Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU ANASTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN DESEMBER 2020


ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

GAGAL NAPAS

PEMBIMBING
dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An

Disusun Oleh :
Syadad Hadi (10542058514)

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anastesi

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020

1
BAB ILEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Syadad Hadi
NIM : 10542058514
Judul Jurnal : Gagal Napas

telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di


Bagian IlmuAnastesi Fakultas Kedokteran Dan ilmu kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Desember 2020

Pembimbing, Mahasiswa

dr. A. dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An Syadad Hadi, S.Ked

2
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah subhanu wa ta’ala
karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan
kasus dengan judul “Gagal Napas” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat
senantiasa tercurah kepadaRasulullah shalallahu alaihi wasallam, sang
pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.Pada
kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing, dr. Zulfikar
Djafar, M.Kes, Sp.An yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang
sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya laporan kasus
ini.Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini, baik dari isi maupun
penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan demi penyempurnaan laporan kasus ini.
Demikian, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembaca secara
umum dan penulis secara khususnya.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Desember 2020

Penulis

3
BAB I

LAPORAN KASUS

SKENARIO

Seorang laki-laki usia 65 tahun dibawa oleh keluarganya ke unit gawat darurat RS
dengan keluhansesak napas dialami sejak 1 hari lalu. Riwayat batuk lama dan
tidak berobat teratur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sianosis, tekanan
darah 140/90 mmHg, denyut nadi 110 x/menit,frekuensi napas30 x/menit, suhu
39oC.

KATA KUNCI

Anamnesia :

 Laki-laki 65 tahun
 Sesak napas sejak 1 hari lalu
 Riwat batuk lama
 Berobat tidak teratur

Pemeriksaan Fisik :

 Tampak Sianosis
 Tanda vital:
 TD : 140/90 mmHg
 Nadi : 110x/menit
 RR : 30x/menit
 Suhu:39⁰C

DAFTAR PERTANYAAN

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi terkait dengan skenario


2. Jelaskan etiologi dari gagal napas

4
3. Jelaskan patomekanisme sesak napas
4. Jelaskan patomekanisme batuk
5. Jelaskan patomekanisme sianosis
6. Jelaskan penatalaksaan
7. Jelaskan differential diagnosis dari scenario

PEMBAHASAN

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi terkait dengan skenario !

Anatomi Pernapasan

Paru adalah organ pernapasan utama yang terletak di rongga dada,


memiliki 2 bagian utama, paru kanan dan kiri yang dipisahkan oleh mediastinum
diantara kedua paru, di dalam mediastinum terdapat bangunan-bangunan penting
seperti pembuluh darah besar dan jantung. Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu
Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina, bronchus principalis, bronchus lobaris,
bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratoryus, saccus
alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu
lobus superior, lobus media dan lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus
superior dan lobus inferior. Pulmo dextra terdapat fissura horizontal yang
membagi lobus superior dan lobus media, sedangkan fissura oblique membagi
lobus media dengan lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura oblique yang
membagi lobus superior dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi
menjadi 2 yaitu parietalis (luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut
terdapat rongga pleura (cavum pleura).1

5
Gambar 1. Anatomi paru kanan dan kiri dilihar dari medial
Respirasi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu :2
 Respirasi Luar yang merupakan pertukaran antara O2 dan CO2 antara
darah dan udara.
 Respirasi Dalam yang merupakan pertukaran O2 dan CO2 dari aliran
darah ke sel-sel tubuh.
Sistem respirasi manusia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem
respirasi atas dan sistem respirasi bawah. Bagian-bagian dari dua sistem respirasi
manusia adalah sebagai berikut:2
 Sistem Respirasi Atas, yang terdiri dari bagian luar rongga dada yaitu
hidung, rongga hidung, faring, laring, dan trakea atas.
 Sistem Respirasi Bawah, yang terdiri dari bagian dalam rongga dada
yaitu trakea bawah dan paru-paru, termasuk pembuluh bronchial dan
alveoli. Membran pleura dan otot respirasi yang membentuk diafragma
dan otot interkosta juga merupakan bagian dari sistem respirasi.
Alat-alat pernapasan berfungsi memasukkan udara yang mengandung
oksigen dan mengeluarkan udara yang mengandung karbon dioksida dan uap air.
Tujuan proses pernapasan yaitu untuk memperoleh energi. Pada peristiwa
bernapas terjadi pelepasan energi.3
Sistem Pernapasan pada Manusia terdiri atas:3
1. Hidung
Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior yang
dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan

6
luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat
epitel respirasi: epitel berlapis silindris bersilia bersel goblet dan mengandung
sel basal. Didalamnya ada konka nasalis superior, medius dan inferior.
Lamina propria pada mukosa hidung umumnya mengandung banyak pleksus
pembuluh darah.
2. Alat penghidu
Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet, dengan
lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis sel: sel
penyokong, sel basal dan sel olfaktoris.
3. Sinus paranasal
Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak yang
berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis, etmoidalis
dan sphenoidalis.

4. Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu
dan menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada
saat bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring,
orofaring, dan laringofaring. Mukosa pada nasofaring sama dengan organ
respirasi, sedangkan orofaring dan laringofaring sama dengan saluran cerna.
Mukosa faring tidak memilki muskularis mukosa. Lamina propria tebal,
mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu dengan jaringan ikat
interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis gepeng,
mengandung kelenjar mukosa murni.
5. Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara
faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid.
Muskulus ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik
mengikat laring pada tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi.
Lapisan laring merupakan epitel bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel
selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi laring untuk membentuk suara, dan

7
menutup trakea pada saat menelan (epiglotis). Ada 2 lipatan mukosa yaitu
pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah diantara
pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan lamina
propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot rangka).
Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N Laringealis
superior.
6. Trakea
Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh
jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa,
epitel bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.
7. Bronchus
Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar ,bronki segmental, bronki subsegmental.
Struktur bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng
tulang rawan tidak teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada
bronkus subsegmental hilang sama sekali. Otot polos tersusun atas anyaman
dan spiral. Mukosa tersusun atas lipatan memanjang. Epitel bronkus :
kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar submukosa. Lamina
propria : serat retikular, elastin, limfosit, sel mast, eosinofil.
8. Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat
longgar.Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara).
Lamina propria tidak mengandung sel goblet.
9. Bronchiolus respiratorius
Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan :
epitel kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli).
10. Ductus Alveolus
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli
bermuara.
11. Alveolus

8
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis.Tempat terjadinya
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang
dihirup.Jumlahnya 200 - 500 juta.Bentuknya bulat poligonal, septa antar
alveoli disokong oleh serat kolagen, dan elastis halus.
Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar
( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% ,
menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %,
menempati 5 % alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar,
bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan
licin, memilki badan berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan
pulmonar. Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada
akhir ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial.
Mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis
diantara alveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari alveolar disebut
makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma sel ini terisi badan besar
bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel lainnya.
12. Pleura
Membran serosa pembungkus paru.Jaringan tipis ini mengandung serat elastin,
fibroblas, kolagen.Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang melekat
pada dinding toraks disebut pleura parietal.Ciri khas mengandung banyak kapiler
dan pembuluh limfe.Saraf adalah cabang n. frenikus dan n. interkostal.

Gambar 2. Anatomi Pernapasn

9
Fisiologi Pernafasan

Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada
paru-paru. Pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen
diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk
melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler
pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah, oksigen menembus membran,
diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke
seluruh tubuh.3,4
Dalam alveoli, oksigen bergerak menuju kapiler pulmonalis sebagai gas terlarut,
bergerak menurunknan gradien konsentrasi. Oksigen diangkut dalam darah baik
yang terlarut maupun berikatan dengan hemoglobin. Ketika oksigen relatif sulit
larut dalam larutan, kemampuan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin
amat penting. Sekitar 98% hingga 99% oksigen diangkut dalam darah yang
berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin sehingga mempengaruhi
saturasi oksigen.4
Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika konsentrasi dalam
darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernapasan terdapat dalam otak untuk
memperbesar kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan
pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak
mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan, mengambil
karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernapasan
eksterna.2
a. Fisiologi Ventilasi Paru2,6
Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru. Pergerakan
udara ke dalam dan keluar paru disebabkan oleh:
 Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru
dan pleura dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O, yang
merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan paru agar
tetap terbuka sampai nilai istirahatnya. Kemudian selama inspirasi

10
normal, pengembangan rangka dada akan menarik paru ke arah luar
dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan tekanan menjadi
lebih negatif (sekitar -7,5 cm H2O).
 Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika
glotis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar
paru, maka tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya
sama dengan tekanan atmosfer (tekanan acuan 0 dalam jalan nafas) yaitu
tekanan 0 cm H2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli harus sedikit di
bawah tekanan atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O) dapat menarik
sekitar 0,5 liter udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama ekspirasi,
terjadi tekanan yang berlawanan.
 Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan
pada permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru
yang cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang
disebut tekanan daya lenting paru.
b. Fisiologi Kendali Persarafan pada pernafasan
 Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat
volunter terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron
motorik otot pernafasan melalui jaras kortikospinal.
 Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan
otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari
sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di antara bagian lateral
dan ventral jaras kortikospinal.

Serat saraf yang meneruskan impuls inspirasi, berkumpul pada neuron


motorik N.Phrenicus pada kornu ventral C3-C5 serta neuron motorik intercostales
externa pada kornu ventral sepanjang segmen toracal medulla.Serat saraf yang
membawa impuls ekspirasi, bersatu terutama pada neuron motorik intercostales
interna sepanjang segmen toracal medulla.2
Neuron motorik untuk otot ekspirasi akan dihambat apabila neuron motorik
untuk otot inspirasi diaktifkan, dan sebaliknya. Meskipun refleks spinal ikut

11
berperan pada persarafan timbal-balik (reciprocal innervation), aktivitas pada
jaras descendens-lah yang berperan utama. Impuls melalui jaras descendens akan
merangsang otot agonis dan menghambat yang antagonis. Satu pengecualian kecil
pada inhibisi timbal balik ini aadalah terdapatnya sejumlah kecil aktifitas pada
akson N.Phrenicus untuk jangka waktu singkat, setelah proses inspirasi. Fungsi
keluaran pasca inspirasi ini nampaknya adalah untuk meredam daya rekoil elastik
jaringan paru dan menghasilkan pernafasan yang halus (smooth).

c. Pengaturan aktivitas Pernapasan


Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri maupun penurunan
PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron pernafasan di medulla oblongata,
sedangkan perubahan ke arah yang berlawanan mengakibatkan efek inhibisi
ringan. Pengaruh perubahan kimia darah terhadap pernafasan berlangsung melalui
kemoreseptor pernafasan di glomus karotikum dan aortikum serta sekumpulan sel
di medulla oblongata maupun di lokasi lain yang peka terhadap perubahan
kimiawi dalam darah. Reseptor tersebut membangkitkan impuls yang merangsang
pusat pernafasan. Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan kimiawi,
berbagai aferen lain menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang memengaruhi
pernafasan pada keadaan tertentu. Untuk berbagai rangsang yang memengaruhi
pusat pernafasan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:2

12
d. Pengendalian Kimiawi pernapasan
Mekanisme pengaturan kimiawi akan menyesuaikan ventilasi sedemikian rupa
sehingga PCO2 alveoli pada keadaan normal dipertahankan tetap. Dampak
kelebihan H+ di dalam darah akan dilawan, dan PO2 akan ditingkatkan apabila
terjadi penurunan mencapai tingkat yang membayakan. Volume pernafasan
semenit berbanding lurus dengan laju metabolisme, tetapi penghubung antara
metabolisme dan ventilasi adalah CO2, bukan O2.Reseptor di glomus karotikum
dan aortikum terangsang oleh peningkatan PCO2 ataupun konsentrasi H+ darah
arteri atau oleh penurunan PO2. Setelah denervasi kemoreseptor karotikum,
respons terhadap penurunan PO2 akan hilang, efek utama hipoksia setelah
denervasi glomus karotikum adalah penekanan langsung pada pusat pernafasan.
Respon terhadap perubahan konsentrasi H+ darah arteri pada pH 7,3-7,5 juga
dihilangkan, meskipun perubahan yang lebih besar masih dapat menimbulkan
efek. Sebaliknya, respons terhadap perubahan PCO2 darah arteri hanya sedikit
dipengaruhi,; dengan penurunan tidak lebih dari 30-35%.

13
 Kemoreseptor dalam otak
Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya hiperventilasi pada
peningkatan PCO2 darah arteri setelah glomus karotikum dan aortikum
didenervasi terletak di medulla oblongata dan disebut kemoreseptor medulla
oblongata.Reseptor ini terpisah dari neuron respirasi baik dorsal maupun ventral,
dan terletak pada permukaan ventral medulla oblongata.
Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam LCS, dan juga
cairan interstisiel otak.CO2 dengan mudah dapat menembus membran, termasuk
sawar darah otak, sedangkan H+ dan HCO3- lebih lambat menembusnya.CO2
yang memasuki otak dan LCS segera dihidrasi.H2CO3 berdisosiasi, sehingga
konsentrasi H+ lokal meningkat.Konsentrasi H+ pada cairan interstitiel otak setara
dengan PCO2 darah arteri.
 Respon Pernapasan terhadap kekurangan oksigen
Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan meningkatkan volume
pernafasan semenit. Selama PO2 masih diatas 60 mmHg, perangsangan pada
pernafasan hanya ringan saja,dan perangsangan ventilasi yang kuat hanya terjadi
bila PO2 turun lebih rendah. Nsmun setiap penurunan PO2 arteri dibawah 100
mmHg menghasilkan peningkatan lepas muatan dari kemoreseptor karotikum dan
aortikum. Pada individu normal, peningkatan pelepasan impuls tersebut tidak
menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2 turun lebih rendah dari 60 mmHg
karena Hb adalah asam yang lebih lemah bila dibandingkan dengan HbO2,
sehingga PO2 darah arteri berkurang dan hemoglobin kurang tersaturasi dengan
O2, terjadi sedikit penurunan konsentrasi H+ dalam darah arteri. Penurunan
konsentrasi H+ cenderung menghambat pernafasan. Di samping itu, setiap
peningkatan ventilasi yang terjadi, akan menurunkan PCO2 alveoli, dan hal inipun
cenderung menghambat pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek
perangsangan hipoksia pada pernafasan tidaklah nyata sebelum rangsang hipoksia
cukup kuat untuk melawan efek inhibisi yang disebabkan penurunan konsentrasi
H+ dan PCO2 darah arteri.
 Pengaru H+ Pada respon CO2

14
Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan tampaknya bersifat
aditif dan saling berkaitan dengan kompleks, serta berceda halnya dari CO2 dan
O2.Sekitar 40% respons ventilasi terhadap CO2 dihilangkan apabila peningkatan
H+ darah arteri yang dihasilkan oleh CO2 dicegah.60% sisa respons kemungkinan
terjadi oleh pengaruh CO2 pada konsentrasi H+ cairan spinal atau cairan
interstitial otak.
e. Pengangkutan Oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu bergantung pada:
jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas dalam paru
yang adekuat, aliran darah menuju jaringan dan kapasitas darah untuk
mengangkut oksigen. Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi jalinan
vaskular di dalam jaringan serta curah jantung.Jumlah oksigen di dalam darah
ditentukan oleh jumlah oksigen yang larut, jumlah hemoglobin dalam darah dan
afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
2. Jelaskan etiologi dari gagal napas !7
Kegagalan pernafasan merupakan suatu kondisi klinis yang terjadi ketika
sistem pernafasan gagal mempertahankan fungsi utamanya yaitu pertukaran gas
dimana PaO2 lebih rendah dari 60 mmHg dan / atau PaCO2 lebih tinggi dari 50
mmHg. Kegagalan pernafasan diklasifikasikan menurut kelainan gas darah
menjadi tipe 1 dan tipe 2. Gagal pernapasan tipe 1 (hipoksemik) memiliki PaO2
<60 mmHg dengan PaCO2 normal atau subnormal. Pada tipe ini, pertukaran gas
terganggu pada level membran aveolo-kapiler. Contoh gagal napas tipe 1 adalah
edema paru karsinogenik atau non-kardiogenik dan pneumonia berat. Kegagalan
pernapasan tipe 2 (hiperkapnik) memiliki PaCO2> 50 mmHg. Hipoksemia sering
terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan pompa pernapasan.Kegagalan
pernafasan mungkin karena penyebab paru atau ekstra paru yang meliputi7:

Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan


komponen sistem pernapasan yaitu:8

15
1. Gangguan sistem saraf pusat (SSP)

- Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada SSP


dapat mendepresi dorongan untuk bernapas

- Hal ini dapat menyebabkan gagal napas hipoksemi atau hiperkapni


yang akut maupun kronis

- Contohnya adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak,


overdosis narkotik atau sedatif, gangguan metabolik seperti
miksedema atau alkalosis metabolik kronis

2. Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada

- Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk


menjaga tingkat ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO2

- Dapat meyebabkan hipoksemi dan hiperkapni

- Contohnya sindrom Guillan-Barre, distropi otot, miastenia gravis,


kiposkoliosis berat dan obesitas

3. Abnormalitas jalan napas

- Obstruksi jalan napas yang berat adlah penyebab umum hiperkapni


akut dan kronis

- Contonhnya epiglotitis, tumor yang menenai trakea, penyakit paru


obstruktif kronis, asma dan kistik fibrosis

4. Abnormalitas alveoli

- penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi


hiperkapni dapat terjadi

16
- contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik,
pneumonia aspirasi, perdarahan paru yang masif

- gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan


peningkatan kerja pernapasan

5. Penyebab umum gagal napas tipe I (hipoksemi)

- Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)

- Pneumonia

- Edema pulmoner

- Asma

- Pneumothorak

- Emboli paru

- Hipertensi arteri pulmoner

- Pneumokoniosis

- Penyakit paru granuloma

- Penyakit jantung kongenital sianosis

- Bronkiekstasi

- Sindrom distres pernapasan akut

- Sindrom emboli lemak

- Kiposkoliosis

17
- Obesitas

6. Penyebab umum gagal napas tipe II (hiperkapni)

- Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)

- Asma yang berat

- Overdosis obat

- Keracunan

- Miastenia gravis

- Polineuropati

- Kelainan otot primer

- Porphiria

- Kordotomi servikal

- Trauma kepala dan servikal

- Hipoventilasi alveolar primer

- Sindrom hipoventilasi pada obesitas

- Edema pulmoner

- Sindrom distres pernapasan akut

- Miksedema

- Tetanus

18
3. Jelaskan patomekanisme sesak napas !
Dispnea adalah keadaan mental yang berkaitan dengan keinginan tak
terpuaskan untuk mendapat ventilasi yang adekuat. Hal ini sering menyertai
kesulitan bernapas yang khas dijumpai pada penyakit paru obstruktif atau edema
paru yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif. Sebaliknya, selama olahraga
seseorang dapat bernapas keras tanpa merasakan dispnea, karena olahraga tersebut
tidak disertai oleh rasa cemas terhadap cukup tidaknya ventilasi. Yang
mengejutkan, dispnea tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kronik PCO2,
atau penurunan PO2, arteri. Perasaan subyektif kekurangan udara dapat terjadi
bahkan ketika ventilasi alveolus dan gas darah normal. Sebagian orang merasa
sesak napas ketika mereka beranggapan bahwa mereka kekurangan udara
meskipun hal tersebut tidak benar, misalnya dalam lift yang sesak.8
Dispnea adalah sensasi kehabisan udara dan tidak bisa bernapas cukup
cepat atau cukup dalam. Ini hasil dari beberapa interaksi sinyal dan reseptor di
SSP, kemoreseptor reseptor perifer, dan mechanoreceptors di saluran napas
bagian atas, paru-paru, dan dinding dada.Pusat pernapasan otak terdiri dari 3
kelompok neuron di otak: kelompok meduler dorsal dan perut dan kelompok
pontine. Pengelompokan pontine selanjutnya diklasifikasikan ke dalam pusat
pneumotaxic dan apneustic. Medula dorsal bertanggung jawab untuk menghirup;
medula ventral bertanggung jawab untuk pernafasan; pengelompokan pontine
bertanggung jawab untuk memodulasi intensitas dan frekuensi sinyal meduler di
mana kelompok pneumotaxic membatasi penghirupan dan pusat apneustik
memperpanjang dan mendorong penghirupan. Masing-masing kelompok ini
berkomunikasi satu sama lain untuk bekerja sama untuk memacu potensi
pernapasan.9
Mekanoreseptor yang terletak di saluran udara, trakea, paru-paru, dan
pembuluh paru ada untuk memberikan informasi sensorik ke pusat pernapasan
otak mengenai volume ruang paru-paru. Ada 2 tipe utama sensor toraks: spindle
regangan yang beradaptasi lambat dan reseptor iritan yang cepat beradaptasi.

19
Sensor spindel yang bekerja lambat hanya menyampaikan informasi volume.
Namun, reseptor yang bekerja cepat merespons volume informasi paru-paru dan
pemicu iritasi kimiawi seperti agen asing berbahaya yang mungkin ada. Kedua
jenis sinyal mekanoreseptor melalui saraf kranial X (saraf vagus) ke otak untuk
meningkatkan laju pernapasan, volume pernapasan, atau untuk merangsang pola
pernapasan batuk yang salah akibat iritasi di saluran napas.9
Kemoreseptor perifer terdiri dari badan karotis dan aorta. Kedua situs
berfungsi untuk memantau tekanan parsial oksigen arteri dalam darah. Namun,
hiperkapnia dan asidosis meningkatkan sensitivitas sensor-sensor ini, sehingga
memainkan peran parsial dalam fungsi reseptor. Badan karotis terletak di bifurkasi
dari arteri karotis komunis, dan badan aorta terletak di dalam lengkung aorta.
Setelah dirangsang oleh hipoksia, mereka mengirim sinyal melalui saraf kranial
IX (saraf glossopharyngeal) ke nukleus traktus solatarius di otak yang, pada
gilirannya, merangsang neuron rangsang untuk meningkatkan ventilasi.
Diperkirakan bahwa badan karotis terdiri dari 15% dari total tenaga penggerak
respirasi.10
Kemoreseptor sentral memegang kendali mayoritas atas dorongan
pernapasan. Mereka berfungsi dengan merasakan perubahan pH di dalam SSP.
Lokasi primer di dalam otak termasuk permukaan ventral medula, dan nukleus
retrotrapezoid. Perubahan pH di dalam otak dan cairan serebrospinal di sekitarnya
terutama disebabkan oleh peningkatan atau penurunan kadar karbon dioksida.
Karbon dioksida adalah molekul lipid larut yang berdifusi bebas melintasi sawar
darah-otak. Karakteristik ini terbukti berguna karena perubahan pH yang cepat
dalam cairan serebrospinal dapat dilakukan. Kemoreseptor yang responsif
terhadap perubahan pH terletak di permukaan ventral medula. Saat area ini
menjadi asam, masukan sensorik dihasilkan untuk merangsang hiperventilasi, dan
karbon dioksida di dalam tubuh berkurang melalui peningkatan ventilasi. Ketika
pH naik ke tingkat yang lebih basa, terjadi hipoventilasi, dan tingkat karbon
dioksida menurun akibat penurunan ventilasi.10
Pusat pernapasan yang terletak di dalam medula oblongata dan pons batang
otak bertanggung jawab untuk menghasilkan ritme pernapasan dasar. Namun, laju

20
respirasi dimodifikasi dengan memungkinkan masukan sensorik gabungan dari
sistem sensorik perifer yang memantau oksigenasi, dan sistem sensorik pusat yang
memantau pH, dan secara tidak langsung, kadar karbon dioksida bersama dengan
beberapa bagian lain dari otak serebelar memodulasi untuk membuat sinyal saraf
terpadu. Sinyal tersebut kemudian dikirim ke otot utama respirasi, diafragma,
interkosta eksternal, dan otot tak sama panjang bersama dengan otot kecil
respirasi lainnya.10

4. Jelaskan patomekanisme batuk !

Batuk merupakan suatu refleks vagal dimana sebagai efektor utamanya


adalah otot-otot serat lintang yang mencakup otot-otot pernapasan dan
diafragma dan mungkin juga otot polos saluran pernapasan. Akseptor dari
batuk tersebar sangat luas, bukan saja di sepanjang saluran pernapasan,
yakni laring, trakea, dan bronkus, akan tetapi juga pada faring, sinus
paranasalis, perikardium, diafragma dan mungkin pula alat-alat viseral
lainnya. Makin kearah bronkiolus respiratorius, akan makin sedikit jumlah
reseptornya, dan makin kearah proksimal, akan makin banyak jumlahnya.

Batuk dibagia atas 5 fase, yakni inspirasi, glotis tertutup, kontraksi


otot-otot ekspirasi, glotis terbuka secara tiba-tiba, dan fase yang terakhir
adalah udara dikeluarkan secara tiba-tiba.
Secara umum fase batuk juga dibagi menjadi 3 yaitu :

1. fase inspirasi, dimana terjadi peninggian volume paru dengan tekanan


yang sama dengan atmosfer. Bedanya dengan pernapasan yang biasa
adalah terjadinya dalam waktu yang pendek dan volume udaranya lebih
banyak.
2. fase apnea atau disebut juga dengan fase kompresi, dimana glotis tertutup
dan terjadi peninggian tekanan toraks yang disebabkan oleh otot-otot.
3. fase ekspirasi atau dekompresi, dimana glotis terbuka secara tiba-tiba
disertai dengan pengeluaran sekret dan debris.
5. Jelaskan patomekanisme sianosis !

21
Sianosis merupakan perubahan warna kulit dan membran mukosa menjadi
kebiruan. Pada sebagian besar orang yang berkulit cerah warna biru pada dasar
kuku dan bibir dapat terdeteksi dengan mudah. Sianosis perifer merupakan
keadaan pelambataan aliran darah pada jari-jari tangan dan kaki, yang paling jelas
terlihat jika kita memeriksa daerah dasar kuku.8
Kewaspadaan Klinis: Pada pasien berkulit hitam atau gelap, sianosis tidak
terlihat pada daerah bibir atau dasar kuku. Indikator yang paling baik bagi pasien-
pasien ini adalah hasil pemeriksaan membran mukosa mulut (membran mukosa
pipi) dan konjungtiva mata.8
Sianosis dapat terjadi karena desaturasi oksigen dalam hemoglobin atau
penurunan kadar hemoglobin. Kalau terdapat 5 gram hemoglobin yang mengalami
desaturasi maka sianosis akan terjadi sekalipun jumlah oksigen cukup ataupun
kurang. Keadaan yang mengakibatkan sianosis meliputi penurunan oksigenasi
darah arteri (yang ditunjukkan oleh PaO2 yang rendah), shunt paru atau jantung
dari kanan ke kiri, penurunan curah jantung, rasa cemas dan lingkungan yang
bersuhu dingin. 8
Seseorang yang tidak menunjukkan gejala sianosis belum tentu memiliki
oksigenasi yang adekuat. Oksigenasi jaringan yang tidak adekuat dapat terjadi
pada anemia berat dengan kadar hemoglobin tidak memadai. Keadaan ini juga
terjadi pada keracunan karbon monoksida dengan hemoglobin mengikat karbon
monoksida dengan hemoglobin mengikat karbon monoksida sebagai pengganti
oksigen. Walaupun pada pemeriksaan tidak ditemukan gejala sianosis, namun
oksigenasi tidak adekuat. 8
Pasien lain mungkin tampak sianosis meskipun oksigenasi adekuat, seperti
polisitemia, yaitu peningkatan jumlah sel darah merah secara abnormal. Karena
kadar hemoglobin meningkat dan oksigenasi terjadi dengan kecepatan normal,
pasien masih bisa ditemukan dengan gejala sianosis.8
Sianosis merupakan keadaan yang ditemukan pada pemeriksaan pasien dan
harus diinterpretasi dalam kaitannya dengan patofisiologi yang mendasari.
Diagnosis oksigenasi yang tidak adekuat dapat dipastikan melalui pemeriksaan
analisis gas darah arteri dan pengukuran PaO2. 8
Istilah sianosis berarti kebiruan pada kulit, dan penyebabnya adalah
hemoglobin yang tidak mengandung oksigen jumlahnya berlebihan dalam
pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen memiliki warna biru gelap keunguan yang terlihat melalui
kulit. 6
Pada umumnya, sianosis muncul apabila darah arteri mengandung lebih dari 5
gram hemoglobin yang tidak mengandung oksigen dalam setiap 100 mililiter
darah. Pasien anemia hampir tidak pernah mengalami sianosis karena tidak

22
terdapat cukup banyak hemoglobin untuk dideoksigenasi sebanyak 5 gram dalam
100 mililiter darah arteri. Sebaliknya, pada pasien yang mengalami kelebihan sel
darah merah, seperti yang terjadi pada polisitemia vera, hemoglobin yang
jumlahnya banyak itu dapat dideoksigenasi sehingga seringkali menyebabkan
sianosis, bahkan dalam keadaan normal.6
Sianosis sentral, kebiruan pada batang tubuh dan membran mukosa,
disebabkan >3-5 g/dL hemoglobin terdeoksigenasi dalam sirkulasi arteri. Sianosis
sentral dapat disebabkan oleh penyakit pulmonal berat, dan pintas intrapulmonal
kanan ke kiri (malformasi arteriovenosa, AVM) atau pintas ekstrapulmonal kanan
ke kiri. Ini merupakan karakteristik dari transposisi pembuluh besar dan tetralogi
Fallot.Lebih lanjut, sianosis bisa disebabkan oleh adanya hemoglobin yang
abnormal. Hemoglobin adalah pembawa oksigen utama dalam darah. Itu terdiri
dari empat subunit. Masing-masing dari empat subunit terbuat dari rantai
polipeptida, dua alfa dan dua beta. Di tengahnya ada kelompok heme yang
mengandung zat besi. Kehadiran hemoglobin yang abnormal menyebabkan
gangguan signifikan pada kapasitas pembawa oksigen dalam darah. Hal ini dapat
menyebabkan hipoksia jaringan yang dapat bermanifestasi secara klinis sebagai
sianosis.9,10

Methemoglobinemia adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan sianosis


bawaan atau didapat. Kondisi muncul ketika zat besi dalam hemoglobin diubah
dari zat besi (Fe2 +) menjadi zat besi (Fe3 +). Sekitar 2% hemoglobin hadir dalam
bentuk ini. Kehadiran methemoglobin dapat memberikan semburat kebiruan pada
warna kulit. Methemoglobinemia dapat dipicu oleh paparan agen anestesi topikal
dapson, nitrogliserin, atau agen pengoksidasi kuat lainnya. Methemoglobinemia
kongenital tipe I dan II merupakan kondisi resesif autosomal yang disebabkan
oleh mutasi pada gen enzim sitokrom b5 reduktase. Kondisinya sangat jarang.
Kurangnya aktivitas enzimatik oleh sitokrom b5 reduktase menyebabkan
penurunan penurunan methemoglobin.Sulfhemoglobin adalah penyebab sianosis
langka lainnya yang timbul dari belerang yang mengikat hemoglobin. Hal ini
menyebabkan pelepasan oksigen dari hemoglobin menjadi sangat sulit. Besi
dalam hemoglobin tetap tidak berubah dalam keadaan besi dalam
sulfhemoglobinemia.11

23
6. Jelaskan penatalaksanaan pada skenario !

Primary Survey

Ketika pasien trauma datang ke unit gawat darurat, penilaian segera harus
dilakukan untuk menentukan status mereka. Sehubungan dengan mendapatkan
riwayat kejadian, disediakan oleh tim penyelamat dan / atau saksi, kebanyakan
pasien segera ditempatkan pada monitor jantung, oksimeter denyut, dan monitor
tekanan darah, sementara satu set lengkap tanda-tanda vital dikumpulkan. Riwayat
awal dan tanda-tanda vital dasar ini menentukan manajemen awal pasien.Setelah
ini terjadi, survei utama dapat dimulai dalam serangkaian langkah berurutan,
A.B.C.D.E., dengan bidang yang paling penting diutamakan:12,13

 Airway

Setelah evaluasi awal pasien trauma, pertama-tama kaji jalan napas untuk
memastikan patensi. Penilaian cepat untuk tanda-tanda obstruksi jalan napas ini
termasuk pemeriksaan benda asing; mengidentifikasi fraktur wajah, rahang
bawah, dan / atau trakea / laring dan cedera lain yang dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas; dan pengisapan untuk membersihkan akumulasi darah atau
sekresi yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Mulailah langkah-
langkah untuk membangun jalan napas yang paten sambil membatasi gerakan
tulang belakang leher.13

Jika pasien dapat berkomunikasi secara verbal, jalan napas kemungkinan


besar tidak dalam bahaya; Namun, penilaian berulang terhadap patensi jalan
napas adalah bijaksana. Selain itu, pasien dengan cedera kepala parah yang
memiliki tingkat kesadaran yang berubah atau skor Glasgow Coma Scale (GCS)
8 atau lebih rendah biasanya memerlukan penempatan jalan napas defnitif (yaitu,
tabung pengaman yang terpasang di trakea). Awalnya, manuver jaw-thrust atau
chin-lift sering kali cukup sebagai intervensi awal. Jika pasien tidak sadarkan diri
dan tidak muntah, pemasangan saluran napas orofaring dapat membantu untuk

24
sementara. Tetapkan jalan napas defnitif jika ada keraguan tentang kemampuan
pasien untuk mempertahankan integritas jalan napas.13

Meskipun setiap upaya harus dilakukan untuk segera mengenali gangguan


jalan napas dan mengamankan jalan napas defnitif, sama pentingnya untuk
mengenali potensi kehilangan jalan napas progresif. Evaluasi ulang yang sering
dari patensi jalan nafas sangat penting untuk mengidentifikasi dan merawat
pasien yang kehilangan kemampuan untuk mempertahankan jalan nafas yang
adekuat. Buat jalan napas dengan pembedahan jika intubasi merupakan
kontraindikasi atau tidak dapat dilakukan.14

 Breathing

Patensi jalan napas saja tidak menjamin adanya ventilasi yang memadai.
Pertukaran gas yang memadai diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan
eliminasi karbon dioksida. Ventilasi membutuhkan fungsi paru-paru, dinding
dada, dan diafragma yang memadai; oleh karena itu, dokter harus segera
memeriksa dan mengevaluasi setiap komponen.Untuk menilai distensi vena
jugularis secara memadai, posisi trakea, dan ekskursi dinding dada, pajankan
leher dan dada pasien. Lakukan auskultasi untuk memastikan aliran gas di paru-
paru. Inspeksi visual dan palpasi dapat mendeteksi cedera pada dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi. Perkusi dada juga dapat mengidentifikasi
kelainan, tetapi selama resusitasi yang bising evaluasi ini mungkin tidak akurat.14

Cedera yang secara signifikan mengganggu ventilasi dalam jangka pendek


meliputi pneumotoraks tegangan, hemotoraks masif, pneumotoraks terbuka, dan
cedera trakea atau bronkial. Cedera ini harus diidentifikasi selama survei primer
dan seringkali memerlukan perhatian segera untuk memastikan ventilasi yang
efektif. Karena tension pneumothorax mengganggu ventilasi dan sirkulasi secara
dramatis dan akut, dekompresi dada harus segera dilakukan jika dicurigai melalui
evaluasi klinis.14

Setiap pasien yang cedera harus menerima oksigen tambahan. Jika pasien
tidak diintubasi, oksigen harus dikirim dengan alat reservoir masker untuk

25
mencapai oksigenasi yang optimal. Gunakan oksimeter denyut untuk memantau
kecukupan saturasi oksigen hemoglobin. Simple pneumothorax, simple
hemothorax, fraktur tulang rusuk, flail chest, dan pulmonary contusion dapat
mengganggu ventilasi ke tingkat yang lebih rendah dan biasanya teridentifikasi
selama survei sekunder. Pneumotoraks sederhana dapat diubah menjadi
pneumotoraks tegang ketika pasien diintubasi dan ventilasi tekanan positif
disediakan sebelum mendekompresi pneumotoraks dengan tabung dada.14

 Circulation
Gangguan sirkulasi pada pasien trauma dapat diakibatkan oleh berbagai
cedera. Volume darah, curah jantung, dan perdarahan adalah masalah peredaran
darah utama yang perlu dipertimbangkan.Perdarahan adalah penyebab utama
kematian yang dapat dicegah setelah cedera.Oleh karena itu, mengidentifikasi,
mengontrol perdarahan dengan cepat, dan memulai resusitasi merupakan langkah
penting dalam menilai dan menangani pasien tersebut. Setelah tension
pneumothorax telah disingkirkan sebagai penyebab syok, pertimbangkan bahwa
hipotensi setelah cedera disebabkan oleh kehilangan darah sampai terbukti
sebaliknya. Penilaian yang cepat dan akurat dari status hemodinamik pasien
cedera sangat penting. Elemen pengamatan klinis yang menghasilkan informasi
penting dalam hitungan detik adalah tingkat kesadaran, perfusi kulit, dan denyut
nadi.14
Syok yang berhubungan dengan cedera paling sering berasal dari
hipovolemik. Dalam kasus tersebut, mulailah terapi cairan IV dengan kristaloid.
Semua larutan IV harus dihangatkan baik dengan penyimpanan di lingkungan
yang hangat (yaitu, 37 ° C hingga 40 ° C, atau 98,6 ° F hingga 104 ° F) atau
dikelola melalui perangkat penghangat cairan. Bolus 1 L larutan isotonik
mungkin diperlukan untuk mencapai respon yang tepat pada pasien dewasa. Jika
pasien tidak responsif terhadap terapi kristaloid awal, dia harus menerima
transfusi darah. Cairan diberikan dengan bijaksana, karena resusitasi agresif
sebelum kontrol perdarahan telah terbukti meningkatkan mortalitasdan
morbiditas.12

26
 Disability

Evaluasi neurologis cepat menetapkan tingkat kesadaran pasien serta


ukuran dan reaksi pupil; mengidentifikasi adanya tanda-tanda lateralisasi; dan
menentukan tingkat cedera tulang belakang, jika ada.GCS adalah metode cepat,
sederhana, dan objektif untuk menentukan tingkat kesadaran. Skor motorik GCS
berkorelasi dengan hasil. Penurunan tingkat kesadaran pasien dapat
mengindikasikan penurunan oksigenasi otak dan / atau perfusi, atau mungkin
disebabkan oleh cedera serebral langsung. Tingkat kesadaran yang berubah
menunjukkan kebutuhan untuk segera mengevaluasi kembali oksigenasi,
ventilasi, dan status perfusi pasien. Hipoglikemia, alkohol, narkotika, dan obat
lain juga dapat mengubah tingkat kesadaran pasien. Sampai terbukti sebaliknya,
selalu anggaplah bahwa perubahan tingkat kesadaran adalah akibat dari cedera
sistem saraf pusat. Ingatlah bahwa keracunan obat atau alkohol dapat menyertai
cedera otak traumatis.10

Cedera otak primer terjadi akibat efek struktural dari cedera otak.
Pencegahan cedera otak sekunder dengan mempertahankan oksigenasi dan
perfusi yang adekuat merupakan tujuan utama manajemen awal. Karena bukti
cedera otak bisa jadi tidak ada atau minimal pada saat evaluasi awal, pemeriksaan
ulang sangat penting dilakukan. Pasien dengan bukti cedera otak harus dirawat di
fasilitas yang memiliki personel dan sumber daya untuk mengantisipasi dan
mengelola kebutuhan pasien tersebut. Jika sumber daya untuk merawat pasien ini
tidak tersedia, pengaturan pemindahan harus dimulai segera setelah kondisi ini
dikenali. Demikian pula, konsultasikan dengan ahli bedah saraf setelah cedera
otak dikenali.

 Exposure/Environmental Control

Selama survei utama, buka pakaian pasien sepenuhnya, biasanya dengan


memotong pakaiannya untuk memfasilitasi pemeriksaan dan penilaian
menyeluruh. Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi pasien dengan selimut
hangat atau alat penghangat eksternal untuk mencegah pasien mengalami

27
hipotermia di area penerima trauma. Cairan intravena hangat sebelum diinfuskan,
dan pertahankan lingkungan yang hangat.13

Hipotermia dapat muncul saat pasien datang, atau dapat berkembang


dengan cepat di UGD jika pasien tidak tertutup dan menjalani pemberian cairan
suhu kamar atau darah yang didinginkan secara cepat. Karena hipotermia adalah
komplikasi yang berpotensi mematikan pada pasien yang cedera, lakukan
tindakan agresif untuk mencegah hilangnya panas tubuh dan mengembalikan suhu
tubuh ke normal. Suhu tubuh pasien adalah prioritas yang lebih tinggi daripada
kenyamanan penyedia layanan kesehatan, dan suhu area resusitasi harus
ditingkatkan untuk meminimalkan hilangnya panas tubuh. Dianjurkan untuk
menggunakan penghangat fluida aliran tinggi untuk memanaskan cairan kristaloid
hingga 39 ° C (102,2 ° F). Jika penghangat cairan tidak tersedia, microwave dapat
digunakan untuk menghangatkan cairan kristaloid, tetapi tidak boleh digunakan
untuk menghangatkan produk darah.12

Secondary Survey

Secondary survey tidak dimulai sampai primery survey (ABCDE) selesai,


upaya resusitasi sedang dilakukan, dan peningkatan fungsi vital pasien telah
ditunjukkan. Survei sekunder adalah evaluasi kepala sampai kaki pasien trauma
yaitu, riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang semua
tanda vital.13

7. Jelaskan differential diagnosis dari skenario


a. Tuberculosis

Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan


keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembapan. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Batuk

28
kronis, hemoptisis, penurunan berat badan, demam ringan, dan keringat malam
adalah beberapa temuan fisik yang paling umum pada tuberkulosis paru.
Tuberkulosis sekunder berbeda dalam presentasi klinis dari penyakit progresif
primer. Pada penyakit sekunder, reaksi jaringan dan hipersensitivitas lebih parah,
dan pasien biasanya membentuk rongga di bagian atas paru-paru. Diseminasi
tuberkel paru atau sistemik dapat terlihat pada penyakit aktif, dan ini dapat
bermanifestasi sebagai tuberkulosis milier yang ditandai dengan lesi berbentuk
millet pada foto toraks. Tuberkulosis diseminata juga dapat terlihat di tulang
belakang, sistem saraf pusat, atau usus.12,13

Pemeriksaan pada TB yaitu tes tuberkulin atau Tes mantoux (tes kulit dengan
PPD) adalah tes skrining tradisional untuk paparan Tuberkulosis. Hasilnya
ditafsirkan dengan mempertimbangkan risiko pajanan pasien secara keseluruhan.
Pasien diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan risiko pajanan dengan
cut-off points. yang sesuai.13

 Resiko rendah
Individu dengan kemungkinan paparan minimal dianggap memiliki tes
Mantoux positif hanya jika ada indurasi yang sangat signifikan setelah injeksi
PPD intradermal. Cut-off points untuk kelompok orang ini (dengan risiko
paparan minimal) dianggap 15 mm.Pasien yang tidak diketahui risiko
terpapar TB. Contoh: Tidak ada riwayat perjalanan, dinas militer, HIV
negatif, tidak ada kontak dengan pasien batuk kronis, tidak ada pajanan
pekerjaan, tidak ada riwayat steroid. Bukan penduduk daerah endemik TB.15
 Risiko Menengah
Individu dengan probabilitas menengah dianggap positif jika indurasi lebih
besar dari 10 mm.Penduduk negara endemik TB (Amerika Latin, Afrika Sub-
Sahara, Asia), pekerja atau penghuni tempat penampungan, personel
departemen medis atau mikrobiologi.14
 Berisiko tinggi
Individu dengan risiko tinggi kemungkinan terpapar dianggap positif jika
indurasi lebih besar dari 5 mm.Pasien HIV-positif, pasien dengan bukti TB

29
sebelumnya seperti bekas luka yang sembuh pada x-ray), kontak dengan
pasien batuk kronis.14

Perhatikan bahwa tes Mantoux menunjukkan pajanan atau tuberkulosis


laten. Namun, tes ini kurang spesifik, dan pasien akan membutuhkan kunjungan
berikutnya untuk menafsirkan hasil serta rontgen dada untuk konfirmasi.
Meskipun relatif sensitif, reaksi Mantoux tidak terlalu spesifik dan dapat
memberikan reaksi positif palsu pada individu yang telah terpapar vaksin BCG.15

Tes rilis interferon (IGRA, Quantiferon Assays)adalah tes skrining


tuberkulosis yang lebih spesifik dan sama sensitifnya dengan tes Mantoux. Tes ini
menguji tingkat sitokin inflamasi, terutama interferon gamma.Keuntungan dari
Quantiferon, terutama pada mereka yang telah divaksinasi sebelumnya dengan
vaksin BCG, termasuk, tes tersebut memerlukan pengambilan darah tunggal,
meniadakan perlunya kunjungan berulang untuk menafsirkan hasil. Lebih lanjut,
penyelidikan tambahan seperti skrining HIV dapat dilakukan (setelah persetujuan
pasien) pada pengambilan darah yang sama.Kerugian Quantiferon termasuk biaya
dan keahlian teknis yang diperlukan untuk melakukan pengujian.Skrining pada
Pasien Immunocompromised.14

Foto rontgen dada diindikasikan untuk mengesampingkan atau


menyingkirkan adanya penyakit aktif di semua kasus tes skrining
positif.Pewarnaan Cepat Asam-Ziehl-Neelsen, budaya, nuklir, amplifikasi dan Tes
Berbasis Gen: Ini mewakili generasi baru alat diagnostik untuk tuberkulosis. Tes
ini memungkinkan identifikasi bakteri atau partikel bakteri dengan menggunakan
teknik molekuler berbasis DNA. Contohnya adalah Genexpert dan DR-MTB.15

Pengobatan pada TB yaitu (1) Tuberkulosis Laten : Obat pilihan adalah


isoniazid. Biasanya diberikan dengan vitamin B6, piridoksin (untuk mencegah
kerusakan saraf). Isoniazid direkomendasikan untuk orang Mantoux atau
quantiferon positif dan harus dilanjutkan selama 6 atau 9 bulan.WHO
merekomendasikan rejimen pengobatan berikut untuk mengobati tuberkulosis
laten15:

30
 Isoniazid 6 bulan atau 9 bulan setiap hari
 Rifapentin 3 bulan plus isoniazid setiap minggu
 Isoniazid 3 bulan atau 4 bulan plus rifampisin setiap hari
 Hanya rifampisin 3 bulan atau 4 bulan setiap hari

(2) Pengobatan Infeksi Aktif. Pengobatan TB yang dikonfirmasi membutuhkan


kombinasi obat. Terapi kombinasi selalu diindikasikan, dan monoterapi tidak
boleh digunakan untuk tuberkulosis. Rejimen TB yang paling umum termasuk
obat anti-TB berikut13,14:

 Pengobatan Garis Pertama, Kelompok 1


o Isoniazid - Dewasa (maksimum): 5 mg / kg (300 mg) setiap hari; 15
mg / kg (900 mg) sekali, dua kali, atau tiga kali seminggu. Anak-anak
(maksimum): 10-15 mg / kg (300 mg) setiap hari; 20-30 mg / kg (900
mg) dua kali seminggu (3). Tablet (50 mg, 100 mg, 300 mg); sirup (50
mg / 5 ml); larutan air (100 mg / ml) untuk injeksi IV atau IM.15
o Rifampisin - Dewasa (maksimum): 10 mg / kg (600 mg) sekali sehari,
dua kali seminggu, atau tiga kali seminggu. Anak-anak (maksimum):
10-20 mg / kg (600 mg) sekali sehari atau dua kali seminggu. Kapsul
(150 mg, 300 mg).15
o Rifabutin- Dewasa (maksimum): 5 mg / kg (300 mg) setiap hari, dua
kali, atau tiga kali seminggu. Ketika rifabutin digunakan dengan
efavirenz, dosis rifabutin harus ditingkatkan menjadi 450-600 mg
setiap hari atau sebentar-sebentar. Anak-anak (maksimum): Dosis
yang tepat untuk anak-anak tidak diketahui. Sediaan: Kapsul (150 mg)
untuk pemberian oral.15
o Rifapentine - Dewasa (maksimum): 10 mg / kg (600 mg), sekali
seminggu (fase lanjutan pengobatan) Anak-anak: Obat ini tidak
disetujui untuk digunakan pada anak-anak. Tablet (150 mg, dilapisi
film).14

31
o Pyrazinamide - Dewasa: 20-25 mg / kg per hari. Anak-anak
(maksimum): 15-30 mg / kg (2.0 g) setiap hari; 50 mg / kg dua kali
seminggu (2.0 g). Tablet (500 mg).15
o Etambutol - Dewasa: 15-20 mg / kg per hari: Anak-anak (maksimum):
15-20 mg / kg per hari (2,5 g); 50 mg / kg dua kali seminggu (2,5 g).
Obat ini dapat digunakan dengan aman pada anak-anak yang lebih tua
tetapi harus digunakan dengan hati-hati pada anak-anak yang
ketajaman penglihatannya tidak dapat dipantau (umumnya kurang dari
5 tahun) (66). Pada anak-anak yang lebih kecil, penyelenggara dapat
digunakan jika ada kekhawatiran dengan resistensi terhadap INH atau
RIF. Persiapan. Tablet (100 mg, 400 mg) untuk pemberian oral.15

Isoniazid dan Rifampicin mengikuti rejimen 4 obat (biasanya


termasuk Isoniazid, Rifampicin, Ethambutol, dan Pyrazinamide) selama 2
bulan atau enam bulan. Vitamin B6 selalu diberikan bersama Isoniazid
untuk mencegah kerusakan saraf (neuropati).15

Beberapa antimikroba lain efektif melawan tuberkulosis termasuk kategori


berikut15:

 Obat Anti Tuberkulosis Lini Kedua, Kelompok 2


o Aminoglikosida suntik dan polipeptida suntik
o Aminoglikosida suntik
 Amikacin
 Kanamycin
 Streptomisin
o Polipeptida yang dapat disuntikkan
 Capreomycin
 Viomisin
 Obat Anti-Tuberkulosis Lini Kedua, Grup 3, Fluoroquinolon Oral dan
Suntik
o Fluoroquinolones

32
 Levofloxacin
 Moxifloxacin
 Ofloxacin
 Gatifloxacin
 Obat Anti Tuberkulosis Lini Kedua, Kelompok 4
o Asam para-aminosalisilat
o Sikloserin
o Terizidone
o Ethionamide
o Prothionamide
o Zona tioaceta
o Linezolid

 Obat Anti Tuberkulosis Lini Ketiga, Kelompok 5


Ini adalah pengobatan dengan kemanjuran yang bervariasi tetapi belum
terbukti melawan TB. Obat ini digunakan untuk total TB yang resistan
terhadap obat sebagai obat pilihan terakhir.15
o Clofazimine
o Linezolid
o Amoksisilin / asam klavulanat
o Imipenem / Cilastatin
o Klaritromisin

(3) MDR-TB, XDR-TB. TB yang resistan terhadap berbagai obat menjadi


semakin umum. Kombinasi obat lini pertama dan lini kedua digunakan pada dosis
tinggi untuk mengobati kondisi ini.15

 Bedaquiline
Pada 28 Desember 2012, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika
Serikat (FDA), menyetujui Bedaquiline sebagai obat untuk mengobati TB-

33
MDR. Ini adalah persetujuan FDA pertama untuk pengobatan anti-TB
dalam 40 tahun. Meskipun menunjukkan janji yang luar biasa pada TB
yang resistan terhadap obat, biaya tetap menjadi kendala besar untuk
memberikan obat ini kepada orang yang paling terpengaruh oleh TB-
MDR.15

Pemantauan Klinis dan Laboratorium. Tes fungsi hati diperlukan untuk


semua pasien yang memakai isoniazid. Pemantauan lain pada TB termasuk
pemantauan retinopati untuk pasien yang menggunakan etambutol.15

b. Bronkhitis

Bronkitis adalah peradangan pada selaput lendir yang melapisi bronkus,


saluran udara yang membawa udara ke dan dari paru-paru. Bronkitis akut sering
terjadi selama perjalanan penyakit virus akut seperti flu biasa atau influenza.
Virus menyebabkan sekitar 90% kasus bronkitis akut. Bronkitis kronis adalah
salah satu jenis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan ditandai dengan
episode bronkitis berulang selama minimal 3 bulan selama 2 tahun atau lebih
berturut-turut. Pada bronkitis kronis, sel kekebalan bawaan, termasuk makrofag
dan neutrofil, meningkatkan tingkat peradangan saluran napas melalui sekresi
sitokin dan kemokin yang berlebihan yang merekrut dan mengaktifkan sel
kekebalan lain dan melepaskan protease yang merusak jaringan. Beberapa racun
paru telah ditemukan terkait dengan bronkitis kronis, termasuk materi partikulat
(yaitu, polusi udara), debu organik (misalnya, biji-bijian, jerami, produk
sampingan hewan, mikroorganisme), silikat, gas (misalnya, nitrous oksida,
metana , ozon), mikotoksin, pestisida, dan logam (misalnya arsenik, kadmium,
timbal). Merokok merupakan faktor risiko utama PPOK dan terus menjadi salah
satu penyebab utama kematian terkait asap rokok di seluruh dunia.14,15

Pasien bronkitis akut datang dengan batuk produktif, malaise, kesulitan


bernapas, dan mengi. Biasanya, batuk mereka merupakan keluhan utama dan
bening atau kekuningan, meski terkadang bisa bernanah. Dahak purulen tidak
berkorelasi dengan infeksi bakteri atau penggunaan antibiotik. Batuk setelah

34
bronkitis akut biasanya berlangsung selama 10 hingga 20 hari, tetapi kadang-
kadang dapat berlangsung selama 4 minggu atau lebih. Durasi median batuk
setelah bronkitis akut adalah 18 hari. Batuk paroksismal yang disertai dengan
teriakan inspirasi atau emesis pasca tusif harus menimbulkan kekhawatiran
terhadap pertusis. Gejala prodrome URI seperti pilek, sakit tenggorokan, demam,
dan malaise sering terjadi. Demam ringan juga bisa muncul. Demam tingkat
tinggi dalam keadaan bronkitis akut tidak biasa dan diperlukan pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut.Pada pemeriksaan fisik, auskultasi paru mungkin signifikan
untuk mengi; pneumonia harus dicurigai jika ada rales, rhonchi atau egophony.
Takikardia dapat muncul karena demam serta dehidrasi akibat penyakit virus.
Sistem lainnya biasanya dalam batas normal.16

Gejala yang paling umum dari penderita bronkitis kronis adalah batuk.
Riwayat batuk khas bronkitis kronis ditandai untuk hadir hampir setiap hari dalam
sebulan yang berlangsung selama 3 bulan dengan setidaknya 2 episode terjadi
selama 2 tahun berturut-turut. Batuk produktif dengan dahak terjadi pada sekitar
50% pasien. Warna dahak bisa bervariasi dari bening, kuning, hijau atau
terkadang diwarnai darah. Warna dahak mungkin tergantung pada adanya infeksi
bakteri sekunder. Sangat sering perubahan warna dahak bisa disebabkan oleh
peroksidase yang dilepaskan oleh leukosit di dalam dahak. Oleh karena itu, warna
saja bukanlah indikasi pasti dari infeksi bakteri.16

Sangat penting untuk mendapatkan riwayat lengkap dari pasien termasuk


informasi mengenai kemungkinan paparan bahan iritan atau bahan kimia yang
dihirup serta rincian lengkap tentang kebiasaan merokok. Demam jarang terjadi
pada bronkitis kronis dan bila ada bisa menjadi sugestif terkait influenza atau
pneumonia. Malaise umum adalah gejala yang umumnya terkait. Jarang pasien
mengeluh nyeri dada atau nyeri otot perut yang disebabkan oleh batuk terus
menerus. Saat terjadi peradangan pada saluran napas, bisa jadi ada mengi yang
terkait.Bronkitis kronis tanpa komplikasi muncul dengan batuk, dan tidak ada
bukti obstruksi jalan napas secara fisiologis. Ketika pasien menderita bronkitis
asma kronis, biasanya ada mengi karena saluran napas hiperaktif yang

35
menyebabkan bronkospasme intermiten. Bila ada bronkitis obstruktif yang
merupakan ujung spektrum penyakit yang lebih parah, ada penyakit saluran napas
kecil yang terkadang menyebabkan emfisema.15

Bronkitis akut sembuh sendiri dan pengobatan biasanya merupakan terapi


simtomatik dan suportif. Untuk meredakan batuk, terapi nonfarmakologis dan
farmakologis harus ditawarkan.Tujuan utama pengobatan bronkitis kronis adalah
untuk meredakan gejala, mencegah komplikasi dan memperlambat perkembangan
penyakit. Tujuan utama terapi ditujukan untuk mengurangi produksi lendir yang
berlebihan, mengendalikan peradangan dan menurunkan batuk. Ini dicapai dengan
intervensi farmakologis serta nonfarmakologis. Intervensi farmakologis andalan
adalah sebagai berikut15,16

 Bronkodilator: Agonis reseptor β-Adrenergik kerja pendek dan panjang serta


bantuan Antikolinergik dengan meningkatkan lumen saluran napas,
meningkatkan fungsi siliaris dan dengan meningkatkan hidrasi mukosa.19
 Glukokortikoid: Mengurangi peradangan dan produksi lendir Kortikosteroid
yang dihirup mengurangi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas
hidup.Namun, ini diberikan di bawah pengawasan medis dan untuk jangka
waktu yang singkat karena penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
osteoporosis, diabetes, dan hipertensi.16
 Terapi antibiotik: tidak diindikasikan dalam pengobatan bronkitis kronis
namun terapi makrolida telah terbukti memiliki sifat anti-inflamasi dan
karenanya mungkin berperan dalam pengobatan bronkitis kronis.19
 Penghambat fosfodiesterase-4: mengurangi peradangan dan meningkatkan
relaksasi otot polos saluran napas dengan mencegah hidrolisis zat adenosin
monofosfat siklik ketika terdegradasi menyebabkan pelepasan mediator
inflamasi.16

Intervensi nonfarmakologis yang paling kritis adalah berhenti merokok.


Penghentian merokok meningkatkan fungsi mukosiliar dan menurunkan
hiperplasia sel goblet. Penghentian merokok juga telah terbukti mengurangi

36
cedera saluran napas yang mengakibatkan penurunan tingkat mukus yang
terkelupas dalam sel trakeobronkial.Rehabilitasi paru merupakan bagian penting
dari pengobatan bronkitis kronis yaitu rehabilitasi paru yang terdiri dari
pendidikan, modifikasi gaya hidup, aktivitas fisik secara teratur dan menghindari
paparan polutan yang diketahui baik di lingkungan kerja maupun lingkungan
hidup.16

c. Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan jaringan paru-paru yang disebabkan oleh


infeksi bakteri, virus, atau jamur di salah satu atau kedua paru-paru yang disertai
infiltrasi dan peradangan pada alveoli. Baik bronkitis akut dan pneumonia
ditandai dengan perkembangan batuk dengan atau tanpa produksi sputum.Secara
historis, keluhan utama dalam kasus pneumonia meliputi tanda-tanda sistemik
seperti demam disertai menggigil, malaise, kehilangan nafsu makan, dan mialgia.
Temuan ini lebih umum pada pneumonia virus dibandingkan dengan pneumonia
bakterial. Sebagian kecil pasien mungkin mengalami perubahan status mental,
nyeri perut, nyeri dada, dan temuan sistemik lainnya. Temuan paru termasuk
batuk dengan atau tanpa produksi sputum. Pneumonia bakteri dikaitkan dengan
sputum bernanah atau jarang bernoda darah. Pneumonia virus berhubungan
dengan produksi sputum encer atau kadang mukopurulen. Mungkin ada nyeri
dada pleuritik terkait dengan keterlibatan pleura bersamaan. Dispnea dan nyeri
dada yang menyebar juga kadang-kadang terlihat.Diagnosis pneumonia biasanya
dibuat dengan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan rontgen dada. Temuan
pemeriksaan fisik yang umum meliputi16,17

 Rales (a bubbling or crackling sound) —Rales di satu sisi dada dan suara
berbunyi saat pasien berbaring sangat menandakan pneumonia.
 Rhonchi (suara gemuruh abnormal yang menunjukkan adanya cairan kental)
 Perkusi — Suara gedebuk yang tidak terdengar seperti suara drum yang sehat
menunjukkan kondisi tertentu yang menunjukkan pneumonia, termasuk:
 Konsolidasi (suatu kondisi di mana paru-paru menjadi keras dan tidak elastis)

37
 Efusi pleura (penumpukan cairan di ruang antara paru-paru dan lapisan
sekitarnya)

Pemeriksaan sputum yang menunjukkan adanya infeksi termasuk adanya


darah; pewarnaan Gram positif; dan dahak kental, buram, kuning, hijau, atau
coklat. Kultur dan sensitivitas sputum tidak selalu membantu dalam
mengidentifikasi penyebab pneumonia akibat kontaminasi sampel dengan bakteri
tenggorokan atau mulut.Penatalaksanaan CAP melibatkan stratifikasi risiko awal
pasien dan untuk memutuskan apakah akan menangani pasien secara rawat jalan,
di bangsal pengobatan umum, atau di unit perawatan intensif (ICU). Skala
"CURB-65" telah digunakan secara luas untuk tujuan ini. Komponen skala ini
termasuk kebingungan, uremia (BUN lebih besar dari 20 mg / dl), laju pernapasan
lebih dari 30 per menit, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg atau
diastolik kurang dari 60 mm Hg, dan usia lebih dari 65 tahun. Satu poin diberikan
untuk setiap kriteria positif yang dipenuhi pasien. Disposisi pasien diputuskan
sebagai berikut.17

 Skor 0 hingga 1: Manajemen rawat jalan. Pasien-pasien ini dirawat secara


empiris menggunakan Fluoroquinolones atau Beta-lactams + Macrolides jika
terdapat komorbiditas yang merugikan dan dengan Macrolides atau
Doxycycline jika tidak ada komorbiditas.17
 Skor 2 sampai 3 menunjukkan penerimaan dan manajemen di bangsal
pengobatan umum. Pengobatan lini pertama adalah pilihan antara
fluoroquinolones atau makrolida plus beta-laktam.17
 Skor 4 atau lebih manajemen waran di ICU. Rejimen empiris, dalam hal ini,
adalah pilihan antara kombinasi beta-laktam plus fluoroquinolon atau beta-
laktam plus makrolida.17

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Fernandez Gregory J. Sistem Pernapasan..Denpasar : Bagian Ilmu


penyakit Dalam FK Udayana. 2018. Hal 6-12

2. Ganong, F. William. 2015. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 22 Jakarta:


EGC
3. Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory
system relevant to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9),
p.533.
4. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta : EGC.
2014
5. Chaudhry, Raheel,Bruno Bordoni.Anatomy, Thorax, Lungs. National
Centre for Biotechnology Information. 2020. Retrieved
fromhttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470197/
6. Srinivas, P. (2016). Steady State and Stability Analysis of Respiratory
Control System using Labview. International Journal of Control Theory
and Computer Modeling, 2(6), pp.13-23.
7. Haddad, Moshe, Sandeep Sharma. Physiology, Lung. National Centre for
Biotechnology Information. 2020.
8. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Gagal Nafas pada Anak. Dalam
Pedoman Diagnosis dan Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK
Unpad RSHS.
9. Sherwood, Lauralee.Fisiologi ManusiaDari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC.2012
10. Hashmi,Muhammad F, Pranav Modi, Sandeep Sharma.Dyspnea. National
Centre for Biotechnology Information. 2020.

39
11. Guyton, A. C., Hall, J. E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
12.Jakarta: EGC. 2014
12. Adeyinka, Adebayo, Noah P. Kondamudi.Cyanosis. National Centre for
Biotechnology Information. 2020. Retrieved
fromhttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482247/
13. James, Dennis, Andre M. Pennardt.Trauma Care Principles. National
Centre for Biotechnology Information. 2020. Retrieved
fromhttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK547757/
14. Henry, Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS.
Advanced Trauma Life Support. Chicago : American College of Surgeons.
2018
15. Nowicki,John , Michael T. Murray. Bronchitis and Pneumonia.
Washington : Elsevier Public Health Emergency Collection. 2020
16. Bahar, Asril, Zulkifli Amin. Tuberkulosis Paru. DalamSetiati S, Idrus
Alwi, A.W Sudoyo, Marcellus, Bambang Setiyohadi, Ari Fahrial. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
17. Nowicki,John , Michael T. Murray. Bronchitis and Pneumonia.
Washington : Elsevier Public Health Emergency Collection. 2020

40

Anda mungkin juga menyukai