi ARAS di batang otak atau kedua hemisfer serebri.
Karakteristik koma adalah tidak adanya arousal dan awareness terhadap
diri sendiri dan lingkungannya.
Koma yang terjadi secara tiba-tiba dapat memberi dugaan kejang atau
perdarahan intrakranial. Koma yang didahului kantuk atau ketidakstabilan
dapat memberi dugaan tertelannya obat-obatan atau racun. Demam biasa
terjadi pada anak koma karena proses infeksi. Riwayat nyeri kepala dapat
memberi dugaan adanya peningkatan tekanan intrakranial.2
Penilaian kesadaran secara kuantitatif dapat menggunakan Tabel penilaian
Glasgow Coma Scale (GCS).
Respons Membuka Mata
Spontan 4

5
Terhadap perintah/pembicaraan 3
Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Respons Motorik
Sesuai perintah 6
Mengetahui lokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi-dekortikasi 3
Reaksi ekstensi-deserebrasi 2
Tidak berespons 1
Respons Verbal
Dapat berbicara dan memiliki orientasi baik 5
Dapat berbicara, namun disorientasi 4
Berkata-kata tidak tepat dan tidak jelas (inappropriate words) 3
Mengeluarkan suara tidak jelas (incomprehensive sounds) 2
Tidak bersuara 1
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)
Skala AVPU adalah cara cepat dan sederhana untuk mendeteksi
perubahan status mental (AMS) pada Pasien. AVPU adalah skala langsung
yang berguna untuk menilai dengan cepat tingkat kesadaran kasar, daya
tanggap, atau status mental pasien. Ini berperan selama perawatan pra-rumah
sakit, ruang gawat darurat, bangsal rumah sakit umum, dan pengaturan unit
perawatan intensif (ICU).3
Dasar skala AVPU ada pada kriteria berikut:
 Alert : Pasien sadar akan pemeriksa dan dapat merespons lingkungan di
sekitar mereka sendiri. Pasien juga dapat mengikuti perintah, membuka
mata secara spontan, dan melacak objek.
 Responsif Verbal: Mata pasien tidak terbuka secara spontan. Mata pasien
terbuka hanya sebagai respons terhadap rangsangan verbal yang
diarahkan padanya. Pasien mampu bereaksi terhadap rangsangan verbal
tersebut secara langsung dan dengan cara yang berarti.

6
 Painfully Responsive: Mata pasien tidak terbuka secara spontan. Pasien
hanya akan merespon penerapan rangsangan yang menyakitkan oleh
pemeriksa. Pasien mungkin bergerak, mengerang, atau berteriak secara
langsung sebagai respons terhadap rangsangan yang menyakitkan.
 Unresponsive: Pasien tidak merespons secara spontan. Pasien tidak
merespon rangsangan verbal atau nyeri
2. Etiologi Kesadaran Menurun
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang
berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating
System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang
melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending
Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network
system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu
diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai
lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons,
mesencephalon menuju ke subthalamus, hipothalamus, thalamus dan
akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter yang
berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks
secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula
disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio
retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon. Pada
penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan
gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi
yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran

7
Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak
secara fokal maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara
umum diklasifikasikan dalam intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu,
Koma juga dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik.
Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat
seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan metabolik,
intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan
intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi
sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan
psikogenik. Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak
jika tidak ada perbaikan keadaan klinis.4

Table 2. etiologi penurunan kesadaran.

3. Anatomi dan Fisiologi


Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan
(faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus
Fisiologi sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai
dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi
untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi,
menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian

8
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari
tubuh. Anatomi dan fisiologi sistem pencernaan yaitu :
1. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk
untuk system pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut
dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang
terdapat di permukaan lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari manis, asam,
asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung, terdiri
dari berbagai macam bau. Makanan dipotong-potong oleh gigi depan
(incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi
bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah
akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-
enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan
menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar
dan berlanjut secara otomatis.
2. Faring
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang
banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap
infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan,
letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang
belakang keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan
perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan
rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium.
Tekak terdiri dari bagian superior yaitu bagian yang sama tinggi dengan
hidung, bagian media yaitu bagian yang sama tinggi dengan mulut dan
bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian
superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang
menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut

9
orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior
disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.
3. Esofagus
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang
dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung.
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses
peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang.
Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot
rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot
halus).
4. Gaster
Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga
bagian yaitu kardia, fundus dan antrium. Lambung berfungsi sebagai
gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur
makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam klorida (HCL), dan prekusor
pepsin (enzim yang memecahkan protein). Lendir melindungi sel – sel
lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida menciptakan
suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah
protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang
terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
5. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan
yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan
pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena
porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air
(yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna).
Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein,
gula dan lemak. Lapisan usus halus terdiri dari lapisan mukosa (sebelah
dalam), lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan lapisan serosa.

10
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum),
usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
a. Duodenum
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus
yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus
halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum treitz. Usus
dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal
berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung melepaskan
makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian
pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui
sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika
penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti
mengalirkan makanan.
b. Jejenum
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara
usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia
dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1- 2 meter adalah
bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam
tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran
mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari
usus.
c. Illeum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2- 4 m dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu.
Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam empedu.
6. Kolon

11
Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar
terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens
(kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum). Banyaknya bakteri
yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan
membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga
berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting
untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare
7. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus
besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong
karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon
desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum,
maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu
sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika
defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar,
di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi
bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian
otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung
saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus
terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus.
Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang
dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar) yang merupakan fungsi
utama anus

12
4. Patomekanisme Kesadaran Menurun
Perilaku normal membutuhkan Pengetahuan dan Afek yang sesuai,
sehingga seseorang mampu mengenali hubungan antara diri sendiri dan
lingkungan. Komponen perilaku ini di kontrol oleh hemisfer otak. Pada
umumnya, tubuh mengikuti ritme kesadaran yang normal. Dari kondisi
kesadaran penuh (wakefulness) menjadi mengantuk, dan pada akhirnya
tertidur. Pada satu titik selama tertidur (atau bahkan pada mengantuk),
stimulus dari luar diproses melalui input sensoris untuk meningkatkan
kondisi sadar dan menyebabkan seseorang menjadi sadar (bangun). Siklus
ini dipicu secara predominan oleh ARAS, yang disebut sebagai pusat tidur.2
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan
isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat
mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.5
Penyebab dari penurunan kesadaran. ARAS dapa dibedakan di
beberapa refleks batang otak, termasuk refleks cahaya pada pupil (nervus
kranial II dan III) dan refleks pergerakan mata (nervus kranial III, VI, VIII,
dan fasciculus longitudinal medial). Pemeriksaan pada refleks ini
mengindikasikan fungsi dari ARAS. Adanya trauma pada area ARAS dapat
menyebabkan hilangnya refleks batang otak dan gangguan kesadaran,
meskipun hemisfer otak tetap dalam kondisi normal. Disfungsi otak difus
biasanya akibat riwayat penyakit medis seperti keracunan, gangguan
metabolik dan infeksi menyebabkan penekanan (kompresi) pada ARAS
yang merupakan akibat gangguan struktural.2
Periode hilangnya kesadaran sesaat berarti hilangnya kesadaran
intermiten dan muncul secara mendadak dari pasien yang sebelumnya telah
sadar penuh. hal ini terdapat pasien dengan penyakit kardiovaskular dengan
penurunan aliran darah ke otak secara akut (syncope) ataupun gangguan
aktivitas elektrik pada otak (kejang). Lesi fokal otak yang terjadi di bawah

13
tentorium (Gambar 1.A) akan mengganggu RAS sehingga dapat
menyebabkan koma sedangkan lesi fokal terjadi di atas tentorium dalam satu
hemisfer otak menyebabkan koma hanya jika sisi kontralateral otak secara
bersamaan terlibat atau terkompresi (Gambar 1.B) Lesi menyebar (difus)
otak, yang mempengaruhi fungsi otak secara keseluruhan termasuk RAS
dapat menyebabkan koma (Gambar 1.C).

Gambar 1. Gambaran Lesi yang menyebabkan Penurunan Kesadaran. Gbr A


& B menunjukkan Lesi fokal. Gbr C. menunjukkan pada kondisi
Encephalophaty Diffuse.
5. Diagnosis Sementara
a. Syok sepsis
Pada skenario ini kemungkinan diagnosis dari pasien adalah syok sepsis.
Syok sepsis adalah suatu kondisi kegawatdaruratan yang disebabkan oleh
kondisi sepsis, yaitu perdangan diseluruh tubuh akibat infeksi. Sok sepsis
ditandai dengan kegagalan fungsi sirkulasi akibat infeksi yang berlanjut.
Syok sepsis memerukan pertolongan medis yang cepat dan tepat.
Beberapa konferensi besar telah men- definisikan sepsis, sepsis berat, dan
syok septik. Pertama, pada tahun 1991 the American College of Chest
Physicians and Society of Critical Care Medicine (ACCP/ SCCM)
mengajukan konsep SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik. Kriteria
SIRS meliputi: 1) suhu tubuh >38◦C atau <36◦C per oral; 2) frekuensi nadi
>90 kali/menit; 3) frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2 <32
mmHg; 4) jumlah leukosit
>12.000/µL atau <4.000/ µL atau >10% bentuk imatur (batang).
Sekurangnya dua dari empat kriteria di atas harus terpenuhi untuk

14
mendefinisikan SIRS. Meskipun SIRS sering terjadi karena infeksi, keadaan
non-infeksi seperti luka bakar, pakreatitis akut, dan trauma, dapat juga
menyebabkan SIRS. Kriteria di atas tidak memasukkan penanda biokimia,
seperti C-reactive protein (CRP), prokalsitonin, atau inter- leukin (IL)-6,
yang sering meningkat pada sepsis. Sepsis didefinisikan sebagai SIRS yang
disertai infeksi yang terbukti atau dicurigai. Sepsis berat adalah sepsis yang
disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, seperti menurunnya
fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik
merupakan sepsis dengan perfusi abnormal dan hipotensi (tekanan darah
sistolik <90 mmHg atau menurun >40 mmHg di bawah tekanan darah dasar
(baseline) pasien tersebut atau tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) selama
sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang
adekuat, atau sepsis yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan
agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata ≥70
mmHg. Peningkatan laktat serum menjadi tanda hipoperfusi jaringan dan
syok septik.1,4,5
Pada tahun 2001, konferensi definisi sepsis internasional diselenggarakan
oleh SCCM, the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM), the
American College of Chest Physicians (ACCP), the American Thoracic
Society (ATS), dan the Surgical Infection Society (SIS). Konfe- rensi ini
masih tetap menggunakan definisi di atas, selain itu mengembangkan
konsep sistem penderajatan untuk sepsis berdasar- kan empat karakteristik
terpisah yang disebut PIRO. Huruf P mewakili predispo- sisi,
mengindikasikan faktor-faktor yang memengaruhi pasien terhadap
terjadinya sepsis meliputi faktor genetik, lingkungan, dan kondisi komorbid.
Huruf I mewakili infeksi, termasuk lokasi infeksi, sumber infeksi, dan jenis
organisme. Huruf R mewakili respon terhadap adanya infeksi, termasuk
timbulnya SIRS. Huruf O mewa- kili disfungsi organ, termasuk kegagalan
sistem organ seperti sistem koagulasi.5
Definisi baru untuk sepsis dan syok septik telah direkomendasikan oleh
SCCM/ ESICM dalam konsensus internasional ke-3 (Sepsis-3) pada tahun

15
2016. Sepsis didefi- nisikan sebagai disfungsi organ yang meng- ancam
jiwa, disebabkan oleh ketidakmam- puan respon pejamu terhadap infeksi.
Disfungsi organ dapat diidentifikasi seba- gai perubahan akut sebagai
konsekuensi infeksi yang dirumuskan dalam skor sequential (sepsis-related)
organ failure assessment (SOFA) ≥2 (Tabel 1). Pene- kanan pada disfungsi
organ yang mengan- cam jiwa konsisten dengan pandangan bahwa cacat
seluler mendasari kelainan fisiologik dan biokimia sistem organ spesi- fik.
Skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko mortalitas rata-rata 10% untuk pasien
yang dirawat di rumah sakit dengan tersangka infeksi. Syok septik
merupakan bagian dari sepsis dengan disfungsi peredaran darah dan
selular/metabolik yang mendasari, dikaitkan dengan peningkatan risiko
kema- tian. Pasien syok septik dapat diidentifikasi secara klinis yaitu sepsis
dengan disertai hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk
mempertahankan agar tekanan arteri rata-rata ≥65 mmHg dan konsentrasi
laktat darah >2 mmol/L (>18 mg/dL) meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat. Risiko mortalitas pasien yang dirawat menjadi >40%.
Sistem Skor
0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FIO2, mmHg ≥400 <400 <300 <200 (26,7) dengan <100 (13,3) dengan
(kPa) (53,3) (53,3) (40) bantuan alat respi- bantuan alat
rasi respirasi
Koagulasi
Trombosit, ≥150 <150 <100 <50 <20
×103/μL
Hati
Bilirubin, mg/dL <1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6,0-11,9 ≥12,0
(μmol/L) (<20) (20-32) (33-101) (102-204) (≥204)
Kardiovaskular
MAP ≥70 MAP <70 Dopamin ≤5 Dopamin 5,1-15 Dopamin >15 atau
mmHg mmHg atau atau epinefrin >0,1 atau

16
dobutamin epinefrin ≤0,1 atau norepinefrine >0,1b
(semua norepinefrine ≤0,1b
dosis)b
Sistem saraf pusat
Skor Glasgow 15 13-14 10-12 6-9 <6
Coma Scalec
Ginjal
Kreatinin, mg/dL <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 >5,0
(μmol/L) (110) (110-170) (171-299) (300-440) (440)
Urine output, <500 <200
mL/hari

Gejala syok septik antara lain:

 Hipotensi (tekanan darah rendah) Peningkatan frekuensi pernapasan (takipnea)


 penurunan kesadaran.
 Demam tinggi (suhu tubuh >38OC)
 Peningkatan denyut nadi (takikardia)
 Menggigil.
 Sakit kepala.

b. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang
menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk
penyakit akut, dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal
maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur
appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat
keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada
perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi
tuba falopi atau ruptur ovarium.
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara
lain:

17
1) Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan
ektopik terganggu
2) Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab
obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.
3) Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus
alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi,
radang, trauma
4) Radang, yaitu pada peritonitis
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu:
• penyakit hati dengan ascites
• kerusakan ginjal
• compromised immune system
• pelvic inflammatory disease
• appendisitis
• ulkus gaster
• infeksi kandung empedu
• colitis ulseratif / chron’s disease
• trauma
• CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
• pankreatitis
Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri
dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat
ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat
penderita bergerak. Gejala lainnya meliputi:
• Demam Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia
• Mual dan muntah Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera
atau akibat iritasi peritoneum
• Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.
• Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.

18
• Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus
• Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum
• Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
• Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
• Tidak dapat BAB/buang angin.

c. ILEUS OBSTRUKTIF

DEFINISI Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan


tanda adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau
tindakan. Ileus ada 2 macam, yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik. Ileus
obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi lumen
saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya
sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus,
dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu
segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.

ETIOLOGI

Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain :

1. Hernia inkarserata : usus masuk dan terjepit di dalam pintu hernia. Pada anak
dapat dikelola secara konservatif dengan posisi tidur Trendelenburg. Namun, jika
percobaan reduksi gaya berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus
diadakan herniotomi segera.

2. Non hernia inkarserata, antara lain :

a. Adhesi atau perlekatan usus Di mana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit
usus. Dapat berupa perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal maupun
multiple, bisa setempat atau luas. Umunya berasal dari rangsangan peritoneum

19
akibat peritonitis setempat atau umum. Ileus karena adhesi biasanya tidak disertai
strangulasi.

b. Invaginasi Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan agak
jarang pada orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak sering bersifat
idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Invaginasi umumnya berupa
intususepsi ileosekal yang masuk naik ke kolon ascendens dan mungkin terus
sampai keluar dari rektum. Hal ini dapat mengakibatkan nekrosis iskemik pada
bagian usus yang masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. Diagnosis
invaginasi dapat diduga atas pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan
pemeriksaan Roentgen dengan pemberian enema barium. Invaginasi pada orang
muda dan dewasa jarang idiopatik, umumnya ujung invaginatum merupakan
polip atau tumor lain di usus halus. Pada anak, apabila keadaan umumnya
mengizinkan, maka dapat dilakukan reposisi hidrostatik yang dapat dilakukan
sekaligus sewaktu diagnosis Roentgen ditegakkan. Namun, apabila tidak berhasil,
harus dilakukan reposisi operarif. Sedangkan pada orang dewasa, terapi reposisi
hidrostatik umumnya tidak mungkin dilakukan karena jarang merupakan
invaginasi ileosekal.

c. Askariasis Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, biasanya


jumlahnya puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi bisa terjadi di mana-mana di
usus halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang merupakan tempat lumen
paling sempit. Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat terdiri
atas sisa makanan dan puluhan ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat
pemberian obat cacing. Segmen usus yang penuh dengan cacing berisiko tinggi
untuk mengalami volvulus, strangulasi, dan perforasi.

d. Volvulus Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus yang


abnormal dari segmen usus sepanjang aksis longitudinal usus sendiri, maupun
pemuntiran terhadap aksis radii mesenterii sehingga pasase makanan terganggu.
Pada usus halus agak jarang ditemukan kasusnya. Kebanyakan volvulus didapat
di bagian ileum dan mudah mengalami strangulasi. Gambaran klinisnya berupa

20
gambaran ileus obstruksi tinggi dengan atau tanpa gejala dan tanda strangulasi. e.
Tumor Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus, kecuali jika ia
menimbulkan invaginasi. Proses keganasan, terutama karsinoma ovarium dan
karsinoma kolon, dapat menyebabkan obstruksi usus. Hal ini terutama
disebabkan oleh kumpulan metastasis di peritoneum atau di mesenterium yang
menekan usus.

f. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong empedu
menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang
menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang
besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau
katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi. Penyebab obstruksi kolon yang
paling sering ialah karsinoma, terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri
distal. Selain itu, obstruksi dapat pula disebabkan oleh divertikulitis, striktur
rektum, stenosis anus, volvulus sigmoid, dan penyakit Hirschprung.

MANIFESTASI KLINIS

1. Obstruksi sederhana Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna


tinggi, artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di
dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah. Gejala
penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai kembung. Pada
obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang
jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa
berat dan menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak
di perut bagian atas. Semakin distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan
semakin fekulen. Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut
dengan dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal
sampai demam. Distensi abdomen dapat dapat minimal atau tidak ada pada
obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di daerah distal. Bising

21
usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar sesuai dengan
timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal. ‘

2. Obstruksi disertai proses strangulasi Gejalanya seperti obstruksi sederhana


tetapi lebih nyata dan disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda
strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan
tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah
terjadinya nekrosis usus.

3. Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri akibat


sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus menerus
menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus dapat keras dan
timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah gambaran umum
obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi pada penyumbatan usus besar.
Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah
refluks. Bila akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak
gangguan pada usus halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada keadaan
valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering mengakibatkan
perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan dindingnya yang lebih tipis.
Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi abdomen dan timpani,
gerakan usus akan tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar metallic
sound pada auskultasi. Nyeri yang terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan
adanya strangulasi

6. Penanganan Awal
Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis
perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang
terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien
harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan pasien berupa primary
survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey, dan akhirnya
terapi definitif. Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan
berpatokan pada urutan berikut:

22
A. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)
B. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
D. Disability: status neurologis
E. Exposure/environmental control: buka baju pasien, tetapi cegah
hipotermia

AIRWAY
Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan
langkah- langkah berikut :
a. Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran
menurun, agitasi member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran
member kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang
disebabkan oleh kurangya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada
kuku da sekitar mulut. Retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan
yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.
b. Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang
berbunyi (suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara
mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound,
stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau
laring. Suara parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada
laring. Pasien yang melawan ddan berkata-kata kasar (gaduh, gelisah)
mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena
keracunan/mabuk.
c. Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea
berada di tengah.
Permasalahan yang dapat timbul saat evaluasi jalan napas adalah:
• Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis
(stridor)
• Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat
lumen saluran pernapasan bagian atas.

23
• Penekanan saluran pernapasan dari luar.
• Terjadi sumbatan benda padat secara total.
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah
lakukan pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan
ekstensi kepala sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup
hipofaring. Hal ini dapat dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada
kecurigaan terjadi fraktur tulang leher, tindakan membebaskan jalan napas
dilakukan tanpa ekstensi berlebihan kepala dan posisi leher harus
diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih dahulu dibuka,
dibebaskan, dan dibersihkan.
Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin
jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini
dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver)
atau dengan mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw-thrust maneuver),
airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway atau
nasopharyngeal airway. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka
airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena
itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi
segaris (inline immobilization).
a. Head tilt/chin lift maneuver
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif
untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah satu-
satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan
penolong yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head
tilt/chin lift maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi
pasien dan kepala dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan
dengan kuat di bawah bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu
ke atas.
b. Jaw Trhust Manuever
Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan
jaw- thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus

24
mandibula) kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini
harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.9

c. Heimlich Maneuver
Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya
karena tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi
saluran napas mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan
asfiksia dan merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi sangat
akut, pasien sering tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka.
Jika parah, dapat menyebabkan hilangnya cepat kesadaran dan kematian jika
pertolongan pertama tidak dilakukan dengan cepat dan berhasil. Jika benda
asing tidak tampak di mulut dan tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat
harus dilakukan Heimlich. Pasien dipegang dari belakang setinggi ulu hati
dengan kedua tangan : tangan yang satu memegang tangan yang lain dengan
cukup kuat, tangan ditekan sehingga diafragma naik dan terjadi tekanan
tinggi di rongga dada. Posisi tangan yang lebih dominan mengepal dan
tangan yang lain diletakkan di atasnya. Gerakan ini dapat mengeluarkan
benda asing.
d. Back Blows
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak
lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.
e. Finger sweep
Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian
atas pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban
dengan memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari.
Penyelamat kemudian mencoba untuk menyapu benda asing keluar dari
mulut korban dengan jari.
Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka
lakukan pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :
a. Oropharingeal Airway

25
Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih
adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan
menyisipkan airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong
lidah kebelakang yang justru akan membuat airway buntu. Alat ini tidak
boleh digunakan pada pasien yang sadar karena dapat menyebabkan
sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat mentoleransi airway
orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan intubasi.

b. Nasopharyngeal Airways
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan
jelly. Alat tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke
lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama
pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang hidung yang lainnya.

BREATHING
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama
untuk pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah
awal. Airway yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien
juga mempunyai adekuat ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari
ventilasi yang tidak adekuat.
Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui
dengan mengambil langkah-langkah berikut:
a. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara
dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting)
atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored
breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi
pasien.
b. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks
merupakan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan

26
yang cepat, takipneu mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen
(respiratory distress).
c. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan adanya
ventilasi yang adekuat.
Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh
gangguan pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi susunan
saraf pusat. Apabila pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway,
penyebab lain harus dicari. Trauma langsung pada dada, khususnya yang
disertai trauma tulang iga, menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan
menyebabkan pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien
lanjut usia yang mengalami trauma toraks dan menderita gangguan paru
mempunyai resiko bermakna untuk mengalami gagal napas pada keadaan
ini.
Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang
abnormal dan mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan
pernapasan diafragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk
kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi terganggu. Transeksi total
servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus menimbulkan pernapasan
abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan ventilasi mungkin
dibutuhkan.
Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal
napas. Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma
mengenai abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita telah
menderita gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga pertukaran gas
tidak cukup. Sindrom gagal napas pada orang dewasa (Adult respiratory
distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan paru karena trauma, syok,
sepsis.
Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan
oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan
menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau

27
mulut ke alat (S- tube masker atau bag valve mask). Ventilasi buatan dengan
tekanan positif jangka panjang sebainya dilakukan melalui intubasi dengan
pipa endotrakeal atau dengan trakeostomi.
a. Mouth to Mouth
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas korban
harus terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik membuka
jalan napas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau
dengan menekan pipi penolong pada hidung korban. Mulut penolong
mencakup seluruh mulut korban. Mata penolong melihat ke arah dada
korban untuk melihat pengembangan dada. Pemberian pernapasan buatan
secara efektif dapat diketahui dengan melihat pengembangan dada korban.
Tiupkan napas dengan lambat, tiupkan setiap napas lebih dari 2 detik,
pastikan ada pengembangan dada korban. Bersiaplah untuk memberikan
sekitar 10 sampai 12 napas per menit (1 nafas setiap 4 sampai 5 detik).
b. Mouth to Nose
Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika pemberian
napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat
luka yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di
dalam air atau mulut penolong tidak dapat mencakup mulut korban.
c. Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari
mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif
karena memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan untuk
membuat masker terpasang erat di daerah mulut pasien. Ada 2 teknik yang
mungkin untuk menggunakan masker mulut. Teknik pertama posisi
penyelamat di atas kepala korban (cephalic technique). Pada teknik kedua
(lateral technique), penyelamat adalah diposisikan di samping korban dan
menggunakan head tilt– chin lift.
d. Bag Valve Mask
Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan Bag
Valve Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk

28
memompa O2 bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang menutup
mulut dan hidung penderita. Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh
dua orang penolong yang berpengalaman. Salah seorang penolong mebuka
jalan napas dan menempelkan sungkup di wajah korban dan penolong lain
memegang bagging. Teknik ventilasi bag v alv e mask membutuhkan
instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat menggunaka npera lata n
secara efektif dalam berbagai situasi.

CIRCULATION
Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi
hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik.
Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga
keadaan ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda
henti jantung muncul.
Pada penilaian sirkulasi, yang dibicarakan adalah volume darah dan
cardiac output serta, perdarahan. Bila volume darah menurun, perfusi otak
dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan
dibalik: pasien yang sadar belum tentu normo-volemik). Warna kulit dapat
membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang kulitnya kemerahan,
terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan
hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas
yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.
Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A. karotis (kiri-
kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila pasien tidak
minum obat beta- blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi
yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi
dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk
memperbaiki volume dan cardiac output.

29
Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma
adalah syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan
yang terlalu banyak atau karena cedera jantungnya sendiri. Tanda-tanda
henti jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau tidak
ada denyut pembuluh darah besar karotis atau femoralis. Salah satu atau
kedua tanda utama ini berlaku pada semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan
kejadian ini. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda
hipoksia. Hipoksia dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis
serta midriasis telah ada walaupun curah jantung tidak berkurang. Tidak ada
cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap saat tersedia
kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua oksigen ini tersedia
sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi jika penggunaan oksigen terus
tidak berkurang, “cadangan” akan habis terpakai (paling lama 3 menit).
Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali secara spontan, atau tidak
ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat berhenti, mungkin tidak
ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena itu, henti jantung klinis
harus ditangani segera.
Penanganan
a. Syok
Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma dan
hampir semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi hipovolemia.
Sebagai tambahan, kebanyakan pasien dengan syok nonhemoragik
memberikan respon yang singkat terhadap resusitasi cairan. Walaupun tidak
lengkap (parsial). Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi
empat kelas berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang
penting untuk memperkirakan presentasi hilangnya darah secara akut.
Perubahan-perubahan ini dapat menunjukkan adanya perdarahan yang
sedang terjadidan sebagai pedoman terapi awal. Penggantian volume darah
hendaknya didasarkan atas respon pasien terhadap terapi awal dan bukan
klasifikasi kehilangan darah. Sistem klasifikasi perdarahan ini berguna untuk

30
menetukan tanda-tanda klinis awal patofisiologi kodisi syok. Upaya
diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara simultan. Prinsip
penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan penggantian volume
darah/cairan yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas
cedera yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE. Pencatatan
data-data awal penting untuk memonitor respon pasien terhadap terapi.
Tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran merupakan faktor
penting. Bila kondisi memungkinkan, pemeriksaan yang lebih detil perlu
dilaksanakan.
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan untuk
mempertahankan saturasi lebih dari 95%. Prioritas dalam sirkulasi meliputi
control perdarahan yang jekas terlihat, memperoleh akses intarvena yang
cukup dan menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar
umumnya dapat dikontrol dengan bebat tekan langsung pada perdarahan. 9
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler
dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam
ruang itertisial dan intraseluler. Keputusan untuk memberikan transfuse
darah didasarkan pada respon pasien. Tujuan utama transfuse darah adalah
untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam volume
intravaskuler.
b. Chest Compression
Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong
harus mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam
harus melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan bahwa
korban dalam keadaan tidak responsif, operator harus mampu membimbing
penolong awam untuk memeriksa pernapasan pasien serta langkah-langkah
CPR (cardiopulmonary resuscitation), jika diperlukan. Setelah melakukan
panggilan darurat, semua tim penolong harus segera memulai CPR (lihat

31
langkah-langkah di bawah ini) untuk korban dewasa yang tidak responsif
dengan tidak bernapas atau tidak bernapas normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di
pertengahan sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan
meningkatkan tekanan intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini
menghasilkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke miokardium dan otak.
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengembalikan aliran
darah selama CPR. Untuk alasan ini semua pasien dalam. serangan jantung
harus menerima kompresi dada. Tim penyelamat harus berusaha untuk
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
memaksimalkan jumlah kompresi per menit. Rasio kompresi-ventilasi 30:2
direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.
Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi
kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau hewan
yang dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30 kompresi
lebih dari 2 ventilasi mengarah ke hasil yang lebih baik, jelas bahwa aliran
darah bergantung pada penekanan dada. Untuk memaksimalkan kompresi
dada, tempatkan korban pada permukaan keras bila memungkinkan, dalam
terlentang posisi dengan penyelamat berlutut di samping dada korban atau
berdiri di samping tempat tidur. Karena tempat tidur rumah sakit biasanya
tidak keras. Kita merekomendasikan penggunaan papan meski tidak cukup
bukti terhadap penggunaan papan selama CPR. Penyelamat harus
menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari dada korban dan tangan
lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan dapat tumpang tindih dan
paralel.
Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras
(push hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang
awam dan kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat
minimal 100 kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2
inci / 5 cm). Tim penyelamat harus mengusahakan dada mengembang
kembali ke posisi semula (recoil) disetiap pemberian satu kali kompresi,

32
untuk memungkinkan jantung untuk mengisi sepenuhnya sebelum kompresi
berikutnya.
7. Tindakan Diagnostik Lanjutan

Secondary survey adalah pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to


toe examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru
dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan
ABC-nya penderita dipastikan membaik. Pada secondary surveyini
dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila
belum dilaksanakan dalam survey primer. Pada secondary survey ini juga
dilakukan pemeriksaan radiologi yg diperlukan.. Prosedur khusus seperti
DPL, evaluasi radiologis dan pemeriksaan laboratorium juga dikerjakan
pada kesempatan ini evaluasi lengkap dari penderita memerlukan
pemeriksaan berulang-ulang.
ANAMNESIS
Anamnesis yang harus diingat :
A: Alergi
M: Mekanisme dan sebab trauma
M: Medikasi (riwayat pengobatan)
P : Past illness (riwayat penyakit)
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

PEMERIKSAAN FISIK
a. Head
Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani
diperiksa untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s sign (echymosis di
mastoid) yang menunjukkan adanya fraktur basis cranii. Serta diperiksa dan
dicari cedera didaerah maksillofacial dan cervical spine.
b. Neck

33
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical
lateral (C1-C7) harus dikerjakan.
c. Chest
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks. Diperiksa dan
dicari pelebaran mediastinum, fracture costa, flail segment, haemothoraks,
pneumothoraks, dan contusion paru

d. Abdomen
Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan
intervensi bedah. Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, CT-Scan,
atau laparatomi cito harus segera diambil
e. Pemeriksaan Rectal
Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi
menandakan adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di dinding
rectum menunjukkan adanya fraktur pelvis.
f. Pemeriksaan Extremitas
Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi
perifer merupakan indikasi dilakukannya aortografi.
g. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric, brainstem, dan
spinal levels.

REFERENSI
Advance Trauma Life Support (ATLS). Tenth Edition. The
American College of Surgeon Committee on Trauma. 2018

34
Balk RA. Severe Sepsis and Septic Shock: Definition,
epidemiology, and Clinical Manifestation. Critical Care Clinics. 2020. Apr
1;16(2):179-92
Lee SH, et al. Obstructive Ileus Caused by Phlebosclerotic Colitis.
Intestinal Research. 2016. Oct;14(4):369
Polat G, Ugan RA, Cadrici L. Sepsis and Septic shock : current
Treatment Strategies and New Approaches. The Eurasian Journal of
medicine. 2017 Feb;49(1):53
Russel JA, Rush B, Boyd J. Pathopysiologic of Septic Shock.
Critical Care Clinics. 2018. Jan1;34(1):43-61
Ropper AH, Samuel MA, Joshua P. Adam and Victor’s Principles
of Neurology 10th Edition. McGraw Hill. New York. 2014
Sahlawi MA, et al. Peritoneal Dialysis-associated Peritonitis
Outcomes Reported in Trials and Observation Studies: A Systematic
Review. Peritoneal Dialysis Interantional. 2020. Mar;40(2):132-40
Sidharta P, Mardjono M. Neurologi klinis dasar, Dian Rakyat.
Jakarta. 2012
Taylor DA, Ashwal S. Impairment of Inconciousness and Coma.
Philadephia. 2016. P 1978-1400
Wilson ML, Price SA. Patofisiologi Vol. 2 Edisi 6. Interna
Publishing, Jakarta. 2014

35

Anda mungkin juga menyukai