Anda di halaman 1dari 52

MICRO TEACHING

Dosen Pengampu :

Dra. Pita H.D Silitonga, M.Pd

Disusun Oleh:

1. PUTRI DEWI SARTIKA


2. TRIA APRILIA SIREGAR (2181142001)
3. PUTRI ANJASARI (2181142004)
4. ?

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN SENI MUSIK

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang senantiasa memberikan limpahan
berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ajar Micro Teaching ini
dengan baik.Pembelajaran adalah inti dari aktivitas pendidikan. Proses belajar mengajar, yang
saat ini lebih dikenal dengan istilah pembelajaran, menjadi salah satu aspek utama penentu
kualitas pendidikan. Oleh sebab itu pemecahan masalah rendahnya kualitas pendidikan harus
difokuskan pada kualitas pembelajaran. Dalam konteks ini, guru memiliki peran yang sangat
penting dalam proses pembelajaran. Guru berperan sebagai informator (sumber informasi),
organisator (pengelola kegiatan mengajar), motivator (pemberi dorongan kepada peserta didik),
director (pengarah kegiatan belajar peserta didik), inisiator (pencetus ide-ide dalam proses
pembelajaran), transmitter (penyebar kebijaksanaan pendidikan), fasilitator (memberi
kemudahan dalam belajar), mediator (penengah dalam kegiatan pembelajaran), dan evaluator
(penilai hasil belajar peserta didik). Untuk itu dibutuhkan profesionalitas seorang guru.

Pada umumnya guru tidak dilahirkan tetapi dibentuk terlebih dahulu melalui proses
pembelajaran dan latihan. Pembelajaran mikro atau yang lebih dikenal dengan micro teaching
merupakan suatu teknik atau metode latihan yang dirancang untuk pengembangan keterampilan
mengajar calon guru/ guru.Pengajaran mikro sangat berguna dalam praktek keguruan, tidak saja
dalam program preservice tapi juga dalam program in service, dimana diselenggarakan dalam
rangka memacu profesionalitas guru/calon guru.

Micro teaching merupakan salah satu mata kuliah wajib di setiap fakultas pendidikan dan
keguruan, baik yang berada di perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi agama yang
memiliki fakultas pendidikan.Hal ini meniscayakan adanya buku panduan yang menjelaskan
secara rinci tentang micro teaching.Untuk itu, buku ini disusun untuk memenuhi kebutuhan
mahasiswa fakultas pendidikan (tarbiyah) dan keguruan dan dosen pengampu mata kuliah Micro
teaching.Selain itu, dapat juga dipedomani untuk program micro teaching yang bertujuan untuk
peningkatan profesionalitas guru dalam jabatan.

Penulis menyadari buku ajar ini masih banyak kelemahannya, oleh sebab itu, saran dan
pendapat dari pembaca sangat dinantikan guna pengembangan buku ajar selanjutnya.Harapan
penulis karya ini bisa memberi kontribusi bagi ahli pendidikan untuk mengembangkan
kurikulum yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan, serta karya ini dapat menjadi referensi
penting bagi tenaga pendidikan dan pimpinan lembaga pendidikan dalam menyusun dokumen
kurikulum dan mengimplementasikannya dalam pembelajaran di sekolah.Semoga tulisan ini
bermakna bagi pembaca dalam memahami kurikulum baik teoritis maupun praktis, terutama bagi
para guru.
Medan, 12 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I MICRO TECHING

A. Konsep Pembelajaran
B. Komponen Dasar Pembelajaran
C. Pengertian Micro Reaching
D. Sejarah Micro Teaching
E. Tujuan Micro Teaching
F. Fungsi dan Manfaat Micro Teaching

BAB II PERENCANAAN MICRO TEACHING

A. Pengertian Perencanaan Micro Teaching

B. Unsur-unsur Perencanaan Pembelajaran

C. Tujuan dan Manfaat Perencanaan Pembelajaran

D. Aplikasi dalam Perencanaan Micro Teaching

E. Prinsip-prinsip Perencanaan Pembelajaran

F. Langkah-langkah Pembuatan Perencanaan Micro Teaching

BAB III

KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN MIKRO

Pendahuluan

A. Karakteristik Pembelajaran Mikro

B. Prinsip Pembelajaran Mikro

C. Guru Yang Efektif


BAB IV

LANDASAN TEORITIS MODEL PEMBELAJARAN

MICRO TEACHING TADALURING

A. Teori Belajar Behavioristik


B. Teori Belajar Sosial
C. Teori Belajar Konstruktivis
D. Teori Komunikasi
E. Teori Desain Pembelajaran Berbasis Web ( DPBW )
BAB I

MICRO TEACHING

A. Konsep Pembelajaran
Pembelajaran adalah istilah yang relatif baru dalam dunia pendidikan
Indonesia.Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai
dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Namun demikian, substansinya sudah lama
ada dalam dunia pendidikan Indonesia, karena konsep pembelajaran merupakan konversi
dari istilah proses belajar mengajar yang selama ini digunakan. Mengapa saat ini lebih
cenderung menggunakan istilah pembelajaran?Karena dalam kenyataannya yang sering
terjadi adalah guru mengajar namun kurang mampu membelajarkan siswa.Seperti
dikemukakan di atas, konsep pembelajaran mengandung unsur belajar dan
mengajar.Beberapa pakar memberikan definisi tentang belajar.Belajar menurut Hilgard
dan Brower dalam Oemar Hamalik adalah perubahan dalam perbuatan melalui aktivitas,
praktek, dan pengalaman.
Adapun menurut Morgan dalam Ngalim Purwanto, belajar adalah setiap
perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasildari
latihan atau pengalaman. Beberapa ciri umum kegiatan belajar sebagai berikut:
1. Belajar menunjukkan suatu aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau disengaja.
2. Belajar merupakan interaksi individu dengan lingkungannya.
3. Hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku.
Sedangkan mengajar adalah Menurut Gagne, Briggs, dan Vager, pembelajaran
adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses
belajar pada siswa. Dalam kamus Bahasa Indonesia pembelajaran menekankan pada
proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan
menurut Winartapura “pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menginisiasi dan memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada
diri peserta didik.Dengan demikian, pembelajaran merupakan perpaduan yang harmonis
antara kegiatan mengajar yang dilakukan guru dan kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa.
Perubahan istilah dari proses belajar-mengajar ke konsep pembelajaran
dimaksudkan untuk mengoreksi kegagalan pendidikan Indonesia dalam mencapai
keseimbangan capaian ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang diduga karena peran
dominan guru di satu sisi dan kurang mampu membelajarkan siswa di sisi lain, sehingga
potensi-potensi yang ada dalam diri siswa tidak berkembang secara optimal, karena tidak
terjadi proses belajar pada diri siswa. Konsekuensinya, perubahan yang diharapkan baik
dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor kurang tercapai dengan baik. Pembelajaran
dapat diartikan sebagai proses membelajarkan siswa atau membuat siswa belajar (make
student learn). Tujuannyaialah membantu siswa belajar dengan memanipulasi lingkungan
dan merekayasa kegiatan serta menciptakan pengalaman belajar yang memungkinkan
siswa untuk melalui, mengalami atau melakukannya. Dari proses melalui, mengalami dan
melakukan itulah pada akhirnya siswa akan memperoleh pengetahuan, pemahaman,
pembentukan sikap dan keterampilan. Ada suatu anggapan yang diyakini oleh sebagian
kalangan bahwa orang yang mengajar cukup hanya menguasai materi atau ilmu yang
akan diajarkan. Dengan menguasai materi saja, diyakini dapat mengajar dengan
baik.Anggapan ini kurang tepat, karena mengajar bukan hanya semata-mata dimaksudkan
untuk menyampaikan ilmu (transfer of knowledge), tetapi juga dimaksudkan untuk
penanaman nilai-nilai (transformation of values).Idealnya transformasi nilai yang bersifat
edukatif ada komunikasi antara pendidik dengan peserta didik (siswa) yang mengandung
unsur-unsur pedagogis, didaktis, dan psikologis. Pembelajaran merupakan setiap kegiatan
yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan,
keterampilan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap
rancangan, pelaksanaan dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar.3 Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa:
“pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar”. Berdasarkan konsep tersebut, dalam kata pembelajaran
terkandung dua kegiatan yaitu belajar dan mengajar. Mengajar adalah kegiatan yang
berkaitan dengan upaya membelajarkan siswa agar berkembang potensi yang ada pada
dirinya serta terjadi proses perubahan dalam dirinya baik secara kognitif, afektif maupun
psikomotor. Ini berarti bahwa pembelajaran menuntutterjadinya komunikasi antara dua
arah atau dua pihak yaitu pihak yang mengajar (guru) sebagai pendidik dengan pihak
yang belajar (siswa) sebagai peserta didik.
Senada dengan pengertian pembelajaran di atas, E. Mulyasa mengemukakan
bahwa: “pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik
dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik”. Perubahan
tersebut baik pada ranah kognitif, afektif maupun psikomotor. Sementara Daeng Sudirwo
juga berpendapat bahwa: “pembelajaran merupakan interaksi belajar mengajar dalam
suasana interaktif yang terarah pada tujuan pembelajaran yang telah ditentukan”
Berdasarkan ketiga konsep tentang pembelajaran di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar yang terarah pada tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan. Istilah “pembelajaran” menurut Yusufhadi Miarso merupakan paradigma
baru yang menekankan pada prinsip keragaman peserta didik atau pembelajar (learner),
dan menggantikan istilah “pengajaran” atau “mengajar” yang menekankan pada prinsip
keseragaman.
Istilah pengajaran lebih banyak berarti sebagai upaya penyampaian informasi
kepada peserta didik.Latar belakang teoritiknya didasarkan pada teori psikologi
behavioristik dan teori komunikasi searah.Sedangkan konsep pembelajaran didasarkan
pada teori psikologi konstruktivistik dan teori komunikasi konvergensi. Konsep
pembelajaran ini lebih menekankan pada pengalaman belajar, yaitu dimana pembelajar
(learner) membangun diri sendiri berdasarkanpengetahuan dan pengalaman yang
diperolehnya melalui interaksi dengan lingkungannya.6 Dengan demikian, pembelajaran
(instruction), merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan konsep belajar
(learning). Penekanannya pada perpaduan antara keduanya, yakni kepada penumbuhan
aktivitas subjek didik. Konsep tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem, dimana
dalam pembelajaran terdapat sejumlah komponen-komponen yang terkait satu sama lain.

B. Komponen Dasar Pembelajaran


Proses pembelajaran merupakan hal yang kompleks dan sistemik. Keberhasilan proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh berbagai komponen atau sub sistem yang menjadi
satu kesatuan, saling berinteraksi dan berkaitan satu sama lain untuk mencapai suatu hasil
secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Soetopo,
pembelajaran sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa komponen yaitu, (1) siswa, (2)
guru, (3) tujuan, (4) materi, (5) metode, (6) sarana/alat, (7) evaluasi, dan (8)
lingkungan/konteks. Masing-masing komponen itu sebagai bagian yang berdiri sendiri,
namun dalam berproses di kesatuan sistem, mereka saling bergantung dan bersama-sama
untuk mencapai tujuan.7 Proses pembelajaran ditandai dengan adanya interaksi antara
komponen.Misalnya komponen peserta didik berinteraksi dengan komponen guru,
metode/media, perlengkapan/peralatan, dan lingkungan kelas yang mengarah kepada
pencapaian tujuan pembelajaran.
Tidak ada satupun komponen dari delapan komponen tersebut yang dapat dipisahkan satu
sama lain karena dapat mengakibatkan tersendatnya proses pembelajaran. Misalnya
pembelajaran tidak dapat dilakukan di ruang yang tidak jelas, tanpa siswa, tanpa tujuan,
tanpa bahan ajar. Versi lain mengemukakan bahwa untuk mewujudkan proses
transformasi edukatif, perlu ada komunikasi antara pendidik dengan peserta didik yang
mengandung unsur-unsur pedagogis, didaktis, dan psikologis. Untuk mewujudkan hal
tersebut, minimal harus ada lima komponen dasar, antara lain;
a. Tujuan mengajar, artinya apa standar ketuntasan belajar minimal yang harus dicapai
oleh peserta didik?
b. Materi pembelajaran, artinya perlu dipahami tentang materi apa yang diberikan agar
proses transformasi edukatif tersebut mencapai tujuan.
c. Metode dan teknik, artinya bagaimana cara menyampaikan materi tadi agar sampai
pada tujuan.
d. Perlengkapan dan fasilitas, artinya untuk membantu tercapainya tujuan tadi, alat dan
fasilitas apa yang dapat dipergunakan sehingga betul-betul mendukung tercapainya
tujuan interaksi edukatif.
e. Evaluasi (penilaian), artinya untuk mengukur tercapai tidaknya tujuan interaksi
edukatif tersebut diperlukan proses penilaian.
Pembelajaran adalah proses utama pendidikan. Interaksi guru dan murid secara dialogis
dan kritis menjadi penentu efektifitas program pembelajaran. Artinya, dibutuhkan inovasi
pembelajaran dengan berbagai pendekatan dan metode yang efektif, serta strategi yang
sesuai sehingga dapat membangkitkan semangat belajar siswa dan dapat menghantarkan
mereka mencapai tujuan pembelajaran.Dalam konteks ini, dibutuhkan kompetensi dan
profesionalitasseorang guru, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
pembelajaran.

C. Pengertian Micro Teaching


Pembinaan kompetensi guru sering juga disebut dengan mikroteaching. Agar kita
memiliki persepsi yang sama maka diuraikan terlebih dahulu makna dari pembinaan,
kompetensi mengajar dan microteaching. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa pembinaan berasal dari kata dasar bina yang berarti pelihara,
mendirikan atau mengusahakan supaya lebih baik, lebih maju dan lebih sempurna.
Sedangkan kata pembinaan berarti proses atau usaha dan kegiatan yang dilakukan secara
berhasil, guna memperoleh hasil yang baik (Rohim, 2011). Pembinaan dimaknai sebagai
terjemahan dari kata training yang berarti latihan, pendidikan, pembinaan.Pembinaan
menekankan manusia pada segi praktis, pengembangan sikap, kemampuan, dan
kecakapan.Dengan adanya pembinaan, maka tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk
memperbaiki efektivitas kerja seorang guru dalam mencapai hasil yang telah ditetapkan.
Sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lebih baik, dan guru tersebut
dapat menjadi seorang yang profesional dalam melaksanakan tugasnya. Secara etimologis
“kompetensi” diadaptasi dari bahasa Inggris yakni competence yang memiliki makna
kecakapan, kemampuan, dan wewenang. Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan
dosen, Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan. Dapat dimaknai seseorang yang kompeten harus memiliki sikap dan tata
nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang saling terintegrasi dalam melaksanakan tugas
profesional.
Micro teaching merupakan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh calon guru dengan
cara menyederhanakan cara mengajar. Secara epistemologis, Micro teaching
menempatkan dirinya dalam teori-teori pembelajaran yang terletak berdasarkan
pengalaman dan paradigma praktik reflektif (Ledger Fischetti, 2019). Ini menempatkan
pengalaman sebagai inti dari proses pembelajaran; proses perubahan yang berkelanjutan
dan dinamis yang mengandalkan refleksi diri untuk perbaikan (Impedovo, & Khatoon
Malik, 2016).

Microteaching untuk menjembatani kesenjangan dikala mahasiswa ditempatkan praktik


di sekolah agar efektif (Griffiths, 2016).Prinsip-prinsip micro teaching merupakan praktik
reflektif mendukung banyak program persiapan guru (Donnelly & Fitzmaurice, 2011).
Hasil penelitian terdahulu mengemukakan bahwa ada delapan indikator untuk mengukur
keterampilan mengajar, yakni: (1).keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberikan
penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi; (4) keterampilan menjelaskan; (5)
keterampilan membuka dan menutup pembelajaran; (6) keterampilan membimbing
diskusi kelompok kecil; (7) keterampilan mengelola kelas; (8) keterampilan mengajar
kelompok kecil dan perorangan (Wahyuni, dkk, 2019). Kedelapan ketrampilan yang
seharusnya dimiliki guru sudah diberikan dan dilatih bagi calon guru saat micro
teaching.Hasibuan dalam Azizah dan Rahmi (2019) micro teaching merupakan
pengajaran mikro yang dirumuskan sebagai pengajaran dalam skala kecil yang dirancang
untuk mengembangkan keterampilan baru dan memperbaiki keterampilan
lama.Pengajaran mikro ini bertujuan untuk memberikan pengalaman mengajar yang
nyata kepada mahasiswa calon guru dan sebagai wadah untuk mengembangkan
keterampilan mengajar yang yang dimilikinya.

D. Sejarah Micro Teaching


Dalam program pendidikan guru tradisional, setelah calon guru lulus teori dari
sekolah atau perguruan tinggi keguruan, ia langsung melakukan praktek mengajar di
sekolah latihan (lab school)tanpa menjalani latihan terlebih dahulu. Sejak tahun 50-an
pendekatan semacam itu mendapat kritik sebagai berikut:
1. Pendekatan yang dilakukan oleh calon guru tersebut terlalu teoritis, filosofis dan
abstrak.
2. Bimbingan dalam latihan kurang efektif dan efisien, pembimbingnyapun juga kurang
terlatih.
3. Feedback tidak segera diberikan kepada calon guru dan cenderung kurang objektif
4. Guru tidak memiliki kompetensi dan keterampilan (skill) mengajar secara baik.

Berdasarkan kenyataan di atas, sekitar tahun 1963 Micro teaching diperkenalkan


oleh Stanford University USA, sebagai salah satu program yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kompetensi guru, khususnya dalam keterampilan mengajar (teaching skill).
Dalam rangka mengembangkan keterampilan mengajar, aktivitas mengajar yang
kompleks dipecah-pecah menjadi sejumlah keterampilan agar mudah dipelajari.Ide
pertama timbul dalam bentuk demonstrasi mengajaran dengan kelompok siswa bermain
peran. Pada saat yang sama dilakukan penelitian bagaimana cara-cara menggunakan
metode secara fleksibel dan efektif yang disertai dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai
reinforcement.
Dalam waktu singkat micro teaching telah digunakan di sebagian besar lembaga
pendidikan dan keguruan di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya.Berdasarkan
rekomendasi dari “The second sub-regional workshop on teacher Education” di Bangkok
pada November 1971, micro teaching mulai digunakan di berbagai negara Asia, terutama
Malaysia dan Philipina. Di Indonesia, micro teaching mulai diperkenalkan pada tahun
1977 oleh lembaga pendidikan guru IKIP Yogyakarta, IKIP Bandung, IKIP Ujung
Pandang, dan FKIP Universitas Satyawacana.
Sejarah micro teaching harus menjadi landasan dalam pelaksanaan micro
teaching.Micro teaching harus benar-benar digunakanuntuk meningkatkan kualitas guru
dan sekolah, bukan hanya formalitas yang tanpa makna.Dibutuhkan kesungguhan dan
konsistensi dalam menerapkan micro teaching yang benar, bukan sekedar proyek tanpa
implikasi positif bagi dinamisasi pendidikan.

E. Tujuan Micro Teaching


Tujuan pembelajaran adalah sejumlah hasil belajar yang diharapkan tercapai oleh siswa
setelah melakukan aktivitas belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan
dan sikapsikap yang baru .Tujuan merupakan komponen yang penting dalam
pembelajaran. Semua aktivitas guru dan siswa diarahkan untuk pencapaian tujuan
tersebut dan menjadi pedoman dalam mengukur tingkat keberhasilan proses
pembelajaran. Untuk itu, langkah awal dalam merancang pembelajaran adalah
merumuskan tujuan dengan jelas, tepat dan mudah dipahami. Perumusan tujuan yang
jelas dalam pembelajaran menjadi sangat penting disebabkan beberapa alasan, antara
lain:
a. Rumusan tujuan dapat digunakan untuk melakukan kegiatan evaluasi terhadap
efektivitas keberhasilan kegiatan pembelajaran. Suatu proses dikatakan berhasil apabila
siswa dapat mencapai tujuan secara optimal.
b. Tujuan pembelajaran dapat dijadikan sebagai pedoman dan panduan kegiatan belajar
siswa. Guru juga dapat merancang tindakan-tindakan yang dapat membantu siswa
belajar.
c. Tujuan pembelajaran dapat membantu guru mendesain sistem pembelajaran, seperti
menentukan materi, metode, strategi, alat, media dan sumber belajar, juga merancang alat
evaluasi.
d. Tujuan pembelajaran dapat digunakan sebagai kontrol dalam menentukan batas-batas
dan kualitas pembelajaran serta menentukan daya serap siswa dan kualitas institusi itu
sendiri.
Ada beberapa jenjang tujuan yang harus dipahami oleh guru/ calon guru, mulai
dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan umum
pembelajaran (standar kompetensi) sampai tujuan khusus pembelajaran (kompetensi
dasar). Proses pembelajaran tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu,
tujuan pendidikan dan pembelajaran secara keseluruhan harus dikuasai oleh guru. Dalam
konteks pembelajaran berbasis kompetensi, acuan yang dapat digunakan dalam
merumuskan tujuan antara lain:
a. Rumusan tujuan pembelajaran harus memiliki aspek kecakapan generik atau
kecakapan proses yang dipersyaratkan dimiliki siswa agar dapat menguasai dan memiliki
kemampuan dasar suatu disiplin keilmuan. Sebagai contoh unsur kecakapan generik yang
harus dimiliki siswa dalam pembelajaran bahasa adalah: membaca, menyimak, berbicara
dan menulis. Dalam pembelajaran IPA, kecakapan generik yang dipersyaratkan antara
lain adalah observasi (pengamatan), pengukuran, pengambilan kesimpulan inferensi),
komunikasi, prediksi, menetapkan hipotesis, merancang penelitian dan pemodelan.
Rumusan tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan aspek ini disebut dimensi
kecakapan proses atau methodological objectives.
b. Rumusan tujuan pembelajaran harus memiliki unsur materi pembelajaran
(content objectives). Mengingat banyaknya materi pembelajaran yang disajikan, maka
guru hendaknya dapat memilih dan memilah mana konsep-konsep dasar keilmuan yang
harus dimiliki siswa secara tuntas dalam proses belajar intra kurikuler, dan materi
pelajaran yang dapat diberikan dalam kegiatan ko-kurikuler. Dalam pembelajaran bahasa,
materi esensial diorganisasikan dalam tema, sedangkan dalam mata pelajaran kelompok
afektif seperti agama dan sejarah, maka materi esensial berupa nilai-nilai dan sikap, yang
harus dikuasai siswa, dalam arti nilai-nilai tersebut diorganisasikan siswa dalam sistem
nilainya.
c. Rumusan tujuan pembelajaran harus memiliki nilai-nilai moral yang dapat
diunjuk-kerjakan siswa (attitudinal performance) setelah selesai belajar.
d. Rumusan tujuan pembelajaran harus memiliki unsur kegiatan siswa dalam
mengaplikasikan kompetensi dasar dalam kehidupan sehari-hari.
e. Rumusan tujuan pembelajaran harus dapat dijadikan acuan dalam
pengembangan indikator keberhasilan belajar siswa.
Dengan mengacu pada lima rambu-rambu perumusan tujuan di atas, diharapkan
tujuan pembelajaran dinyatakan dalam rumusan kemampuan (kompetensi) dasar. Hasil
belajar siswa dapat diunjukkerjakan, baik dalam bentuk unjuk kerja verbal (verbal
competence), unjuk kerja perbuatan (physical competence) dan unjuk kerja sikap
(attitudinal competence) yang keseluruhannya menggambarkan perpaduan (integrasi)
antara ucapan, sikap dan perbuatan (kognitif, afektif dan psikomotor).

Tujuan proses pembelajaran micro teaching secara umum adalah untuk melatih
kemampuan dan keterampian dasar mahasiswa sehingga ia memiliki rasa percaya diri,
kesiapan mental, keterampilan, dan kemampuan performansi yang terintegrasi untuk
bekal sebagai calon guru di sekolah. Sedangkan secara khusus tujuannya adalah:
1. Dapat menjelaskan konsep micro teaching secara utuh dan komprehensif
2. Melatih mahasiswa untuk terampil membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
dan membuat desain pembelajaran secara keseluruhan
3. Memberi pengalaman mengajar yang nyata kepada mahasiswa selama kuliah
4. Melatih sejumlah keterampilan dasar mengajar mahasiswa sebagai calon guru.
5. Dapat menerapkan serangkaian teori belajar dan pembelajaran dalam suasana didaktik,
pedagogik, metodik dan andragogis secara tepat dan menarik.
6. Mengembangkan keterampilan mengajar mahasiswa sebelum mereka terjun
kelapangan

Sasaran yang hendak dicapai adalah mahasiswa sebagai calon guru agar memiliki
seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai sikap serta tingkah laku yang diperlukan,
dikuasai dan diaktualisasikan dalam menjalankan profesinya kelak sebagai guru.Selain
itu agar mahasiswa (calon guru) cakap dan tepat menggunakan berbagai perangkat
tersebut dalam tugas dan perannya di sekolah. Dengan pendekatan micro teaching
mahasiswa (calon guru dapat berlatih mengajar secara terbatas, namun tetap dalam
bingkai mengajar yang sesungguhnya, sebelum ia menerapkannya sebagai guru yang
sesungguhnya secara penuh. Mereka dapat mengevaluasi diri sehingga mengetahui
perkembangan kemampuan dan penampilan mereka, dengan demikian terbentuklah
kompetensi guru yang utuh.Kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sesuai standar
kompetensi guru yang di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 74 tahun 2008.

F. Fungsi dan manfaat micro teaching


Fungsi micro teaching bagi guru dan calon guru adalah untuk:
1. Memperoleh umpan balik atas penampilannya dalam pembelajaran. Umpan
balik ini berupa informasi tentang kelebihan dan kekurangan.Kelebihannya dapat
dipertahankan atau ditingkatkan, sedangkan kekurangannya dapat diperbaiki sehingga
keterampilan dasar pembelajaran dapat dikuasainya dengan baik.
2. Memberi kesempatan kepada siswa calon guru untuk menemukan dirinya
sebagai calon guru.
3. Menemukan model–model penampilan seorang guru dalam pembelajaran,
dengan menggunakan hasil supervisi sebagai dasar diagnostik dan remidi (perbaikan)
untuk mencapai tujuan latihan keterampilan.
Dengan bekal micro teaching terdapat beberapa manfaat yang dapat diambil oleh
guru/calon guru antara lain:
1. Mengembangkan dan membina keterampilan tertentu guru/ calon guru dalam mengajar
2. Dapat mempraktekkan metode dan strategi baru dalam lingkungan yang mendukung.
3. Segera mendapat umpan balik (feedback) dari penampilannya (performance) dengan
memutar ulang rekaman video.
4. Dapat menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran dengan mengurangi kecemasan.
5. Memperoleh pengalaman yang berharga dengan resiko yang kecil.
6. Dapat mengatur tingkah laku sendiri sewajar mungkin dengan cara yang sistematis.
7. Penguasaan keterampilan mengajar oleh guru/calon guru menjadi lebih baik.

BAB II
PERENCANAAN MICRO TEACHING

A. Pengertian Perencanaan Micro Teaching


Perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan berbagai keputusan yang
akan dilaksanakan pada masa yang akan datang untuk mencapai tujuan yang akan
ditentukan. Perencanaan merupakan proses penetapan dan pemanfaatan sumber-
sumber daya secara terpadu yang diharapkan dapat menunjang kegiatan dan upaya-
upaya yang akan dilaksanakan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan.
Fungsi perencanaan secara umum meliputi kegiatan menetapkan apa yang ingin
dicapai, bagaimana cara mencapainya, berapa waktu yang akan dibutuhkan, berapa
orang yang diperlukan dan berapa biayanya. Melalui perencanaan yang telah dibuat,
dapat terbayangkan tujuan yang ingin dicapai, aktivitas atau proses yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan, sarana dan fasilitas yang diperlukan, hasil yang
akan didapat, bahkan faktor kendala maupun unsur pendukung juga sudah dapat
diantisipasi.
Keterampilan dasar mengajar merupakan suatu keterampilan yang menuntut
latihan terprogram untuk dapat menguasainya.Agar kegiatan latihan keterampilan
dasar mengajar yang dilakukan melalui pendekatan pembelajran mikro dapat berjalan
dengan baikdan membuahkan hasil yang optimal maka tentu saja diperlukan
perencanaan yang matang.
Perencanaan pembelajaran mikro, yaitu membuat perencanaan atau persiapan
untuk setiap jenis keterampilan mengajar yang akan dilatihkan. Unsur-unsur
perencanaan meliputi, menentukan tujuan, materi, metode, media dan evaluasi.
Dalam membuat perencanaan pembelajaran mikro, unsurunsur yang digunakan sama
dengan unsur-unsur perencanaan pembelajaran secara umum. Perbedaannya yaitu
disesuaikan dengan karakteristik pembelajaran mikro, yaitu setiap unsur perencanaan
tersebut disederhanakan, dan ada penekanan terhadap jenis keterampilan apa yang
akan dilatihkan.
B. Unsur-unsur Perencanaan
Pembelajaran Perencanaan pembelajaran adalah proses memproyeksikan setiap
komponen pembelajaran. Menurut Ralph W. Tyler komponen-komponen
pembelajaran tersebut meliputi empat unsur yaitu: tujuan, bahan ajar (materi),
metode, dan evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut apabila
digambarkan dalam bentuk bagan akan membentuk suatu sistem sebagai berikut.
1. Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembelajaran adalah sesuatu yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran,
yaitu gambaran perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih positif, baik dari segi pengetahuan
keterampilan dan sikap. Tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional berisi rumusan
pertanyaan mengenai kemampuan atau kualifikasi tingkah laku yang diharapkan
dimiliki/dikuasai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Yang harus diperhatikan guru
dalam membuat tujuan khusus atau indikator pembelajaran adalah:
a. Guru harus memperhatikan silabus/kurikulum yang berlaku sebagai pedoman dalam
menjabarkan tujuan.

b. Guru harus memahami tipe-tipe hasil belajar.

c. Guru harus memahami cara merumuskan tujuan pembelajaran sampai tujuan tersebut jelas
isinya dan dapat dicapai oleh siswa setelah setiap proses pembelajaran berakhir.

2. Materi Pembelajaran

Materi harus direncanakan dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai.Materi pembelajaran harus disusun secara sistematik berdasarkan skuensinya dan
diorientasikan pada upaya mencapai tujuan pembelajaran. Kriteria dalam merumuskan dan
mengembangkan bahan pembelajaran diantaranya:

a. Bahan harus benar (valid) dan berarti (significant) sesuai dengan pembangunan dan kemajuan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

b. Bahan harus relevan dengan aspek sosial siswa.

c. Bahan harus mengandung kesinambungan antara kedalaman dan keluasan.

d. Bahan pelajaran harus mencakup berbagai ragam tujuan, pengetahuan, keterampilan, dan
sikap.

3. Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran harus menggambarkan aktivitas siswa, karena pada hakikatnya


yang belajar itu adalah siswa, guru hanya sebagai fasilisator.Maka guru harus merancang
kegiatan pembelajaran dengan sistematis, efektif, efisien, serta berorientasi pada tujuan
pembelajaran. Dalam perencanaan pembelajaran kegiatan belajar mengajar harus dirumuskan
secara jelas dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Kegiatan pembelajaran harus berorientasikan pada tujuan pembelajaran khusus atau indikator
pembelajaran yang ditetapkan.

b. Kegiatan pembelajaran harus dilaksanakan secara sistematis. c. Kegiatan pembelajaran harus


efektif dan efisien.

d. Kegiatan pembelajaran harus fleksibel.

e. Kegiatan pembelajaran harus disesuaikan dengan kemampuan siswa.

f. Kegiatan pembelajaran harus memperhatikan dengan alat/ fasilitas yang tersedia.


g. Kegiatan pemelajaran harus dapat mengembangkan kemampuan siswa baik dari segi
pengetahuan, keterampilan dan sikap.

h. Penggunaan metode mengajar harus disesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

i. Kegiatan pembelajaran harus menggambarkan atau mendeskripsikan tentang materi yang akan
digunakan dan memberikan peluang untuk memungkinkan siswa belajar aktif.

4. Evaluasi

Evaluasi pembelajaran dilaksanakan pada kegiatan pembelajaran meliputi evaluasi awal


pembelajaran, evaluasi proses pembelajaran, dan evaluasi akhir pembelajaran. Evaluasi juga
berfungsi sebagai dasar diagnosis belajar siswa yang dilanjutkan dengan bimbingan atau untuk
pemberian pengayaan. Dalam melaksanakan evaluasi aspek-aspek pokok yang harus
diperhatikan meliputi: a) Tujuan evaluasi, b) Bentuk dan jenis evaluasi yang digunakan. Kriteria
evaluasi dalam perencanaan pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Evaluasi harus berorientasi pada tujuan pembelajaran.

b. Evaluasi harus berdasarkan pada pengembangan kegiatan pembelajaran.

c. Evaluasi harus memperhatikan waktu yang tersedia.

d. Evaluasi harus memungkinkan ada kegiatan tindak lanjut.

e. Evaluasi harus memberikan umpan balik. f. Evaluasi harus berdasarkan pada bahasan materi.

C. Tujuan & Manfaat Perencanaan

Pembelajaran Perencanaan pembelajaran sebagai suatu proyeksi kegiatan yang akan


dilakukan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Perencanaan pembelajaran memiliki
fungsi yang amat penting sebagai pedoman operasional pembelajaran. Tujuan dan manfaat
perencanaan pembelajaran antara lain adalah:

1. Sebagai landasan pokok bagi guru dan siswa dalam mencapai kompetensi dasar dan indikator
yang telah ditetapkan.

2. Memberi gambaran mengenai acuan kerja jangka pendek.

3. Karena disusun dengan menggunakan pendekatan sistem, memberi pengaruh terhadap


perkembangan individu siswa

4. Karena dirancang secara matang sebelum pembelajaran, berakibat terhadap nurturant effect.
D. Aplikasi dalam Perencanaaan Micro Teaching

Perencanaan pembelajaran untuk pembelajaran mikro sesuai dengan ketentuan


perencanaan pembelajaran pada umumnya, hanya dibuat lebih sederhana sesuai dengan
karakteristik pembelajaran mikro itu sendiri. Fungsi perencanaan pembelajaran mikro adalah
sebagai pedoman pokok bagi calon guru yang akan melaksanakan kegiatan latihan melalui
pembelajaran mikro. Dengandemikian setiap yang berlatih mengajar dalam prosesnya harus
didasarkan pada perencanaan yang telah dibuat sebelumnya.Pembuatan perencanaan
pembelajaran pada dasarnya adalah mengembangkan dari setiap komponen pembelajaran, yaitu
mengembangkan tujuan, materi, metode dan media serta evaluasi.Prinsip pembelajaran
merupakan kaidah, hukum, atau ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan patokan dalam
membuat perencanaan pembelajaran. Penyusunan perencanaan pembelajaran yang didasarkan
pada prinsip yang ditetapkan, maka akan menghasilkan suatu perencanaan pembelajaran.

E. Prinsip-prinsip Perencanaan

Pembelajaran Pada pokoknya prinsip-prinsip dalam pembuatan perencanaan pembelajaran antara


lain:

a. Memperhatikan karakteristik anak Dalam perencanaan pembelajaran (desain instruksional)


harus memperhatikan kondisi yang ada dalam diri siswa dan kondisi yang ada di luar diri siswa

b. Berorientasi pada kurikulum yang berlaku Perencanaan yang dibuat oleh guru seperti dalam
bentuk silabus maupun dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran harus disusun dan
dikembangkan berdasarkan pada kurikulum yang berlaku.

c. Sistematika kegiatan pembelajaran Urutan kegiatan pembelajaran dikembangkan secara


sistematis dengan mempertimbangkan urutan dari yang mudah menuju yang lebih sulit, dari
yang bersifat sederhana menuju yang lebih kompleks.

d. Melengkapi perencanaan pembelajaran Yaitu dengan menambah instrumen-instrumen


pembelajaran, misalnya lebar kerja siswa, format isian, lembar catatan tertentu disesuaikan
dengan tujuan pembelajaran yang harus dicapai.

e. Bersifat fleksibel (dinamis) Perencanaan pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi
saat berlangsungnya pembelajaran. f. Berdasarkan pendekatan sistem Artinya setiap unsur
perencanaan pembelajaran yang dikembangkan harus merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan dan memiliki keterpaduan.

Ada empat prinsip lain yang harus dipenuhi dalam pembuatan perencanaan pembelajaran, di
antaranya:

a. Spesifik Selain memenuhi setiap prinsip perencanaan pembelajaran yang telah dibahas
sebelumnya, juga perencanaan tersebut dibuat secara khusus. Kekhususan ini terutama dikaitkan
dengan setiap kompetensi dasar dan indikator yang harus dicapai oleh siswa. Dalam setiap
perencanaan selain berisi rumusan setiap komponen perencanaan pembelajaran juga ada
penambahan kekhususan yaitu jenis keterampilan mengajar yang akan dilatihkan.

b. Operasional Yaitu rumusan setiap unsur dalam perencanaan pembelajaran dirumuskan dengan
bahasa yang operasional dan terstruktur. Operasionalisasi ini terutama berkaitan dengan perilaku
yang harus dicapai atau dikembangkan.

c. Sistematis Yaitu penyusunannya dilakukan secara logis dan berurutan dari mulai identitas
mata pelajaran sampai kegiatan evaluasi.

d. Jangka pendek Setiap perencanaan pembelajaran dibuat untuk setiap kali pertemuan atau
latihan yang akan dilakukan.

F. Langkah-langkah Pembuatan Perencanaan Micro Teaching

Perencanaan merupakan proyeksi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh guru dan
siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Perencanaan bukan hanya untuk melengkapi
kepentingan yang bersifat administratif saja melainkan sebagai pedoman operasional dalam
melaksanakan pembelajaran. Menyusun perencanaan pembelajaran selain harus memperhatikan
prinsip-prinsip yang bersifat umum juga harus disesuaikan untuk kepentingan apa perencanaan
itu dibuat. Dalam peraturan pemerintah (PP No. 19 tahun 2005) tentang standar Nasional
pendidikan dijelaskan “Setiap satuan pendidikan melakukan proses perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien “ (Bab IV pasal
19 ayat 3).

Jenis-jenis perencanaan pembelajaran selajutnya dalam Bab IV pasal 20 dijelaskan


“Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang
memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber
belajar, dan penilain hasil belajar.”Perencanaan pembelajaran tersebut dikategorikan ke dalam
dua bentuk yaitu silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Unsur-unsur yang harus ada
dalam setiap perencanaan yaitu: Tujuan, materi, metode, sumber dan penilaian hasil belajar.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam membuat perencanaan pembelajaran adalah
sebagai berikut:

a. Tuliskan identitas mata pelajaran antara lain: Nama mata pelajaran, pokok bahasan /
sub pokok bahasan, kelas, semester, waktu dan lain sebagainya sesuai kebutuhan.

b. Tuliskan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator.

c. Materi pembelajaran. Sebutkan materi yang harus diajarkan untuk mencapai indikator
yang telah ditetapkan.
d. Kegiatan pembelajaran. Rumuskan kegiatan-kegiatan atau pengalaman pembelajaran
yang akan dilakukan oleh guru dan siswa dalam melakukan proses pembelajaran untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.

e. Tentukan alat, media, dan sumber rujukan. Yaitu menentukan alat/media pembelajaran
yang akan digunakan untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran secara efektif dan
efisien.

f. Tentukan prosedur evaluasi. Yaitu merumuskan prosedur, bentuk dan jenis evaluasi
yang akan dilakukan untuk mengukur hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Dalam evaluasi
harus memperhatikan prinsip evaluasi yaitu validitas dan reliabilitasnya agar memperoleh
informasi yang akurat dari hasil pembelajaran yang telah dicapai oleh siswa.

Pembelajaran mikro yang sebenarnya dilakukan dalam kelas khusus yang dirancang
untuk kepentingan latihan mengajar.Maka tentu saja perencanaan pembelajarannya dibuat sesuai
dengan kaidah prosedur pembuatan perencanaan pembelajaran yang berlaku untuk kepentingan
pembelajaran biasa. Satu hal yang membedakan antara rencana pembelajaran mikro dan rencana
pembelajaran biasa, untuk rencana pembelajaran mikro ditambah satu komponen yaitu “ Tujuan
Latihan Pembelajaran Mikro”. Sebagai alat kontrol untuk mengetahui tingkat kemampuan
peserta yang telah berlatih, dalam pembelajaran mikro dilengkapi oleh seperangkat alat /
instrumen lain, yaitu pedoman observasi. Rumusan pedoman observasi berbeda-beda antara
pedomanobservasi yang satu dengan yang lainnya.Hal ini disesuaikan dengan setiap jenis
keterampilan dasar mengajar yang dilatihkan.Pedoman observasi dipegang oleh observer yang
bertugas mengamati penampilan perserta yang berlatih.Pihak observer adalah mereka yang
dianggap sudah memiliki pengalaman lebih sehingga dapat memberikan penilaian secara objektif
untuk dijadikan masukan/balikan bagi peserta yang berlatih.

BAB III
KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN MIKRO

PENDAHULUAN

Dalam bahan ajar ke satu Anda telah membaca, mendiskusikan dan mengerjakan tugas-
tugas atau tes formatif berkenaan satu topik Hakikat Pembelajaran Mikro, yang terdiri dari tiga
kegiatan belajar yaitu: latar belakang pembelajaran mikro, pengertian pembelajaran mikro,
tujuan dan manfaat pembelajaran mikro. Bagaimana sampai sekarang masih dapat diingat
pokokpokok bahasan dari ketiga sub topik tersebut. Kalau ada diantaranya yang perlu dikaji
ulang, silahkan pelajari kembali agar Anda dapat memahami dengan baik. Ketiga sub topik yang
mengawali pembahasan Pembelajaran Mikro (micro teaching), yaitu latar belakang pembelajaran
mikro, pengertian pembelajaran mikro, tujuan dan manfaat pembelajaran mikro, sengaja
disajikan pada bagian awal dengan maksud agar ketika Anda mempelajari dari mulai modul 1,
Anda sudah dapat memberikan pemikiran atau menjawab tiga pertanyaan umum, yaitu:

1) apa pembelajaran mikro … ?,

2) mengapa pembelajaran mikro penting bagi peningkatan kemampuan guru … ?,

3) lalu bagaimana cara melaksanakan pembelajaran mikro sebagai salah satu upaya
mempersiapkan, membina maupun dalam rangka meningkatkan kemampuan mengajar.

Adapun topik pembahasan pada modul 2 yang akan Anda pejajari ini yaitu “Karakteristik
pembelajaran mikro”. Sekali lagi diingatkan untuk memudahkan Anda memahami terhadap topik
yang akan dibahas, sebaiknya terlebih dahulu Anda membuka kembali atau mengingat kembali
bahasan bahan belajar sebelumnya.

Hal ini penting karena pembahasan berikut merupakan kelanjutan atau ada kaitan dengan
materi sebelumnya, yaitu masih membahas teori atau konsep pembelajaran mikro. Seperti telah
disinggung diawal pendahuluan bahwa topik yang dibahas pada modul 2 ini adalah
“Karakteristik pembelajaran mikro”. Topik tersebut dibagi kedalam tiga sub topik yaitu: 1)
Karakteristik pembelajaran mikro, 2) Prinsip pembelajaran mikro dan 3) Karakteristik guru yang
efektif.

Dalam pembahasan karakteristik pembelajaran mikro, sengaja dimasukkan satu sub topik
prinsip Modul 2 48 | Pembelajaran Micro Teaching Modul 2 dan karakteristik guru yang efektif.
Perlu dipahami bahwa pembelajaran mikro sebagai salah satu pendekatan pembelajaran, secara
khsusus diorientasikan pada penyiapan, pembinaan dan peningkatan kemampuan mengajar.
Adapun salah satu indikator pembelajaran yang berkualitas adalah terjadinya pembelajaran yang
efektif,. Hal ini akan diperoleh melalui unjuk kerja atau penampilan guru yang efektif pula. Oleh
karena itu pembahasan guru yang efektif menjadi penting, agar ketika melakukan proses
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran mikro selalu berpedoman atau
memedomani penampilan guru yang efektif. Ada tiga sub topik bahasan yang akan Anda pelajari
dalam bahan belajar mandiri ke dua yang berjudul karakteristik pembelajaran mikro ini. Setelah
mempelajari ketiga sub topik dalam bahan belajar ini, diharapkan Anda dapat memahami secara
mendalam mengenai:

1. Karaktersik pembelajaran mikro, yaitu ciri-ciri atau tanda-tanda khusus sebagai


identitas dari pendekatan pembelajaran mikro.

2. Prinsip pembelajaran mikro, yaitu ketentuan-ketentuan pokok yang menjadi aturan


atau pedoman dalam berlatih melalui pembelajaran mikro.

3. Karakteristik guru yang efektif, yaitu untuk mengidentifikasi cirri-ciri perilaku atau
penampilan guru yang efektif dalam membimbing proses pembelajaran. Setiap topik yang akan
dibahas dalam bahan belajar mandiri ini sangat penting dikuasai oleh setiap calon guru maupun
oleh para guru yang telah bertugas. Penguasaan terhadap ketiga topik ini, selain sebagai dasar
awal untuk keperluan pelatihan yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran
mikro, juga untuk menambah wawasan bagi setiap calon guru maupun bagi para guru dan
bahkan para supervisor pendidikan sebagai bekal pengabdian pada profesi yang diembannya.

Untuk membantu Anda memiliki pemahaman dan kemampuan yang diharapkan itu,
dalam bahan belajar mandiri dua ini akan dikaji dan didiskusikan topik-topik bahasan sebagai
berikut: 1. Karakteristik pembelajaran mikro; yaitu akan mengidentifikasi dan membahas ciri-ciri
atau tanda-tanda spesifik atau yang bersifat khas pada pendekatan pembelajaran mikro. 2. Prinsip
pembelajaran mikro; yaitu akan mengidentifgfikasi dan membahas ketentuan atau kaidah tertentu
yang harus diperhatikan dan diterapkan dalam setiap proses pembelajaran melalui pendekatan
pembelajaran mikro. 3. Karakteristik guru yang efektif; yaitu akan mengidentifikasi sejumlah
perilaku atau penampilan guru yang efektif didasarkan pada kajian teori maupun praktis, dan
dapat dikembangkan atau diperoleh melalui pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
pembelajaran mikro. Pembelajaran Micro Teaching | 49 Karakteristik Pembelajaran Mikro
Seperti ketika mempelajari bahan ajar pada modul 1 sebelumnya, Anda telah mengikuti
petunjuk-petunjuk praktis cara mempelajariny. Demikian pula untuk ketika Anda akan
mempelajari bahan ajar ke atau modul 2 ini terdapat beberapa hal yang harus Anda taati, yaitu: 1.
Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan bahan ajar satu ini, sehingga Anda dapat memahami
jenis-jenis karakteristik, prinsip-prinsip penggunaan, dan uraian guru yang efektif. 2. Bacalah
setiap uraian, contoh atau ilustrasi dari setiap kegiatan belajar yang ada dalam bahan ajar ini,
kemudian pahami ide-ide pokok pikiran dari uraian tersebut. 3. Untuk memahami pokok-pokok
pikiran tersebut, sebaiknya menghubungkannya dengan pengalaman Anda, lalu diskusikan
sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. 4. Jangan lupa kerjakan tugas-tugas
yang terdapat dalam bahan ajar ini, agar Anda dapat memperoleh pemahaman yang utuh terkait
dengan pokok-pokok pikiran yang terdapat di dalamnya. 5. Jangan lupa pula berdo’alah lepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga diberi kemudahan untuk memahaminya.
A. KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN MIKRO (Micro Teaching)

Latar Belakang

Pada awalnya program pendidikan untuk mempersiapkan dan membina para calon guru
maupun untuk meningkatkan kemampuan para guru dalam penampilan mengajarnya, mereka
terlebih dahulu mempelajari berbagai konsep atau teori tentang keguruan, mempelajari mata
pelajaran yang harus diajarkan, serta melakukan kegiatan praktek di sekolah tempat latihan untuk
mendapatkan pengalaman praktis mengajar. Cara yang dilakukan seperti itu dapat berjalan
dengan baik, teori-teori keguruan termasuk pembelajaran yang menjadi dasar kemampuan yang
harus dikuasai oleh seorang guru telah cukup dikuasai.

Demikian pula materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa telah dikuasai.
Adapun untuk memberikan pengalaman praktis, mereka langsung diterjunkan ke sekolah tempat
latihan dalam waktu yang ditetapkan untuk melakukan praktek mengajar. Setelah dilakukan
pengkajian ulang terhadap sistem yang dikembangkan seperti itu, ternyata belum cukup
memberikan hasil yang memuaskan seperti tuntutan yang dipersyaratkan oleh profesi seorang
guru. Dengan kata lain untuk menuju pada pembentukan kemampuan guru yang professional,
tidak cukup hanya dengan telah dikuasainya ilmu-ilmu keguruan dan materi yang harus diajarkan
kepada siswa. Satu hal yang masih menuntut intensitas tinggi selain pembekalan konsep-konsep
keguruan dan pembelajaran, yaitu pembekalan kemampuan praktis (praktek).

Adapun yang dimaksud dengan pembekalan praktis di sini bukan praktek mengajar
seperti dilakukan dalam program PPL. Akan tetapi program kegiatan praktek untuk membekali
keterampilan peserta pada program PPL yang akan diikutinya. Program praktek yang dimaksud
yaitu dengan sering memanfaatkan latihan keterampilan mengajar melalui pendekatan atau
model pembelajaran mikro (micro teaching). Pembelajaran mikro dapat dijadikan sebagai
jembatan yang akan membekali siswa dalam keterampilan mengajar. Melalui program
pembelajaran yang dikembangkan dengan memberi porsi latihan atau praktek mengajar yang
lebih ditingkatkan, baik melalui model pembelajaran di kelas sebelum praktek mengajar dan
dilanjutkan dengan kegiatan praktek di sekolah tempat latihan, maka dapat memberi pengalaman
belajar yang lebih baik dan saling melengkapi untuk meningkatkan kemampuan mengajar para
calon guru.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat memberi porsi latihan keterampilan
mengajar selain kegiatan praktek mengajar di kelas yaitu dengan pendekatan pembelajaran
mikro. Model pembelajaran mikro pada kurikulum pendidikan keguruan tidak dimaksudkan
untuk membekali para mahasiswa menguasai konsep-konsep pembelajaran mikro, akan tetapi
melalui pembelajaran mikro para mahasiswa calon guru maupun bagi para guru secara langsung
melakukan aktivitas melatih diri yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan. Melatih
kemampuan mengajar melalui pendekatan pembelajaran mikro sangat dimungkinkan, karena
kehadiran pembelajaran mikro sejak awal ditujukan untuk melatih, membina, mengembangkan
dan meningkatkan kemampuan mengajar para guru. Seperti telah dibahas pada kegiatan
pembahasan modul 1 bahwa pembelajaran mikro berarti program pembelajaran latihan mengajar
yang disederhanakan. Pelaksanaannya tidak dilakukan di kelas yang sebenarnya, melainkan
dilakukan di kelas latihan atau laboratorium yang sengaja dipersiapkan untuk pembelajaran
mikro. Walaupun latihan mengajar melalui pembelajaran mikro bukan ditempat yang
sebenarnya, akan tetapi skenarionya sama dengan cara atau prosedur pembelajaran yang
sebenarnya (real teaching but not real class room teaching). Dengan kata lain pendekatan
pembelajaran mikro merupakan bentuk miniatur dari kegiatan pembelajaran di kelas, sebagai
tahap awal untuk mengkondisikan calon guru berkenalan dengan keterampilan mengajar.

Karakteristik Pembelajaran Mikro

Jika Anda memperhatikan bangunan Masjidil Haram di kota Mekah, akah melalui mas
media atau Anda sendiri pernah berkunjung kesana melaskanakan ibahad haji atau berihram,
maka pasti akan keluar ungkapan: sungguh menakjubkan, betapa luasnya bangunan tersebut,
mengagumkan, dan lain sebagainya Mengingat begitu besar, indah dan uniknya bangunan masjid
tersebut, maka walaupun kita berkeliling disekitar masjid tersebut, sungguh akan sulit dan dan
tidak mungkin dapat mengamati secara detail dan terperinci segala sesuatu yang terdapat dalam
bangunan masjid tersebut. Lain halnya jika kita melihat bangunan masjid tersebut dalam bentuk
miniaturnya, atau dalam bentuk media yang lebih kecil dan disederhanakan.

Dengan mengamati media atau miniature Masjidil Haram, maka kita bisa mengamati satu
persatu secara lebih terperinci. Dengan pemahaman yang diperoleh melalui bentuk miniatur atau
media yang dilakukan sebelumnya, maka ketika kita berkunjung melihat yang aslinya ke kota
Mekah, kita dapat membayangkan betapa kompleksnya Masjidil Haram tersebut. Karakteristik
Pembelajaran Mikro Bagaimana dengan ilustrasi atau contoh yang diutarakan di atas, apakah
Anda sudah bisa menebak, apa kaitannya dengan pembelajaran mikro sebagai pendekatan
pembelajaran untuk melatih keterampilan guru. Untuk lebih jelasnya coba perhatikan lagi
perumpamaan berikut ini yang ada kaitannya dengan contoh sebelumnya di atas tadi. Jika Anda
mencoba mengamati atau mengobsevasi guru yang sedang mengajar di kelas, mungkin Anda
tidak akan dapat menjelaskan secara detail dan terperinci bagaimana proses pembelajaran
tersebut dilakukan oleh guru. Yang ada dalam bayangan Anda mungkin hanya melihat guru
berdiri di depan kelas, menjelaskan materi kepada siswa. Akan berbeda kalau kita mengamati
pembelajaran dalam bentuk mikro, Anda akan dapat mengamati bagaimana kegiatan
awal/pembukaan pembelajaran, bagaimana kegiatan inti pembelajaran, dan bagaimana kegiatan
menutup pembelajaran dilakukan.
Begitu juga dengan kegiatan yang lainnya seperti: bagaimana keterampilan menjelaskan,
menjalin komunikasi interaktif dengan siswa, bagaimana menggunakan keterampilan bertanya,
membimbing kegiatan diskusi, mengadakan umpan balik dan penguatan serta kegiatankegiatan
pembelajaran lainnya. Dari kedua ilustrasi dan contoh di atas, yang pertama dengan melihat
miniatur bangunan Masjidil Haram, kita dapat mengamati secara lebih detail dan terperinci, atau
kita berusaha hanya memfokuskan pada bagian-bagian tertentu dari miniatur tersebut, sehingga
dapat memiliki pemahaman yang jelas dan terukur mengenai bentuk Masjidil Haram yang
menjadi pusat perhatian. Contoh kedua dengan mengamati guru yang berlatih melalui
pembelajaran mikro, Anda pun hanya mengamati pada bagian-bagian tertentu saja sesuai dengan
apa yang sedang dilatihkan, sehingga Anda dapat memiliki pemahaman yang jelas dan terukur
kemampuan berkenaan dengan jenis keterampilan yang sedang dilatihkannya itu. Itulah salah
satu kelebihan dari bentuk penyederhanaan melalui pembelajaran mikro, yaitu dengan berlatih
hanya memusatkan perhatian pada jenis keterampilan tertentu saja, setiap yang berlatih berusaha
secara terkonsetrasi hanya melatih bagian-bagian tertentu sesuai dengan yang direncanakan.

Demikian pula para pengamat atau pihak observer, ia hanya memusatkan perhatian dan
pengamatannya pada jenis keterampilan yang sedang dilatihkan saja, sehingga dapat diperoleh
gambaran yang jelas dan akurat mengenai tingkat keterampilan yang telah dikuasainya maupun
kekuarangan yang masih ada. Bentuk “penyederhanaan” dalam pembelajaran mikro tersebut,
adalah merupakan ciri khas atau karakteristik utama dari pembelajaran mikro. Sesuai dengan
sebutannya “micro” yaitu situasi dan kondisi pembelajaran yang disederhanakan atau dirancang
dalam bentuk “kecil”. Sebagai suatu pendekatan pembelajaran, penyederhanaan melalui
pembelajaran mikro ini dianggap cukup sebab seperti telah dibahas dalam alasan
penyederhanaan di atas, kalau bagian-bagian atau keterampilan dalam bentuk kecil telah
dikuasai, maka akan mempermudah penguasaan terhadap hal yang lebih luas dan komplek.

Untuk lebih jelasnya bentuk penyederhanaan dalam pembelajaran mikro dibandingkan


dengan pembelajaran biasa, dapat dilihat dalam bentuk bagan sebagai berikut:
PEMBELAJARAN BIASA PEMBELAJARAN MIKRO Dari bagan di atas menunjukkan bahwa
pembelajaran mikro berbeda dari segi ukuran dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Ukuran
pembelajaran mikro nampak lebih kecil, yaitu untuk mengilustrasikan bahwa dalam
pembelajaran mikro bentuk pembelajarannya lebih disederhanakan. Akan tetapi walaupun
bentuk pembelajaran mikro bersifat disederhanakan “micro”, tetap sebagai bentuk pembelajaran
yang sebenarnya (real teaching), hanya saja praktek mengajar melalui micro teaching tersebut
tidak dilakukan di kelas yang sebenarnya (not real class room teaching). Kalau demikian,
kemudian apanya yang disederhanakan itu ? Tentu saja yang disederhanakan itu setiap
komponen atau unsur pembelajarannya itu sendiri. Bagaimana apakah Anda masih ingat tentang
komponen pokok pembelajaran yang dibahas dalam modul 1 sebelumnya. Kalau lupa silahkan
buka kembali, atau sekali lagi perhatikan pengulangan berikut, yaitu

1) komponen tujuan (kompetensi) pembelajaran,


2) komponen isi atau materi yang akan dipelajari oleh siswa,

3) komponen metode dan media, dan

4) komponen evaluasi. Penyederhanaan dalam pelaksanaan pembelajaran mikro, adalah


penyederhanaan dalam setiap aspek pembelajaran tersebut. Misalnya ketika Anda akan
melatihkan keterampilan dasar mengajar, maka tidak semua keterampilan dilatihkan dalam
waktu yang bersamaan.

Hal ini tidak mungkin mengingat waktu yang dipakai relatif singkat hanya berkisar antara
10 s.d 15 menit saja. Oleh karena itu mungkin yang pertama dilatihkan difokuskan pada satu
jenis keterampilan saja seperti keterampilan ”membuka” pembelajaran, latihan berikutnya baru
jenis keterampilan yang lain.

Persamaannya, pembelajaran biasa dan pembelajaran mikro adalah mengajar yang


sebenarnya (real teaching), dan bukan pura-pura mengajar. Adapun perbedaannya dilihat dari
unsur-unsur pembelajaran yang digunakan, dimana unsur-unsur pembelajaran mikro lebih
disederhanakan terutama dilihat dari segi kuantitas. Misalnya dari segi materi, waktu, jumlah
siswa, jenis keterampilan dasar mengajar yang diterapkan, dll. Penyederhanaan tersebut, bukan
hanya terkait dengan keempat unsur pembelajaran seperti tertera dalam tabel di atas, melainkan
berlaku pula untuk unsur-unsur pembelajaran lainnya. Penyederhanaan unsur pembelajaran
dalam pembelajaran mikro, bertujuan untuk memberi kesempatan kepada setiap yang berlatih
mengasah keterampilanketerampilan tertentu saja sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya
Ahmad mahasiswa calon guru MI, pada semester VII sudah berulang-ulang berlatih melalui
pembelajaran mikro. Yang dilatihkan setiap keterampilan dasar mengajar, satu persatu sehingga
dapat dikontrol secara cermat dan akurat. Dengan demikian pihak-pihak yang terkait akan
memperoleh gambaran menyeluruh tingkat kemampuan Ahmad sebagai seorang calon guru
dalam penampilan mengajarnya. Secara lebih spesifik Allen dan Ryan menjelaskan jenis-jenis
keterampilan dasar mengajar yang harus dikuasai oleh guru.

Untuk menguasai setiap keterampilan dasar mengajar ini dilakukan melalui setahap demi
setahap atau setiap bagian secara maksimal dan tuntas. Adapun jenis-jenis keterampilan dasar
mengajar tersebut adalah:

1. Variasi Stimulus (Stimulus variation) Pemberian stimulus pembelajaran secara


bervariasi (tidak monoton). Variasi stimulus bisa dilakukan melalui beberapa cara seperti: variasi
dalam menggunakan metode, media, gaya mengajar, suara, variasi dalam menggunakan
komunikasi pembelajaran, dan lain sebagainya. Tujuan pemberian stimulus yang bervariasi
adalah untuk menciptakan suasana pembelajaran yang dinamis, menyenangkan, dan kaya dengan
sumber belajar. Tipe belajar manusia bisa dibedakan dari beberapa model, yaitu: model atau tipe
visual, tipe auditif, tipe motorik, dan tipe kinsetetik. Setiap tipe tersebut mungkin dimiliki hampir
oleh semua siswa. Akan tetapi dalam satu kemlompok belajar mungkin ada siswa yang memiliki
keunggulan atau kelebiha tertentu dari setia tipe tersebut dibandingkan dengan tipe lainnya.
Misalnya seseorang mungkin lebih dominan dari sisi auditifnya dibandingkan dengan visual,
motorik dan kinestetiknya. Oleh karena itu untuk mengakomodasi keragaman tipe-tipe belajar
siswa, maka pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus dinamis, bervariasi, tidak monoton,
agar perbedaan cara belajar siswa dapat terlayani dengan baik.

2. Keterampilan Membuka (Set induction) Keterampilan membuka pembelajaran, yaitu


upaya yang dilakukan oleh guru untuk menumbuhkan perhatian dan motivasi belajar siswa.
Kegiatan membuka pembelajaran, sesuai dengan namanya ”membuka”, biasanya dilakukan
diawal kegiatan. Membuka pembelajaran secara teknis bisa dilakukan dengan beberapa cara
misalnya: menyampaikan salam, mengajak siswa memulai dengan berdo’a, mengecek kehadiran
siswa, dan lain sebagainya. Dengan beberapa kegiatan yang dilakukan dalam membuka
pembelajaran tersebut, itu bukan tujuan dari membuka pembelajaran, tapi itu teknis yang
dilakukan. Adapun tujuan yang utama dari kegiatan membuka pembelajaran, apapun jenis
kegiatan yang dilakukan oleh guru harus ditujukan pada upaya menciptakan kondisi siap belajar
(pra-pembelajaran).

3. Keterampilan menutup (Closure) Keterampilan menutup pembelajaran, yaitu upaya


yang dilakukan oleh guru untuk mengakhiri pembelajaran agar siswa dapat memperoleh
pengalaman belajar secara utuh dari hasil pembelajaran yang telah dilakukannya. Seperti halnya
dengan kegiatan membuka pembelajaran, dalam kegiatan menutup pembelajaranpun terdapat
beberapa cara atau teknis yang dapat dilakukan oleh guru. Misalnya menutup dengan cara
membuat kesimpulan, membuat ringkasan, mengadakan refleksi, menyampaikan review,
menyampaikan salam penutup dan lain sebagainya. Setiap jenis kegiatan yang dilakukan dalam
menutup pembelajaran tersebut, itu bukan tujuan tetapi teknis atau cara. Adapun tujuan yang
ingin dicapai dari kegiatan menutup pembelajaran yang terpenting adalah untuk memberikan
pengalaman belajar yang utuh terhadap semua materi yang telah dipelajari dalam kegiatan
pembelajaran sebelumnya.

4. Penggunaan bahasa isyarat (Silence and nonverbal cues) Pembelajaran adalah suatu
proses komunikasi interaksi, tujuan dari komunikasi dalam pembelajaran adalah tercapainya
tujuan komunikasi itu sendiri. Dalam pembelajaran adalah peruabahan perilaku sebagai sasaran
akhir yang harus dicapai. Sebagai suatu proses komunikasi untuk menciptakan suasana atau
proses pembelajaran yang efektif, menyenangkan dan kondusif, maka penggunaan bahasa-
bahasa isyarat tertentu dinilai akan menciptakan pembelajaran yang efektif. Misalnya dalam
menggunakan komunikasi lisan, apabila seorang guru terus berbicara (ceramah) menjelaskan
materi dengan pembicaraan yang cepat tanpa henti, maka selain guru sendiri akan cape, juga
pesan pembelajaran tidak akan tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu untuk menarik
perhatian siswa terhadap materi yang disampaikan, sebaiknya guru memberikan selingan dengan
penggunaan isyarat, atau diam sejenak (silence).

5. Memberikan penguatan (Reinforcement of student participation) Memberi penguatan,


yaitu pemberian respon dari guru terhadap aktivitas belajar siswa. Tujuan pemberian penguatan
yaitu untuk lebih meningkatkan motivasi belajar. Bentuk penguatan bisa dilakukan dengan dua
cara, yaitu penguatan dengan verbal dan non verbal. Sasarannya sama, penguatan verbal dan non
verbal yaitu ditujukan untuk memberikan respon terhadap proses dan hasil belajar siswa. Melalui
respon yang disampaikan guru, siswa akan merasa diakui terhadap proses dan hasil yang
dikerjakannya. Bu Siti guru KTK MI menugaskan kerajinan tangan membuat perahu dari lipatan
kertas. Sambil berkeliling mengamati siswa yang sedang bekerja membuat perahu, Bu Siti tidak
lupa memberikan penguatan misalnya dengan kata-kata ”bagus” cara kerjamu silahkan teruskan
(verbal), atau Bu siti memberikan isyarat dengan mengangkat jempol tangannya untuk
menunjukan penghargaan kepada siswa (non verbal). Dengan kedua contoh penguatan yang
dilakukan Bu Siti, siswa akan merasa dihargai, diakui terhadap jerih payahnya, sehingga
motivasi belajar siswa akan terpelihara bahkan akan makin meningkat. Bagaimanapun siswa
sebagai individu atau pun kelompok membutuhkan pengakuan dan penghargaan.

6. Keterampilan bertanya (Fluence in asking questions) Dalam setiap kesempatan atau


kegiatan, ”bertanya” sering muncul. Ketika ngobrol atau diskusi dengan teman, di lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, di sekolah ketika pembelajaran berlangsung ”pertanyaan”
sering muncul. Fungsi dan tujuan bertanya pada dasarnya sama yaitu meminta jawaban,
penjelasan atau informasi yang diperlukan terhadap sesuatu yang belum diketahuinya.

Dalam kontek pembelajaran kegiatan bertanya atau menyampaikan pertanyaan untuk


membuat siswa belajar. Oleh karena itu ”bertanya atau menyampaikan pertanyaan” perlu
dipelajari dan dilatih, agar menjadi terampil. Dengan ketarmpilan bertanya maka pertanyaan
yang disampaikan akan merangsang siswa berfikir, mencari informasi atau berusaha untuk
menjawabnya. Menurut Allen dan Ryan, agar pertanyaan yang disampaikan dapat direspon maka
dalam menyampaikan pertanyaan dapat dilakukan dengan beberapa siasat atau trik, yaitu:

a) Frobing questions; maksudnya pertanyaan pelacak, yaitu menggunakan pertanyaan lanjutan


untuk memperdalam atau untuk lebih menggali terhadap jawaban yang diperlukan dari siswa,

b) Higher-order questions; maksudnya pertanyaan lanjutan, yaitu pertanyaan tindak lanjut yang
diajukan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan belajar secara lebih analitis dan
komprehensif,

c) Divergent questions; maksudnya yaitu pertanyaan yang berbeda, keterampilan untuk


mengemukakan berbagai bentuk pertanyaan yang berbeda-beda terhadap suatu permasalahan
yang ingin ditanyakan.

7. Keterampilan membuat ilustrasi dan contoh (Illustration and use of example)

Ilustrasi dan contoh dalam proses pembelajaran sangat penting untuk memperjelas,
mempertegas, dan mempermudah pemahaman siswa terhadap metari yang sedang dibahas. Oleh
karena itu salah satu keterampiln yang dituntut harus dikuasai oleh guru yakni membuat ilustrasi
atau contoh (Illustration and use of example). Ilustrasi atau contoh yang dibuat oleh guru harus
relevan dengan kontek atau permasalahan yang sedang dibahas. Materi pembelajaran memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Ada materi yang dengan kegiatan membaca saja langsung dapat
dimengerti. Tetapi sebaliknya ada sifat materi pembelajaran yang sulit dipahami dengan hanya
membaca saja, akan tetapi harus disertai dengan contoh-contoh konkrit atau ilustrasi yang
menggambarkan terhadap kontek materi yang dibahas.

8. Keterampilan menjelaskan (Lecturing) Keterampilan menjelaskan, yaitu suatu


keterampilan untuk mengkomunikasikan materi pembelajaran kepada siswa secara jelas,
gamblang dan lancar. Keterampilan menjelaskan sangat penting, karena salah satu tujuan akhir
dari pembelajaran adalah perubahan perilaku baik menyangkut dengan pengetahuan, sikap,
keterampilan maupun pembiasaan. Secara sederhana kita dapat berkesimpulan, bagaimana
perilaku siswa akan berubah sesuai dengan yang diharapkan jika materi yang dipelajarinya tidak
dipahami. Adapun untuk diperolehnya pemahaman yang baik, tergantung pada penjelasan yang
disampaikan oleh guru. Oleh karena itu terkait dengan pembahasan sebelumnya, bahwa untuk
lebih memperjelas pemahaman siswa, dalam menjelaskan (lecturing) sebaiknya disertai oleh
ilustrasi dan contoh yang tepat.

9. Completeness of cammunication Pembelajaran adalah proses komunikasi, komunikasi


akan terjadi jika unsur-unsur komunikasi yaitu: a) ada pesan/materi, b) pengirim pesan, c)
saluran untuk menyampaikan pesan, dan d) penerima pesan. Keterampilan berkomunikasi adalah
sangat tergantung pada kemampuan pengirim pesan. Dalam menyampaikan pesan atau materi
pembelajaran, bisa dilakukan dengan berbagai jenis komunikasi, seperti: komunikasi lisan,
tulisan, atau komunikasi isyarat. Oleh karena itu setiap guru sebagai pengirim dan pengolah
pesan pembelajaran, mutlak harus memiliki keterampilan yang memadai dalam hal
berkomunikasi. Apakah komunikasi verbal seperti dengan lisan, komunikasi tulisan (bahasa
tulisan) maupun komunikasi non verbal seperti melalui bahasa isyarat.

B. PRINSIP PEMBELAJARAN MIKRO

Latar Belakang

Setiap model atau pendekatan pembelajaran disamping memiliki ciri-ciri atau


karakteristik seperti yang telah dibahas dalam kegiatan belajar 1 di atas, juga memiliki prinsip-
prinsip atau ketentuan yang harus diperhatikan dan ditaati dalam menerapkan pendekatan
pembelajaran mikro. Jika Anda punya lima orang teman guru yang mengajar di sekolah Anda,
pasti diantara kelima orang tersebut masing-masing memiliki prinsip yang berbedabeda,
disamping mungkin ada juga unsur yang samanya. Misalnya dalam cara belajar atau kebiasaan
membaca, ada yang harus dilakukan tengah malam dalam keadaan sepi, sementara yang lain
mungkin kapan saja selagi semangat bisa belajar atau membaca dengan baik. Bagi sebagian guru
mungkin ada yang punya prinsip setiap masuk sekolah anak-anak harus tepat waktu, apabila
terpaksa hanya diberi toleransi telat lima menit, lebih dari lima menit harus lapor dulu ke tata
usaha atau kepala sekolah. Tapi sebagian guru mungkin ada juga yang punya prinsip bahwa setia
anak masuk harus tepat waktu, apabila karena sesuatu hal sehingga kesiangan, tidak diberi batas
waktu berapa lama kesiangannya itu asal alasannya dapat dipertanggung jawabkan. Dari ilustrasi
atau contoh yang dikemukakan di atas secara sederhana dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud
dengan “prinsip” adalah aturan, ketentuan, atau hukum yang mengatur aktivitas agar dapat
berjalan secara logis, sistematis dan membawa manfaat atau hasil yang optimal. Ketika Anda
sebagai seorang guru menetapkan ketentuan tolernasi kesiangan selama 5 menit, atau tidak
dibatasi asal ada alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, itu sudah menjadi prinsip Anda
untuk menjadi rambu-rambu ketentuan bagi siswa dengan maksud untuk membiasakan disiplin
dan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran.

Pembelajaran sebagai suatu proses interaksi antara siswa dengan lingkungan


pembelajaran tentu memiliki ketentuan, aturan atau hukum yang mengatur aktivitas
pembelajaran tersebut. Pada garis besarnya prinsip pembelajaran ada yang bersifat umum dan
berlaku serta harus menjadi acuan dalam setiap pelaksanaan pembelajaran, tapi ada juga prinsip
yang bersifat khusus sesuai dengan karakteristik atau model pembelajaran yang diterapkan.
Prinsip pembelajaran umum adalah ketentuan atau aturan yang berlaku untuk setiap kegiatan
pembelajaran.

Adapun prinsip-prinsip umum pembelajaran antara laian:

1. Prinsip Perhatian dan Motivasi; yaitu suatu aturan atau ketentuan untuk memusatkan
pikiran dan seluruh kekuatan energi (perhatian dan motivasi) untuk tertuju dan disalurkan pada
kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu setiap guru dalam membimbing kegiatan pembelajaran
harus mampu memusatkan, memelihara dan membangkitkan perhatian dan motivasi belajar
siswa. Tanpa perhatian dan motivasi yang kuat, sulit untuk memperoleh hasil yang maksimal.

2. Aktivitas; adalah proses kegiatan yang aktif baik aktivitas pikiran, fisik, sosial, maupun
emosional. Belajar pada dasarnya adalah proses aktivitas, bahkan dalam kehidupan sehari-hari
sering kita dengar ”hidup adalah perbuatan atau aktivitas”. Mengingat pentingnya ”aktivitas”
maka harus dijadikan ketentuan atau aturan yang harus dikondisikan oleh guru dan pra praktisi
pendidikan/ pembelajaran agar ”keaktipan / aktivitas” selalu terpelihara selama proses
pembelajaran berlangsung.

3. Balikan dan Penguatan; yaitu pemberian respon terhadap proses dan hasil
pembelajaran yang telah ditunjukkan oleh siswa. Pemberian respon yang disertai dengan
penghargaan atau hukuman (reward & funishment) yang mendidik akan menjadi pemacu
aktivitas dan semangat belajar siswa yang lebih tinggi.

4. Tantantangan; yaitu pemberian stimulus yang dengan stimulus tersebut siswa akan
tertantang sehingga muncul keinginan untuk mencoba melakukan aktivitas maupun bekerja
untuk menjawab atau menghadapi tantangan tersebut. Tantangan yang diciptakan dalam
pembelajaran tentu saja disesuaikan dengan aktivitas pembelajaran, misalnya: guru memberikan
persoalan yang harus dipecahkan dengan menggunakan rumus-rumus tertentu; Atau guru mata
pelajaran hadis menugaskan kepada siswanya untuk menghapal lima madis soheh yang bertema
atau membahas Akidah. Ketika siswa berhasil mengerjakan apa yang ditugaskan (tantangan)
pertama, menurut prinsip tantangan siswa tersebut akan memiliki kesiapan lagi untuk
menghadapi tantangan-tantangan berikutnya. Oleh karena itu tantangan harus diciptakan dalam
pembelajaran sehingga siswa menjadi terbiasa untuk mengatasi dan memecahkan tantangan yang
dihadapinya.

5. Perbedaan Indivdiual; setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Masing-


masing siswa disamping ada yang memiliki kesamaan sifat, karakter dan bentuk-bentuk
kesamaan lainnya, tetapi pasti ada juga perbedaannya.

Perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu, akan membawa perbedaan pulan terhadap
kebiasaan dan cara belajarnya. Oleh karena itu pembelajaran, kalaupun tidak bisa seutuhnya
menyesuaikan dengan karakteristik setiap siswa, akan tetapi harus diusahakan agar kesamaa-
kesamaan umum yang dimiliki oleh siswa bisa terlayani melalui pembelajaran yang didasarkan
pada prinsip perebedaan individual. Bagaimana sampai disini ..., bisa diikuti. Kalau ada hal yang
belum jelas coba ulangi lagi dan berdiskusilah dengan teman-teman Anda. Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya, prinsip pembelajaran ada yang bersifat umum, yaitu yang berlaku untuk
setiap kegiatan pembelajaran. Ada juga prinsip yang khusus, yaitu yang berlaku sesuai dengan
karakteristik model atau pendekatan pembelajaran yang dilakukan. Berikut ini Anda akan
mengkaji prinsip pembelajaran khusus, yaitu yang harus diperhatikan ketika menggunakan
pendekatan atau model pembelajaran mikro (micro teaching).

Prinsip Pembelajaran Mikro

Prinsip pembelajaran mikro merupakan ketentuan, kaidah atau hukum yang harus
dijadikan pegangan di dalam pelaksanaan pembelajaran mikro. Sesuatu yang telah disepakati
sebagai ketentuan, hukum, atau prinsip, maka ketika aturan itu ditaati maka akan berdampak
positif terhadap proses dan hasil pembelajaran mikro. Sebaliknya apabila ketentuan, aturan itu
diabaikan atau tidak ditaati, maka pembelajaran mikro sebagai salah satu pendekatan
pembelajaran untuk membina dan meningkatkan kemampuan mengajar, tidak akan membawa
dampak yang positip.

Adapun prinsip yang menjadi aturan atau ketentuan dalam penerapan pembelajaran mikro
antara adalah sebagai berikut:

1. Fokus pada penampilan; yaitu yang menjadi sasaran utama dalam pembelajaran mikro
adalah penampilan setiap peserta yang berlatih. Penampilan dimaksud adalah perilaku atau
tingkah laku peserta (calon guru/ guru) dalam melatihkan setiap jenis keterampilan mengajarnya.
Penampilan biasanya menunjukkan pada performance seseorang yang secara konkrit bisa dilihat
atau diamati. Misalnya Bu Elly dengan kesadaran sendiri akan berlatih bagaimana cara membuka
pembelajaran yang dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi belajar siswa. Maka fokus
penampilan Bu Elly hanya pada keterampilan membuka saja, tidak pada aspek-aspek lainnya.
Hal ini sesuai dengan karakteristik pembelajaran mikro yang sudah Anda pelajari di atas, yaitu
sebagai pendekatan untuk melatih kemampuan mengajar dalam skala yang disederhanakan,
misalnya pada penampilan membuka saja, menutup, memberikan balikan dan penguatan,
penggunaan media dan metoda atau fokus pada jenis-jenis keterampilan yang lain. Dengan
demikian fokus perhatian setiap yang terlibat dalam pembelajaran mikro sepenuhnya hanya pada
penampilan peserta dalam melaksanakan keterampilan-keterampilan yang dilatihkan, dan bukan
pada unsur kepribadiannya (focus on presentation behavior, not on personality charactersitics
and judgments)

2. Spesifik dan konkrit; seperti dijelaskan di atas, jenis keterampilan yang dilatihkan
harus terpusat pada setiap jenis keterampilan mengajar yang dilakukan secara bagian demi
bagian. Misalnya berlatih membuka dan menutup pembelajaran, dilakukan secara tersendiri dan
tidak digabungkan dengan jenis keterampilan mengajar lainnya dalam waktu yang bersamaan.
Selain itu penampilan dalam membuka atau menutup pembelajaran tersebut bisa ditekankan pada
aspek-aspek yang lebih khusus lagi. Misalnya bagaimana dalam menyampaikan tujuan ketika
membuka pembelajarannya, bagaimana ketika mengkondisikan lingkungan belajar, bagaimana
cara atau gayanya, bagaimana vokalnya, dan lain sebagainya. Penekanan pada hal-hal yang lebih
khusus dari setiap keterampilan yang dilatihkan, itulah makna dari prinsip ”spesifik dan konkrit”.
Cara yang dilakukan seperti itu dalam pembelajaran mikro, dimaksudkan agar pihak yang
berlatih secara optimal memfokuskan pada jenis keterampilan tersebut. Demikian pula pihak
observer atau supervisor dalam melakukan pengamatannya secara cermat dan akurat hanya
mengamati perilaku calon guru atau para guru dalam kemampuan membuka dengan aspek-aspek
khusus tadi. Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang konkrit tingkat kemampuan
peserta dalam membuka pembelajarannya.

3. Umpan balik; prinsip berikutnya dari pembelajaran mikro yaitu umpan balik, yaitu
proses memberikan balikan (komentar, saran, solusi pemecahan, dll) yang didasarkan pada hasil
pengamatan dari penampilan yang telah dilakukan seorang yang berlatih. Setelah selesai setiap
peserta melakukan proses latihan melalui pembelajaran mikro, pada saat itu pula dengan segera
dilakukan proses umpan balik. Misalnya melihat hasil rekaman (kalau pada saat latihan
direkam/video) atau penyajian dari pihak observer atau supervisor memberikan komentar
terhadap penampilan yang telah dilakukan oleh peserta. Setelah melihat rekaman atau
memperhatikan beberapa komentar, kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan diskusi dan
refleksi untuk memberikan saran atau pemecahan yang harus dilakukan untuk diperbaiki dalam
penampilan berikutnya. Salah satu tip yang harus menjadi konsensus bersama (peserta yang
berlatih, observer, supervisor) yaitu ketika memberikan umpan balik (komentar, saran, solusi
pemecahan yang diajukan) harus didasarkan pada niat baik untuk saling melengkapi. Observer
atau supervisor ketika memberikan komentar bukan untuk ”menjelekkan” peserta, tetapi saling
melengkapi untuk kebaikan bersama. Demikian pula sebaliknya bagi pihak yang berlatih (calon
guru / guru) ketika komentar disampaikan (positif atau negatif) sebaiknya berlapang dada untuk
menerima demi kebaikan dan peningkatan profesionalitas.

4. Keseimbangan; prinsip ini terkait dengan prisnisp sebelumnya yaitu ”umpan balik”,
maksudnya ketika observer atau supervisor menyampaikan komentar, saran, atau kritik terhadap
penampilan peserta yang berlatih (calon guru / guru) tidak hanya menyoroti kekurangan atau
kelemahannya saja dari peserta yang berlatih tersebut. Akan tetapi harus dikemukakan pula
kelebihan-kelebihan dari penampilan yang telah dimilikinya. Dengan demikian pihak yang
berlatih dapat memperoleh masukan yang berharga baik dari sisi kelebihan maupun
kekurangannya. Informasi melalui umpan balik yang disampaikan dengan jujur, transparan dan
akuntabel dan seimbang, diharapkan akan menjadi motivasi untuk memelihara dan
meningkatkan kelebihannya dan memperbaiki terhadap kekurangannya.

5. Ketuntasan; adalah kemampuan yang maksimal terhadap keterampilan yang


dipelajarinya. Apabila dari satu atau dua kali latihan ternyata berdasarkan kesepakatan bersama
masih ada yang harus diperbaiki dal menerapkan jenis keterampilan tertentu, maka semua pihak
harus membantu (memfasilitasi) latihan ulang sehingga diperoleh kemampuan yang maksimal
sesuai dengan yang diharapkan (tuntas). Tidak ada batasan yang menentukan harus berapa kali
latihan untuk setiap jenis keterampilan yang dilatihkan. Ini artinya jika dengan satu kali latihan
sudah dianggap cukup baik atau terampil dan profesional (tuntas), maka tidak perlu mengulang
lagi melatih jenis keterampilan yang sama, tinggal beralih pada jenis keterampilan lainnya. Akan
tetapi sebaliknya jika dengan dua kali kesempatan berlatih masih dianggap belum cukup
menguasai, lakukan berlatih ulang sampai mencapai hasil yang memuaskan (tuntas). Kalau
menurut konsep ”mastery learning”, seseorang telah dianggap menguasai secara tuntas, apabila
telah memperoleh kemampuan dia atas 75 %.

6. Maju berkelanjutan; yaitu siapapun yang berlatih dengan menggunakan pendekatan


pembelajaran mikro, ia harus mau belajar secara terus menerus, tanpa ada batasnya (life long of
education). Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang, demikian pula pengetahuan
tentang keguruan dan pembelajaran, setiap saat mengalami perkembangan baik kuantitas
maupun kualitas. Oleh karena itu ketika seseorang telah terampil menguasai satu model atau
jenis keterampilan yang dilatihkan, tidak berarti segalanya dianggap sudah selesai, akan tetapi
masih banyak tantangan lain yang harus dipelajari, dilatihkan dan dikuasai. Inilah makna dari
prinsip maju berkelanjutan, yaitu keinginan untuk terus memperbaiki dan meningkatkan diri.
Keinginan untuk maju harus tumbuh dari setiap yang memegang profesi, dengan keinginan
untuk maju maka selalu terdorong (motivasi) untuk belajar, berlatih, bertanya, mencari berbagai
sumber informasi. Menurut Mohamad Surya yang harus ditanamkan dalam pendidikan keguruan
antara yaitu ”apresiasi yang berkesinambungan terhadap jabatan guru dan guru-guru serta pihak
lainnya yang diakui sebagai sumber pembelajaran” (2008). Ungkapan yang disampaikan oleh
Mohamad Surya sejalan dengan prinsip ”maju berkejalnjutan” Dengan prinsip tersebut, setiap
peserta yang akan berlatih tidak akan dihinggapi kebosanan, tetapi selalu berupaya, belajar dan
belajar untuk meningkatkan profesionalitasnya.

C. GURU YANG EFEKTIF

Latar Belakang

Pembelajaran pada dasarnya merujuk pada dua kegiatan besar yaitu, pertama kegiatan
mengajar dan kedua kegiatan belajar. Mengajar menunjuk pada aktivitas yang dilakukan oleh
guru dalam mengelola lingkungan pembelajaran agar berinteraksi dengan siswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran.

Adapun belajar menunjuk pada aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam berinteraksi
dengan lingkungan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Keduanya antara
kegiatan guru mengajar dan siswa belajar menyatu dalam suatu aktivitas interaksi untuk
terjadinya proses pembelajaran. Kualitas proses dan hasil belajar siswa banyak dipengaruhi oleh
kualitas guru mengajar. Dengan demikian kemampuan guru mengajar memiliki hubungan timbal
balik dengan hasil belajar yang diperoleh siswa. Oleh karena itu salah satu upaya untuk
meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, dan pendidikan pada umumnya harus
diawali dengan meningkatkan mutu guru sebagai tenaga kependidikan. Yang bertindak sebagai
tenaga pendidik bukan hanya guru, akan tetapi masih banyak sebutan lain, misalnya konselor,
pamong belajar, dan lain sebagainya.

Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Naisonal


dijelaskan bahwa yang disebut dengan pendidik adalah “Tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpatisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan” (Bab I Pasal 1 ayat 6). Guru merupakan salah satu bagian dari
tenaga pendidik, sementara selain guru yang berfungsi sebagai tenaga pendidik masih banyak
lagi. Tentu saja setiap tenaga pendidik selain guru juga memiliki kewajiban yang sama untuk
selalu meningkatkan kemampuan profesionalismenya. Hal ini penting karena kualitas pendidikan
banyak dipengaruhi oleh sejauhmana mutu tenaga pendidiknya itu sendiri. Menyadari betapa
pentingnya meningkatkan mutu tenaga pendidik, maka dalam Peraturan Pemerintah no. 19. tahun
2005 ditegaskan “pendidik pada SD/ MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1). Peningkatan kualifikasi
pendidikan yang dipersyaratkan untuk menjadi guru SD/MI atau yang sederajat Kegiatan Belajar
3 lainnya, tentu saja berimplikasi pada harapan semakin meningkatnya efektivitas pembelajaran
dan pendidikan pada umumnya. Untuk meningkatkan mutu guru, tidak cukup hanya dengan
menguasai sejumlah konsep tentang keguruan dan ilmu-ilmu lain yang mendukung untuk itu,
akan tetapi harus ditunjang pula oleh pengalaman-pengalaman praktis yang akan memfasilitasi
para guru untuk terampil dan mampu melaksanakan proses interaksi pembelajaran secara efektif
dan efisien.

Guru yang Efektif

Sudah sejak lama studi mengenai perilaku guru telah banyak dilakukan. Salah satu
maksud dari studi itu adalah untuk mengetahui karakteristik guru yang dianggap cukup efektif
dalam melaksanakan proses pembelajaran. Kalau Anda ngobrol dengan teman-teman sekolah
menceritakan pengalaman ketika di SMA atau di Madrasa Aliyah dulu, mungkin akan terungkap
diantara isi obrolan tersebut yaitu menceritakan perilaku guru. Misalnya ada guru yang
menyenangkan, menakutkan, disiplin, penjelasannya mudah dimengerti, atau sebaliknya sulit
dimengerti, dan lain sebagainya. Isi dari pembicaraan dalam contoh yang dikemukakan di atas,
sebenarnya mengemukakan kemampuan atau penampilan dari perilaku setiap guru yang masih
diingat dalam pikiran para alumninya.

Adapun pembahasan guru efektif yang dimaksud dalam pembahasan ini, adalah ciri-ciri
atau perbuatan yang semestinya harus dimiliki dan tercermin atau direfleksikan dalam setiap
membimbing kegiatan belajar mengajar. Perilaku atau penampilan yang berkaitan dengan guru
yang efektif, yaitu untuk menunjang terjadinya proses pembelajaran yang efektif pula. Oleh
karena itu sebelum membahas ciri-ciri guru yang efektif terlebih dahulu sekilas harus dibahas
pula apa yang dimanksud dengan belajar efektif.

Hal ini penting karena seperti telah diungkapn sebelumnya, bahwa pembelajaran
merefleksikan dua kegiatan besar yaitu kegiatan belajar dan kegiatan mengajar. Dengan
demikian untuk mengetahui mengajar (guru) yang efektif , harus pula dibahas apa yang
dimaksud dengan belajar (siswa) yang efektif. Seperti sudah disingung dalam pembahasan
sebelumnya bahwa ”belajar” adalah proses perubahan perilaku. Adapun penafsiran umum
perubahan perilaku tersebut meliputi tiga aspek yaitu pengetahuannya, sikap dan keterampilan.
Jika belajar yang efektif adalah perubahan perilaku yang mencakup ketiga aspek tadi, maka guru
yang efektif adalah yang mampu merubah ketiga aspek yang diharapkan itu. Dalam arti yang lain
dikemukakan bahwa ”belajar adalah proses berpikir”, pemaknaan ini didasarkan pada asumsi
bahwa pengetahuan itu tidak datang dengan sendirinya tanpa usaha, akan tetapi melalui aktivitas
dan dibentuk oleh setiap individu dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Jika dihubungkan
dengan belajar adalah berfikir, maka guru yang efektif tentu saja adalah yang mampu membuat
siswa beraktivitas untuk berfikir.
Mengajar dengan orientasi untuk menciptakan pembelajaran berpikir, menurut
Bettencourt. 1985 dalam Wina Sonjaya (2006) dijelaskan meliputi upaya sebagai berikut:

1. Berpartisipasi dengan siswa membentuk pengetahuannya; yang perlu digaris bawah adalah
”berpartisipasi” artinya bukan menyampaikan, atau memberikan pengetahuan, akan tetapi guru
memainkan peran sebagai fasilitator untuk mendorong siswa menemukan pengetahuan

2. Membuat makna; terkait dengan unsur pertama, mengajar bukan menyampaikan agar
dikuasainya sejumlah ilmu pengetahuan atau kemampuan. Tetapi yang lebih penting adalah
sejauh mana siswa menangkap ”makna” dari pengetahuan yang telah didapatkannya. Makna
tersebut terutama kaitannya dengan kemampuan menghubungkan dengan realitas sehari-hari.

3. Memberi kejelasan; sesuatu hal yang sifatnya masih samar-samar biasanya akan
membingungkan. Bahkan sesuatu yang masih membingungkan tidak bisa dijadikan dijadikian
suatu rujukan yang valid. Oleh karena itu kaitan dengan guru yang efektif, tentu saja adalah guru
yang mampu memberikan kejelasan, atau menjadikan sesuatu menjadi jelas bagi siswa.

4. Bersikap kritis; yaitu suatu sikap yang tidak mudah percaya dengan sesuatu yang nampak,
akan tetapi selalu bertanya, mencari dan menelusuri atas sesuai dibalik yang nampak. Dan ini
hanya akan dilakukan oleh yang biasa mengembangkan sikap kritis. Sikap kritis yang
ditunjukkan oleh guru, akan berdampak positif juga pada kebiasaan berpikir siswa.

5. Melakukan justifikasi; yaitu masih terkait dengan pembahasan berpikir kritis dan memberi
kejelasan, yakni melalui upaya-upaya seperti itu akan melahirkan ”keyakinan atau
pembelanaran”, dan itulah yang dimaksud dengan justifikasi yaitu suatu upaya yang dilakukan
untuk membuat sesuatu menjadi benar dan memiliki keyakinan.

Sehubungan dengan belajar yang efektif adalah yang mampu mengembangkan


kemampuan berpikir, maka mengajar yang efektif tentu saja mengajar yang dapat menjawab atau
merealisasikan kemampuan berpikir bagi siswa.

Dalam hubungan ini, La Costa (1985) mengklasifikasikan mengajar berpikir kedalam tiga jenis,
yaitu: 1. Teaching of thinking; yaitu mengajar yang diorientasikan pada pembentukan mental
siswa, seperti: keterampilan berpikir kritis, kreatif, pengembangan rasa ingin tahu dan lain
sebagainya. 2. Teaching for thinking; yaitu suatu usaha penciptaan lingkungan belajar yang
kondusif dan optimal untuk memungkinkan siswa dapat mengembangkan berpikirnya dengan
kritis, kreatif, dan terpenuhinya rasa ingin tahu siswa. 3. Teaching about thinking; yaitu upaya
guru untuk membantu siswa agar menyadari terhadap proses dan hasil belajarnya (berpikirnya).

Siswa harus dibiasakan untuk menilai diri sendiri (self evaluation), mengetahui kelebihan
dan kekurangan, serta berupaya untuk lebih mengembangkan kemampuannya. Pasal 40 ayat 2
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan beberapa batasan perilaku utama yang
harus dimiliki oleh guru yaitu: 1. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis 2. Mempunyai komitmen secara profesional untuk
meningkatkan mutu pendidikan, dan 3. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga,
profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ukuran
efektivitas pembelajaran adalah tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan. Dengan demikian guru yang efektif adalah guru yang mampu melaksanakan
proses pembelajaran untuk merealisasikan tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan
rencana yang telah dibuatnya.

Pembelajaran adalah proses komunikasi antara siswa dengan lingkungan belajar.


Termasuk kedalam lingkungan belajar antara lain yaitu hubungan antara guru dengan siswa,
siswa dengan siswa lain, hubungan antara siswa dengan kurikulum, media, sumber belajar, dan
lain sebagainya. Oleh karena itu karakteristk guru yang efektif, selain unsur-unsur yang telah
dijelaskan di atas, juga adalah yang mampu mendayagunakan lingkungan belajar agar saling
berinteraksi, saling mempengaruhi, dan saling ketergantungan untuk mewujudkan perubahan
perilaku pada siswa. Sylvester J. Balassi (1968) mengidentifikasi beberapa karakteristik guru
yang efektif, yaitu:

1. Commitment; yaitu kesetiaan, kepatuhan dan ketaatan serta dedikasi untuk


mencurahkan segala pikiran dan kemampuannya pada bidang pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya. Bagi seseorang yang telah menetapkan pilihannya untuk mengabdikan diri pada
profesi sebagai guru, tentu saja harus memiliki komitmen yang tinggi. Perhatian, motivasi,
loyalitas dan dedikasinya secara maksimal dicurahkan pada bidang pekerjaan yang ditekuninya
yaitu sebagai tenaga guru. Dalam pasal 40 ayat 2 Undangundang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwa guru sebagai tenaga kependidikan harus memiliki komitmen secara
profesional untuk selalu meningkatkan mutu pendidikan.

2. Intelligence; agar bisa bekerja dengan efektif dan profesional pada bidang profesi yang
ditekuninya, harus ditunjang oleh kecerdasar (Intelligence). Guru itu harus cerdas, dan
kecerdasan disini bukan hanya cerdas berpikir (intelektual), akan tetapi harus diimbangi juga
oleh kecerdasan emosional, sosial dan moral. Seperti diamanatkan pasal 40 ayat 2 Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa ”guru sebagai tenaga pendidik harus menempatkan
dirinya sebagai teladan yang patut ditiru oleh siswa”. Seseorang yang menjadi rujukan untuk
ditiru biasanya mereka telah memiliki kemampuan yang lengkap, ilmu pengetahuannya luas
sebagai gambaran dari kecerdasan intelektual, sikapnya baik dan direfleksikan atau diterapkan
oleh dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan ini Mohamad Surya menyatakan
bahwa jadi guru itu”harus kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ihlas”.

3. Knowledge; bagi setiap guru untuk dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan
efisien, harus ditunjnag oleh pengetahuan dan wawasan yang luas. Pengetahuan dan wawasan
berpikir tidak hanya dibatasi pada penguasaan disiplin ilmu terkait dengan setiap mata pelajaran
yang harus diajarkan, akan tetapi menyangkut dengan pengetahuan lain. Seperti diketahui
bersama, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat, terutama berkenaan
teknologi informasi dan komunikasi setiap saat tidak pernah sepi dari inovasi. Pembelajaran
yang berbasiskan teknologi informasi dan komunikasi saat ini bukan lagi sesuatu yang dianggap
mewah, tapi sudah menjadi kebutuhan. Pembelajaran berbasis teknologi informasi dan
komunikasi tersebut misalnya: e-learning, e-book, dan lain sebagainya. Bila guru tidak mampu
menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, maka sudah pasti akan mempengaruhi
terhadap efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan tugasnya.

4. Sound Character; dalam pembelajaran guru berperan sebagai komunikator yaitu yang
mengkomunikasikan pesan-pesan pembelajaran agar diterima oleh siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Salah satu unsur penting dalam proses komunikasi adalah media komunikasi yang
digunakan, antara lain melalui komunikasi verbal dengan menggunakan bahasa lisan (suara).
Oleh karena itu setiap guru ketika berkomunikasi dengan siswa dengan menggunakan bahasa
lisan (suara), harus jelas, dan mudah dipahami oleh siswa.

5. Good physical and mental health; Fisik dan mental yang sehat termasuk kedalam aspek
yang cukup penting untuk dapat melaksanakan tugas secara efektif dan efisien. Kesehatan fisik
yang dapat menunjang terhadap aktivitas mengajar, akan menjadi faktor penentu efektivitas
pembelajaran. Demikian pula kesehatan mental menjadi faktor dominan untuk dapat
melaksanakan tugas pembelajaran secara profesional. Dalam banyak hal kekurangan fisik, dapat
tertutupi oleh kebaikan mental dan emosionalnya. Ini berarti kesehatan mental memiliki peran
yang amat penting dalam mempengaruhi proses pembelajaran. Oleh karena itu guru yang efektif
harus memiliki kesehatan secara jasmani dan rohani.

6. Enthusiasm; modal dasar untuk menjadi guru yang efektif adalah harus memiliki sifat
antusis. Yaitu suatu kondisi jiwa yang mencerminkan semangat atau kemauan yang membaja.
Sifat antusiasme seorang guru akan tercerminkan akan tercerminkan antara lain melalui: sikap,
perhatian dan motivasi dalam mengajar, dedikasi dan tanggung jawab, disiplin dan sifatsifat
positif lain yang merefleksikan dari kesungguhan. Sifat antusiasme yang ditunjukkan oleh guru
ketika melaksanakan tugas sehari-hari, secara psikogis akan berpengaruh terhadap semangat dan
motivasi belajar siswa. Ketika siswa memperhatikan guru selalu disiplin, datang tepat waktu,
penuh perhatian, dan mencerminkan semangat yang tinggi, maka akan berbanding lurus dengan
sifat siswa. Artinya siswa akan terdorong untuk belajar dengan penuh semangat dan disiplin,
sehinga akhirnya akan berdampak positif terhadap proses dan hasil pembelajaran.

7. Sense of humor; Guru yang efektif dalam membimbing pembelajaran adalah yang
mampu menciptakan suasana kelas yang menyenagkan. Oleh karena itu suasana kelas harus
dikondisikan agar siswa merasa betah dan aman ketika melakukan aktivitas belajarnya. Salah
satu upaya untuk menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan antara lain yaitu dengan sifat
humor dari guru. Humor disini harus dibedakan dengan melawak, humor dalam pengertian
pembelajaran selalu dikaitkan dengan upaya untuk meningkatkan perhatian dan motivasi belajar
siswa. Misalnya ketika memberikan ilustrasi atau contoh, tidak salah jika di dalamnya
mengandung unsur-unsur yang bersifat humor, tapi mendidik dan tetap terkait dengan materi
yang sedang dipelajari.

8. Flexibility; guru yang efektif ialah yang dinamis, luwes, yaitu yang mampu
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi (fleksibel). Guru tidak selalu bertindak sebagai
informator atau pemberi materi, akan tetapi sewaktuwaktu guru bisa memerankan selaku
pembimbing atau teman diskusi bagi siswa. Oleh karena itu guru yang efektif ialah yang mampu
dan terampil menggunakan multi metode dan media pembelajaran. Apabila guru banyak
menguasai metodologi pembelajaran, menguasai media dan sumber-sumber pembelajaran, maka
akan memudahkan guru untuk melakukan penyesuaianpenyesuaian (fleksibel) dengan
perkembangan yang terjadi. Untuk memiliki sifat, karakter, yang dibutuhkan oleh profesi guru
tidak akan muncul denghan sendirinya. Akan tetapi harus dipelajari, dibangun, dilatih dan
direfleksikan. Selanjutnya untuk bisa menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, maka
guru selalu harus mengembangkan diri dengan belajar yang tak pernah berhenti. Upaya untuk
melatih dan mengembangkan setiap jenis karakter tersebut antara lain bisa dilakukan atau
dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran mikro.

BAB IV
LANDASAN TEORITIS MODEL PEMBELAJARAN MICROTEACHING TADALURING

A. Teori Belajar Behavioristik


Teori belajar behavioristik dipelopori oleh Thorndike dengan teorinya connectionisme yang
disebut juga dengan trial and error. Pada tahun 1980, Thorndike melakukan eksperimen dengan
kucing sebagai subjeknya (Suryabrata, 1990: 266). Menurutnya, belajar adalah pembentukan
hubungan (koneksi) antara stimulus dengan respon yang diberikan oleh organisme terhadap
stimulus tadi. Cara belajar yang khas yang ditunjukkannya adalah trial dan error (coba-coba
salah). Disamping itu, Thorndike juga menggunakan pedoman ”pembawa kepuasan (satisfier)”
apabila subyek melakukan hal-hal yang mendatangkan kesenangan dan ”pembawa kebosanan
(annoyer)” apabila subyek menghindari keadaan yang tidak menyenangkan (Winkel, 1991: 380).
Edward Lee Thorndike adalah seorang psikolog Amerika yang tergolong kedalam aliran
Behavioristik telah menggagas beberapa ide penting berkaitan dengan hukum-kukum belajar,
yaitu law of readiness, law of excercise dan law of effect (Rahyudi, 2012: 35-36). Dalam hukum
kesiapan (law of readiness) semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah
laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga
asosiasi cenderung diperkuat. Terdapat tiga masalah sehubungan dengan hukum kesiapan, yaitu
pertama jika ada kecenderungan bertindak dan seseorang melakukannya maka ia akan merasa
puas, akibatnya ia tak akan 28 MICROTEACHING: MODEL TADALURING melakukan
tindakan lain. Kedua, jika ada kecenderungan bertindak tetapi seseorang tidak melakukannya
maka timbul rasa ketidakpuasan, akibatnya ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi
atau meniadakan ketidakpuasannya. Ketiga, bila tidak ada kecenderungan untuk bertindak tetapi
seseorang harus melakukannya, maka timbulah ketidakpuasan. Akibatnya ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang, dilatih dan
dipraktekan maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip hukum latihan adalah koneksi
antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan lebih kuat karena latihan-
latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan.
Prinsip hukum latihan menunjukan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah pengulangan.
Makin sering diulang suatu keterampilan maka keterampilan tersebut akan semakin dikuasai.
Selanjutnya hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respons cenderung diperkuat
bila akibatnya menyenangkan dan sebaliknya cenderung diperlemah jika akibatnya tidak
memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil
perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan
diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang mengakibatkan hal yang tidak menyenangkan
cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Selain hukum belajar di atas menurut Thorndike,
belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dalam artian
dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbulah respon yang maksimal teori ini sering
juga disebut dengan teori trial and error dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan
stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang
berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon ini
dilakukan dengan ulangan-ulangan.
MICROTEACHING: MODEL TADALURING 29 Dari eksperimen Thorndike, bisa diambil
tiga hukum dalam belajar, yaitu: (1) Law of readiness (hukum kesiapan). Belajar akan berhasil
apabila subyek memiliki kesiapan untuk belajar. (2) Law of exercise (hukum latihan),
merupakan generalisasi dari law of use dan law of disuse, yaitu jika perilaku itu sering dilatih
atau digunakan, maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (Law of use). Sebaliknya,
jika perilaku tadi tidak dilatih, maka perilaku tersebut akan menjadi bertambah lemah atau tidak
digunakan sama sekali (law of disuse). Dengan kata lain, belajar akan berhasil apabila banyak
latihan atau ulangan. (3) Law of effect, yaitu jika respon menghasilkan efek yang memuaskan,
maka hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, jika respon
menghasilkan efek yang tidak memuaskan, maka semakin lemah hubungan antara stimulus dan
respon tersebut. Dengan kata lain, subyek akanbersemangat dalam belajar apabila ia mengetahui
atau mendapatkan hasil yang baik (Suryabrata, 1990: 271) Sementara Thorndike mengadakan
penelitian, di Rusia Ivan Pavlov juga menghasilkan teori belajar Classical Conditioning
(Pembiasaan Klasik). Menurut Terrace (1973), Classical Conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan reflek baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut
(Syah, 2004: 95).
Kesimpulan dari eksperimen Pavlov adalah apabila stimulus yang diadakan itu selalu disertai
dengan stimulus penguat, cepat atau lambat akan menimbulkan respon atau perubahan yang
dikehendaki. Proses belajar berdasarkan eksperimen Pavlov tunduk pada dua hukum, yaitu: (1)
Law of Respondent Conditioning (hukum pembiasaan yang dituntut), (2) Law of Respondent
Extinction (hukum pemusnahan yang dituntut), terjadi jika refleks yang sudah diperkuat melalui
respondent conditioning didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya
akan menurun (Syah, 2004: 97-98). Selanjutnya Burhus Frederic Skinner dengan teorinya
Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon) yang mengadakan eksperimen terhadap
tikus (Syah, 2004: 99). Respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer adalah stimulus yang 30
MICROTEACHING: MODEL TADALURING meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respon tertentu. Berdasarkan kepada teori ini dapat disimpulkan bahwa proses belajar
tunduk kepada dua hukum, yaitu: (1) Law of operant conditioning, yaitu jika timbulnya tingkah
laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
meningkat. Artinya tingkah laku yang ingin dibiasakan akan meningkat dan bertahan apabila ada
reinforcer. (2) Law of operant extinction, yaitu jika timbulnya tingkah laku operant tidak diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Ini bermakna bahwa tingkah laku yang ingin dibiasakan tidak akan eksis, apabila tidak ada
reinforcer. Selain itu, Skinner juga memberikan konsekuensi tingkah laku yaitu ada yang
menyenangkan (berupa reward) dan tidak menyenangkan (berupa punisment). Edwin R. Guthrie
dengan teorinya Contiguous Conditioning (Pembiasaan Asosiasi Dekat) yang mengasumsikan
terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respon
yang relevan. Di dalamnya terdapat prinsip kontiguitas (contiguity) yang berarti kedekatan
antara stimulus dan respon (Syah, 2004: 101). Oleh karena itu, menurutnya peningkatan hasil
belajar itu bukanlah hasil pelbagai respon yang kompleks terhadap stimulus-stimulus yang ada,
melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dengan respon yang diperlukan. Misalnya,
seorang siswa diberi stimulus berupa penjumlahan 2+2, maka siswa akan merespon dengan 4
(Syah, 2004: 101). Ini menunjukkan adanya kedekatan antara stimulus dengan respon. Jadi
dalam proses belajar menurut model ini, terdapat kaitan yang dekat antara stimulus dan respon.
Walaupun demikian, dalam proses belajar tetap memerlukan reward, sedangkan hukuman akan
lebih efektif apabila menyebabkan murid itu belajar (Soemanto, 1990: 119). John B. Watson
adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar Ivan Pavlov
dengan teorinya Sarbon (Stimulus and Response Bond Theory). Watson berpendapat bahwa
belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau responrespon bersyarat melalui stimulus
pengganti. Menurutnya, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional
MICROTEACHING: MODEL TADALURING 31 berupa takut, cinta dan marah. Semua
tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus respons baru melalui
”conditioning” (Soemanto, 1990: 118). Jadi, menurut Watson, belajar dipandang sebagai cara
menanamkan sejumlah ikatan antara perangsang dan reaksi (asosiasi-asosiasi tunggal) dalam
sistem susunan saraf (Winkel, 1991: 381).
Dari berbagai pendapat pakar behavioris, dapat ditarik benang merah antara pendapat yang
satu dengan yang lainnya, walaupun pada hakikatnya sama. Semua pakar behavioris sepakat
bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulus dan respon. Akan tetapi, Thorndike
menggunakan trial-and-error sebagai pemecahannya. Sedangkan Pavlov dan Skinner
membentuk pembiasaan tingkah laku dengan bantuan reinforcement (penguatan). Sementara
Guthrie berpandangan bahwa hasil belajar itu bukan karena banyaknya hubungan stimulus dan
respon, akan tetapi dikarenakan dekatnya hubungan antara keduanya. Watson sebaliknya,
memandang bahwa belajar merupakan menanamkan rangkaian asosiasi-asosiasi ke dalam sistem
susunan saraf. Secara filosofis, behavioristik meletakkan manusia dalam kutub yang berlawanan,
dimana seharusnya manusia bersifat dinamis, akan tetapi dituntut untuk bersifat mekanistik.
Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa teori belajar behaviorisme dapat mendasari
pelaksanaan kegiatan pembelajaran Microteaching. Semakin siap mahasiswa dalam
melaksanakan kegiatan Pembelajaran Microteaching, maka akan timbul kepuasan bagi
mahasiswa dalam melaksanakan ketiatan tersebut. Semakin sering mahasiswa berlatih dan
mengulangi suatu keterampilan dasar mengajar maka akan semakin dikuasainya keterampilan
dasar mengajar tersebut. Semakin merasakan kepuasan mahasiswa dalam melakukan berbagai
bentuk latihan mengajar maka akan semakin tinggi motivasi mahasiswa untuk mengulangi
berbagai bentuk lahitan yang disenanginya. Disamping itu penulis juga memililiki pandang
bahwa teori belajar behavioristik tepat digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran
Microteaching. Latihan demi latihan dan pengulangan 32 MICROTEACHING: MODEL
TADALURING demi pengulangan diharapkan akan mampu mengoptimalkan keterampilan
dasar mengajar yang hendak dikuasai.
B. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura pada tahun 1969, seorang
psikolog berkebangsaan Amerika lulusan Universitas Stanford Amerika Serikat. Rahyudi (2012:
97-98) mengatakan bahwa teori belajar sosial menekankan pada komponen kognitif dari pikiran,
pemahaman dan evaluasi. Definisi pembelajaran sosial adalah proses pembelajaran atau perilaku
yang dibentuk melalui kontek sosial. Satu asumsi paling awal dan mendasar dari teori
pembelajaran sosial Bandura adalah manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari beragam
kecakapan bersikap maupun berperilaku dan bahwa titik pembelajaran terbaik dari semua ini
adalah pengalaman-pengalaman yang tak terduga (vicarious experiences). E. Bell Gredler (1994:
370) mengatakan bahwa menurut teori belajar social, hal yang amat penting ialah kemampuan
individu untuk mengambil sari informasi dari tingkah laku orang lain, memutuskan tingkah laku
yang mana yang akan diambil dan nanti untuk melaksanakan tingkah laku tersebut. Menurut
teori pembelajaran social, disamping belajar melalui pengalaman langsung seseorang juga dapat
belajar sesuatu secara tidak langsung melalui pengamatan terhadap orang lain (Rahyudi, 2012:
100). Salah satu kontribusi utama Albert Bandura pada pengembangan teori pembelajaran social
adalah hasil penelitiannya tentang observational learning (belajar melalui pengamatan). Bandura
menyakini bahwa tindakan mengamati memberikan ruang bagi manusia untuk belajar tanpa
berbuat apapun, manusia belajar dengan mengamati perilaku orang lain. Banyak perilaku yang
ditampilkan seseorang itu dipelajari atau dimodifikasi dengan memperhatikan dan meniru
model. Model yang dimaksud adalah seseorang yang patut dicontoh atau patut dijadikan
pelajaran dan “cermin”. (Rahyudi, 2012: 100).
MICROTEACHING: MODEL TADALURING 33 Bandura mendapati bahwa proses belajar
kepada model (modelling) dapat menimbulkan dampak yang lebih banyak dari pada sekedar
membuat orang belajar perilaku spesifik. Inti dari belajar melalui obserbasi adalah modelling,
peniruan atau meniru sesungguhnya tidak dapat untuk mengganti kata modelling, karna
modelling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan seseorang model
(orang lain), tetapi modelling melibatkan penambahan atau pengurangan tingkah laku yang
teramati, mengeneralisir berbagai pengamatan, sekaligus melibatkan proses kognitif. Menurut
Bandura dalam Dahar (2011: 23) fase belajar melalui modelling terdiri dari empat fase, yaitu
fase perhatian, fase retensi, fase reproduksi dan fase motivasi. Fase belajar melalui modelling
tersebut dapat digambarkan pada flow chart berikut ini. Gambar 3 Fase Belajar Melalui
Modelling Fase pertama ialah memberikan perhatian pada suatu model. Pada umumnya siswa
memberikan perhatian pada model-model yang menarik, berhasil, menimbulkan minat dan
populer. Inilah sebabnya mengapa banyak siswa meniru baik pakaian, rata rambut para bintang
film sebagai contoh. Fase berikutnya adalah retensi atau proses mengingat kembali apa yang
pernah mereka alami dari model. Sering kali dilakukan oleh mahasiswa calon guru yang
mempersiapkan pembelajaran mereka yang pertama.
Dari guru pamong atau guru model, mahasiswa berupaya mencontoh dan menyamakan
prilaku sebagaimana model yang dikedepankan, seperti cara berdiri di depan kelas, bagaimana
membuka pelajaran, menuliskan konsep 34 MICROTEACHING: MODEL TADALURING atau
kata-kata baru di papan tulis, memberikan rangkuman dan sebagainya. Fase reproduksi
merupakan suatu proses dimana kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing
penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh. Pada fase reproduksi ini
membutuhkan adanya reinforcement atau feedback terhadap perilaku yang ditampilkan. Sebagai
contoh guru telah memodelkan bagaimana prosedur membuka dan menutup kegiatan
pembelajaran, kemudian mahasiswa calon guru mengulangi langkah-langkah dan prilaku yang
telah dicontohkan. Dalam proses pengulangan tersebut kadang kala seluruh atau sebagian dari
prilaku telah sesuai dengan model yang diberikan dan sebagiannya lagi belum. Untuk itu
diperlukan adanya feinforcement atau feedback. Fase akhir dari belajar melalui model adalah
motivasi, para siswa akan meniru suatu model sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat
demikian mereka anak mengingkatkan kemungkinan untuk memperolah reinforcement. Fase
motivasi sering kali terdiri atas pujian dan angka untuk penyesuaian dengan model yang
diberikan. Berdasarkan beberapa pandangan tentang teori belajar sosial di atas dapat dipahami
bahwa seseorang dapat belajar dengan baik melalui proses imitasi dari sebuah model. Proses
belajar melalui model terjadi melalui empat fase yaitu yaitu fase perhatian, fase retensi, fase
reproduksi dan fase motivasi. Dengan demikian penulis menyakini bahwa tindakan mengamati
memberikan ruang bagi mahasiswa untuk belajar berbagai perilaku yang ditampilkan dalam
model tersebut. Perilaku yang ditampilkan seseorang dipelajari atau dimodifikasi dengan
memperhatikan dan meniru model tersebut. Dengan demikian pembelajaran Microteaching dapat
diawali dengan proses mengamami berbagai model-model mengajar yang dipandang baik
dijadikan sebagai contoh.
C. Teori Belajar Konstruktivis Revolusi
konstruktivis memiliki akar yang kuat di dalam sejarah pendidikan. Konstruktivis lahir dari
gagasan Piaget dan Vigotsky, keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
MICROTEACHING: MODEL TADALURING 35 terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah
dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidak seimbangan dalam upaya memahami
informasi-informasi baru. Piaget dan Vygotsky juga menekankan adanya hakikat social dalam
belajar dan keduanya menyarankan untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan
kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan pengertian
atau belajar. Teori belajar konstruktivis (constructivist theories of learning) adalah teori yang
menyatakan bahwa siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan
informasi yang kopleks, mengecek informasi yang baru dibandingkan dengan aturan yang lama
dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi (Nur, 2000: 2). Berdasarkan teori
konstruktivis tersebut bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep
yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya. Siswa secara
rutun bekerja dengan kelompok untuk saling memecahkan masalah-maslah yang kompleks.
Siregar, (2010: 39) mengatakan bahwa teori konstruktivisik memahami belajar sebagai proses
pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si pebelajar itu sendiri.
Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saya dari otak seseorang guru kepada orang lain (siswa). Menurut Slavin
(1997: 225) salah satu konsep dasar dalam teori konstruktivisme adalah cooperatif learning,
pendekatan kooperatif berguna agar siswa dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugastugas
dan dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif dalam ZPD siswa. Nur
(2000: 4-6) mengidentifikasi empat prinsip kunci yang diturunkan dari teori konstruktivis
Vygotsky, yaitu pertama adalah penekanannya pada hakekat social dari pembelajaran. Ia
mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan dorongan orang dewasa dan teman
sebaya yang lebih mampu. Konsep kunci kedua adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling
baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka (Zone of Proximal 36
MICROTEACHING: MODEL TADALURING Development, ZPD).
Anak akan bekerja dalam zona perkembangan terdekat mereka pada saat mereka terlibat
dalam tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila
dibantu oleh teman sebaya atau orang dewasa. Konsep ketiga menekankan pada kedua-duanya,
hakekat sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan kognitif. Istilah
ini mengacu pada proses dimana seseorang sedang belajar secara tahap demi tahap memperoleh
keahlian dalam interaksinya denga seorang pakar, pakar itu bisa orang dewasa, orang yang lebih
tua atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya. Keempat, teori Vygotsky
menekankan bahwa scaffolding atau mediated learning atau dukungan tahap demi tahapan untuk
belajar dalam pemecahan masalah. Konsep learning community sabagai salah satu paham teory
Vygotsky menyarakan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seorang yang telibat
dalam masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan
sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya (Nurhadi, 2002: 15).
Berdasarkan beberapa pandangan belajar menurut ahli konstruktivistik di atas dapat disimpulkan
bahwa terbentuknya pengetahuan dan keterampilan pada anak jika anak itu sendiri secara aktif
mengkonstruk penetahuannya melalui berbagai pengalaman yang bermakna. Kegiatan
pembelajaran bermakna dapat dilakukan melalui learning community atau belajar dalam
kelompok-kelompok yang saling bekerja sama. Dalam pembelajaran Microteaching
mengharapkan adanya proses latihan yang bersifat berkelanjutan serta proses kerja sama dalam
rangka penguasaan keterampilan dasar mengajar. Dengan demikian penerapan teori
konstruktivistik dalam pembelajaran Microteaching dapat dapat meningkat-kan penguasaan
keterampilan dasar teacher trainee. MICROTEACHING: MODEL TADALURING 37
D. Teori Komunikasi
Setiap orang memerlukan komunikasi dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya, proses komunikasi tersebut
menggunakan kata-kata, bahasa, symbol-simbol, gambar dan sebagainya agar orang yang diajak
komunikasi (komunikan) dapat mengerti pesan apa yang disampaikan oleh si penyampai pesan
(komunikator). Seperti yang dikatakan oleh Bernard dan Steiner (Mulyana, 2007: 68),
komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan
menggunakan symbol-symbol, kata-kata, gambar, figur, grafik dan sebagainya. Tindakan atau
roses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. Menurut Hovland dalam (Mulyana,
2007: 68), komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)
menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang
lain (comunicate). Dapat diartikan bahwa dalam penyampaian-penyampaian pesan dengan
menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
orang lain. Menurut Rogers dalam (Mulyana, 2007: 69), komunikasi adalah proses dimana suatu
ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah
tingkah laku mereka.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan untuk
mempengaruhi dan merubah perilaku seseorang. Pawito dan C Sardjono (1994: 12) mencoba
mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dengan mana suatu pesan dipindahkan atau
dioperkan (lewat suatu saluran) dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud mengubah
perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan atau perilaku overt lainnya.
Sekurangkurangnya didapati empat unsur utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the
source), pesan (the message), saluran (the channel) dan penerima (the receiver). Wilbur
Schramm dalam Suprapto (2006: 2-3) menyatakan komunikasi sebagai suatu proses berbagi
(sharing process). Komunikasi berasal dari kata-kata (bahasa) Latin communis yang berarti 38
MICROTEACHING: MODEL TADALURING umum (common) atau bersama. Pada saat
berkomunikasi, sebenarnya komunikator sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan
(commonnes) dengan komunikan, berusaha berbagai informasi, ide atau sikap.
Komunikasi sebenarnya adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi
memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu. Hovland (1953)
mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is
the process to modify the behavior of other individuals), akan tetapi seseorang akan dapat
mengubah sikap pendapat atau perilaku orang lain apabila komuniksinya itu memang benar-
benar bersifat komunikatif. Harold Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk
menjelaskan komuniksi adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut: What says what in which
channel to whom with what effect? (Lasswell, 1972). Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa
komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
Komunikator (communicator, source, sender), Pesan (message), Media (channel, media),
Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) dan Efek (effect, impact,
influence). Teori komunikasi Harold Lasswell di atas kemudian dipopulerkan oleh David K.
Berlo yang dikenal dengan model SMCR yaitu kepanjangan dari Source (sumber), Message
(pesan), Channel (Saluran) dan Receiver (penerima). Menurut Berlo (Mulyana, 2007: 162)
mengemukakan bahwa sumber adalah pihak yang menciptakan pesan, baik seseorang ataupun
suatu kelompok. Pesan adalah terjemahan gagasan ke dalam kode simbolik, seperti bahasa atau
isyarat; saluran adalah medium yang membawa pesan; dan penerima adalah orang yang menjadi
sasaran komunikasi. Unsur-unsur dalam proses komunikasi ini melipuiti: 1) Sender:
Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. 2) Encoding:
Penyandaian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. 3) Message: Pesan
yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. 4)
Chanell: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. 5)
Decoding: Penguraian sandi, MICROTEACHING: MODEL TADALURING 39 yakni proses di
mana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator
kepadanya. 6) Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. Berdasarkan
beberapa pandapat di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses
penyampaian pesan dari sumber pesan ke penerima pesan, dengan kata lain mengkomunikasikan
pesan sehingga apa yang dipikirkan oleh komunikator sama dengan apa yang dipikirkan oleh
komunikan.
Dalam proses komunikasi mengandung unsur sumber pesan, pesan itu sendiri, saluran dan
penerima pesan. Kegiatan komunikasi tidak dapat dilepaskan dari sebuah proses pembelajaran,
karena dalam kegiatan pembelajaran adanya pesan yang hendak disampaikan oleh guru kepada
siswa, penyampaikan pesan tersebut dapat dilakukan melalui proses komunikasi. Agar
terwujudnya komonikasi yang efektif dalam pembelajaran, komunikator harus memperhatikan
beberapa hal yaitu: 1) Semua komponen dalam komunikasi pembelajaran diusahakan dalam
kondisi ideal/baik, 2) Proses encoding dan decoding tidak mengalami pembiasan arti/makna, 3)
Penganalogian harus dilakukan untuk membantu membangkitkan pengertian baru dengan
pengertian lama yang pernah mereka dapat, 4) Meminimalisasi tingkat gangguan (barrier/noise)
dalam proses komunikasi mulai dari proses penyandian sumber (semantical), proses
penyimbolan dalam software dan hardware (mechanical) dan proses penafsiran penerima
(psychological), 5) Feedback dan respons harus ditingkatkan intensitasnya untuk mengukur
efektifitas dan efisiensi ketercapaian, 6) Pengulangan (repetition) harus dilakukan secara
kontinyu maupun progresif, 7) Evaluasi proses dan hasil harus dilakukan untuk melihat
kekurangan dan perbaikan dan 8) 4 aspek pendukung dalam komunikasi; fisik, psikologi, sosial
dan waktu harus dibentuk dan diselaraskan dengan kondisi komunikasi yang sedang berlangsung
agar tidak menghambat proses komunikasi pembelajaran (Miftah, 2012: 7) Pembelajaran
Microteaching sebagai bagian dari kegiatan belajar tentunya tidak terlepas dari proses
komunikasi. Desen pem- 40 MICROTEACHING: MODEL TADALURING bimbing seringkali
berperan sebagai sumber pesan sementara mahasiswa yang sedang berlatih sebagai penerima
pesan, feedback yang diberikan oleh desen sebagai pesan yang dikomunikasikan. Disisi lain
mahasiswa yang sedang berlatih juga dapat berperan sebagai komunikator dan rekannya sebagai
komunikan, sementara materi pembelajaran yang diberikan merupakan pesan yang
dikomunikasikan. Dengan demikian komunikasi dalam pembelajaran Microteaching terjadi
antara dosen pembimbing dengan mahasiswa calon guru yang sedang berlatih, mahasiswa
dengan mahasiswa pada saat kegiatan berlatih, atau kelompok mahasiswa dengan dosen
pembimbing.
E. Teori Desain Pembelajaran Berbasis Web (DPBW)

Seiring perkembangan zaman, pemanfaatan internet untuk berbagai kepentingan di Indonesia


terus berkembang. Perkembangan teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan
memungkinkan berbagai kegiatan dilaksanakan dengan cepat, tepat dan akurat, sehingga pada
akhirnya dapat meningkatkan produktivitas. Perkembangan teknologi informasi sekarang ini
memunculkan berbagai jenis kegiatan berbasis pada teknologi ini, termasuk dalam bidang
pendidikan. Dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, maka saat ini sudah
dimungkinkan dan banyak diterapkan proses belajar jarak jauh dengan menggunakan internet
untuk menghubungkan mahasiswa dan dosen, melihat jadwal kuliah, mengirimkan berkas tugas
perkuliahan, melihat nilai, konsultasi dan bahkan melakukan diskusi.
Melalui media pembelajaran berbasis web materi pembelajaran dapat diakses kapan saja dan
dari mana saja, di samping itu materi juga dapat diperkaya dengan berbagai sumber belajar
termasuk multimedia. Media pembelajaran berbasis web dapat dikembangkan dari yang sangat
sederhana sampai yang kompleks. Sebagian media pembelajarn berbasis web hanya dibangun
untuk menampilkan kumpulan materi, sementara forum diskusi atau tanya jawab dilakukan
melalui e-mail atau milist. Implementasi dengan cara MICROTEACHING: MODEL
TADALURING 41 tersebut terhitung sebagai media pembelajaran berbasis web yang paling
sederhana Sistem instruksional didesain dengan tujuan utama untuk meningkatkan efektivitas
pembelajaran. Secara operasional, sistem instruksional memerlukan teori-teori belajar yang
sebagai dasar pijakan aplikasi dan kemungkinan pengembangan sistem. Begitu juga dengan
sistem instruksional media online learning, sebagai media penyampaian, harus disadari bahwa
online learning bukanlah faktor tunggal yang menentukan kualitas pembelajaran. Perkembangan
teknologi komunikasi dewasa ini memungkinkan pembelajaran dapat terjadi dimana dan kapan
saja tanpa batas, waktu, jarak dan tempat. Perkembangkan sarana prasarana teknologi
komunikasi dan informasi dapat dimanfaatkan dalam berbagai situasi pembelajaran saat ini.
Terdapat sejumlah istilah pembelajaran berbasis web yaitu e-learning, online learning yang juga
merupakan sinonim dari Web Based Instruction (WBI). Darmansyah (2010: 128) menjelaskan
bahwa, pembelajaran berbasis web secara konseptual lebih dekat pada sistem pembelajaran jarak
jauh. Mesikipun pembelajaran dapat dilaksanakan secara langsung, tetapi keberadaan pendidik
dan perserta didik pada tempat yang berbeda. Artinya pembelajaran berbasis web menggunakan
konsep dasar belajar jarak jauh.
Teori belajar merupakan landasan utama dalam desain pembelajaran berbasis web. Teori
belajar memberikan landasan kuat terhadap kajian bagaimana seorang individu belajar.
Landasan tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk merancang desain pembelajaran berbasis
web. Desain pembelajaran berbasis web atau Web-Based instruction Design (WBID) memiliki
sejumlah elemen yang menjadi prinsip sebagai dasar dalam pembelajaran jarak jauh.
Rammussen & Shivers (2003) mengedepankan lima landasan dalam pembelajaran berbasis web,
yaitu: teori belajar, teori sistem, teori komunikasi, model design instruksional dan konsep belajar
jarak jauh. 42 MICROTEACHING: MODEL TADALURING Gambar 4 Landasan Teoretis
Pembelajaran Berbasis Web Sumber: Dikutip dari Darmansyah (2010,129) Rammussen &
Shivers (2003) menyatakan bahwa Web-Based instruction Design (WBID) dilandasi oleh tiga
teori belajara yaitu: teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif dan teori belajar
konstruktivis. Teori belajar behavioristik mencakup practice, reinforcement, punishment, active
learning, shaping dan modeling. Teori kognitif terdiri dari discovery learning, learner centered,
meaningfulness, prior knowledge dan active learning. Sementara teori belajar konstruktivis
terdiri dari scaffolding, zone of proximal development dan learning in social context. Teori
behavioristik merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian teori ini berkembang menjadi
aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Aliran ini diperkenalkan oleh beberapa
ahli seperti Jhon B Watson, Ivan Pavlov, BF Skinner, El Thorndike, Bandura dan Tolman.
MICROTEACHING: MODEL TADALURING 43 Behaviorisme menganggap bahwa belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000: 143). Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Hal yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh
karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat.
Begitu pula bila respon dikurangi/ dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin lemah (Darmansyah, 2010: 131). Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses
belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak
selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Menurut Jerome Bruner yang
mengeluarkan Information processing theory dalam mempelajari manusia, ia menganggap
manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa belajar
itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan
dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang disebutnya
sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang
tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangun- 44
MICROTEACHING: MODEL TADALURING nya dan model-model itu diadaptasikan pada
kegunaan bagi orang itu. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan
belajarnya.
Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat
sebagai tingkah laku yang nampak (Agus Salim, 2010). Teori kognitif berpandangan bahwa
belajar merupakan suatu proses interaksi yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi
dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir
yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang
diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di
dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Konsep dalam teori kognitif Bruner memberikan rekomendasi dalam DPBW; (1) Proses mental,
(2) Membangun ide baru berdasarkan skemata yang telah ada, (3) Memberikan kesempatan
berpikir analisis, (4) Berdasarkan tindakan, (5) Berdasarkan image, (6) Berdasarkan simbol
(bahasa) dan (7) Pembelajaran bermakna. Kemudian berdasarkan Component Display Theory
(CDT) yang dipopulerkan oleh Meriil teori ini adalah sebuah upaya untuk mengidentifikasi
komponen strategi pembelajaran yang dapat dibangun. Menurutnya CDT adalah sebuah
kerangka analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen strategi pembelajaran.
Prinsip dasar CDT adalah didasarkan pada asumsi “kondisi belajarnya” Gagne yakni terdapat
berbagai jenis hasil pembelajaran dan masingmasing jenis hasil pembelajaran memerlukan
kondisi khusus untuk belajar. Kemudian Reigeluth mengeluarkan teori elaborasi tentang desain
pembelajaran. Ia berpendapat bahwa konten yang dipelajari harus diatur secara tertib dari yang
sederhana sampai ke yang kompleks, sambil menyediakan konteks yang berarti dimana ide-ide
berikutnya dapat diintegrasikan. Pendekatan dalam teori ini merekomendasikan bahwa konsep,
prinsip atau tugas paling sederhana MICROTEACHING: MODEL TADALURING 45 yang
harus diajarkan terlebih dahulu. Selanjutnya diajarkan konsep, prinsip dan tugas-tugas yang
lebih luas, lebih inklusif mengarah ke yang lebih rinci dan rumit. Kemudian kaitannya dengan
DPBW adalah pembelajaran dibuat berurutan dari yang sederhana ke yang kompleks, urutan
konsep sesuai dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik dan melakukan penyederhanaan
terhadap konsep yang kompleks. Learning by doing theory yang diusung oleh Roger Shank
menggambarkan bahwa belajar dengan menggunakan harus lebih banyak digunakan pada situasi
dimana sebelumnya pembelajaran formal dipandang sebagai satu-satunya solusi praktis.
Pembelajaran dengan menggunakan learning by doing memberikan kesempatan kepada perserta
didik untuk melakukan inovasi mandiri berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki.
DPBW memang sangat tepat menggunakan pendekatan learning by doinng karena
karakteristiknya lebih banyak mengarahkan pada perolehan keterampilan.
Pengalaman yang diperoleh peserta didik melakukan sambil belajar akan membantu mereka
dalam daya ingat dan dapat disesuaikan dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Oleh
karena itu DPBW direkomendasikan untuk dirancang; (1) Melakukan, (2) Pemberian tugas yang
berulang, (3) Membuat variasi, (4) Melakukan perbaikan terhadap kesalahan, (5) Memilih dan
membuang yang tidak perlu. Kemudian structure learning theory yang diusung oleh Albert
Bandura fokusnya adalah untuk memilih ranah masalah dan memilih struktur yang harus
diketahui oleh peserta didik. Masalah dipecah menjadi komponen dasar yang biasanya disebut
sebagai komponen atom dan bagian paling dasar dari tingkat tersebut, betul-betul merupakan
bagian yang harus dipelajari peserta didik dan dijadikan sebagai ranah kompetensi. Scandura
mengatakan bahwa teori ini sangat bermanfaat dalam pembelajaran individual. Dengan demikian
sebagaimana yang telah diuraikan bahwa DPBW itu merupakan pembelajaran individual maka
rancangan DPBW dengan landasan teori ini lebih kepada pemecahan materi ajar menjadi bagian-
bagian kecil. Dan bagian yang kecil itu menjadi inti kompetensi yang harus 46
MICROTEACHING: MODEL TADALURING dipelajari siswa. Dengan demikian rancangan
DPBW sebaiknya lebih menekankan pada individu, menentukan inti kompetensi, materi dibuat
dalam bagian kecil dan pengintegrasian materi secara bertahap menuju tingkat yang lebih tinggi.
Pembentukan pengetahuan menurut model konstruktivisme memandang subjek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan
struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya.
Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang
diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri
terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi (Martinis Yamin, 2008: 2). Hal
terpenting dalam teori konstruktivisme bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus
mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka,
bukannya guru atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa
akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Pengetahuan
dalam pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang logis dan tinggi.
Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan gagasan, gambaran, pandangan akan
sesuatu atau gejala sederhana. Dalam konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang
punya arti lain dengan arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus selalu pengalaman fisis seseorang
seperti melihat, merasakan dengan indranya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu
berinteraksi secara pikiran dengan suatu obyek.
Dalam konstruktivisme siswa sendiri yang aktif dalam mengembangkan pengetahuan.
Adapun prinsip pembelajaran konstruktivis adalah sebagai berikut (Darmansyah, 2010: 145-
147); (1) Belajar adalah sebuah proses aktif, (2) Belajar membangun dua makna, (3) Belajar
tindakan penting MICROTEACHING: MODEL TADALURING 47 membangun makna mental,
(4) Belajar bahasa pembelajaran, (5) Belajar adalah suatu kegaiatan sosial, (6) Belajar adalah
peristiwa kehidupan yang kontekstual, (7) Belajar membutuhkan pengetahuan, (8) Dibutuhkan
waktu untuk belajar dan (9) Motivasi adalah komponen utama dalam pembelajaran. Selanjutnya
ada beberapa orang ahli yang menguraikan tentang teori konstruvistik diantaranaya adalah
seperti teori Zone Proximal development yang diusung oleh Lev Vygotsky yang mengatakan
bahwa anak mengikuti teladan orang dewasa dan secara bertahap mengembangkan kemampuan
untuk melakukan tugastugas tertentu tanpa bantuan atau dengan nmenggunakan bantuan.
Bagi Vygotsky perkembangan individu merupakan hasil dari budayannya dan ini berlaku
untuk perkembangan mental seperti pikiran, bahasa dan proses penalaran. Menggunakan
landasan ZPD theory dalam DPBW memberikan peluang untuk merancang materi lebih dekat
dengan pengalaman peserta didik. Materi dalam DPBW disusun sesuai dengan
perkembangannya agar peserta didik dengan cepat memahaminya. Kemudian teori Scaffolding
yang dikeluarkan oleh Vygotsky mengatakan bahawa betapa pnetingnya sutau bantuan dalam
membangun pengetahuan peserta didik. Belajar menurut teori ini adalah pembelajaran yang
membantu siswa dan siswa lain untuk belajar, agar lebih mudah berinteraksi dan saling belajar
satu sama lain melalui bantuan seorang guru sebagai fasilitator. Dalam merancang DPBW
dengan landasan teori ini adalah sedapat mungkin materi diberikan dengan membuka
kesempatan kepada peserta didik, belajar secara bertahap dari yang paling ssederhana ke yang
kompleks. Dimulai dengan apa yang dekat dengan pengalaman peserta didik dan membangun
pengalaman baru secara bertahap. Lee Andresen, David Boud dan Ruth Cohen dalam
Darmansyah (2010), mengusung teori berdasarkan pengalaman yang menempatkan pengalaman
peserta didik pada posisi sentral dalam semua pertimbangan. Pengalaman ini dapat berupa
peristiwa sebelumnya pada peserta didik. Sebaiknya DPBW dirancang dengan 48
MICROTEACHING: MODEL TADALURING mensyaratkan pengalaman sebelumnya sebagai
prasyarat. Dengan demikian dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik secara aktif
membangun pengalaman mereka sendiri. Berikutnya adalah teori Problem-based Learning
(PBL) yang dikeluarkan oleh Engel, Macdonald dan Issacs. Mengatakan bahwa suatu metode
pembelajaran dan pelatihan yang ditandai oleh adanya masalah nyata sebagai sebuah konteks
bagi para peserta didik untuk belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta
memperoleh pengetahuan. Menurut mereka karakteristik khas PBL ini adalah berpusat pada apa
yang peserta didik lakukan bukan pada yang dosen lakukan. PBL dapat dilakukan dengan
berbagai langkah diantaranya menyampaikan ide, menyajikan fakta yang diketahui, mempelajari
masalah, menyusun rencana tindakan dan evaluasi. Anchor Instruction Theory yang diusung
oleh Jhon Bransford berfokus pada pengembangan alat video disc interaktif yang mendorong
siswa dan guru untuk memecahkan masalah kompleks dan realistis.
Tujuan utama penggunaan alat video iini adalah untuk menciptakan pembelajaran yang
menarik, realistik dan kontekstual yang mendorong terjadinya pengembangan pengetahuan
peserta didik. Berdasarkan hal tersebut maka rancangan DPBW harus dibuat dalam bentuk studi
kasus atau bentuk situasi masalah. Artinya DPBW harus menyediakan adanya kegiatan
interaktif, misalkan pertanyaan, soal dan kuis yang dapat diakses oleh peserta didik secara
interaktif. Jean Lave mengusung teori situated learning theory yang berpendapat bahwa belajar
adalah fungsi dari aktifitas, konteks dan budaya dimana pembelajaran terjadi. Hal ini berbeda
dengan sebagian besar kegiatan belajar dikelas yang banyak melibatkan pengetahuan abstrak dan
berada di luar konteks. Dengan demkikian SLT memiliki prinsip yang diterapkan dalam DPBW
yaitu pembelajaran perlu menyajikan pengetahuan dalam konteks sosial peserta didik dalam
bentuk aplikasi yang biasanya dan belajar membutuhkan interaksi sosial dan kolaborasi.
Cognitive Apprenticesip Learning Theory yang di populerkan oleh A.Collins, Js Brown dan
Sussan E. Newman mengatakan bahwa MICROTEACHING: MODEL TADALURING 49
peserta didik bekerja dalam tim pada proyek-proyek atau masalah yang dengan bantuan
instruktur. Menurut mereka teori ini termasuk dalam pembelajaran sosial kognitif yang mana
teori ini fokus pada pembelajaran yang diarahkan melalui pengalaman kognitif, keterampilan
dan proses metakognitif. Discovery Learning Theory yang dipopulerkan oleh Jerome Bruner
yang berpendapat bahwa DLT percaya cara yang terbaik bagi peserta didik untuk mendapatkan
pengetahuan tentang fakta-gakta, prinsip untuk diri mereka adalah dengan menemukannya
sendiri. Dengan demikian DPBW seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta didik
dapat memahami struktur materi penbelajaran yang sedang dipelajari. Materi pembelajaran
memberikan dorongan kepada peserta didik untuk aktif dan setiap saat mampu menggunakan
lebih banyak penalaran. Landasan WBID kedua yaitu teori sistem, Andrews & Goodson (1980)
mendefenisikan bahwa teori sistem sebagai bagian-bagian yang saling berhubungan dalam suatu
model kerja sama untuk membangun suatu produk yang lengkap dengan car yang logis. Secara
umum terdapat dua bentuk sistem yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Rothwell & Kazanas
(2004) menjelaskan bahwa sistem tertutup adalah sesuatu yang yakin dengan diri sendiri tidak
termasuk elemen-elemen ekternal seperti lingkungan. Sebaliknya sistem terbuka lingkungan
merupakan bagian yang begitu menyakinkan untuk mempengaruhi proses, input, output yang
terkait dalam sistem. Darmansyah (2010: 167) menjelaskan bahwa landasan teori sistem pada
DPBW adalah untuk memberikan pondasi terhadap desain pembelajaran dengan konsep sistem.
Materi ajar yang dirancang dalam DPBW seharunya mempertimbangkan berbagai elemen
komponen dalam sistem pembelajaran, komponen yang dimaksud adalah materi ajar, strategi
pem
belajaran media, guru (fasilitator), peserta didik, fasilitas pendukung dan lingkungan.
Pengaruh yang paling besar dari teori sistem terhadap DPBW adalah sebagaiaman diperlihatkan
pada sebuah prosedur yang dilaksanakan secara sistematis yang memungkinkan DPBW dapat 50
MICROTEACHING: MODEL TADALURING diakses melalui iterasi. Hal ini dimaksudkan
untuk sebagai produk yang diimplementasikan dalam pembelajaran. Landasan teori sistem pada
DPBW adalah untuk memmberikan pondasi terhadap desain pembelajaran dengan konsep
sistem, materi ajar yang dirancang dalam DPBW seharusnya mempertimbangkan berbagai
elemen dan kompnen dalam pembelajaran Landasan ketiga dari WBID model yaitu teori
komunikasi. Richey dalam Romussen (1968) menyatakan bahwa teori komunikasi menjelaskan
proses penyampaian informasi, bentuk dan struktur informasi serta fungsi dan pengaruh
informasi. Komunikasi berpengaruh terhadap bagaimana pesan diciptakan dan didistribusikan
dari instruktur, antara perserta didik dan pengaruhnya terhadap diri sendiri.
Grabowsky (1995) menjelaskan bahwa desain pesan merupakan salah satu langkah proses
pengembangan yang membawa spesifikasi cetak biru desan pembelajaran dalam detail yang
lebih besar. Seperti cetak biru untuk sebuah rumah yang tidak memiliki spesifikasi sentuhan
akhir tentang warna, penempatan furniture. Pembelajaran tidak selalu memberikan spesifikasi
bentuk pesan yang harus diambil. Pembahasan mengenai teori komunikasi juga tidak terlepas
dari teori sistem yang telah dipaparkan sebelumnya. Teori sistem adalah salah satu bidang studi
yang memainkan peran penting dalam perkembangan teori komunikasi. Bertalanffy (1968)
menyatakan bahwa teori sistem komunikasi manusia diperlakukan sama dengan semua
komunikasi lainnya baik itu sistem teknik (seperti telepon sistem) fenomena komunikasi fisik
seperti cahaya atau proses transfer energy, sistem biologis hidup, atau seluruh sistem social.
Darmansyah (2010: 170) menyampaikan bahwa prinsip-prinsip dasar komunikasi adalah sama
tanpa memperhatikan apakah orang berurusan dengan sistem, mesin, manusia, atau mahluk
hidup lainnya. Komunikasi adalah salah satu prinsip dimana alat dikombinasikan dengan sistem
lingkungan eksternal. Pada tahun 1949 Shannan dan Weaver diilhami oleh perkembangan teori
sistem dan komunikasi baru sibernetika, mem- MICROTEACHING: MODEL TADALURING
51 perkenalkan sebuah model dengan julukan teori informasi.
Komunikasi merupakan hasil beroperasinya elemen-elemen dalam sebuah sistem informasi
yaitu sumber pesan yang diteruskan oleh saluran ke penerima pesan. Saluran tersebutlah yang
sangat mempengaruhi sistem informasi. Saluran tersebut diistilahkan dengan Bandwidth.
Kapsitas bandwidth mempengaruhi tingkat informasi yang dapat disampaian. Besarnya ukuran
bandwidth yang tersedia akan mempengaruhi seberapa cepat dia dapat mendownload data.
Model Desain Instruksional (MDI), merupakan bagian yang tak terpisahkan dari desain
pembelajaran berbasis Web. Darmansyah (2010: 173) menyatakan bahwa MDI dijadikan
sebagai landasan dalam merancang DPBW baik konten, strategi penyampaian dan bentuk
evaluasi berpola pada MDI. Model pembelajaran DPBW menggunakan pola yang sama dengan
model-model pembelajaran lainnya. Hanya saja dalam DPBW ada penekanan terhadap konsep
yang mengarah pada pembelajaran jarak jauh. Menggunakan model desain intruksional adalah
suatu keharusan karena landasan DPBW secara hakikatnya tidak berbeda dengan konsep
embelajaran lainnya. Konsep akhir yang mendasari DPBW adalah pendididikan jarak jauh
(distance learning). Rasmussen & Shivers (2003) menjelaskan bahwa distance learning dengan
bukan distance learning terletak pada waktu dan tempat terjadinya pembelajaran, hal tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut ini. Gambar 5 Perbedaan Waktu dan Lokasi BJJ Lokasi Sama
Berbeda Waktu Sama Bukan Pendidikan Jarak Jauh Pendidikan Jarak Jauh Berbeda Pendidikan
Jarak Jauh Pendidikan Jarak Jauh 52 MICROTEACHING: MODEL TADALURING Gambar di
atas menyajikan bahwa pembelajaran jarak jauh (distance learning) dapat diidentifikasi
berdasarkan waktu dan lokasi terjadinya pembelajaran. Pembelajaran jarak jauh dapat terjadi
pada waktu yang sama dengan tempat yang berbeda, waktu berbeda dengan lokasi yang sama,
atau waktu yang berbeda dengan tempat yang berbeda. Darmansyah (2010: 184) menjelaskan
bahwa Distance Learning atau pembelajaran jarak jauh adalah bidang pendidikan yang berfokus
pada pedagogi dan andragogi, teknologi dan desain sistem instruksional yang bertujuan untuk
memberikan pendidikan kepada peserta didik yang tidak secara fisik berada di lokasi tertentu
dalam waktu yang sama. Ini telah digambarkan sebagai suatu proses untuk membuat dan
menyediakan akses untuk belajar ketika sumber informasi dan peserta didik dipisahkan oleh
waktu dan jarak, atau keduanya.
Dengan kata lain, pembelajaran jarak jauh adalah proses menciptakan pendidikan
pengalaman kualitas yang sama bagi peserta didik terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka di
luar kelas. Teknologi Pembelajaran jarak jauh menjadi banyak digunakan di universitas-
universitas dan lembaga pendidikan di seluruh dunia. Tren kemajuan teknologi pembelajaran
jarak jauh menjadi lebih diakui untuk potensialnya dalam memberikan perhatian individual dan
komunikasi dengan mahasiswa. Kutipan teori pedagogis dari pendidikan jarak jauh adalah "jarak
transaksional".

Anda mungkin juga menyukai