Anda di halaman 1dari 9

Kegiatan Pembelajaran 3

Persekutuan Hukum Adat

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan persekutuan hukum
adat
2. Materi Pembelajaran 3
Persekutuan Hukum Adat
Menurut Soerojo, Persekutuan Hukum adalah kesatuan-kesatuan yang
mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal, serta memiliki pengurusan
sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun immaterial.(
Yulies Tiena Masriani :2004:135 )

Contohnya;
a. Tata-susunan yang tetap, yaitu terdiri atas beberapa bagian yang
disebut “rumah” atau “jurai”, selanjutnya jurai ini terdiri atas beberapa
nenek dengan anak-anaknya laki-laki dan perempuan
b. Pengurus sendiri, yaitu yang diketuai oleh seorang penghulu andiko,
sedangkan jurai dikepalai oleh seorang tungganai atau mamak kepala
waris
c. Harta pusaka sendiri yang diurus oleh penghulu andiko.

Pada dasarnya pengertian persekutuan hukum adat yang dikemukakan 


para tokoh hampir sama. Persekutuan hukum di berbagai daerah kepulauan di
Indonesia mempunyai peraturan hukum adat yang berbeda-beda. Di dalam
buku Adatrecht, Van Vollenhoven membagi seluruh daerah Indonesia dalam 19
lingkaran Hukum Adat yaitu ;(Yulies Tiena :2004:134)

1 .Aceh,
2.Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias,
3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai,
4.Sumatera Selatan,
5.Daerah Melayu ( Sumatera Timur, Jambi dan Riau)
6.Bangka dan Belitung,
7.Kalimantan,
8. Minahasa,
9. Gorontalo,
10. Daerah Toraja,
11. Sulawesi Selatan,
12.Kepulauan Ternate,
13. Maluku Ambon,
14. Irian ( Papua )
15. Kepulauan Timor
16. Bali dan Lombok
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur
18. Surakarta dan Yogyakarta
19. Jawa Barat
Adapun lingkaran wilayah hukum adat yang di uraikan tersebut adalah
berdasarkan kenyataan yang diketemukan pada masa sebelum kemerdekaan
Republik Indonesia. Namun untuk masa sekarang pembagian tersebut sudah
tidak sesuai lagi, hal ini di karenakan terjadinya perubahan dan perkembangan
masyarakat. Bisa terjadi karena perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari
suatu daerah ke daerah lain (transmigrasi), akibat pembangunan dan yang
lainya.

Bentuk-Bentuk Persekutuan Hukum Adat

Menurut tata susunanya struktur persekutuan hukum di Indonesia dapat


di golongkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Persekutuan Hukum Geneologis

Suatu kesatuan masyarakat yang teratur dimana para anggotanya


terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari suatu leluhur baik secara
langsung karena hubungan darah (keturunan) maupun secara tidak langsung
karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Pada intinya persekutuan
hukum yang bersifat genealogis dilandaskan pada pertalian darah,  pertalian
suatu keturunan yang sama.

Menurut para ahli hukum adat dimasa Hindia Belanda masyarakat


hukum Geneologis ini dapat dibedakan dalam 3 macam, yaitu yang bersifat
patrilinial, matrilinial, dan bilateral atau parental, yaitu: ( Hilman Hadikusuma :
1992:108)
a). Sistem Patrilinial;

Yaitu sistem masyarakat yang menarik garis keturunan darah menurut


pihak bapak (Patrilinial), seperti pada suku Batak, Nias dan Sumba. Pada
masyarakat patrilinial ini ada yang sifatnya murni dan ada pula yang sifatnya
tidak murni (beralih-alih) yaitu;

1. Patrilinial murni  berpendapat bahwa laki-laki saja yang dapat menjadi


penerus keturunan
2. Patrilinial tidak murni (beralih-alih) berpendapat bahwa tidak hanya laki-
laki saja yang dapat menjadi penerus keturunan, perempuan juga dapat
menjadi penerus keturunan asalkan perempuan tersebut menempuh
ritual upacara adat sehingga ia dianggap sebagai laki-laki dalam
perspektif adat namun wujud nyata perempuan tersebut juga tetap
perempuan.

Yang termasuk kedalam masyarakat patrilinial ini misalnya “ marga


geneologis” orang batak yang mudah dikenal dari nama marga-marga mereka
seperti, Sinaga, Simatupang, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Pane,
Aritonang, Siregar dan sebagainya.

b). Sistem Matrilinial;

Adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal


dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan
dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda.
Matrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu mater yang berarti ibu,
dan linea yang berarti garis. Jadi, matrilineal berarti mengikuti garis keturunan
yang ditarik dari pihak ibu.

Sistem matrilinial ini dianut oleh masyarakat Minangkabau, dan sangat


sulit untuk dikenal , karena mereka jarang sekali menggunakan nama-nama
keturunan sukunya secara umum. Suku dalam masyarakat adat Minangkabau
adalah “ marga “ dalam masyarakat adat Batak.

Pada mulanya suku pada masyarakat adat Minagkabau ada 4 yaitu;


Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Karena penduduknya bertambah terus dan
banyak pula dari mereka yang berpindah-pindah maka terjadi cabang-cabang
dari suku tersebut, akhirnya banyak nama suku yang sekarang yang tidak jelas
lagi asal usulnya.

c). Sistem Bilateral atau Parental;

Adalah pertalian darah menurut garis ibu dan bapak .Pada masyarakat
adat yang bilateral atau parental, susunan masyarakatnya ditarik dari garis
keturunan orang tuanya yaitu bapak dan ibu bersama-sama. Jadi hubungan
kekerabatan antara pihak Bapak dan pihak Ibu berjalan seimbang atau sejajar,
masing-masing anggota kelompok masuk ke dalam klen Bapak dan klan Ibu,
seperti terdapat di Mollo (Timor) dan banyak lagi di Melanisia. Tetapi
kebanyakan sifatnya terbatas dalam beberapa generasi saja seperti di
kalangan masyarakat Aceh, Melayu, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi.

2. Persekutuan Hukum Teritorial :

Yang dimaksud persekutuan hukum teritorial adalah kelompok


masyarakat adat yang didasarkan kesamaan daerah kelahiran dan menjalin
kehidupan bersama di tempat yang sama. Masyarakat adatnya yang tetap dan
hidup teratur yang anggota-anggota masyarakatnya terkait pada suatu daerah
hukum kediaman tertentu baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan
maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan. Jadi masyarakat
hukum ini melandaskan pada tempat tinggal yaitu suatu daerah tertentu.
(Soerojo Wignjodipoero; 1987 :78) 

Ada 3 jenis persekutuan hukum teritorial menurut Van Dijk yakni ( Bushar
Muhamad: 1984 :37)

a). Persekutuan Desa :

Apabila segolongan orang terikat  pada suatu kediaman yang terdiri dari
dukuh-dukuh yang tidak berdiri sendiri sedangkan para pejabat pemerintahan
desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman
itu, contoh; Desa di Jawa dan di Bali.

b). Persekutuan Daerah :


Apabila dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang
masing-masing memiliki tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang
sejenis , berdiri sendiri-sendiri tetapi semuanya merupakan bagian bawahan
dari daerah. Daerah memiliki harta benda dan menguasai hutan dan rimba
atau dikelilingi tanah yang ditanami dan tanah yang di tinggal penduduk desa
itu. Contoh; Kuria di Anggola dan Mandailing yang mempunyai hutan-hutan di
dalam daerahnya.

c). Perserikatan (beberapa kampung) :

Apabila beberapa persekutuan kampung/desa atau marga yang


berdekatan membentuk suatu permufakatan untuk memelihara kepentingan
bersama seperti kepentingan ekonomi, pertanian dan sebagainya. Tentunya
dalam kerjasama ini ada badan pengurusnya namun wewenang dan
kedudukan badan pengurus ini tidak lebih tinggi dari pengurus desa masing
masing. Kekuasaan tertinggi terhadap tanah dalam daerah kampung/desa itu
ada pada tangan pengurus kampung/desa yang bersangkutan.

Pada faktanya persekutuan hukum adat berdasarkan teritorial atau


wilayah saja ini sulit sekali ditemukan , yang banyak ditemukan biasanya yang
bercampur dengan faktor genealogis karena pada umumnya suatu kelompok
masyarakat adat tinggal berkelompok dengan famili mereka.

3. Persekutuan Hukum Geneologis-Teritorial :

Yaitu apabila keanggotaan persekutuan di dasarkan pada satu


kesatuan keturunan , sekaligus juga berdiam pada daerah yang bersangkutan.
Jadi pada persekutuan hukum ini para anggotanya bukan saja terikat pada
tempat kediaman tertentu tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam
ikatan pertalian daerah dan atau kekerabatan.

Dengan demikian di dalam suatu daerah dimana terdapat masyarakat


yang teritorial geneologis, akan berlaku dualisme hukum, yaitu hukum
administrasi pemerintahan berdasarkan perundang-undangn, hukum adat
( yang baru) yang berlaku bagi semua anggota kesatuan masyarakat desa
yang bersangkutan, dan hukum adat yang tradisional bagi kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum tertentu menurut daerah asalnya masing-masing.
Contoh dari masyarakat persekutuan adat geneologi-teritorial ini
terdapat antara lain di Pulau Mentawai (Uma), di Pulau Nias (Euri), di daerah
Tapanuli (Kuria dan Huta), di Minangkabau (Nagari), di Palembang (Marga), di
Maluku (Negorij).

Persekutuan hukum yang bersifat geneologis teritorial ini dapat dibeda-


bedakan dalam 5 jenis, sebagai berikut (Soerojo Wignjodipoero :1987: 82 )

1. Suatu daerah atau kampung didiami hanya oleh suatu bagian clan
(golongan) tidak ada clan lain yang tinggal di dalam daerah ini.
Kampung yang berdekatan juga didiami oleh hanya satu clan bagian
saja. Contoh: di pedalaman pulau-pulau Enggano, Buru Seram, dan
Flores. Kalau di pesisir penduduk kampung sudah campuran terdiri atas
beberapa famili yang memisahkan diri dari golongan/clan di pedalaman.
2. Di Tapanuli terdapat susunan rakyat sebagai berikut: Dalam satu daerah
tertentu semula didiami oleh satu marga tertentu. Kemudian didalam
huta-huta yang didirikan oleh marga itu terdapat satu atau beberapa
marga lain yang masuk menjadi warga badan persekutuan huta di
daerah itu. Marga yang semula mendiami daerah tersebut serta
mendirikan huta-huta di daerah itu disebut,” Marga Asal”, “Marga Raja”,
atau “Marga Tanah”. Dan bagi pendatang atau marga yang kemudian
masuk ke daerah itu, disebut “ Marga Rakyat”.
3. Di Sumba Tengah dan Sumba Timur: Disini mulanya telah ada satu clan
yang mendiami suatu daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan
tetapi akhirnya berpindah kepada clan lain yang masuk kedaerah
tersebut, dan berhasil merebut kekuasaan pemerintahan dari clan yang
asli. Kedua clan tersebut akhirnya berdamai dan akhirnya secara
bersama-sama menjadi kesatuan badan persekutuan daerah.
Kekuasaan pemerintahan di pegang oleh clan yang datang, kemudian
clan yang asli tetap menguasai tanah-tanah di daerah itu, sebagai wali
tanah.
4. Di beberapa nagari di Minangkabau dan di beberapa marga di
Bengkulu. Dalam satu daerah nagari segala golongan suku
berkedudukan sama dan bersama-sama merupakan suatu badan
persekutuan teritorial (nagari), sedang daerah nagari itu terbagi dalam
daerah-daerah golongan ( suku) dimana tiap-tiap golongan mempunyai
daerah-daerah sendiri.
5. Di nagari-nagari lain di Minagkabau dan dusun-dusun di Rejang
(Bengkulu). Disini di dalam suatu nagari/dusun berdiam beberapa
bagian clan yang satu dengan yang lain tidak bertalian famili. Seluruh
wilayah nagari menjadi daerah bersama dari semua bagian clan.

Selain itu Van vollenhoven juga membagi tentang struktur persekutuan


hukum di seluruh Indonesia ke dalam 4 golongan;

Golongan 1 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan geneologis.

Golongan 2 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial yang di


dalamya terdapat kesatuan-kesatuan geneologis.

Golongan 3 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa


kesatuan geneologis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak
dengan kesatuan/teritorial yang lebih kecil.

Golongan 4 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di


dalamnya terdapat persekutuan-persekutuan/badan-badan
hukum yang sengaja didirikan oleh para warganya.

Van vollenhoven juga menegaskan, bahwa ke empat golongan tersebut


kemungkinan sulit di temukan lagi di Indonesia.

3. Rangkuman
Persekutuan Hukum adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata
susunan yang teratur dan kekal, serta memiliki pengurusan sendiri dan
kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun immaterial.
Persekutuan hukum di Indonesia dapat di golongkan menjadi tiga, yaitu
sebagai berikut:

1. Persekutuan Hukum Geneologis

Suatu kesatuan masyarakat yang teratur dimana para anggotanya


terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari suatu leluhur baik secara
langsung karena hubungan darah (keturunan) maupun secara tidak langsung
karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.
2. Persekutuan Hukum Teritorial :

Yang dimaksud persekutuan hukum teritorial adalah kelompok


masyarakat adat yang didasarkan kesamaan daerah kelahiran dan menjalin
kehidupan bersama di tempat yang sama.

3. Persekutuan Hukum Geneologis-Teritorial :

Yaitu apabila keanggotaan persekutuan di dasarkan pada satu


kesatuan keturunan , sekaligus juga berdiam pada daerah yang bersangkutan.
Jadi pada persekutuan hukum ini para anggotanya bukan saja terikat pada
tempat kediaman tertentu tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam
ikatan pertalian daerah dan atau kekerabatan.

Dengan demikian di dalam suatu daerah dimana terdapat masyarakat


yang teritorial geneologis, akan berlaku dualisme hukum, yaitu hukum
administrasi pemerintahan berdasarkan perundang-undangn, hukum adat
( yang baru) yang berlaku bagi semua anggota kesatuan masyarakat desa
yang bersangkutan, dan hukum adat yang tradisional bagi kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum tertentu menurut daerah asalnya masing-masing.

4. Tugas
Diskusikanlah dalam masing-masing kelompok belajar anda, terkait dengan
persekutuan hukum adat lalu jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-dalam
lembar kerja kelompok anda!

5. Evaluasi
a. Apakah yang menjadi dasar pembentukan masyarakat hukum adat?
b. Sebutkan apa tujuan Van Vollenhoven membagi lingkaran
masyarakat hukum adat menjadi 19 wilayah?
c. Sebutkan perbedaan persekutuan hukum Geneologis dan
persekutuan hukum Teritorial

Anda mungkin juga menyukai