Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KESADARAN MENURUN

Oleh:

Muhammad Zuhal Januar


(10542055914)

Pembimbing:
dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anestesi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih
yang mendalam kepada dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An selaku pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam
membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas
ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna
adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat
kepada semua orang.

Makassar, Desember 2020

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muhammad Zuhal Januar, S.Ked

NIM : 10542 0559 14

Judul Lapsus : Kesadaran Menurun

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Makassar, Desember 2020

Pembimbing Mahasiswa

dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An Muhammad Zuhal Januar

3
BAB I

LAPORAN KASUS

SKENARIO

Seorang perempuan berusia 60 tahun dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak


sadar secara tiba2 saat berada dikamar mandi. Pemeriksaan tanda vital nadi tidak
teraba.

KATA KUNCI

 Perempuan 60 tahun
 Tidak sadar secara tiba2
 Tanda vital: Nadi tidak teraba

DAFTAR PERTANYAAN

1. Bagaimana menilai tingkat kesadaran?


2. Jelaskan penyebab kesadaran menurun!
3. Jelaskan patomekanisme kesadaran menurun pada skenario!
4. Jelaskan penyebab nadi tidak teraba
5. Diagnosis sementara?
6. Bagaimana penanganan pada skenario di atas ?

4
PEMBAHASAN

1. Penilaian tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos

mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma.1

 Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat

menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya.

 Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan

berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.

 Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung

tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu

memberikan jawaban secara verbal, namun mudah tertidur kembali.

 Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata

tertutup. Pasien dalam keadaan tidur yang dalam atau tidak memberikan

respon dengan pergerakan spontan yang sedikit atau tidak ada dan hanya

bisa dibangunkan dengan rangsangan kuat yang berulang (rangsang

nyeri).

 Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun

dengan semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Pasien

dalam keadaan tidak sadar yang dalam, yang tidak dapat dibangunkan

akibat disfungsi ARAS di batang otak atau kedua hemisfer serebri.

Karakteristik koma adalah tidak adanya arousal dan awareness terhadap

diri sendiri dan lingkungannya.

5
Koma yang terjadi secara tiba-tiba dapat memberi dugaan kejang atau

perdarahan intrakranial. Koma yang didahului kantuk atau ketidakstabilan

dapat memberi dugaan tertelannya obat-obatan atau racun. Demam biasa

terjadi pada anak koma karena proses infeksi. Riwayat nyeri kepala dapat

memberi dugaan adanya peningkatan tekanan intrakranial.2

Penilaian kesadaran secara kuantitatif dapat menggunakan Tabel penilaian

Glasgow Coma Scale (GCS).

Respons Membuka Mata


Spontan 4
Terhadap perintah/pembicaraan 3
Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Respons Motorik
Sesuai perintah 6
Mengetahui lokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi-dekortikasi 3
Reaksi ekstensi-deserebrasi 2
Tidak berespons 1
Respons Verbal
Dapat berbicara dan memiliki orientasi baik 5
Dapat berbicara, namun disorientasi 4
Berkata-kata tidak tepat dan tidak jelas (inappropriate words) 3
Mengeluarkan suara tidak jelas (incomprehensive sounds) 2
Tidak bersuara 1
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)

Skala AVPU adalah cara cepat dan sederhana untuk mendeteksi

perubahan status mental (AMS) pada Pasien. AVPU adalah skala langsung

6
yang berguna untuk menilai dengan cepat tingkat kesadaran kasar, daya

tanggap, atau status mental pasien. Ini berperan selama perawatan pra-rumah

sakit, ruang gawat darurat, bangsal rumah sakit umum, dan pengaturan unit

perawatan intensif (ICU).3

Dasar skala AVPU ada pada kriteria berikut:

 Alert : Pasien sadar akan pemeriksa dan dapat merespons lingkungan di

sekitar mereka sendiri. Pasien juga dapat mengikuti perintah, membuka

mata secara spontan, dan melacak objek.

 Responsif Verbal: Mata pasien tidak terbuka secara spontan. Mata pasien

terbuka hanya sebagai respons terhadap rangsangan verbal yang

diarahkan padanya. Pasien mampu bereaksi terhadap rangsangan verbal

tersebut secara langsung dan dengan cara yang berarti.

 Painfully Responsive: Mata pasien tidak terbuka secara spontan. Pasien

hanya akan merespon penerapan rangsangan yang menyakitkan oleh

pemeriksa. Pasien mungkin bergerak, mengerang, atau berteriak secara

langsung sebagai respons terhadap rangsangan yang menyakitkan.

 Unresponsive: Pasien tidak merespons secara spontan. Pasien tidak

merespon rangsangan verbal atau nyeri

2. Etiologi Kesadaran Menurun

Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak

secara fokal maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara

umum diklasifikasikan dalam intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu,

Koma juga dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik.

7
Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat

seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan metabolik,

intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan

intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi

sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan

psikogenik. Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak

jika tidak ada perbaikan keadaan klinis.4

Table 2. etiologi penurunan kesadaran.

3. Patomekanisme Kesadaran Menurun

Perilaku normal membutuhkan Pengetahuan dan Afek yang sesuai,

sehingga seseorang mampu mengenali hubungan antara diri sendiri dan

lingkungan. Komponen perilaku ini di kontrol oleh hemisfer otak. Pada

umumnya, tubuh mengikuti ritme kesadaran yang normal. Dari kondisi

kesadaran penuh (wakefulness) menjadi mengantuk, dan pada akhirnya

8
tertidur. Pada satu titik selama tertidur (atau bahkan pada mengantuk),

stimulus dari luar diproses melalui input sensoris untuk meningkatkan

kondisi sadar dan menyebabkan seseorang menjadi sadar (bangun). Siklus

ini dipicu secara predominan oleh ARAS, yang disebut sebagai pusat tidur.2

Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni

gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan

isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat

mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi

supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya

kesadaran.5

Penyebab dari penurunan kesadaran. ARAS dapa dibedakan di

beberapa refleks batang otak, termasuk refleks cahaya pada pupil (nervus

kranial II dan III) dan refleks pergerakan mata (nervus kranial III, VI, VIII,

dan fasciculus longitudinal medial). Pemeriksaan pada refleks ini

mengindikasikan fungsi dari ARAS. Adanya trauma pada area ARAS dapat

menyebabkan hilangnya refleks batang otak dan gangguan kesadaran,

meskipun hemisfer otak tetap dalam kondisi normal. Disfungsi otak difus

biasanya akibat riwayat penyakit medis seperti keracunan, gangguan

metabolik dan infeksi menyebabkan penekanan (kompresi) pada ARAS

yang merupakan akibat gangguan struktural.2

Periode hilangnya kesadaran sesaat berarti hilangnya kesadaran

intermiten dan muncul secara mendadak dari pasien yang sebelumnya telah

sadar penuh. hal ini terdapat pasien dengan penyakit kardiovaskular dengan

9
penurunan aliran darah ke otak secara akut (syncope) ataupun gangguan

aktivitas elektrik pada otak (kejang). Lesi fokal otak yang terjadi di bawah

tentorium (Gambar 1.A) akan mengganggu RAS sehingga dapat

menyebabkan koma sedangkan lesi fokal terjadi di atas tentorium dalam satu

hemisfer otak menyebabkan koma hanya jika sisi kontralateral otak secara

bersamaan terlibat atau terkompresi (Gambar 1.B) Lesi menyebar (difus)

otak, yang mempengaruhi fungsi otak secara keseluruhan termasuk RAS

dapat menyebabkan koma (Gambar 1.C).

Gambar 1. Gambaran Lesi yang menyebabkan Penurunan Kesadaran. Gbr A

& B menunjukkan Lesi fokal. Gbr C. menunjukkan pada kondisi

Encephalophaty Diffuse.

4. Diagnosis Sementara

Henti jantung adalah kondisi dimana jantung tidak mampu untuk

memompa darah yang disebabkan oleh malfungsi dari otot jantung.

Ketidakefektifan sirkulasi darah dari atrium menyebabkan penurunan

oksigenasi jaringan dan organ di seluruh tubuh, sehingga terjadi nekrosis,

yang menyebabkan kematian jaringan. Malfungsi otot jantung dapat

disebabkan oleh beberapa kondisi seperti infark miokard, overdosis obat-

10
obatan, trauma, henti nafas, dan irama jantung yang tidak normal seperti

takikardia ventrikel (VT) dan fibrilasi ventrikel (VF).7

Henti jantung di luar rumah sakit atau OHCA didefinisikan sebagai

berhentinya aktivitas mekanik jantung yang terjadi di luar rumah sakit yang

dikonfirmasi dengan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi. Ketidakadaan

tanda-tanda sirkulasi bisa dinilai dengan tidak terabanya nadi, mengalami

penurunan kesadaran, tidak ada pernafasan atau tersengal-sengal.7

Tanda dan Gejala

Henti jantung dapat datang secara tiba–tiba dan berat, sehingga

penderita tidak sadar apa yang dialaminya. Akan tetapi tidak jarang gejala

henti jantung berawal dari yang ringan, berupa nyeri ringan atau

ketidaknyamanan pada dada. Korban yang mengalaminya sering tidak

menyadari ia mendapat henti jantung dan menunggu lama sebelum akhirnya

memutuskan untuk mencari pertolongan. Di bawah ini adalah tanda dan

gejala yang sering muncul pada henti jantung:8

Tanda-tanda cardiac arrest menurut Cameron, Brown, & Little, (2015)

yaitu:

 Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan

suara, tepukan di pundak ataupun cubitan.

 Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal

ketika jalan pernafasan dibuka.

 Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis,

radialis).

11
5. Penatalaksanaan awal

Penatalaksanaan pada pasien henti jantung dan nafas adalah dengan

Resusitasi Jantung Paru (Cardio pulmonary Resuscitation/CPR).Resusitasi

Jantung Paru adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk

mengembalikan keadaan henti nafas dan atau henti jantung ke fungsi

optimal untuk mencegah kematian biologis.

12
Gambar 2. Algoritme Henti Jantung Dewasa.9

Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi

yang paling penting setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun

terapi obat dan cairan itu penting, pemberiannya jangan sampai mengganggu

13
tindakan kompresi dada dan ventilasi. Obat-obatan yang digunakan dalam

penanganan henti jantung adalah:

a. Adrenalin

Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera

diberikan pada pasien yang mengalami henti jantung selama kurang

dari dua menit dan disaksikan. Adrenalin termasuk golongan

katekolamin yang bekerja pada reseptor alfa dan beta sehingga

menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor alfa adrenergik.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian adrenalin

dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat memberikan

perbaikan klinis (Return of Spontaneous Circulation) dibandingkan

dengan pemberian dengan dosis standar.10,11

Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol

dan PEA (Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau

takikardi ventrikel tanpa nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi.

Adrenalin pada kasus asistol atau PEA diberikan sejak siklus pertama

dan diulang setiap 2 siklus berakhir. Sedangkan pada kasus fibrilasi

ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, adrenalin diberikan

setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi kedua dan diulang

kembali setiap 2 siklus berakhir).9

Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara

intravena atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis

yang digunakan pada anakanak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga

14
dapat diberikan intratrakea melalui pipa endotrakea (1 ml adrenalin

1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril). Pemberiannya dapat

diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis sama

seperti dosis pertama.12

Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan darah adekuat, adrenalin

dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera

mungkin. Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu

takiaritmia, hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis

jaringan jika terjadi ekstravasasi. Pemberian adrenalin yang

dikombinasikan dengan vasopressin tidak menimbulkan gejala klinis

yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian 9 adrenalin itu

sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu

dikombinasikan dengan vasopressin.11

b. Amiodaron

Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada

kanal natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa

dan beta adrenergik. Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan

farmakologik yang kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa

pemberian amiodaron setelah pemberian adrenalin dapat meningkatkan

ROSC dibandingkan dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron

diberikan kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel

takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi ketiga dan

keempat pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian

15
vasopressor dan terapi defibrillator. Dosis pemberian amiodaron

adalah sebagai berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali

dan kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian

amiodaron dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan

dosis pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian amiodaron ini

juga dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis kambuhnya fibrilasi

ventrikel atau takikardi ventrikel. Amiodaron memiliki efek hipotensi

dan bradikardi, sehingga pemberiannya perlu diperhatikan.11

c. Lidokain

Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker

yang biasanya digunakan sebagai alternatif anti-aritmia. Pemberian

lidokain tidak dapat meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak

berhubungan dengan perbaikan 11 klinis pasien untuk dapat

dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan amiodaron, efektivitas

lidokain sedikit lebih rendah dalam pencapaian ROSC pada pasien

dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi yang tidak respon

terhadap RJP, defibrilasi, dan vasopressor.7 Dosis pemberian lidokain

dibagi menjadi sebagai berikut: dosis awal diberikan 1 mg/kgBB bolus

yang dapat ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi. Pemberian infus

lidokain untuk ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari

pemberian lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech),

penurunan kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi, dan asistol.11

16
Cairan Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan

hidup paska resusitasi memiliki tujuan sebagai berikut:

Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah kehilangan

cairan, penggunaan kombinasi larutan yang mengandung elektrolit, koloid,

dan sel darah merah. Infus garam isotonik atau koloid yang cepat dan masif

dapat menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus perdarahan luar atau

dalam yang berat.

 Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti jantung

dengan cairan kira-kira 10% volume darah taksiran (10 ml/kgBB) guna

mengganti volume darah relatif akibat vasodilatasi, penimbunan di

vena, dan kebocoran kapiler.

 Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan

sekaligus memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.

 Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi

darah optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik

koloid normal, albumin serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan

glukosa serum (100-300 mg/dl).

Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada masa

paska henti jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan

tekanan vena sentral untuk menuntun penggantian volume. Jenis cairan yang

dipilih, yaitu kristaloid (Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang

dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.12

Electrocardiography

17
Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau standar yang

wajib disediakan di masing-masing unit gawat darurat karena diagnostik

henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui pemeriksaan EKG.

Gambaran EKG sangat menentukan langkah-langkah terapi pemulihan yang

akan dilakukan. Ada tiga pola EKG pada henti jantung, yaitu asistol

ventrikel, Pulseless Electrical Activity (PEA), dan fibrilasi ventrikel.12

a. Asistol Ventrikel

Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung dengan

gambaran EKG yang isoelektris. Paling sering disebabkan oleh

hipoksia, asfiksia, dan blok jantung.

Gambar 3. Ventrikel Asistole

b. Pulseless Electrical Activity

PEA merupakan gambaran EKG yang sering ditemukan pada anak-

anak dan biasanya dikaitkan dengan prognosis yang buruk. PEA

adalah suatu keadaan dimana tidak terabanya denyut nadi ketika irama

jantung masih terdeteksi oleh EKG. Terdapat jenis-jenis PEA, yaitu

disosiasi elektromekanik (EMD), disosiasi pseudoelektromekanik,

irama idioventrikular, irama ventricular escape, irama bradiasistolik,

dan irama idioventrikular postresusitasi. EMD merupakan gambaran

EKG yang paling sering muncul.3 EMD merupakan salah satu jenis

18
dari PEA dimana terdapat gambaran ketiadaan denyut dengan EKG

agonal (aneh atau abnormal) atau kadang relatif normal tetapi tidak

terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak efektif

sehingga denyut nadi tidak teraba. Disosiasi pseudoelektromekanik

merupakan keadaan dimana denyut nadi tidak teraba namun masih

ditemukan denyut jantung pada gambaran EKG dengan ETCO2 yang

tinggi. Disosiasi pseudoelektromekanik memiliki prognosis yang lebih

baik dibandingkan dengan EMD. Irama ventricular escape adalah

adanya denyut ventrikel setelah hilangnya nodus atrial sehingga

gambaran EKG akan menunjukkan adanya gelombang QRS disertai

dengan tidak adanya gelombang p. Irama bradiasistolik merupakan

irama jantung yang terdapat irama ventricular kurang dari 60 kali per

menit pada dewasa atau tidak adanya denyut jantung. Sedangkan irama

idioventrikular postresusitasi dikarakterisasi dengan adanya aktivitas

gelombang yang teratur yang terlihat segera setelah dilakukan

cardioversion pada kasus dimana sebelumnya tidak ada denyut yang

teraba.

Gambar 4 Disosiasi Elektromekanik

19
Gambar 5 Irama Idioventrikular

Gambar 6 Irama Ventricular Escape

c. Fibrilasi Ventrikel

Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar ventrikel jantung

secara kontinu dan tidak teratur sehingga tidak bisa memompakan

darah ke seluruh tubuh. Gambaran EKG akan tampak osilasi yang khas

kompleks QRS. Irama jantung ini paling sering menyebabkan

kematian jantung mendadak. Penyebab dari fibrilasi ventrikel

dibedakan menjadi dua, primer dan sekunder. Mekanisme dari

penyebab tersebut masih belum diketahui dengan pasti. Penyebab

primer yang paling sering adalah iskemik otot jantung, reaksi obat,

tersengat listrik, dan kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan

penyebab sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia,

tenggelam, dan akibat perdarahan.

20
Gambar 7 Fibrilasi Ventrikel

d. Takikardi Ventrikel

Takikardi ventrikel merupakan takikardi yang bersumber dari

ventrikel. Potensi menjadi aritmia yang fatal sangat tinggi akibat

menurunnya curah jantung dan gagal sirkulasi. Definisi dari takikardi

ventrikel adalah ventrikular ekstrasistol yang timbul berurutan dengan

kecepatan >100 kali/menit, takikardi ventrikel juga memiliki kompleks

QRS yang lebar.

Gambar 8 Takikardi Ventrikel

Terapi Fibrilasi

Terapi fibrilasi merupakan usaha untuk segera mengakhiri disaritmia

takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal dengan

menggunakan syok balik listrik. Syok balik listrik menghasilkan depolarisasi

serentak semua serat otot jantung dan setelah itu jantung akan berkontraksi

spontan, asalkan otot jantung mendapatkan oksigen yang cukup dan tidak

21
menderita asidosis. Terapi fibrilasi diindikasikan untuk pasien dengan

fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. 12

Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang sering muncul pada kasus

henti jantung. Penanganan yang paling efektif untuk henti jantung dengan

irama tersebut adalah dengan defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi akan

mengkonsumsi oksigen lebih banyak sehingga akan memperburuk iskemia

miokardium. Defibrilasi harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin

lama fibrilasi dibiarkan, maka semakin sulit untuk dilakukan defibrilasi dan

banyak kerusakan sel jantung yang ireversibel sehingga semakin kecil

kemungkinan resusitasi akan berhasil. Defibrillator menyalurkan energi

listrik dalam dua bentuk, yaitu monofasik dan bifasik. Gelombang

monofasik menyalurkan energi hanya searah dari satu elektroda ke elektroda

lainnya. Gelombang bifasik membalikkan arah energi dengan mengubah

polarisasi elektroda dari bagian dimana energi tersebut disalurkan sehingga

gelombang monofasik membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan

gelombang bifasik.

Gelombang bifasik biasanya digunakan pada implantable cardioverter

defibrillator (ICD) yang kemudian dapat diadaptasi menjadi eksternal

defibrillator. Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang

dibutuhkan untuk defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang lebih

sedikit dibanding dewasa 17 dengan serendah-rendahnya 0.5 J/kgBB.

Namun, ukuran tubuh tidak terlalu berpengaruh pada dewasa. Beberapa

studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang sukses dengan menggunakan

22
energi yang rendah (160-200 J). Penelitian yang dilakukan di luar dan di

rumah sakit menunjukkan bahwa terdapat kesuksesan defibrilasi yang sama

ketika menggunakan 200 J atau lebih rendah dari itu dibandingkan dengan

menggunakan 300 J atau lebih. 3 Pada defibrillator yang menggunakan

gelombang bifasik, dikenal ada dua jenis gelombang bifasik yaitu biphasic

truncated exponential waveform dan rectilinear biphasic waveform. Pada

AED, energi yang disalurkan akan diatur secara otomatis oleh alat.

Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan range energi yang

efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic truncated exponential

waveform, maka energi yang disediakan berkisar antara 150-200 J dengan

tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Sedangkan untuk defibrillator jenis

rectilinear biphasic waveform, energi yang disediakan 120 J dengan tingkat

kesuksesan yang sama dengan biphasic truncated exponential waveform.

Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energi sebesar

360 Joule untuk dewasa, sedangkan gelombang bifasik direkomendasikan

pemberian energi sebesar 200 Joule. Energi dapat ditingkatkan bertahap

apabila keadaan takikardi ventrikel atau fibrilasi ventrikel tidak membaik

setelah kejutan pertama. Tipe bifasik lebih direkomendasikan untuk

melakukan cardioversion karena tipe bifasik memberikan tingkat kesuksesan

yang sama dengan menggunakan lebih sedikit energi.4 Penggunaan

gelombang bifasik lebih direkomendasikan dibandingkan dengan gelombang

monofasik karen penggunaan defibrillator dengan energi besar akan

meningkatkan potensi kerusakan otot jantung. Sebelum memulai terapi

23
fibrilasi, defibrillator harus diperiksa dan dicoba terlebih dahulu

kemampuannya memberikan energi mulai dari rendah hingga tinggi. Pedal

defibrillator luar (dada) untuk dewasa memiliki diameter 14 cm, sedangkan

untuk anak-anak memiliki diameter 8 cm, dan untuk bayi memiliki diameter

4.5 cm. Pedal defibrillator dalam (jantung) pada dada terbuka dewasa adalah

6 cm, untuk anak-anak 4 cm, dan untuk bayi 2 cm.12

Lokasi pedal defibrillator diletakkan dengan posisi anterior-lateral

dengan satu pedal diletakkan di ICS keenam pada midaxillary line kiri,

sedangkan pedal lainnya diletakkan di ICS kedua 18 parasternal kanan. Jika

penderita memiliki payudara besar, pedal kiri dapat diletakkan di bawah

payudara dengan menghindari jaringan payudara terkena kejutan.

6. Penatalaksanaan Lanjutan

24
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Singhal NS, Josephson SA.A practical approach to neurologic evaluation

in the intensive care unit. J Crit Care. 2014

2. Avner JR. Altered states of consciousness. Pediatrics in Review. 2006

3. Romanelli D, Farrell MW. AVPU Score NCBI Bookshelf .2020. dapa di

akses di : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538431/

4. Greer DM, Yang J, Scripko PD, et al. Clinical examination for outcome

prediction in nontraumatic coma. Crit Care Med. 2012

5. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness and coma. Dalam:

Swaiman KE, Ashwal S, penyunting. Pediatric neurology, principles &

practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby.2006

6. Philip I. Aoronson, dkk. At a glance system kardio vascular, edisi 3,

Jakarta. 2007

7. McNally, B., Robb, R., Mehta, M. Out-of-Hospital Cardiac Arrest

Surveillance — Cardiac Arrest Registry to Enhance Survival (CARES),

United States. Morbidity and Mortality Weekly Report Surveillance

Summaries,. 2011.

8. Cameron, P., Brown, A., & Little, M. Textbook of Adult Emergency

Medicine (4th ed.). London: Churchill Livingstone Elsevier. 2015

9. AHA. (2020). Hightlights of the 2020 American Heart Association

Guidelines Update for CPR and ECC.

10. Pakpahan HA. Elektrokardiografi Ilustratif. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.

26
11. Morgan GE, Mikhail MS, dan Murray MJ. Clinical Anesthesiology. New

York: Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division. 2013.

12. Mangku G dan Senapathi TG. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor.

Wiryana IM, Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks. 2010.

27

Anda mungkin juga menyukai