Anda di halaman 1dari 97

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
buku dengan judul “Teori Pembelajaran IPA”. Buku ini berisi materi-materi mengenai
teori pembelajaran IPA antara lain; teori belajar kognitif, teori belajar humanistik, teori
belajar behavioristik, teori belajar konstruktivistik, teori belajar sibernetik, dan teori
belajar kecerdasan ganda. Masing-masing teori belajar akan memaparkan mengenai
sejarah, pengertian, tokoh-tokoh penganut teori belajar, dan implementasinya dalam
pembelajaran IPA. Selain itu, buku ini juga berisi model pembelajaran antara lain
PjBL, PBL, Discovery learning, dan CLIS. Buku ini disusun untuk memberikan
wawasan dan pengetahuan kepada pembaca mengenai Teori Pembelajaran IPA.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak terkait demi penyempurnaan
penyusunan buku ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan dalam buku
ini, oleh karena itu dengan kerendahan hati Penulis menerima masukan berupa saran
dan kritik membangun dari para Pembaca. Besar harapan Penulis, semoga buku ini
bermanfaat bagi semua dan pihak-pihak terkait.

Semarang, 3 April 2023


Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL................................................................................................. xii
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB 2. TEORI BELAJAR KOGNITIF ............................................................... 8
BAB 3. TEORI BELAJAR HUMANISTIK ....................................................... 25
BAB 4. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK ................................................. 40
BAB 5. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK ......................................... 40
BAB 6. TEORI BELAJAR SIBERNETIK ......................................................... 40
BAB 7. TEORI BELAJAR KECERDASAN GANDA ...................................... 40
BAB 8. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM PEMBELAJARAN IPA ....................................................................... 70
GLOSARIUM ........................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 71
BAB 1
PENDAHULUAN

IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) adalah pengetahuan khusus dengan melakukan


pengamatan, penelitian, penyimpulan, penyusunan teori dan seterusnya berkaitan
antara cara yang satu dengan cara yang lainnya (Wulandari, 2017). IPA bukan hanya
penguasaan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip
saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan (Sugiharti & Sukowati, 2020). IPA
merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang dimaksudkan agar siswa
mempunyai pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar,
yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah antara lain
penyelidikan, penyusunan dan penyajian gagasan. Pada prinsipnya, mempelajari IPA
sebagai cara mencari tahu, cara mengerjakan, dan membantu siswa untuk memahami
alam sekitar secara lebih mendalam.
Dalam proses pembelajaran IPA, munculnya kesulitan untuk memahami suatu
konsep merupakan hal yang wajar. Hal ini menggambarkan bahwa siswa sedang
melakukan proses berpikir. Siswa berusaha untuk mengintegrasikan informasi baru ke
dalam struktur kecerdasan yang dimiliki. Pengetahuan awal setiap siswa tidak sama
sehingga kesulitan yang dimiliki setiap anak pasti berbeda. Seorang guru harus mampu
mengenali dan memahami kesulitan yang dihadapi siswa. Karena jika dibiarkan
kesulitan-kesulitan tersebut tidak lagi menjadi hal yang wajar, melainkan menjadi
masalah yang dapat menghambat perkembangan intelektual anak. Berpikir untuk
berubah berarti belajar untuk berubah. Tidak hanya mementingkan kecerdasan semata
tetapi juga sikap dan motivasi siswa untuk mengikuti proses pembelajaran bahkan
meningkatkan hasil belajar. Motivasi dari dalam diri siswa membantu untuk berpikir,
berperilaku, dan bertindak. Selain motivasi dalam diri siswa, peningkatan mutu
pendidikan juga perlu dilakukan.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu proses yang harus dilakukan
secara terus menerus untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar dan berbagai
faktor yang terkait dengannya, dengan tujuan agar tujuan pendidikan dapat tercapai
secara efektif dan efisien. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan kualitas manusia seutuhnya merupakan misi pendidikan yang
menjadi tanggung jawab profesional setiap guru. Pendidikan berorientasi mutu ini
menghadapi berbagai tantangan yang tidak dapat diatasi dengan paradigma lama.
Tujuan utama peningkatan mutu adalah tercapainya tujuan pendidikan, yang
diwujudkan dalam kemampuan utuh peserta didik. Proses belajar mengajar menempati
posisi yang sangat penting dan menentukan kualitas pendidikan (Adha et al., 2019).
Belajar adalah proses mengubah tingkah laku sebagai hasil interaksi individu
dengan lingkungannya. Perubahan perilaku terhadap hasil belajar bersifat
berkesinambungan, fungsional, positif, aktif, dan terarah. Proses perubahan perilaku
dapat terjadi dalam berbagai kondisi berdasarkan penjelasan para ahli pendidikan dan
psikologi. Sedangkan pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dan
pendidik, dengan bahan pelajaran, metode penyampaian, strategi pembelajaran, dan
sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Kemudian, keberhasilan dalam proses
belajar dan pembelajaran dapat dilihat melalui tingkat keberhasilan dalam mencapai
tujuan pendidikan. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, dapat dikatakan bahwa
guru telah berhasil dalam mengajar. Dengan demikian, efektifitas suatu proses belajar
ditentukan oleh interaksi antar komponen tersebut (Wicaksana et al., 2022). Tujuan
pembelajaran dapat dicapai salah satunya dengan cara memilih dan menerapkan teori
belajar yang sesuai di kelas.
Teori belajar merupakan suatu gabungan prinsip yang berhubungan satu sama
lain dan penjelasan dari sejumlah fakta serta penemuan yang saling berhubungan
mengenai peristiwa belajar (Pratama, 2019). Apabila penerapan teori belajar
dilaksanakan dengan langkah-langkah yang benar tentu dapat mempermudah siswa
dalam mempelajari sesuatu yang dipelajari. Selain itu, suasana belajar akan terasa lebih
menyenangkan. Teori belajar pada dasarnya menjelaskan tentang bagaimana proses
belajar terjadi pada seorang individu. Artinya, teori belajar akan membantu dalam
memahami bagaimana proses belajar terjadi pada individu sehingga dengan
pemahaman tentang teori belajar tersebut akan membantu guru untuk
menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik, efektif, dan efisien sehingga
siswa dapat belajar dengan lebih optimal. Dengan demikian, teori belajar dalam
aplikasinya sering digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk membantu siswa
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
Teori belajar penting diketahui oleh para pendidik dan calon pendidik. Hal ini
disebabkan, pemahaman guru terhadap sebuah teori belajar akan mempermudah
seorang guru dalam menerapkannya dalam proses pembelajaran. Dengan menguasai
teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik setidaknya guru dapat
memahami apa dan bagaimana sebenarnya proses belajar itu terjadi pada diri peserta
didik, sehingga guru dapat mengambil tindakan pedagogik dan edukatif yang tepat bagi
penyelenggaraan pembelajaran. Proses belajar merupakan suatu proses perubahan yang
terjadi pada diri seseorang yang melakukan proses belajar namun tidak sapat dilihat
secara jelas, tetapi dapat dilihat dari perubahan perilaku yang terjadi pada oarang
tersebut. Teori belajar berfungsi sebagai: 1) petunjuk dan sumber-sumber stimulasi
bagi penelitian dan pemikiran ilmiah lebih lanjut, 2) simplifikasi atau garis-garis besar
pengetahuan mengenai hukum-hukum dan proses belajar, dan 3) menjelaskan secara
konsep dasar apa itu belajar dan mengapa proses belajar dan pembelajaran dapat
berlangsung.
Teori pembelajaran IPA terdiri atas; teori belajar kognitif, teori belajar
humanistik, teori belajar behavioristik, teori belajar konstruktivistik, teori belajar
sibernetik, dan teori belajar kecerdasan ganda. Masing-masing teori belajar pada buku
ini akan memaparkan mengenai sejarah, pengertian, tokoh-tokoh penganut teori
belajar, dan implementasinya dalam pembelajaran IPA. Selain teori belajar, juga
terdapat model-model pembelajaran PjBL (project based learning), PBL (problem
based learning), Discovery learning, dan CILS (Children learning in science). Masing-
masing model pembelajaran akan memaparkan pengertian, karakteristik, kelebihan,
kekurangan, dan implementasinya dalam pembelajaran IPA. Dengan mempelajari
buku ini, calon guru diharapkan mampu menciptakan iklim belajar di kelas dengan baik
dan mampu membawa siswa ke dalam kegiatan belajar mengajar yang baik.
BAB 2
TEORI BELAJAR KOGNITIF

A. Sejarah
Sebelum kelahiran teori kognitivisme, teori behaviorisme sangat mendominasi
teori-teori belajar selama kurang lebih satu abad. Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa sebagian besar teori belajar yang kita kenal saat ini berasal dari kaum
behaviorisme salah satunya adalah teori operant conditioning yang dirumuskan oleh
B.F Skinner. Dalam behaviorisme, seluruh perilaku manusia dapat dipahami sebagai
respon atau tanggapan terhadap stimuli eksternal. Behaviorisme menekankan pada
konsekuensi dari perilaku dimana pelajar akan mengulangi perilakunya jika diberi
ganjaran (Nada, 2019).
Di awal tahun 1920an, orang mulai menemukan keterbatasan yang dalam
behaviorisme terkait dengan pemahaman pembelajaran. Menurut kaum kognitivisme,
behaviorisme dipandang tidak dapat menjelaskan secara pasti mengenai perilaku
sosial. Selain itu, behaviorisme juga tidak dapat menjelaskan motivasi yang terjadi
dalam diri individu. Salah satu kritik pertama terhadap kaum behaviorisme berasal dari
para ahli psikologi Gestalt selama dekade pertama abad 20 yang terkait dengan
ketergantungan kaum behaviorisme secara ekslusif kepada perilaku yang terbuka atau
yang tampak. Pandangan psikologi Gestalt tentang pembelajaran yang mempengaruhi
pendekatan baru di luar beheviorisme dan meletakkan dasar-dasar prinsip yang kita
kenal sekarang sebagai teori-teori belajar kognitif.
Teori kognitivisme lahir sebagai bentuk kritik terhadap teori behaviorisme.
Dalam pandangan kognitivisme, manusia bukanlah makhluk yang bersikap pasif
terhadap lingkungan melainkan makhluk yang selalu berusaha untuk memahami
lingkungannya. Di tahun 1960an, behaviorisme sebagai paradigma pembelajaran yang
sangat dominan sebelumnya perlahan mulai digantikan dengan kognitivisme.
Kognitivisme bukanlah merupakan hasil pemikiran satu orang melainkan sekumpulan
dari beberapa teori, diantaranya adalah Edward C. Tolman (Teori Pembelajaran
Tanda), Jean Piaget (Teori Pengembangan Kognitif Individu), Lev Vygotsky (Teori
Perkembangan Kognisi Sosial), Leon Festinger (Teori Disoansi Kognitif), David
Ausubel (Teori Asimilasi), Robert Gagne (Kondisi Pembelajaran), Richard Anderson
(Teori Skema), Max Wertheimer (Psikologi Gestalt), Charles Reigeluth (Teori
Elaborasi), dan Joseph Novak (Concept Mapping).

B. Pengertian
Definisi “Cognitive” berasal dari kata “Cognition” yang mempunyai persamaan
dengan “knowing” yang berarti mengetahui. Dalam arti yang luas kognisi adalah
perolahan penataan, penggunaan pengetahuan (Rahman & Rahman, 2019). Teori
belajar kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu
sendiri. Baharudin menerangkan teori ini lebih menaruh perhatian dari pada peristiwa-
peristiwa Internal. Belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon sebagaimana dalam teori behaviorisme, lebih dari itu belajar dengan teori
kognitivisme melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks (Rahmah, 2022).
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar
kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya (Nurhadi, 2020).
Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekadar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang
mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus respon, model belajar
kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model
perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku sesesorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Perubahan belajar merupakan persepsi dan pemahaman yang
tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak (Nurhadi, 2020).
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari sistuasi saling
berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau
membagi-bagikan situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil
dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini
berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan,
retensi, pengolahan infirmasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar
merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat komplek. Proses
belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan
menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk
dalam diri sesorang berdasarkan pemahman dan pengalaman sebelumnya. Dalam
praktik pembelajaran, teori kognitif tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “tahap-
tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh
Ausubel, pemahaman konsep oleh Bruner, hirarki belajar oleh Gagne, webteacing oleh
norman dan sebagainya.
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses
yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat
dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas (Nurhadi, 2020).
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar
tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar
merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus menerus
sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan
“pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai
masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan
dan sebagainya (Nurhadi, 2020).

C. Tokoh-tokoh
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori kognitif dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Jean Piaget (1896-1980)
Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan
kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur
seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami
adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-
perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan
kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan
bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula
secara kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar terdiri dari 3 tahap, yakni asimilasi, akomodasi
dan equilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi
baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian
struktur kognitif ke dalam siatuasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah
penyesuaian kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi (Suzana dkk., 2021).
Apabila seseorang memperoleh kecakapan intelektual, maka akan berhubungan dengan
proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui
pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman
atau persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru,
keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi
dengan lingkungannya.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya
sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses
penyeimbangan atau ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif
seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya
tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak
logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam
struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi
struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan
kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget,
proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai
dengan umumnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui
berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di
luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini
menjadi empat yaitu, tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun), tahap praoperasional (umur
2-7/8 tahun), tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.

2. Jerome Bruner (1915-2016)


Tokoh selanjutnya dalam teori kognitif adalah Jerome Bruner. Beliau adalah
seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi
kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
a. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi
rangsangan.
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realis.
c. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri atau pada orang lain memalui kata-kata atau lambang tentang apa yang akan
dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak-
anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
e. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat
komunikasi antara manusia. Untuk memhami konsep-konsep yang ada diperlukan
bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang
lain.
f. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa
alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas
yang berurutan dalam berbagai situasi.
Bruner mengembangkan teorinya yang disebut free discovery learning. Teori ini
menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu aturan (termasuk
konsep, toeri, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang yang
menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Peserta didik dibimbing
secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum (Widyantari, 2020).
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi
pertama adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Bruner
percaya bahwa orang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif,
perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan
informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan sebelumnya (Wisman, 2020).
Bruner menyatakan untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya
jangan menggunakan penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif peserta didik.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic:
a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
b. Tahap ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-
gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitamya
anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tamp) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa,
logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan
menggunakan banyak sistem simbol. Makin matang seseorang dalam proses
berpikirnya, makin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia
tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam
kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem
enaktif dan konik dalam proses belajar.
3. David Ausubel (1918-2008)
Salah satu pakar yang mengemukakan teori belajar kognitif adalah David Paulus
Ausubel. Beliau adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang memberi penekanan
pada belajar bermakna dan juga terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Struktur
kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang
mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit
konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa
perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang
telah dimiliki peserta didik. Yang paling awal mengemukakan konsepsi ini adalah
Ausubel. Menurut Ausubel, peserta didik akan belajar dengan baik jika isi pelajaran
(instructional content) sebelumnya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada peserta didik (advance orginizer). Dengan demikian,
mempengaruhi pengaturan kemajuan belajar peserta didik.
Advance orginizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi semua
isi pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik. Advance orginizer dapat
memberikan tiga macam manfaat, yaitu menyediakan suatu kerangka konseptual untuk
materi yang akan dipelajari, sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang
sedang dipelajari dan yang akan dipelajari, dan dapat membantu peserta didik untuk
memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu, pengetahuan guru terhadap isi
pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan
informasi yang sangat abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang sedang
diajarkan. Guru harus memiliki logika berpikir yang baik, agar dapat memilah materi
pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat serta
mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami
(Ratnawati, 2016).
Ausubel mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi, yaitu: dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau maten pelajaran yang disajikan pada peserta
didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana
peserta didik dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah
ada. Informasi yang dikomunikasikan pada peserta didik dalam bentuk belajar
penerimaa yang menyejikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk
belajar penemuan yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri materi
yang akan diajarkan. Dan pada tingkatan kedua, peserta didik mengaitkan informasi itu
pada pengetahuan yang dimilikinya, hal inilah yang dinamakan dengan belajar
bermakna (Subakti dkk., 2022).

4. Implementasi Teori Belajar Kognitif dalam Pembelajaran IPA


Teori kognitif menekankan pada proses perkembangan peserta didik. Meskipun
proses perkembangan peserta didik mengikuti urutan yang sama, namun kecepatan dan
pertumbuhan dalam proses perkembangan itu berbeda. Dalam proses pembelajaran,
perbedaan kecepatan perkembangan mempengaruhi kecepatan belajar peserta didik,
oleh sebab itu interaksi dalam bentuk diskusi tidak dapat dihindarkan. Pertukaan
gagasan menjadi tanda bagi perkembangan penalaran peserta didik. Perlu disadari
bahwa penalaran bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun
perkembangannya dapat disimulasikan.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar
yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal.
Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak
digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan
tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam
pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam
proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi peserta didik.
Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirya
b. Anak usia para sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda konkret.
c. Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam belajar amat
d. Dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan peserta didik maka proses
asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
e. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkatkan
pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si
belajar.
f. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
g. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik. Tugas guru adalah menunjukkan
hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui
peserta didik.
h. Adanya perbedaan individual pada diri peserta didik perlu diperhatikan, karena
faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik. Perbedaan
tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir. Pengetahuan
awal, dan sebagainya.
Proses kognitif siswa diperoleh dari dalam diri melalui kemampuan berpikir
kritis untuk mendapat pengetahuan. Dimana siswa mampu membandingkan dua atau
lebih informasi yang bertujuan untuk mendapat pengetahuan berdasar dari pengalaman
secara langsung dengan melakukan uji terhadap kebenaran ilmiah (Setyowati & Subali,
2011). Prinsip pokok implementasi belajar dengan teori kognitif dilihat dari
keberhasilan siswa yang mampu beradaptasi pada materi, strategi, ataupun media yang
dipakai guru sebagai fasilitas mengembangkan kognisi siswa melalui pengalamannya
terhadap interaksi pada lingkungan. Hal ini berarti, guru harus dapat memahami
kebutuhan kognisi siswa agar tercapai indikasi belajar berkualitas dan tidak sia-sia
(Frimina, 2017).
Implementasi atau implikasi teori kognitif dapat diterapkan dalam pembelajaran
IPA, karena sejalan dengan Badi’ah (2021) yang mengatakan bahwa teori kognitif
terhubung dengan proses belajar. Teori ini cenderung memprioritaskan proses belajar
daripada hasil belajar. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan misalnya IPA dapat
ditumbuhkan berdasarkan kemauan diri siswa melalui proses yang berkesinambungan
bersama dengan lingkungan dan terjadi proses interaksi.
a. Implementasi Teori Kognitif dalam Pembelajaran IPA menurut Jean Piaget
1) Diawali dengan hal yang konkrit seperti menggunakan panca indera dengan
tanda kutip berdoa dan menyapa.
2) Guru memberikan arahan pada siswa mengenai materi ke IPA-an misalnya
asal-usul makhluk hidup.
3) Agar lebih berkesan dan masuk ke memori siswa, guru memberikan variasi
pengajaran, seperti memperlihatkan media video ataupun alat peraga.
4) Guru selalu memperhatikan dan meyakinkan siswa apabila dijumpai
pertanyaan ataupun kebingungan.
5) Guru memberi kesempatan pada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya
maupun teman sekelasnya terkait materi yang telah disampaikan.
b. Implementasi Teori Kognitif dalam Pembelajaran IPA menurut Vygotsky
1) Guru menyampaikan tujuan dan motivasi siswa dalam belajar, misalnya dalam
materi pesawat sederhana dan melakukan percobaan bidang miring, siswa
mampu menjelaskan prinsip pesawat sederhana. Kemudian, guru dan siswa
terlibat diskusi mengenai aplikasi pesawat sederhana.
2) Guru menyajikan informasi dengan menampilkan video macam-macam
pesawat sederhana.
3) Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.
4) Guru membimbing semua kelompok dan memperhatikan setiap siswa dalam
kelompok dengan memberikan darahan dalam pelaksanaan proses praktik
dengan mengarahkan jawaban soal yang diberikan.
5) Mengevaluasi dengan mempresentasikan hasil jawaban diskusi.
6) Guru memberikan penghargaan pada masing-masing kelompok, seperti tepuk
tangan, dsb.
c. Implementasi Teori Kognitif dalam Pembelajaran IPA menurut Jerome S. Brunner
1) Guru menyiapkan materi dan tujuan pembelajaran, misalya konsep energi dan
fotosintesis.
2) Guru menentukan topik apa saja yang akan dipelajari siswa, missal proses
fotosintesis.
3) Dalam hal ini guru bisa mengajak siswa melihat tumbuhan hydrilla ataupun
guru memberikan ilustrasi yang menggambarkan mekanisme fotosisntesis pada
tumbuhan.
4) Guru meemberi penugasan terkait fotosistesis yang berguna untuk membantu
siswa dalam belajar.
5) Mengevaluasi proses belajar pada saat usai pembelajaran.
d. Implementasi Teori Kognitif dalam Pembelajaran IPA menurut Kurt Lewin
1) Dalam proses pembelajaran yang terjadi didalamnya berlangsung proses
pembembangan pada struktur kognitif, dimana saat guru menyampaikan materi
kalor, siswa mendapat insight baru dan perubahan kognitif siswa terhadap kalor
juga akan berubah.
2) Adanya hadian dan hukuman. Nilai yang baik bagi siswa pada umumnya
menjadi suatu hal yang diinginkan (hadiah), siswa dengan kognisi yang
dimilikinya berusaha memahami materi kalor agar mendapat nilai yang baik.
Sedangkan tugas ataupun pr diberikan guru dianggap sebagai hukuman karena
akan membebadi siswa di rumah.
3) Masalah berhasil dan gagal. Secara psikologis, ketika siswa merasa sudah
memahami materi kalor maka ada perasaan berhasil menyelesaikan materi yang
diajarkan. Sedangkan, bagi siswa yang masih belum memahami materi kalor
akan merasa gagal dan itu akan menjadi problem yang menghambat pikologis
siswa.
e. Implementasi Teori Kognitif dalam Pembelajaran IPA menurut Ausubel
1) Siswa diminta untuk melengkapi LKPD mengenai konsep kemagnetan guna
mencari dan menganalisis konsep kemagnetan, induksi elektromagnetik, dan
pemanfaatan medan magnet dalam kehidupan sehari-hari.
2) Siswa diminta untuk membaca salah satu materi IPA kemudian mejawab
pertanyaan dari buku yang telah dibaca.

Pada dasarnya setiap teori dan tokoh yang menganut aliran teori kognitif
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menurut Nurhadi (2020),
secara umum, kelebihan dan kekurangan teori kognitif antara lain:
a. Kelebihan Teori Belajar Kognitif
1) Menjadikan siswa lebih kreatif serta mandiri karena guru memfasilitasi siswa
memahami materi secara lebih mudah
2) Secara awam kurikulum di Indoenesia menerapkan teori kognitif yang lebih
mengutamakan pada pengembangan pengetahuan siswa pada tiap individu
3) Apabila menerapkan teori ini, guru dapat memaksimalkan ingatan siswa
ketika menulas materi yang telah sdisampaikan sebelumnya, karena salah satu
ciri dari pembelajaran kognitif adalah memori atau daya ingat siswa
4) Metode pembelajaran kognitif guru memberikan dasar acuan materi pada
siswa, selanjutnya guru hanya membimbing dan memantau aktivitas dari
siswa
5) Siswa dituntut untuk kreatif dari suatu hal menjadi hal yang baru menjadi lebih
baik lagi

b. Kekurangan Teori Belajar Kognitif


1) Teori ini kurang tersebar untuk dapat diimplementasikan ke semua jenjang
Pendidikan
2) Ingatan pada siswa tidak bisa disamaratakan, sehingga hanya siswa yang
menonjol dengan ingatan yang bagus yang dapat mengaplikasikan teori ini
dengan baik
3) Kreativitas dan eksplorasi tiap siswa juga berbeda-beda. Oleh karena itu, guru
benar-benar harus memperhatikan kemampuan tiap siswa
4) Ketika guru menerapkan satu metode saja yaitu teori kognitif, belum tentu
semua siswa akan mengerti materi sepenuhnya
5) Apabila menerapkan teori kognitif, maka perlu diperhatikan juga kemampuan
siswa dalam mengembangkan materi yang diterimanya
BAB 3
TEORI BELAJAR HUMANISTIK

A. Sejarah
Munculnya aliran humanis yaitu sebagai gerakan besar yang terjadi pada rentang
tahun 1950-an hingga 1960-an. Pada zaman itu dikenal dengan zaman renaisnas atau
zaman kebangkitan kembali. Selain itu zaman tersebut juga dikenal dengan zaman
pemikiran, perkembangan filsafat dan ilmu, serta kebangkitan pada manusia setelah
sekian lama dikekang oleh dogma dogma agama. Perlawanan terhadap dogma agama
adalah salah satu alasan munculnya teori humanistic. Beberapa contohnya seperti
Desiderius Erasmus dan Sir Thomas More yang memprotes gereja karena gereja
memerintah manusia harus taat pada doktrin agama, perampasan kebebasan berpikir
untuk diri sendiri yang mengakibatkan kerusakan martabat manusia (Manik dkk.,
2022).
Istilah humanisme merupakan berbagai jalan pikiran yang berbeda dan
memfokuskan ke jalan keluar dalam permasalahan dan isu-isu pada manusia.
Humanisme bisa dikatakan doktrin yang beretika karena cakupannya luas hingga
mencakup semua etnisitas manusia. Hal berbeda pada sistem-sistem tradisional yang
hanya berlaku pada kelompok tertentu (Haerazi, 2018). Suatu pendapat yang didukung
oleh data dan argumentasi sebagai dasar merupakan pengertian dari teori. Sedangkan
proses untuk memperoleh pengetahuan adalah pengertian dari belajar. Belajar adalah
suatu perubahan yang terdapat pada individu dan disebabkan oleh pengalaman. Belajar
bisa terjadi dengan macam-macam cara, seperti disengaja dan tidak disengaja. Menurut
W.S. Winkel, belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung pada
interaksi aktif dengan lingkungan, hasilnya yaitu sejumlah perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat relatif
konstan dan berbekas (Ghofur, 2019).
Pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan
pendidikan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, ini jika dilihat melalui
aliran humanistik. Manusia memiliki keinginan alami untuk berkembang, lebih baik,
dan juga belajar. Supaya insting ini tidak mati, maka sekolah harus berhati-hati. Jika
anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum merak siap mempelajarinya secara
fisiologis dan keinginan, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Peran guru dalam
aliran ini adalah sebagai fasilitator, fungsinya untuk membantu siswa dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi. Guru di sini bukan sebagai konselor ataupun
pengelola perilaku seperti dalam behavorisme.
Beberapa pakar dalam teori humanistik yaitu Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Potensi pelajar dan kesediaan moral sangat dipentingkan dalam teori humanistik. Fokus
dalam teori ini yaitu pada perkara yang berkaitan dengan pelaku secara langsung.
Maslow (1984) pernah membuat pernyataan, bahwa jika keperluan psikologi tidak
dipenuhi oleh individu, maka jiwa individu tersebut akan terganggu dan tidak tentram.
Sekiranya keperluan harus dipenuhi sepenuhnya maka akan secara langsung individu
tersebut bisa termotivasi diri sendiri dan ke peringkat yang lebih atas agar mencapai
tahap kesempurnaan diri (Yahaya & Chu, 2010).

B. Pengertian
Istilah Humanistik berasal dari kata latin humanitas (pendidikan manusia) dalam
bahasa Yunani disebut Paideia, pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang
hendak menempatkan seni liberal yang dijadikan materi atau sarana utamanya. Kata
humanistik pada hakikatnya berbentuk kata sifat yang menitikberatkan pada
pendekatan di dalam pendidikan. Pendidikan humanistik memfokuskan pada
pendidikan yang menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan
kelompok di dalam. Dengan demikian hakikat pendidikan sesungguhnya untuk
mengembangkan harkat dan martabat manusia (human dignity) atau memperlakukan
manusia sebagai humanizing human sehingga menjadi manusia sesungguhnya.
(Yuliandri, 2017).
Teori belajar humanistik merupakan salah satu teori belajar yang paling abstrak
diantara teori belajar yang ada, karena teori ini lebih banyak membicarakan gagasan
tentang belajar yang paling ideal dari pada memperhatikan apa yang bisa dilakukan
dalam keseharian. Teori belajar humanistik memiliki tujuan untuk memanusiakan
manusia. Belajar dalam teori humanistik dikatakan berhasil jika peserta didik bisa
memahami lingkungan dan dirinya sendiri (mencapai aktualisasi diri). Berbeda dengan
teori belajar behavioristik dan teori belajar kognitif, yang terpenting dari teori belajar
humanistik adalah menekankan pada kehidupan kejiwaan manusia, di dalamnya
terdapat potensi-potensi manusia yang khas dan istimewa yang perlu diberdayakan.
Teori humanistik lebih mengedepankan sisi humanis manusia dan tidak menuntut
jangka waktu pembelajar mencapai pemahaman yang diinginkan, akan tetapi lebih
menekankan pada isi atau materi yang harus dipelajari agar membentuk manusia
seutuhnya. Proses belajar dilakukan agar pembelajar mendapatkan makna yang
sesungguhnya dari belajar atau yang disebut Ausubel sebagai meaningful learning.
Meaningful learning bermakna bahawa belajar adalah mengasosiasikan pengetahuan
baru dengan prior knowledge (pengetahuan awal) si pembelajar (Insani, 2019).
Teori belajar humanistik merupakan teori yang menyatakan bahwa manusia
berhak mengenali dirinya sendiri sebagai langkah untuk belajar, sehingga diharapkan
mampu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang untuk
belajar secara optimal. Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika
si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-
baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya (Umam, 2019).
Pengaplikasian-pengaplikasian teori humanistik hanya bisa diterapkan atau
ditampilkan di dalam pembelajaran saja, hal ini karena keterbatasan waktu dan ruang.
Beberapa contoh pengaplikasian teori humanistik yaitu:
1. Pendidikan Terbuka.
Yaitu proses pendidikan yang memberi kesempatan murid untuk bisa bergerak
secara bebas. Tempatnya yaitu di sekitar kelas dan aktivitas belajarnya dipilih
mereka sendiri. Ciri-ciri tipe pembelajaran ini yaiyu murid bekerja secara sendiri
ataupun dengan kelompok kecil.
2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif
Yaitu untuk meningkatkan dorongan prestasi murid diperlukan pondasi yang baik.
Tipe pembelajaran kooperatif memiliki tiga karakteristik.
3. Belajar yang Terpusat Pada Siswa atau Students Centered Learning
Yaitu penempatan peserta didik dengan strategi secara aktif dan mandiri, dan bisa
bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan siswa. Harapan dari
pembelajaran ini yaitu siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir secara
kritis dan juga sistem dukungan sosial bagi pembelajaran siswa. Siswa juga harus
bisa menentukan gaya belajar yang menurutnya efektif.
4. Pembelajaran Mandiri atau Independent Learning
Yaitu murid dituntut menjadi subjek yang merancang, mengontrol, mengatur, dan
bertanggung jawab atas kegiatan mereka sendiri. Subjek dan metode instruksional
tidak digantungkan dalam proses ini.

C. Tokoh-tokoh
Menurut (Ekawati & Yarni, 2019) teori belajar humanistik ini dipelopori oleh
Abraham Maslow, Arthur Combs, dan Carl Rogers. Berikut ini merupakan penjelasan
dari masing-masing pelopor.
a. Abraham Maslow
Abraham Maslow memberikan pernyataan bahwa seseorang yang berperilaku
pada dasaranya ditujukan dalam memenuhi kebutuhan yang sifatnya hirarkis. Maslow
memiliki kepercayaan bahwa manusia bergerak untuk memahami dan menerima
dirinya sebisa mungkin. Teori ini juga terkenal dengan sebutan teori hirarki kebutuhan
Moslow. Maslow mwmberikan penjelasan bahwa manusia termotivasi dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan tersebut memiliki tingkatan dari
yang terendah (dasar/fisiologi) sampai yang tertinggi (aktualisasi diri) (Insani, 2019).
Maslow merupakan pelopor teori humanistik yang terkenal dengan teori kebutuhan
(Hierarchy of Needs). Adapun 5 kebutuhan manusia yang disampaikan oleh Maslow,
yaitu:
1. Kebutuhan fisiologi/dasar, seperti makan dan minum.
2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram, seperti terhindar dari tindakan kriminal,
ejekan dari orang lain, dan binatang buas, serta lainnya.
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, seperti bagaimana rasanya dianggap
sebagai komunitas sosialnya.
4. Kebutuhan untuk dihargai, seperti rasa bagimana dibutuhkan orang lain dalam hal
kepercayaan dan tanggung jawab.
5. Kebutuhan aktualisasi diri dalam membuktikan dan menunjukkan dirinya pada
orang lain.
Berikut ini merupakan pokok dari pemikiran Abraham Maslow untuk memahami
kebutuhan herarki yang dicetuskannya.
a. Suatu kebutuhan yang telah terpuaskan akan terhentikan sebgai suatu motivasi.
Contohnya ialah ketika seseorang yang menganggap dirinya telah diberikan upah
terkait konstibusinya terhadap suatu hal, maka upah tersebut akan kehilangan
kekuatannya dalam memotivasi dirinya.
b. Kebutuhan yang tidak terpuaskan memberikan suasana hati stress, banyak konflik,
dan frustasi. Kebutuhan yang tidak terpuaskan memberikan bahaya bagi dirinya
sendiri karena menyebabkan hasil kerja yang tidak diinginkan.
c. Maslow memberikan penjelasan bahwa orang memiliki kebutuhan untuk tumbuh
dan berkembang sebagai suatu akibat, dan akan terus berkembang ke atas dalam
hirarji untuk memenuhi kepuasan. Asumsi ini memberikan pernyataan yang benar
bagi Ssbagian orang dan tidak untuk sebagiannya lagi (Suprayetno, 2021).

b. Arthur Combs
Belajar dapat dikatakan berhasil apabila terdapat makna yang dapat dicapai oleh
peserta didik baik dari segi materi maupun dalam kehidupannya nanti. Pendidik tidak
memberikan materi yang bukan sesuai dan tidak disenangi oleh peserta didik dalam
kehidupannya. Sehingga pendidik mampu memahami tingkah laku dengan mengontrak
pada dunia peserta didik, maka terdapat perubahan perilakuyang membuat peserta
didik menjadi yakin pada hal positif tersebut. Combs juga menyatakan bahwa pendidik
sering salah dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pensisik akan sukses mengajar,
jika sudah mampu menyampaikan materi kepada siswa secara sistematik. Namun, hal
ini tidak menyatu pada materi pelajaran dengan tingkah laku peserta didik. Belajar bagi
peserta didik dapat membuat kepribadiannya baik dalam menganalisa permasalaha
dalam kehidupannya. Combs juga menjelaskan bahwa gambaran diri pada peserta didik
ialah lingkaran kecil dan dunia sebagai lingkaran yang besar. Menurut (Sulaiman &
Neviyarni, 2021), semakin jauh peristiwa tersebut dari diri peserta didik, maka semakin
berkurang pula pengaruh terhadap perilakunya. Jadi, suatu hal yang memiliki sedikit
hubungan dengan diri sendiri, maka semakin mudah dalam melupakannya.

c. Carl Rogers
Menurut (Susilawati, 2021) Carl R. Rogers merupakan seorang ahli psikologis
humanis yang gagasannya memiliki pengaruh terhadap pemikiran dan praktik
pendidikan. Rogers menyatakan bahwa saling toleransi dan tidak ada prasangka dalam
mengatasi suatu permasalahan dalam kehidupan. Pendidik harus mampu menekankan
pada proses pembelajaran supaya aktif, yaitu:
a. Membelajarkan manusia, artinya siswa tidak belajar mengenai materi-materi yang
tidak bermanfaat bagi diri mereka sendiri.
b. Siswa mempelajari materi bermakna bagi dirinya. Bahan pelajaran sudah
dikembangkan menjadi bentuk materi serta konsep varu sehingga terdapat makna
pembelajaran.
c. Penyusunan sistematik materi pengajaran berarti Menyusun materi dan konsep
baru menjadi materi yang mempunyai makna yang lebih tinggi bagi peserta didik.
d. Peserta didik belajar dengan kebermaknaanpada lingkungan modern yang ada di
sekitarnya dan dapat diartikan bahwa siswa belajar dengan suatu sistem yang baik.
Roger juga memberikan pernyataan mengenai ciri-ciri pendidik yang
memberikan fasilitas pada peserta didiknya, antara lain:
1. Merespon perasaan peserta didik.
2. Mengembangan ide-ide siswa dalam interaksi yang telah dirancang.
3. Dialog dan diskusi dengan siswa.
4. Menghargai peserta didik.
5. Perilaku dan perbuatan sesuai dengan baik.
6. Isi kerangka berpikir peserta didik disesuaikan (penjelasan memenuhi standar
kebutuhan siswa).
7. Memberikan senyuman pada peserta didik.
Menurut (Insani, 2019) teori ini lebih memiliki harapan dan optimis menganai
manusia karena manusia memiliki potensi yang lebih sehat dan maju. Selain itu, proses
belajar dapat membantu peserta didik dalam mencapai perwujudan dirinya sesuai
kemampuan dan keunikan yang dimiliki. Roger juga menyebutkan bahwa
kebermaknaan pembelajaran sangat berpengaruh pada proses belajar. Sesuai dengan
dasar teori ini, yaitu humanisme merupakan doktrin, sikap, dan cara hidup yang
menempatkan nilai-nilai sebagai pusat dan menekankan pada harga diri, kehormatan
dan kapasitas dalam merealisasikan diri untuk maksud tertentu sesuai dengan
pembelajaran yang manusiawi.

e. Implementasi Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran IPA


Dalam pembelajaran humanistik, guru dapat menghubungkan pengetahuan
akademik dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didiknya. Guru juga
harus mampu menunjukkan bahwa pelajaran tersebut dapat memenuhi keinginan
siswa. Kualitas belajar harus mencakup beberapa hal, yaitu keterlibatan siswa secara
personal, keinisiatifan, evaluasi oleh peserta didik itu sendiri, dan adanya efek yang
memberikan bekas pada diri siswa (Faiqoh & Baroroh, 2020). Peran utama seorang
guru dalam pandangan humanistik adalah sebagai fasilitator. Guru yang fasilitatif
mengurangi angka siswa yang bolos. Demikian juga meningkatkan angka konsep pada
diri siswa. Pembelajaran IPA menjadi humanistik apabila guru mampu mengaku dan
menempatkan atau memperlakukan siswa sebagai suatu subjek dalam proses
pembelajaran, yaitu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada konteks yang
wajar agar mereka mampu mengembangkan diri sehingga potensi dan sikap mampu
menuju taraf hidup yang lebih baik.
Implikasi atau aplikasi dari teori pembelajran humanistik ini sendiri ialah ketika
seorang siswa mendapatkan materi energi dan usaha, maka guru harus mampu menarik
minat dan perhatian siswa dengan memberikan suatu media pembelajaran yang unik
atau menarik agar siswa menjadi lebih ingin menganal dan mengetahui apa itu materi
energi dan usaha. Dalam hal ini, siswa harus melakukan praktik agar dapat mengetahui
bagaimana energi dan usaha yang kita miliki, apakah sesuai dengan materi yang ada?
Hal inilah yang akan menyebabkan ketertarikan siswa dalam materi ini. Guru juga
dapat menjadi suatu yang memberikan arahan, seperti motivator dan fasilitator untuk
siswanya. Dalam hal ini siswa disuruh untuk berkelompok untuk membahas bagaimana
materi energi dan usaha ini dan apa kaitanya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah
selesai berdiskusi, maka guru akan mengevaluasi hasil diskusi siswanya. Apabila
terdapat suatu murid atau kelompok yang belum paham atau mengerti mengenai apa
yang mereka diskusikan, maka guru tidak harus marah-marah, akan tetapi memberikan
nasihat dan juga perhatian lebih agar siswa tersebut dapat lebih paham dan dapat
menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, guru tidak boleh membedakan
muridnya baik dari kemampuan, keterampilan, pemahaman, dan lain sebagainya (Devi,
2021). Guru harus sabar menghadapi siswa yang kurang paham mengenai materi energi
dan usaha tersebut sehingga siswa dapat mengaktualisasikan dirinya di lingkungan
yang ditempatinya.
Contoh implementasi teori belajar humanistik pada pembelajaran IPA di SMP
yaitu:
1) Teori humanistik adalah sebuah teori yang memanusiakan manusia, di mana
seorang individu atau peserta didik dapat menggali kemampuanya sendiri untuk di
terapkan dalam lingkungannya. Berdasarkan teori David a. Kolb teori humanistik
tersebut memberikan penekanan pada pentingnya pengalaman belajar, seperti
eksperimen. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran IPA di SMP misalnya
dengan cara melakukan percobaan, pada materi listrik statis siswa melakukan
percobaan yaitu dengan menggosokkan penggaris plastik ke rambut kering selama
beberapa saat, kemudian didekatkan dengan potongan kertas yang telah disiapkan. Dan
hasil percobaan yaitu penggaris plastik akan menarik potongan kertas dan membuatnya
melekat di penggaris tersebut. Setelah melakukan percobaan tersebut peserta didik
dapat memahami materi berdasarkan pengalaman belajarnya.
2) Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran IPA di SMP seperti
menggunakan alat peraga optik. Alat peraga optik digunakan untuk menjelaskan
konsep pembentukan bayangan akibat adanya pemantulan dan pembiasan cahaya,
dengan setiap siswa secara langsung menggunakan alat peraga optik ini, siswa dapat
mengetahui bahwa pembentukan bayangan itu disebabkan oleh pemantulan dan
pembiasan cahaya, dan siswa dapat menerapkan dalam lingkungannya.
Alat peraga dalam mengajar memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk
menciptakan proses belajar mengajar yang efektif. Pemakaian alat peraga merangsang
imajinasi anak dan memberikan kesan yang mendalam dalam mengajar, panca indra
dan seluruh kesanggupan seorang anak perlu dirangsang, digunakan danlibatkan,
sehingga tak hanya mengetahui, melainkan dapat memakai dan melakukan apa yang
dipelajari. Penggunaan alat peraga sesuai dengan teori humanistik. Menurut teori
humanistik, tujuan proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya. Tujuan utama guru adalah membantu si siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang
ada dalam diri mereka (Widiyatmoko, 2013).
Kelebihan teori humanistik:
1. Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang berhubungan
dengan pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis
fenomena sosial.
2. Menurut aliran Humanisme: Individu cenderung memiliki kemampuan/keinginan
untuk berkembang dan percaya pada sifat biologis dan karakteristik lingkungan.
3. Indikator keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang, bersemangat,
berinisiatif dalam belajar dan mengubah sendiri cara berpikir, perilaku dan
sikapnya.
4. Siswa diharapkan menjadi orang yang bebas, tidak terikat dengan pendapat orang
lain.
5. Berurusan dengan pribadi secara bertanggung jawab tanpa membahayakan hak
orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.
6. Aliran humanisme tidak membenarkan pesimisme, dalam aliran humanisme
individu memiliki sifat optimis.
7. Teori humanistik sangat membantu pendidik untuk memahami arah pembelajaran
dalam dimensi yang lebih luas, sehingga setiap upaya pembelajaran dan dalam
setiap konteks selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Gagasan,
konsep, dan taksonomi tujuan yang diartikulasikan dapat membantu pendidik dan
guru memahami sifat jiwa manusia.
Kekurangan teori humanistik:
1. Siswa yang tidak mau menyadari potensi dirinya tertinggal dalam proses
pembelajaran.
2. Memberikan siswa terlalu banyak kebebasan.
3. Teori humanisme terlalu optimis hingga naif dan tidak memberikan akses ke sisi
buruk dari sifat manusia.
4. Teori humanisme, seperti teori psikodinamika, tidak dapat dengan mudah diuji.
5. Banyak konsep dalam psikologi humanisme, seperti orang yang telah berhasil
mengaktualisasikan diri, masih buram dan subjektif.
6. Beberapa kritikus membantah bahwa konsep ini mungkin mencerminkan nilai dan
cita-cita Maslow sendiri.
7. Psikologi humanistik dipecah menjadi nilai-nilai individualistis.
8. Teori humanisme telah dikritik karena sulit diterapkan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan dunia filsafat daripada dunia
pendidikan.
9. Menerapkan teori humanisme dalam pembelajaran, guru membimbing siswa untuk
berpikir secara induktif, menekankan pengalaman, dan membutuhkan partisipasi
aktif siswa dalam proses pembelajaran.
10. Teori humanisme masih sulit diterjemahkan ke dalam langkah-langkah praktis dan
operasional (Awalludin, 2021).
BAB 4
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

A. Sejarah
Teori belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman. Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang
membuthkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti:
kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak
yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung
seperti diberi permen atau puji.
Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran ini
disebabkan oleh adanya rasa tidak puas terhadap teori psikologi daya dan teori mental
state. Hal ini karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi kesadaran
saja. Fokus utama dalam konsep behaviorisme adalah perilaku yang terlihat
danpenyebab luar menstimulasinya. Menurut teori behaviorisme belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar jika dapat
menunjukkan perubahan perilaku.
B. Pengertian
Teori belajar behavioristik adalah suatu teori yang didasarkan dengan perubahan
perilaku peserta didik yang dapat diamati. Pada teori behavioristik ini memfokuskan
diri pada sebuah pada suatu pola perilaku yang dilakukan dengan terus-menerus hingga
perilaku tersebut dapat berubah menjadi kebiasaan (Hardianto, 2012). Teori ini
merupakan suatu teori yang mempelajari mengenai tingkah laku pada manusia.
Menurut Desmita (2009) teori belajar behavioristik adalah suatu teori belajar
yang memahami mengenai tingkah laku pada manusia dengan menggunakan
pendekatan objektif, materialistik, serta mekanistik, sehingga perubahan perilaku yang
terjadi pada diri seseorang dapat melalui upaya pengondisiannya. Pada teori ini
mempelajari tentang tingkah laku yang terjadi pada seseorang yang seharusnya
dilakukan dengan pengamatan dan pengujian mengenai tingkah laku seseorang yang
terlihat, tidak dengan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh seseorang. Teori
behavioristik ini lebih mengutamakan pada kegiatan pengamatan, hal ini dikarenakan
pengamatan merupakan sesuatu hal yang cukup penting untuk melihat terjadi atau tidak
perubahan tingkah laku seseorang tersebut.
Teori belajar behavioristik yaitu suatu aliran dalam sebuah teori belajar yang
dapat menekankan pada tingkah laku seseorang yang dapat untuk diamati. Menurut
aliran ini, belajar merupakan suatu pembentukan asosiasi antar kesan yang diperoleh
dari panca indra dan kecenenderungan untuk bertindak atau dapat hubungan yang
terjadi antara respon dan juga stimulus. Oleh sebab itu, pada teori ini juga dapat disebut
dengan teori stimulus respon (Andrayani, 2015).
Faktor-faktor yang memengaruhi teori belajar behavioristik antara lain:
1. Faktor stimulus
Stimulus adalah segala bentuk hal yang diberikan guru kepada siswa.
2. Faktor pengukuran
Pengukuran penting karena sebagai tolak ukur adanya perubahan tingkah laku atau
tidak.
3. Faktor penguatan
Penguatan adalah sesuatu yang dapat memperkuat timbulnya respon.
4. Faktor lingkungan
Sebagai salah satu faktor penentu dari tingkah laku manusia.
5. Faktor sosial
Berkaitan dengan pengamatan siswa terhadap model peniruan di sekitarnya.
Prinsip-Prinsip Teori Belajar Behavioristik adalah:
1. Belajar adalah perubahan perilaku. Artinya, seseorang yang sudah melakukan
kegiatan belajar namun tidak menunjukan perubahan perilaku maka tidak
dianggap sebagai belajar.
2. Adanya stimulus dan respon
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat peraga,
gambar atau chart tertentu dalam rangka membantu belajarnya. Sedangkan respon
adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang telah diberikan oleh guru tersebut,
reaksi ini haruslah dapat diamati dan diukur.
3. Adanya reinforcement (penguatan)
Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku disebut penguatan
(reinforcement) sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan
memperlemah perilaku disebut dengan hukuman (punishment). Macam-macam
penguatan antara lain:
1) Penguatan positif dan negatif
Pemberian stimulus positif yang diikuti respon disebut penguatan positif.
Sedangkan mengganti peristiwa yang dinilai negatif untuk memperkuat perilaku
disebut penguatan negatif
2) Penguatan primer dan sekunder
Penguat primer adalah penguatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
fisik. Sedangkan penguatan sekunder adalah penguatan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan non fisik.
3) Kesegeraan memberi penguatan (immediacy)
Penguatan hendaknya diberikan segera setelah perilaku muncul karena akan
menimbulkan perubahan perilaku yang jauh lebih baik dari pada pemberian
penguatan yang diulur-ulur waktunya (Setiawan, 2017).
4) Pembentukan perilaku (Shapping)
Menurut skinner untuk membentuk perilaku seseorang diperlukan langkah-
langkah berikut (Fathurrohman, 2017):
a. Mengurai perilaku yang akan dibentuk menjadi tahapan-tahapan yang lebih rinci
b. Menentukan penguatan yang akan digunakan.
c. Penguatan terus diberikan apabila muncul perilaku yang semakin dekat dengan
perilaku yang akan dibentuk.
d. Kepunahan (Extinction)
Kepunahan akan terjadi apabila respon yang telah terbentuk tidak mendapatkan
penguatan lagi dalam waktu tertentu.
Kelebihan Teori Belajar Behavioristik adalah:
1. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi
belajar.
2. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan
positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif yang
didasari pada prilaku yang tampak.
3. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya.
4. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada
yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu
menghasilakan suatu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu (Suparno,
1997).
5. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya
sampai respons yang diinginkan muncul.
6. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktik dan
pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan
(Umar, 2018).
7. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kekurangan Teori Behavioristik adalah:
1. Bahan pelajaran disusun dalam bentuk yang sudah siap.
2. Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini.
3. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan
apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
4. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
(Yanuardianto, 2019).
5. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru (Familus, 2016).
6. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan dari guru dan mendengarkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga
inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa
diselesaikan oleh siswa.
7. Cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak
produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif (Mursyidi, 2019).
8. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistik dan hanya
berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
9. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya
proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai
center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan
apa yang harus dipelajari murid.

C. Tokoh-tokoh
1. Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar merupakan interaksi antara stimulus dengan respon.
Hukum-hukum belajar yang diteorikan oleh Thorndike mengandung tiga konsep utama
yakni Hukum kesiapan (Law of Readiness), Hukum Latihan (Law of Exercise) dan
Hukum Akibat (Law of Effect) (Gredler, 1991).
a. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
b. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
c. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya
tidak memuaskan.
2. John Broades Watson (1878-1958)
Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respons yang di maksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat di amati (observabel)
dan dapat di ukur.
3. Clark Leaonard Hull (1884-1952)
Teori belajar Clark Leonard Hull dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin,
bagi Hull seluruh fungsi tingkah laku itu berfungsi supaya kelangsungan hidup tetap
terjaga. Stimulus yang terjadi dalam belajar hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis, walaupun respon yang datang mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
4. Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Edwin mengemukakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung
bersifat sementara. Menurut Guthrie, tingkah laku manusia itu secara keseluruhan
merupakan rangkaian tingkah laku yang terdiri atas unit-unit (Nahar, 2016). Unit-unit
tingkah laku ini merupakan respons-respons dari stimulus sebelumnya dan kemudian
unit respons tersebut menjadi stimulus yang kemudian akan menimbulkan respons bagi
unit tingkah laku yang berikutnya. Demikian seterusnya sehingga merupakan deretan
tingkah laku yang terus-menerus. Jadi, proses terbentuknya rangkaian tingkah laku
tersebut terjadi dengan kondisioning melalui proses asosiasi antara unit tingkah laku
yang satu dengan unit tingkah laku lainnya menjadi semakin kuat. Prinsip belajar
pembentukan tingkah laku ini disebut “law of Association”.
5. Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
B.F. Skinner terkenal dengan teori pengkondisian operan (operant
conditioning), yaitu suatu bentuk pembelajaran dimana konsekuensi perilaku
menghasilkan berbagai kemungkinan terjadinya perilaku tersebut. Penggunakaan
frekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku
itulah yang disebut dengan pengondisian operan (Kusmintardjo & Mantja, 2011).
Prinsip teori skinner ini adalah hukum akibat, penguatan, dan konsekuensi.
1. Penguatan (reinforcement),
Penguatan adalah suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya suatu
perilaku. Menurut skinner, untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku
diperlukan penguatan (reirforcement). Ada dua jenis penguatan, yaitu: penguatan
positif dan penguatan negative.
a. Penguatan positif (positive reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari
suatu respons akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung
penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh
stimulus menyenangkan.
b. Penguatan negatif (negative reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari
suatu respons akan meningkat karena diikuti dengan suatu stimulus yang tidak
menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan
meningkat karena diikuti stimulus yang tidak menyenangkan.
2. Hukuman (Punishment)
Respons yang diberi konsekuensi yang tidak menyenangkan atau menyakitkan akan
membuat seseorang tertekan. Menurut Budiningsih (2006), dari semua teori yang
ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai
target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan
berimajinasi. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang
tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun
apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Skinner lebih percaya kepada
apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan
hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang
sama menjadi semakin kuat (Lundin, 1991). Misalnya, seorang pebelajar perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan
untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah,
sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

D. Implementasi Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran IPA


1. Edward Lee Thorndike
a. Hukum Kesiapan
Sebelum memulai praktikum koloid, peserta didik harus mempersiapkan diri
dengan belajar teori yang berkaitan dengan koloid. Selain itu sebelum melakukan
praktikum juga bisa dilakukan pretest. Sebelum memasuki ruang lab. peserta didik
juga harus sudah siap menggunakan jas praktikum dan sarung tangan.
b. Hukum latihan
Peserta didik akan dilatih menggunakan alat-alat praktikum selama praktikum
berlangsung. Dengan kebiasaan ini, akan meminimalisir terjadinya kecelakaan di
lab.
c. Hukum akibat
Karena peserta didik mampu melaksanakan praktikum dengan baik dan tepat
waktu, guru memberikan pujian kepada peserta didik.

2. John Broades Watson


"Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons namun stimulus
dan respons yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan
dapat diukur "
Stimulus:
Guru bertanya kepada peserta didik, untuk dapat bertahan hidup manusia
membutuhkan apa?
Respon:
Peserta didik menjawab “oksigen”
Kemudia guru memberikan pujian kepada peserta didik yang menjawab. Kemudian
guru bertanya lagi, selain oksigen adakah lagi?
Lalu peserta didik yang sebelumnya sudah menjawab kembali menjawab “makan
dan minum”, kemudian guru memberikan pujian lagi kepada siswa tersebut. Setelah
itu guru menjelaskan bahwasannya untuk dapat bertahan hidup, manusia
membutuhkan oksigen, makan dan minum, dan melakukan respirasi.
Dari ilustrasi di atas, bisa dilihat bahwasannya respon dapat diamati, dimana
perubahan tingkah lakunya adalah siswa menjadi lebih aktif karena adanya
penguatan (pujian) dari guru.

3. Clark Leaonard Hull


“Stimulus yang terjadi dalam belajar hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis, walaupun respon yang datang mungkin dapat bermacam-macam
bentuknya”
Artinya stimulus berkaitan dengan panca indera (penglihatan, pendengaran, peraba,
perasa, penciuman)
Contoh:
- Siswa bisa diberi stimulus untuk mengamati (Indra penglihatan) bentuk daun di
lingkungan sekitar, kemudian siswa merespon melalui kegiatan analisis langsung
melalui pengelompokan jenis daun tersebut masuk ke dalam tumbuhan dikotil atau
monokotil.
- Sebelum memulai materi tentang efek doppler, siswa diberi stimulus dengan guru
memegang hp yang sedang diputar bunyi sirine kemudian guru bergerak menjauhi
dan mendekati siswa (indra pendengaran). Kemudian guru bertanya, mengapa bunyi
sirine berubah-ubah ketika Hp digerakan menjauh atau mendekati siswa?
- Saat sedang belajar mengenai suhu dan perubahannya, siswa diberi stimulus untuk
memegang dahi kemudian memegang lantai (indra peraba), kemudian guru
bertanya, apa yang kalian rasakan? Adakah perbedaan saat kalian memegang dahi
dengan kalian memegang lantai (keramik)?
- Sebelum belajar mengenai alat indera manusia, siswa diberikan permen dan asam
jawa. Kemudia siswa diminta untuk memakan keduanya secara bergantian.
Kemudian guru menunjuk salah satu siswa untuk menjelaskan alat indera apa yang
berhubungan dengan makanan yang telah dimakan, kemudian setelah benar
menjawab, guru menunjuk siswa lain untuk menjelaskan dimana letak rasa asam
dan manis pada lidah?

4. Edwin Ray Guthrie


“Ulangan-ulangan atau latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang
terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang
berikutnya”
Contoh:
Ketika sedang melakukan praktikum, ada seorang siswa yang memiliki kebiasaan
menggunakan pipet tetes dengan posisi pompa pipet tetes lebih rendah dari badan
pipet sehingga akan membuat pipet rusak. Kemudian guru menegur siswa tersebut,
namun di praktikum selanjutnya siswa tersebut masih melakukan hal yang sama.
Namun kemudian guru tidak hanya menegur namun meminta siswa tersebut untuk
mengulangi mengambil cairan menggunakan pipet dan menuangkan ke dalam
tabung reaksi dengan posisi yang benar sebanyak 15x dan akhirnya di praktikum
selanjutnya siswa tersebut mampu menggunakan pipet dengan baik.

5. Burrhusm Frederic Skinner


- Penguatan positif
Pada materi klasifikasi makhluk hidup, siswa diberikan soal latihan untuk
menyebutkan makhluk hidup yang masuk ke dalam kingdom animalia dan
menuliskannya di papan tulis. Siswa yang berani maju dan menjawab dengan benar
diberi 1 permen per setiap 1 makhluk hidup.
- Penguatan negatif
Ketika ada siswa yang tidak maju sama sekali, guru tidak memberikan hukuman
kepada siswa tersebut melainkan memberikan kesempatan agar siswa tersebut
menyebutkan sembarang makhluk hidup dari kingdom manapun tapi siswa tersebut
dan tetap diberi permen. Harapannya agar siswa tersebut memperbaiki kesalahannya
pada pertemuan selanjutnya, karena setidaknya walaupun tidak menjawab dengan
benar, siswa tersebut harus berani maju ke depan.
- Kesegeraan memberi penguatan
Pada saat pembelajaran mengenai sifat fisika dan kimia tanah, siswa diberi stimulus
untuk menyebutkan jenis-jenis tanah. Siswa yang mampu menjawab diberi hadiah
snack kecil, dan hadiah tersebut diberikan secara langsung dan segera saat
pembelajaran. Tujuannya agar memberikan perubahan perilaku yang lebih baik
daripada ketika di undur-undur. Ketika hadiah diberikan diluar jam pelajaran, siswa
akan kurang terkesan. Berbeda ketika saat jam pelajaran, siswa akan termotivasi
untuk lebih aktif ketika pembelajaran berlangsung karena mereka juga mendapatkan
apresiasi dari teman-teman.
BAB 5
TEORI BEAJAR KONSTRUKTIVISTIK

A. Sejarah dan Pengertian


Menurut (Hamid dkk., 2019) Konstruktivisme merupakan salah satu landasan
filosofis dalam pembelajaran yang berpandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki
adalah hasil dari pengalaman kita sendiri. Teori konstruktivisme mengutamakan
peningkatan pengembangan penalaran atau logika dan pembelajaran konseptual. Teori
konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran generatif yang menciptakan
makna dari apa yang telah dipelajari. Dalam pendekatan teori konstruktivisme terdapat
beberapa konsep utama, pertama bahwa pengetahuan yang diterima siswa tidak boleh
pasif tetapi siswa harus aktif berdasarkan struktur kognitif siswa tersebut, kedua bahwa
fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu perkembangan belajar melalui
pengalaman nyata yang dimiliki peserta didik.
Teori belajar konstruktivisme adalah teori yang memberikan kebebasan kepada
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan
menemukan keinginan atau kebutuhannya dengan bantuan fasilitasi orang lain,
sehingga teori ini memberikan aktivitas bagi manusia untuk belajar menemukan
sendiri. kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang diperlukan untuk
pengembangan diri. Teori konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan hanya bisa
ada dalam pikiran manusia, dan teori itu tidak harus sesuai dengan dunia nyata. Siswa
akan terus berusaha untuk mendapatkan model cara belajar mereka sendiri tentang
dunia nyata dari persepsi mereka tentang dunia itu (Rangkuti, 2014).
Teori belajar konstruktivisme adalah filosofi yang mendorong pertumbuhan logis
dan konseptual siswa. Konsep yang mendasari teori belajar konstruktivisme adalah
peran mengalami atau menghubungkan dengan suasana bermain yang berdekatan
dalam pendidikan siswa. Teori belajar konstruktivisme berpendapat bahwa orang
menghasilkan pengetahuan dan membentuk makna berdasarkan pengalaman mereka.
Dua konsep kunci dalam teori belajar konstruktivisme yang menciptakan konstruksi
pengetahuan individu baru adalah akomodasi dan asimilasi. Asimilasi menyebabkan
seseorang memasukkan pengalaman baru ke dalam pengalaman lama. Hal ini
menyebabkan individu mengembangkan pandangan baru, memikirkan kembali apa
yang pernah disalahpahami, dan mengevaluasi apa yang penting, yang pada akhirnya
mengubah persepsi mereka (Sugrah, 2019).

• Kelebihan Teori Belajar Konstruktivisme

- Dalam aspek berpikir yang menumbuhkan pengetahuan baru, siswa berpikir untuk
memecahkan masalah, menggali ide, dan mengambil keputusan
- Dalam hal pemahaman, siswa terlibat langsung dalam mengkonstruksi
pengetahuan baru, memahaminya lebih baik dan mampu menerapkannya dalam
segala situasi
- Konsep dapat diingat lebih lama dalam hal mengingat bahwa siswa terlibat
langsung. Pendekatan ini membantu siswa mengembangkan pemahaman mereka
- Mengenai keterampilan sosial, keterampilan sosial diperoleh ketika siswa
berinteraksi dengan teman, kelompok kerja atau guru untuk mendapatkan
pengetahuan dan wawasan baru.

• Kekurangan Teori Belajar Konstruktivisme


- Siswa membangun pengetahuan mereka. Tidak jarang hasil konstruksi siswa
menjadi tidak konsisten dan menyesatkan dengan yang dikonstruksi menurut
kaidah keilmuan
- Konstruktivisme memberitahu siswa untuk membangun pengetahuan mereka
sendiri. Hal ini tentunya membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan
pendekatan yang berbeda untuk setiap siswa
- Tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana untuk mendorong aktivitas dan
kreativitas siswa, sehingga situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama
- Guru hanya sebagai motivator dan mediator proses pembelajaran, tetapi selain
kompetensi di bidang ini, guru harus memiliki sikap yang anggun dan bijaksana
sebagai semangat anak-anak
- Ketika peran guru sebagai pendidik dalam proses pembelajaran tampak tidak
terlalu mendukung. Siswa memiliki pemikiran yang berbeda tentang satu sama
lain.

B. Tokoh-tokoh
Tokoh-tokoh yang berperan dalam teori Konstruktvisme antara lain:
1. Jean Piaget
Teori belajar konstruktivis yang dikembangkan oleh Piaget dikenal dengan
konstruktivisme kognitif. Teori yang dikembangkan oleh Piaget mengandung
konsep-konsep utama dalam bidang psikologi perkembangan, yang berarti
kemampuan untuk lebih akurat mewakili dunia dan melakukan operasi logis dari
representasi konsep realitas. Dalam pandangan Piaget, kemampuan seorang anak
untuk memahami sains sesuai dengan kematangan intelektualnya dan dibangun
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru,
sedangkan akomodasi adalah sesuatu yang disediakan untuk kebutuhan
memperoleh informasi lama dan informasi baru (Wicaksana, 2018).

2. Jerome Bruner
Dalam teorinya, Bruner berpendapat bahwa belajar dapat berasal dari proses
pemecahan masalah sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bermakna.
Jerome Bruner menyarankan agar siswa dapat belajar secara aktif melalui konsep
dan prinsip untuk memperoleh pengetahuan. Bruner berasumsi bahwa inovasi
akan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh diri sendiri.
Kebutuhan belajar melalui penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa belajar
yang sebenarnya adalah melalui penemuan pribadi (Wicaksana, 2018).

3. Vygotsky
Menurut Vygotsky, perkembangan intelektual dapat dilihat dari sejarah dan
budaya pengalaman individu dan juga tergantung pada kebutuhan sistem yang
dipandu oleh simbol-simbol yang dibuat untuk memudahkan berpikir,
berkomunikasi dan memecahkan masalah. Vygotsky menginginkan setting kelas
kooperatif dalam setiap kelompok yang terdiri dari siswa melalui keterampilan
yang berbeda sehingga mereka dapat berinteraksi dan merancang solusi untuk
memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dalam pembelajaran, Vygotsky
menekankan scaffolding, sehingga siswa akan semakin bertanggung jawab atas
pembelajarannya sendiri dari waktu ke waktu. Scaffolding adalah suatu bentuk
pemberian bantuan kepada siswa melalui tahapan pembelajaran dan pengurangan
bantuan sehingga pada akhirnya dapat memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melanjutkan pekerjaannya, bantuan yang diberikan oleh guru dapat berupa
petunjuk, peringatan, motivasi, dan saran. Inti dari teori Vygotsky adalah
menekankan perlunya pembelajaran sosiokultural yang meliputi interaksi dengan
orang dewasa, teman sebaya yang lebih mampu, dan juga pembelajaran akan
terjadi jika siswa dapat menangani tugas yang belum dipelajarinya, tetapi tugas
tersebut masih dalam jangkauannya (Nurlina & Bahri, 2021).

4. John Dewey
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan harus mencontohkan kehidupan
sosial secara luas, dan tingkat itu harus digunakan untuk memecahkan masalah
yang ada. Teori Dewey mengharuskan pendidik mengharuskan siswanya untuk
berpartisipasi dalam proyek atau tugas yang berpusat pada masalah, pendidik juga
didorong untuk membantu siswa melihat masalah sosial dan intelektual. Teori
konstruktivistik menurut pandangan John Dewey bahwa dalam proses
pembelajaran guru dapat menggunakan presentasi berupa masalah eksperimen
yang terjadi di lapangan, metode pembelajaran yang terkait dengan teori ini adalah
discovery learning pendekatan penemuan dan meaning full learning atau
pembelajaran bermakna (Nurlina & Bahri, 2021).
C. Implementasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam Pembelajaran IPA
Implementasi teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas:
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan mengapresiasi ide atau pemikiran siswa dan mendorong siswa untuk
berpikir secara mandiri, berarti guru telah membantu siswa menemukan identitas
intelektualnya. Siswa yang merumuskan pertanyaan dan kemudian menganalisis dan
menjawabnya berarti mereka telah mengembangkan tanggung jawab untuk proses
belajar mereka sendiri dan menjadi "pemecah masalah".
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberi siswa waktu untuk menjawab.
Berpikir reflektif membutuhkan waktu dan sering kali didasarkan pada ide dan
komentar orang lain. Cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa menanggapi
atau menjawabnya akan mendorong siswa untuk dapat membangun keberhasilan dalam
melakukan penyelidikan.
3. Mendorong siswa untuk berpikir kritis
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang
siswa untuk dapat menjangkau hal-hal yang berada di balik respon faktual sederhana.
Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan meringkas konsep melalui analisis,
prediksi, pembenaran, dan mempertahankan ide atau pemikiran mereka.
4. Siswa terlibat aktif dalam diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial yang intensif di kelas sangat
membantu siswa untuk dapat mengubah atau memperkuat ide-idenya. Jika mereka
memiliki kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan
mendengarkan ide orang lain, maka mereka akan dapat membangun pengetahuan
mereka sendiri berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa nyaman
dan aman untuk berbagi ide, maka dialog yang sangat berarti akan tercipta di dalam
kelas.
Pada pengaplikasiannya pada pembelajaran IPA di SMP, pendidik dapat
melakukan diskusi dan tanya jawab kepada siswa untuk meningkatkan keaktifan siswa
dalam belajar, contohnya diskusidan tanya jawab tentang bagaimana asal-usul makhluk
hidup. Selain itu pendidik juga bisa melakukan pretest dan posttest untuk mengukur
sejauh mana siswa memahami materi yang akan disampaikan dan telah disampaikan.
Contohnya sebelum menjelaskan materi asal-usul makhluk hidup, pendidik melakukan
pretest dengan menanyakan bagaimana asal-usul makhluk hidup.
BAB 6
TEORI BELAJAR SIBERNETIK

A. Sejarah dan Pengertian


Sibernetik merupakan kata serapan dari kata “Cybernetic” yakni sistem control
dan komunikasi yang memungkinkan umpan balik (feedback). Kata “cybernetic” yang
selanjutnya ditulis dengan kata sibernetik berasal dari bahasa Yunani yang berarti pilot
(pengendali). Bidang ini menjadi disiplin ilmu komunikasi yang berkaitan dengan
mengontrol mesin komputer. Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang
relatif baru dibandingkan dengan teori-teori belajar yang sudah dibahas sebelumnya.
Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi.
Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini
mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik, namun
yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari
siswa.
Teori belajar sibernetik adalah teori belajar yang mementingkan proses
pembelajaran dalam mendapatkan informasi yang cepat dan tepat. Tujuan daripada
pelajaran ini adalah meningkatkan kemampuan siswa dalam menerima informasi dan
mengkreatifkan guru di dalam pembelajarannya. Kemunculan teori belajar ini
merupakan tuntutan masyarakat global akan pendidikan berkualitas yang berbasis
teknologi informasi yang dapat apat mempermudah akses untuk memperoleh
informasi, dan menghilangkan kemungkinan sulitnya belajar ketika pendidik tidak
dapat hadir di kelas (Ningsih, 2021).
Teori belajar sibernetik adalah teori belajar yang mementingkan proses
pembelajaran dan menggunakan teknologi dalam mendapatkan informasi yang cepat
dan tepat. Tujuan dari pada pelajaran ini adalah meningkatkan kemampuan siswa
dalam menerima informasi dan mengkreatifkan instruktur di dalam pembelajarannya.
Hakekat manajemen pembelajaran berdasarkan teori belajar sibernetik adalah usaha
guru untuk membantu siswa mencapai tujuan belajarnya secara efektif. Menurut teori
sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Seolah‐olah teori ini mempunyai
kesamaan dengan teori kognitif yaitu dengan mementingkan proses belajar dari pada
hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik, namun yang lebih
penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa.
Informasi inilah yang akan menentukan proses. Bagaimana proses belajar akan
berlangsung, sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari.
Kemunculan teori belajar ini merupakan tuntutan masyarakat global akan
pendidikan berkualitas yang berbasis teknologi informasi. Dapat mempermudah akses
untuk memperoleh informasi, dan menghilangkan kemungkinan sulitnya belajar ketika
pendidik tidak dapat hadir di kelas. Aplikasi teori belajar sibernetik dalam multimedia
yang akan dikembangkan ini adalah dengan sejalan perkembangan teknologi dan
informasi, peserta didik dapat mengaplikasikan ilmu IT yang di dapat dengan cara
menggunakan multimedia pembelajaran. Serta juga dengan penataan sistem informasi
dari materi yang akan disajikan pada peserta didik, dan dapat di peroleh secara lengkap.
Dengan multimedia pembelajaran, peserta didik dapat belajar sesuai kebutuhan,
kecepatan, keluwesan, dan dapat memilih materi yang ingin di peroleh. Serta bisa
digunakan secara individual dan dapat dilakukan secara berulang jika belum
memahami pada materi tertentu.
Dalam ilmu komunikasi, sibernetik merupakan salah satu dari tradisi teori
komunikasi yang berkembang dari teori-teori teknik elektro pada pertengahan abad 20
sebagai sebuah tradisi yang relatif baru. Pembelajaran berbasis masalah yaitu guru
telah melaksanakan tahapan pembelajaran yang tertuang dalam model saintifik
pembelajaran. Belajar merupakan istilah kunci yang paling penting dalam dunia
pendidikan belajar melibatkan aktivitas mental/psikis secara langsung, sehingga
menghasilkan perubahan baik dalam bidang kognitif, sikap maupun keterampilan.

B. Tokoh-tokoh
1. Teori belajar menurut Landa
Menurut Landa proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran
yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan diketahui ciri-cirinya.
Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur,
sedangkan materi pelajaran lainnya akanlebih tepat bila disajikan dalam bentuk
“terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir.
Dalam teori ini Landa membedakan ada dua macam proses berpikir, yaitu:
1) Proses berpikir algoritmik
Yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus,
menuju ke satu target tujuan tertentu. Contoh: kegiatan menelpon, menjalankan mesin
mobil dan lain-lain.
2) Proses berpikir heuristik
Yaitu cara berpikir devergen yang menuju ke beberapa target tujuan sekaligus.
Contoh: operasi pemilihan atribut geometri, penemuan cara-cara pemecahan masalah
dan lain-lain.

2. Teori belajar menurut Pask dan Scott


Tokoh sibernetik yang lain adalah Pasck dan Scott yang memperkenalkan tipe
peserta didik yang holistik dan tipe serial. Peserta didik tipe holistik cenderung
mempelajari sesuatu dari tahap yang paling umum ke tahap yang paling khusus,
sedangkan peserta didik tipe serial cenderung berpikir algoritmik. Selanjutnya,
Pembelajaran sibernetik sering disinonimkan dengan umpan balik (feedback) dalam
konteks pendidikan. Umpan balik dari peserta didik ini memungkinkan guru untuk
dapat mengetahui apakah materi yang disampaikan telah dipahami dan apa kesulitan
peserta didik dalam memahami informasi. Berdasarkan umpan balik tersebut, siswa
juga dapat memutuskan hasil belajarnya jika kurang memuaskan.
Sementara pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott sama dengan
pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir menyeluruh tidak sama dengan heuristik.
Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir dengan cenderung melompat ke dalam,
langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Contohnya, saat melihat
lukisan, bukan detaildetail yang diamati terlebih dahuu, melainkan seluruh lukisan itu
sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.
Pendekatan yang berorientasi pada pengelolahan informasi menekankan beberapa
hal seperti ingatan jangka panjang (Long Time Memory) dan sebagainya yang
berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan
informasi. Menurut teori sibernetik, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin
bukan hanya cara kerja otak yangdipahami tetapi juga lingkungan yang memengaruhi
mekanisme itu perlu diketahui.

C. Implementasi Teori Belajar Sibernetik dalam Pembelajaran IPA


Teori belajar pengolahan informasi termasuk dalam lingkup teori kognitif yang
mengemukakan bahwa belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara
langsung dan merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu.
Namun memori kerja manusia mempunyai kapasitas yang terbatas, oleh karena itu
untuk mengurangi muatan memori kerja, perlu memperhatikan kapabilitas belajar,
peristiwa pembelajaran, dan pengorganisasian atau urutan pembelajaran. Belajar bukan
sesuatu yang bersifat alamiah, namun terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu, yaitu
kondisi internal dan kondisi eksternal. Sehubungan hal tersebut, maka pengelolaan
pembelajaran dalam teori belajar sibernetik, menuntut pembelajaran untuk diorganisir
dengan baik yang memperhatikan kondisi internal dan kondisi eksternal.
Kondisi internal peserta didik yang mempengaruhi proses belajar melalui proses
pengolahan informasi, dan yang sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang guru
dalam mengelola pembelajaran antara lain:
1. Kemampuan awal peserta didik
Kemampuan awal peserta didik yaitu peserta didik telah memiliki pengetahuan,
atau keterampilan yang merupakan prasyarat sebelum mengikuti pembelajaran.
Dengan adanya kemampuan prasyarat ini peserta didik diharapkan mampu mengikuti
proses pembelajaran dengan baik. Kemampuan awal peserta didik dapat diukur melalui
tes awal, interview, atau cara-cara lain yang cukup sederhana seperti melontarkan
pertanyaan-pertanyaan.
2. Motivasi
Motivasi berperan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah
laku ke arah tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik lebih
menguntungkan karena dapat bertahan lebih lama. Kebutuhan untuk berprestasi yang
bersifat intrinsik cenderung relatif stabil, mereka ini berorientasi pada tugas-tugas
belajar yang memberikan tantangan. Pendidik yang dapat mengetahui kebutuhan
peserta didik untuk berprestasi dapat memanipulasi motivasi dengan memberikan
tugas-tugas yang sesuai untuk peserta didik.
3. Perhatian
Perhatian merupakan strategi kognitif untuk menerima dan memilih stimulus
yang relevan untuk diproses lebih lanjut diantara sekian banyak stimulus yang datang
dari luar. Perhatian dapat membuat peserta didik mengarahkan diri ketugas yang
diberikan, melihat masalah-masalah yang akan diberikan, memilih dan memberikan
fokus pada masalah yang akan diselesaikan, dan mengabaikan hal-hal lain yang tidak
relevan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhatian seseorang adalah faktor internal
yang mencakup: minat, kelelahan, dan karakteristik pribadi. Sedangkan faktor
eksternal mencakup: intensitas stimulus, stimulus yang baru, keragaman stimulus,
warna, gerak dan penyajian stimulus secara berkala dan berulang-ulang.
4. Persepsi
Persepsi merupakan proses yang bersifat kompleks yang menyebabkan orang
dapat menerima atau meringkas informasi yang diperoleh dari lingkungannya. Persepsi
sebagai tingkat awal struktur kognitif seseorang. Untuk membentuk persepsi yang
akurat mengenai stimulus yang diterima serta mengembangkannya menjadi suatu
kebiasaan perlu adanya latihan-latihan dalam bentuk berbagai situasi. Persepsi
seseorang menjadi lebih mantap dengan meningkatnya pengalaman.
5. Ingatan
Ingatan adalah suatu sistem aktif yang menerima, menyimpan, dan mengeluarkan
kembali yang telah diterima seseorang. Ingatan sangat selektif, yang terdiri dari tiga
tahap, yaitu ingatan sensorik, ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka panjang yang
relatif permanen. Penyimpanan informasi dalam jangka panjang dilakukan dalam
berbagai bentuk, yaitu melalui kejadian-kejadian khusus (episodic), gambaran (image),
atau yang berbentuk verbal bersifat abstrak. Daya ingat sangat menentukan hasil
belajar yang diperoleh peserta didik.
6. Lupa
Lupa merupakan hilangnya informasi yang telah disimpan dalam ingatan jangka
panjang. Seseorang dapat melupakan informasi yang telah diperoleh karena memang
tidak ada informasi yang menarik perhatian, kurang adanya pengulangan atau tidak ada
pengelompokan informasi yang diperoleh, mengalami kesulitan dalam mencari
kembali informasi yang telah disimpan, ingatan telah aus dimakan waktu atau rusak,
ingatan tidak pernah dipakai, materi tidak dipelajari sampai benar-benar dikuasai,
adanya gangguan dalam bentuk informasi lain yang menghambatnya untuk mengingat
kembali.
7. Retensi
Retensi adalah apa yang tertinggal dan dapat diingat kembali setelah seseorang
mempelajari sesuatu, jadi kebalikan lupa. Apabila seseorang belajar, setelah beberapa
waktu apa yang dipelajarinya akan banyak dilupakan, dan apa yang diingatnya akan
berkurang jumlahnya. Ada tiga faktor yang mempengaruhi retensi, yaitu: materi yang
dipelajari pada permulaan (original learning), belajar melebihi penguasaan (over
learning), dan pengulangan dengan interval waktu (spaced review).
8. Transfer
Transfer merupakan suatu proses yang telah pernah dipelajari, dapat
mempengaruhi proses dalam mempelajari materi yang baru. Transfer belajar atau
transfer latihan berarti aplikasi atau pemindahan pengetahuan, keterampilan,
kebiasaan, sikap, atau respon-respon lain dari satu situasi kesituasi lain.
Kondisi eksternal yang sangat berpangaruh terhadap proses belajar dengan
proses pengolahan informasi antara lain:
1. Kondisi belajar
Kondisi belajar dapat menyebabkan adanya modifikasi tingkah laku yang dapat
dilihat sebagai akibat dari adanya proses belajar. Cara yang ditempuh pendidik untuk
mengelola pembelajaran sangat bervariasi tergantung pada kondisi belajar yang
diharapkan. Gagne mengklasifikasikan ada lima macam hasil belajar, yakni: (a)
keterampilan intelektual, atau pengetahuan prosedural yang mencakup belajar
diskriminasi, konsep, prinsip, dan pemecahan masalah yang diperoleh melalui materi
yang disajikan dalam pembelajaran di kelas. (b) strategi kognitif, kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-
masing individu dalam memperhatikan belajar, mengingat, dan berfikir. (c) informasi
verbal, kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan
mengatur informasi-informasi yang relevan. (d) keterampilan motorik, kemampuan
untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan
dengan otot. (e) sikap, suatu kemampuan internal yang mempengaruhi perilaku
seseorang, dan didasari oleh emosi, kepercayaan, serta faktor intelektual.
2. Tujuan belajar
Tujuan belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat penting,
sebab komponen-komponen lain dalam pembelajaran harus bertolak dari tujuan belajar
yang hendak dicapai dalam proses belajarnya. Tujuan belajar yang dinyatakan secara
spesifik dapat mengarahkan proses belajar, dapat mengukur tingkat ketercapaian tujuan
belajar, dan dapat meningkatkan motivasi belajar.
3. Pemberian umpan balik
Pemberian umpan balik merupakan suatu hal yang sangat penting bagi peserta
didik, karena memberikan informasi tentang keberhasilan, kegagalan, dan tingkat
kompetensinya.
Berdasarkan deskripsi proses pengolahan informasi yang terjadi merupakan
interaksi faktor internal dan eksternal dari peserta didik, maka aplikasi pengelolaan
kegiatan pembelajaran berbasis teori sibernetik yang baik untuk dilakukan bagi
pendidik agar dapat memperlancar proses belajar peserta didik adalah sebagai berikut:
a. Menarik perhatian.
b. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa.
c. Merangsang ingatan pada prasyarat belajar.
d. Menyajikan bahan perangsang.
e. Memberikan bimbingan belajar.
f. Mendorong unjuk kerja.
g. Memberikan balikan informatif.
h. Menilai unjuk kerja.
i. Meningkatkan retensi dan alih belajar
Aplikasi teori belajar sibernetik dalam kegiatan pembelajaran baik diterapkan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
b. Menentukan materi pembelajaran
c. Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi materi pembelajaran
d. Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi tersebut
e. Menyusun materi materi dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasinya
f. Menyajikan materi dan memimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai
dengan urutan materi
Implementasi teori sibernetik dalam proses pembelajaran ini ialah dengan
menggunakan monitor langsung (videocall) atau dengan menggunakan aplikasi skype,
quipper video, webcam, dan lainnya. Dalam penggunaannya pendidik dan peserta didik
tidak harus bertatap muka langsung seperti proses belajar mengajar pada umumnya.
Pendidik hanya membutuhkan layar monitor yang terhubung langsung dengan peserta
didik, serta peserta didik juga harus memiliki fasilitas seperti laptop dan internet yang
terhubung langsung dengan pendidik. Di Indonesia pengaplikasian teori sibernetik
masih jarang sekali dilakukan karena keterbatasan fasilitasyang kurang
memungkinkan, sedangkan dinegara-negara maju lainnya seperti negara Amerika telah
menerapkan sistem ini pada proses belajar mengajar dan hasilnya sangat efektif.
Sehingga teori ini dikembangkan secara keseluruhan.
Kelebihan teori belajar sibernetik antara lain:
1. Pada semua teori belajar dalam aliran-aliran menekankan aspek yang berbeda-beda
ini sebenarnya memiliki kesamaan karena melihat bahwa belajar adalah suatu proses
yang berlangsung pada diri seorang yang melalui tahapan-tahapan tertentu.
2. Isi proses belajar adalah sistem inforamsi yang diperoleh melalui pengalaman akan
suatu kejadian tertentu yang disusun sebagai suatu konsep, teori, atau informasi
umum.
3. Hasil proses teori belajar ini adalah adanya perubahan, baik yang dilihat sebagai
perubahan tingkah laku, maupun seara kemampuan pada ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Kekurangan teori belajar sibernetik antara lain:
Teori ini dikritik karena tidak secara langsung membahas proses belajar
sehingga menyulitkan dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung ke dunia psikologi
dan informasi dengan mencoba melihat mekanisme ini kerja otak. Karena pengetahuan
dan pemahaman akan mekanisme ini sangat terbatas, terbatas pula kemampuan untuk
menerapkan teori ini.
BAB 7
TEORI BELAJAR KECERDASAN GANDA

A. Sejarah
Multiple Intelligence merupakan sebuah teori tentang kecerdasan yang artinya
“kecerdasan ganda” atau “kecerdasan majemuk”. Teori ini ditemukan dan
dikembangkan oleh Horwad Gardner, seorang ahli psikologi perkembangan dan
profesor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University, Amerika
Serikat (Nurhidayati, 2015). Berdasarkan penjelasan Syarifah (2019), Gardner yang
bernama lengkap Howard Gardner, adalah seorang psikolog perkembangan dan pakar
pendidikan. Ia lahir pada 11 Juli 1943, dan dibesarkan di Scranton, sebuah kota
pertambangan berukuran sedang di timur laut Pennsylvania, AS (Ladislaus Naisaban
2004). Orang tuanya, Ralph Gardner dan Hilde Gardner, pengungsi yang melarikan
diri dari kekejaman Nazi Jerman, menetap di Amerika Serikat pada 9 November 1938.
Orang tuanya kehilangan anak pertama mereka dalam kecelakaan kereta. Anak itu
adalah kakak laki-laki Gardner, Eric, yang meninggal sebelum Gardner lahir. Kejadian
tersebut tampaknya telah menimbulkan semacam trauma bagi orang tua Gardner, yang
terlihat dari sikap orang tuanya terhadap Gardner kecil. Gardner selalu dilarang
melakukan aktivitas yang dapat membahayakan tubuhnya, seperti bersepeda atau
olahraga berat lainnya, yang menumbuhkan kecintaannya pada musik, menulis, dan
membaca. Bahkan musik menjadi penting dalam hidupnya.
Semua peristiwa mengerikan yang menimpa keluarganya tidak pernah
diceritakan kepada Gardner kecil, tetapi Gardner sendiri yang akhirnya mengetahui
bahwa mereka adalah keturunan Yahudi yang diburu oleh Nazi. Baginya, peristiwa ini
memiliki dampak besar pada pertumbuhan dan pemikirannya hingga hari ini. Kejadian
itu membuatnya semakin dewasa, dan ia menyadari bahwa sebagai anak tertua yang
masih hidup dengan keluarga besar, banyak yang harus ia capai di negara barunya
(Amerika Serikat). Dia juga mencatat bahwa pemikir Yahudi Jerman dan Austria
seperti Einstein, Freud, Marx, dan Mahler hidup, belajar, dan bersaing dengan para
pemikir lain di jantung intelektual Eropa, tetapi dia sendiri terperangkap di lembah
Pennsylvania yang tidak menarik. Akibatnya, ia mengalami kebuntuan intelektual dan
depresi finansial. Keinginannya yang kuat untuk kemajuan dan perkembangan dan
kecintaannya pada musik membuatnya menolak tuntutan orang tuanya untuk
mengirimnya ke Phillips Academy di Massachusetts, dan bahkan pergi ke Wyoming
Seminary di Kingston. Setelah menyelesaikan studi sekolahnya, ia melanjutkan
studinya di Universitas Harvard pada tahun 1961, di mana ia sekarang berkomitmen
penuh. Di bangku kuliah, saya belajar sejarah sebagai persiapan untuk berkarir sebagai
pengacara, khususnya pengacara. Dia juga belajar banyak tentang sosiologi dan
psikologi. Di universitas ia juga bertemu banyak orang yang menginspirasinya untuk
melakukan studi tertentu tentang hukum-hukum alam manusia, The Man Who Ignited
Ambition, sosiolog David Riesman, dan psikolog kognitif Jerome Bruner.
Pada tahun 1966, Gardner melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Harvard,
lulus pada tahun 1971. Di Harvard, saya dilatih sebagai psikolog perkembangan dan
kemudian sebagai ahli saraf. Berdasarkan hasil persiapannya di berbagai institusi yang
ditekuninya, terutama Harvard University, ia akhirnya menjadi spesialis psikologi,
neurologi, bahkan pedagogi. Setelah perjalanan yang begitu panjang, ia sekarang
menjadi Profesor Kognisi dan Pendidikan di Harvard School of Education, Profesor
Psikologi di Universitas Harvard, Profesor Neurologi di Fakultas Kedokteran
Universitas Boston, dan Pemimpin Tim Senior (Direktur) Project Zero. Saat
melakukan berbagai kegiatan penelitian dalam proyek tersebut, Gardner menemukan
banyak teori kecerdasan.

B. Pengertian
Teori kecerdasan majemuk merupakan konsep baru yang muncul sebagai kritik
terhadap psikometri atau tes IQ yang disusun Alfred Binet pada tahun 1905, Gardner
menganggap bahwa tes tersebut tidaklah cukup dijadikan ukuran untuk mengetahui
kecerdasan seseorang. Gardner mendefinisikan intelligensi sebagai kemampuan untuk
memecahkan persoalan dan menghasilkan, yang memandang kecerdasan manusia
hanya dari segi kemampuan kuantitatif dan linguistik (otak kiri). Gardner mengaitkan
kecerdasan dengan kapasitas/kemampuan untuk:
a. Memecahkan masalah-masalah (problem solving), dan
b. Menciptakan produk-produk dan karya-karya baru yang mempunyai nilai budaya
(creativity).
Berdasarkan pernyataan Gardner tersebut tes IQ yang selama ini banyak
dipercaya, tidak lagi cukup mewakilinya. Sebab IQ hanya mewakili kecerdasan
linguistik dan logis-matematis saja sedangkan yang lain tidak. Selama berabad-abad,
dunia pendidikan hanya berfokus pada perkembangan otak kiri berdasarkan kriteria
psikometri. Teori kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh Gardner (1983),
muncul sebagai upaya untuk mengoptimalkan fungsi otak manusia. Gardner berhasil
menyelidiki dimensi lain dari kecerdasan manusia, yang terletak di belahan otak kiri
dan kanan.

Jenis- jenis teori kecerdasan ganda


1. Kecerdasan Spasial – Visual
Kecerdasan ini memiliki kemampuan yang dapat memanipulasi ruang dan visual
di sekitarnya. Seseorang dengan kecerdasan spasial-visual mampu berpikir dan
mengingat suatu informasi dengan gambar. Sehingga memungkinkan individu
membaca peta, diagram, tabel, infografis dengan mudah.
2. Kecerdasan Linguistik
Jika kecerdasan spasial-visual mengandalkan gambar, linguistik mahir dalam
kemampuan verbal. Seseorang dengan jenis kecerdasan ini memiliki kemampuan
dalam mengingat kata-kata. Kemampuan lainnya yang dimiliki oleh kecerdasan
linguistik adalah mahir dalam membaca dan menulis, pandai berbicara di depan publik,
berargumentasi, dan senang dengan permainan kata.
3. Kecerdasan Interpersonal
Sesuai dengan namanya, kecerdasan interpersonal memiliki kemampuan dalam
berkomunikasi, serta menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Seseorang
dengan jenis kecerdasan ini mampu bernegosiasi, suka bekerja sama, bisa membaca
situasi sosial dan maksud lawan bicaranya.
4. Kecerdasan Musikal
Jenis kecerdasan ini tergolong unik, karena memiliki kemampuan dalam
menganalisis, mengenal, dan mengingat dengan lagu, irama, nada. Selain sensitif
terhadap musik, irama, dan warna nada, kecerdasan musikal juga mampu menyusun
berbagai irama menjadi lagu, serta mengingat dengan baik melalui musik dan ceramah-
ceramah.
5. Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan ini juga tergolong unik, karena menggunakan alam untuk beradaptasi
dalam hidup. Sesuai dengan namanya, kecerdasan naturalis memungkinkan seseorang
sadar akan lingkungan alam, gemar berinteraksi dengan hewan, suka berpetualang dan
berpergian ke luar rumah. Individu dengan kemampuan ini juga sangat antusias untuk
mendalami segala ilmu pengetahuan yang terkait dengan alam.
6. Kecerdasan Body – Kinestetik
Sesuai namanya, kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk menggunakan
bagian tubuh dalam menyelesaikan suatu masalah. Seseorang dengan kecerdasan
kinestetik memiliki daya kontrol tubuh yang baik, berpikir mekanis, responsif terhadap
lingkungan fisik, mudah mengingat apa yang dilakukan, dan refleks sempurna.
7. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal berbeda dengan kecerdasan interpersonal. Jenis
kecerdasan ini memiliki kemampuan intuitif yang tinggi dan sadar akan diri sendiri.
Keunikannya adalah seseorang mampu mengetahui kelebihan dan kelemahannya,
bakat yang dimilikinya, bisa memprediksi tindakan dan emosi yang disampaikan
olehnya.
8. Kecerdasan Logis – Matematis
Jenis kecerdasan ini sangat berkaitan dengan IQ, logika, angka, dan fakta.
Seseorang dengan kecerdasan logis-matematis memiliki kemampuan berhitung yang
cermat, suka berpikir abstrak, menyukai keteraturan, dan menyelesaikan masalah
dengan logika.
Macam-macam Teori Multiple Intelligence
Terdapat sembilan jenis kecerdasan ganda berdasarkan penjelasan Gardner.
Kesembilan kecerdasan tersebut adalah:
1. Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence)
Menurut Sukenti (2017) kecerdasan linguistik adalah kecerdasan dalam
mengelola kata, atau kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan
maupun tulisan. Peserta didik yang tinggiintelegensi linguistiknya akan mampu
menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu berbicara dengan baik
kepada orang-orang disekitarnya, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis
dengan orang lain. Kecerdasan linguistik juga dikatakan kecerdasan mengolah kata,
artinya sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi dan
mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam relasi
saling menguntungkan.
Kecerdasan linguistik ini meliputi kepekaan terhadap makna kata, urutan kata,
bunyi, ritme, dan intonasi bahasa lisan. Memasukkan kemampuan untuk mengubah
keadaan pikiran dan memahami kekuatan kata-kata untuk menyampaikan informasi
proses secara verbal adalah proses yang sulit yang membutuhkan latihan dan
pemeliharaan terus-menerus. Kecerdasan verbal berkaitan dengan kemampuan
berbicara dan menggunakan bahasa. Orang-orang dengan bakat di bidang ini menyukai
permainan kata, suka membaca dan menulis, dan tertarik pada suara, makna, dan
narasi. Siswa dengan kecerdasan verbal yang tinggi umumnya dicirikan menyukai
aktivitas yang berhubungan dengan penggunaan bahasa, seperti: Membaca, menulis,
menulis esai, mengarang puisi, dan peribahasa. Kecerdasan verbal, juga dikenal
sebagai kecerdasan pengolah kata, mengacu pada kemampuan dan keterampilan untuk
membangun hubungan dan memelihara hubungan sosial (Ratnasari, 2020).

2. Kecerdasan Matematis-Logis (Logical-Matematical Intelligence)


Dalam mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan matematis logis ini,
dalam bukunya Multiple Intelligences: The Theory in Practice, Gardner (2003)
mengemukakan sebuah anekdot. Dari anekdot tersebut, menurut Howard Gardner, ada
dua fakta penting mengenai kecerdasan logika-matematika. Pertama, dalam diri orang
berbakat, proses dari penyelesaian masalah sering berlangsung amat cepat. Kedua,
penyelesaian masalah dapat disusun sebelum penyelesaian itu diutarakan. Menurut
Gardner, sebagaimana dikutip oleh Suparno (2008), kecerdasan matematis-logis, yang
oleh Armstrong dinamakan number smart (2005) atau logic smart (2002), adalah
kemampuan yang lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara
efektif, seperti yang dimiliki oleh matematikus, saintis, programer, dan logikus.
Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kepekaan pada pola logika, abstraksi,
kategorisasi, dan perhitungan.

3. Kecerdasan Spasial/Ruang-Visual (Visual/Spatial Intelligence)


Menurut Rosidah (2014) Kecerdasan visual spasial adalah kemampuan
memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak yang mempunyai
kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam
bentuk dua atau tiga dimensi dan memahami konsep spasial serta terlihat antusias
ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan ini. Kecerdasan visual
spasial bisa menunjang proses belajar anak di sekolah. Salah satunya, membantu anak
memahami dan mengenal posisi benda, arah dan jarak. Anak yang memiliki kecerdasan
spasial memiliki metode belajar visualisasi berdasarkan penglihatannya. Anak akan
mendapat stimulasi kecerdasan visual spasial jika anak berada dalam lingkungan yang
memberikan anak kesempatan melakukan kegiatan visual spasial sesuai dengan
perkembangannya, misalnya adanya kegiatan untuk berimajinasi.
Dalam menjelaskan kecerdasan spasial atau picture smart, Armstrong (2002)
membuat sebuah ilustrasi. Dalam ilustrasi tersebut, Thomas Armstrong menekankan
pada pentingnya kekuatan persepsi yang terfokus untuk mengungkapkan apa yang ada
pada segala sesuatu yang tampak. Keadaan ini sangat erat kaitannya dengan kecerdasan
spasial karena menyangkut kecerdasan dalam melihat. Kecerdasan spasial, menurut
Gardner sebagaimana dikutip oleh Efendi (2005), adalah kemampuan untuk
memberikan gambar-gambar, serta kemampuan dalam mentransformasikan dunia
visual-spasial, termasuk di dalam kemampuan kemampuan menghasilkan gambar
mental dan menciptakan representasi grafis, berpikir tiga dimensi, serta mencipta ulang
dunia visual.

4. Kecerdasan Kinestetik-Badani (Bodily-Kinesthetic Intelegence)


Mengenai kecerdasan kinestetik badani ini, dalam bukunya Multiple
Intelligences, Gardner (2003) mengemukakan sebuah ilustrasi. Dari ilustrasi tersebut
dapat dipahami bahwa orang yang memiliki kecerdasan kinestetik-badani mampu
memahami sesuatu yang berkaitan dengan gerakan badan sebelum dia memperoleh
latihan secara formal, atau bisa memahami dan melakukan gerakan dengan tepat hanya
dengan latihan yang relatif singkat. Kecerdasan kinestetik-badani (tubuh), merupakan
kemampuan untuk memahami, mencintai dan memelihara tubuh, dan membuatnya
berfungsi seefisien mungkin bagi orang yang bersangkutan. Dengan kata lain,
kecerdasan tubuh adalah kecerdasan atletik dalam mengontrol tubuh seseorang dengan
sangat cermat. Jika kita memiliki kecerdasan tubuh yang tinggi maka kita akan
memahami hubungan antara otak dan tubuh. Men sana in corpore sano, pikiran yang
sehat terdapat dalam badan yang sehat dan sebaliknya, badan yang sehat berada dalam
pikiran yang sehat.

5. Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence)


Menurut Syafe’i (2018) Kecerdasan musikal merupakan kecerdasan yang
pertama kali berkembang secara neurologis. Kecerdasan musikal merupakan
kecerdasan dalam mengingat nada, tempo, dan ritme pada lagu atau hal-hal yang
berhubungan dengan irama pada suara tertentu yang dapat menimbulkan emosi dalam
diri seseorang. Dengan kata lain, orang yang memiliki kecerdasan musikal adalah
mereka yang mudah sekali diaduk-aduk emosinya dengan nada-nada tertentu.
Kecerdasan ini penting untuk di kembangkan karena dapat menyeimbangkan otak
kanan dan kiri. Pengembangan anak melalui bermain, bernyanyi, bersenandung, tebak
nada, orkestra kaleng, menyebut judul lagi, berbicara berirama dan menikmati musik.
6. Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence)
Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan
orang-orang di Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk berhubungan
dengan orang-orang di sekitar kita. Kecerdasan ini adalah kemampuan untuk
memahami dan memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan
keinginan orang lain dan menanggapinya secara layak. Oleh karena itu, kecerdasan
interpersonal dapat didefinisikan sebagai kemampuan mempersepsikan dan
membedakan suasana hati, pikiran, keinginan serta kemampuan memberikan respon
secara tepat terhadap orang lain. Dengan memiliki kecerdasan interpersonal, anak
dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, menangkap maksud dari orang lain
dengan bertindak sesuatu, serta mampumdalam menjalin hubungan antar pribadi. Maka
dari itu kecerdasan interpersonal bagi anak usia dini memiliki manfaat yang besar bagi
dirinya sendiri dan bagi perkembangan sosialnya. Anak perlu dibiasakan untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya, seperti pengendalian diri, komunikasi, simpati,
empati, berbagi, serta dalam hal bekerjasama dengan orang lain.

7. Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence)


Kecerdasan intrapersonal berkaitan dengan kemampuan untuk mengetahui
kelebihan dan kelemahan diri sendiri, kesadaran akan suasana hati, motivasi, gairah,
temperamen, dan dapat menerapkan disiplin diri, self-understanding, dan self-esteem
(Armstrong, 2009). Kecerdasan intrapersonal merupakan hakikat untuk memahami diri
sendiri yang kemudian berdampak pada pemahaman pada oranglain yang
diantaranya mencakup needs for achievement (kebutuhan untuk berprestasi) yang
timbul dari refleksi diri, motivasi, etika/moral kepribadian, empati; serta kelebihan
dan kekurangan diri sendiri (Chatib & Munif, 2012).

8. Kecerdasan Naturalis/Lingkungan (Naturalist Intelligence)


Kecerdasan naturalistik adalah kemampuan untuk mengetahui, mengenali,
membedakan, memahami dan mengungkapkan segala sesuatu yang ditemui di alam
semesta. Kemampuan ini dilakukan seseorang dengan berusaha menyatukan hati dan
pikirannya, serta perenungan secara mendalam mengenai objek yang dipahami.
Kecerdasan ini adalah suatu kemampuan seseorang yang menunjukkan kemahirannya
dalam memahami, mengkalasifikasi, memahami dan menghayati flora dan fauna yang
disekitarnya.
Salah satu contoh kecerdasan naturalis adalah anak merasa senang dan nyaman
dengan alam, binatang dan makhluk hidup lainnya. Seperti menyentuh, memegang,
mendekati, merasa sayang, bahkan memiliki rasa ingin memiliki makhluk hidup
tersebut. Contoh spesifiknya adalah seseorang yang memiliki binatang peliharaan di
rumahnya. Ketika menemukan hewan maka ia merasa senang, bahagia dan tertarik
walaupun binatang tersebut kotor atau tidak lazim disukai oleh orang-orang. Naluri
untuk memelihara sangat tajam, ingin rasanya memandikan atau bermain dengan
hewan tersebut tanpa adanya rasa risih, takut atau jijik. Seseorang yang memiliki
kecerdasan naturslistik sering sekali menganggap semua hewa adalah temannya, lucu,
menggemaskan, butuh kasih sayang dan perlakuan yang baik bahkan spesial (Agustin,
2018).

9. Kecerdasan Eksistensial (Existential Intelligence)


Kecerdasan eksistensial adalah jenis kedominanan kecerdasan seseorang yang
lebih menekankan pada diri seseorang yaitu berpikir. Seseorang akan cenderung lebih
banyak berpikir mengenai dirinya dan proses yang telah ada/terjadi dan akan terjadi
kedepannya (Wahyudi, 2011). Menurut Wilson dalam (Yaumi, 2013) Kecerdasan
eksistensial adalah kemampuan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
fundamental tentang eksistensi (keberadaan) atau pertanyaan tentang kerumitan suatu
eksistensi.
Kecerdasan eksistensial merupakan kesadaran yang ada dan dapat berkembang
pada diri seseorang melalui akal atau pikirannya. Peserta didik dengan kecerdasan
eksistensial yang kuat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: mencari bermakna belajar,
cari koneksi di seluruh kurikulum, suka mensintesis ide-ide berdasarkan pembelajaran
mereka, nikmati sastra dan adat istiadat dari budaya lain, memiliki hubungan yang kuat
dengan keluarga dan teman-teman, mengembangkan identitas yang kuat dengan
lingkungan mereka dan kota, dapat memiliki komitmen yang kuat untuk kesehatan dan
kesejahteraan, cenderung melihat informasi relatif terhadap konteks yang disajikan
(Wahyudi, 2011).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Ganda


1. Faktor Biologis, dilihat dari keturunan, bawaan dari lahir
2. Faktor Sejarah hidup pribadi, pengalaman dengan orang tua, guru, teman, dll.
3. Latar belakang kultural dan historis, Lingkungan sekitar dan Pendidikan

C. Tokoh-tokoh
Teori intelegensi ganda (Multiple Intelegence) ditemukan dan dikembangkan
oleh Howard Gardner, seorang ahli psikologi perkembangan dan profesor pendidikan
dari graduate School of Education, Harvard university, Amerika Serikat. Ia menuliskan
gagasannya tentang intelegensi ganda dalam bukunya Frames of Mind pada tahun
1983. Pada tahun 1993 ia mempublikasikan bukunya berjudul multiple intelegence,
setelah melakukan banyak penelitiantentang implikasi teori intelegensi ganda didunia
pendidikan.
Selama tahun 1983 sampai dengan 2003 Gardner, yang juga menjadi Direktur
Proyek Zero di Harvard University, banyak menulis dan mengembangkan teori
intelegensi gandadan terutama aplikasinya dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat.
Proyek Zero adalah pusat penelitian dan pendidikan yang mengembangkan cara
belajar, berfikir dan kreatifitas dalam mempelajari suatu bidang bagi individu dan
intuisi. Teori intelegensi ganda banyak mendasari proyek Zero. Gardner mengatakan
bahwa intelegensi bukan hanya kemampuanseseorang untuk menjawab suatu tes IQ
dalam kamar tertutup yang lepas dari lingkungannya. Intelegnsi memuat kemampuan
memecahkan persoalan yangnyata dalam situasi yang berbeda-beda (Kamila dkk.,
2021).
D. Implementasi Teori Belajar Kecerdasan Ganda dalam Pembelajaran IPA
Bentuk Implementasi atau penerapan Teori kecerdasan ganda ini yaitu dengan
menerapkan pembelajaran multimodel, pendekatan interdisipliner terhadap proses
pengembangan materi pembelajaran, sedangkan dalam hal evaluasi pembelajaran dapat
dilakukan dengan model penilaian otentik dengan tujuan sepenuhnya mengakomodasi
keragaman kecerdasan yang dimiliki oleh siswa. Implementasi teori kecerdasan ganda
yang di cetus oleh Howard Gardner banyak memberikan sumbangan dalam proses
pembelajaran, bahkan di Indonesia pun kini banyak digunakan dalam implementasi
pembelajaran. Berikut akan dijelaskan beberapa implementasi Teori Intelegensi ganda
dalam pembelajaran IPA:
1. Implementasi teori Kecerdasan ganda dalam aspek kurikulum
Beberapa tahun belakangan bahwa teori kecerdasan ganda telah banyak
memberikan input bagi kurikulum di Indonesia, misalnya saja, dari segi pengaturan
materi pelajaran yang bersifat tematik, proses pembelajaran tematiktelah banyak
dilakukan diaplikasikan di sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah dengan
diterapkannya buku-buku pelajaran terpadu seperti IPA Terpadu. Tidak hanya itu
dengan adanya pengaruh teori kecerdasan ganda metode mengajar guru yang
dahulunya bersifat konvensional sekarang menjadi lebih bervariasi.
2. Implementasi dalam pengaturan kelas
Saat ini telah banyak berkembang model-model pembelajaran yang menekankan
pada pengelolaan kelas dalam proses belajar mengajar. Model-model pembelajaran
yang bervariasi dapat meningkatkan motivasi siswa sehinggamereka tidak merasa
bosan dan tidak jenuh ketika proses belajar mengajar berlangsung. Salah satu yang
mungkin sering kita dengar yaitu model pembelajaran karyawisata, yang bertujuan
menghadirkan obyek langsung kepadasiswa seperti berkunjung ke museum, hutan, atau
tempat-tempat yang menariklainnya. Dengan model ini siswa akan memunculkan
kecerdasan-kecerdasan yang berbeda, siswa akan berkembang dengan
mengekspresikan apa yang mereka alamidan temukan.
3. Terhadap Evaluasi
Peran teori intelegensi ganda banyak diterapkan di ranah perguruan tinggi,
penerapan teori intelegensi ganda untuk sekolah dasar ataupun menengah masih belum
terlalu banyak berkembang, namun proses untuk mengembangkan siestemevaluasi
yang diterapkan teori intelegensi ganda sudah ada dan sedangdikembangkan, lebih-
lebih penerapan kurikulum baru yang menggunakan pendekatan scientific, tentu saja
dalam pengembangannya nanti evaluasi hasil belajar siswa akan lebih banyak di
evaluasi dari kegiatan-kegiatan sehari-hari,mulai dari keaktifan siswa, kerja kelompok
dan lain sebagainya.
4. Dampak terhadap pendidikan nilai
Pada Kurikulum KTSP kita ketahui bahwa tujuan dari penerapan
kurikulumKTSP adalah dalam rangka menanamkan pendidikan berkarakter kepada
siswa. Sehingga dalam setiap materi yang dimuat dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) diharapkan bisa menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari, seperti kejujuran, rasa tanggung jawab dan lainsebagainya. Saat
ini penerapan pendidikan karakter yang mengharapkantertanamnya nilai-nilai luhur
kepada siswa masih terus dikembangkan untukmelahirkan generasi-generasi penerus
bangsa yang memiliki karakter-karakter yang diharapkan untuk menyongsong masa
depan.
5. Sekolah Individual
Dengan munculnya teori kecerdasan ganda, tidak hanya merubah system
kurikulum dan yang lainnya, lahirnya teori kecerdasan ganda juga memiculahirnya
sekolah-sekolah individu yang istilahnya mungkin tidak asing kita dengar yaitu yang
biasa disebut dengan istilah sekolah privat (Suparno, 2009).
BAB 8
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
PEMBELAJARAN IPA

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai


pedoman dalam melaksanakan pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk
mencapai tujuan belajar yang menyangkut sintaksis, sistem sosial, prinsip reaksi dan
sistem pendukung (Joice & Well, 2009). Model pembelajaran merupakan suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas (Safitri et al., 2022). Model pembelajaran ini harus mengacu
pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan termasuk didalamnya tujuan
pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan
pengelolaan kelas.
Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai sebuah kerangka konseptual
yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi
para perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan
aktivitas pembelajaran. Dengan demikian aktivitas pembelajaran benar-benar
merupakan kegiatan bertujuan yang tertata sistematis. Pemilihan model pembelajaran
disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran dan karakteristik setiap kompetensi
dasar yang disajikan. Tidak semua model pembelajaran cocok untuk setiap kompetensi
dasar. Guru perlu memilih dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan
kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar
terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa.
Pembelajaran di kelas harus sesuai dengan cara-gaya belajar siswa sehingga
tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal dengan berbagai model
pembelajaran yang sesuai. Dalam praktiknya, tidak ada model pembelajaran yang
paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model
pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan
ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Berikut ini disajikan
beberapa model pembelajaran dan implementasinya dalam pembelajaran IPA, untuk
dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi
dalam pembelajaran IPA.

1. Model Pembelajaran Project based Learning (PjBL)


A. Pengertian
Project based learning merupakan sebuah metode pembelajaran yang sudah
banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, project-based learning bermakna sebagai
pembelajaran berbasis proyek. Project based learning adalah sebuah metode
pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-
kegiatan yang kompleks (Rani, 2021). Project-Based Learning (PjBL) merupakan
model pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek dimana lebih
menitikberatkan pada proses belajar serta memiliki hasil berupa produk.
Definisi secara lebih komperehensif tentang Project Based Learning menurut
The George Lucas Educational Foundation (2005) adalah sebagai berikut:
“Project-based learning is curriculum fueled and standards based”.
Project Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran yang menghendaki
adanya standar isi dalam kurikulumnya. Melalui project-based learning, proses inquiry
dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan
membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan
berbagai materi dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung
peserta didik dapat melihat berbagai prinsip dalam sebuah displin yang sedang
dikajinya.
“Project-based learning asks a question or poses a problem that each student can
answer”.
Project Based Learning adalah model pembelajaran yang menuntut pendidik
mengembangkan pertanyaan penuntun (a guiding question). Masing-masing peserta
didik memiliki gaya belajar yang berbeda, sehingga project-based learning
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan
menggunakan berbagai cara yang bermakna, dan melakukan eksperimen secara
kolaboratif. Hal ini memungkinkan setiap peserta didik pada akhirnya mampu
menjawab pertanyaan penuntun.
“Project-based learning asks students to investigate issues and topics addressing
real world problems while integrating subjects across the curriculum”.
Project based learning merupakan pendekatan pembelajaran yang menuntut
peserta didik membuat “jembatan” yang menghubungkan antar berbagai subjek materi.
Melalui jalan ini, peserta didik dapat melihat pengetahuan secara holistik. Lebih
daripada itu, project-based learning merupakan investigasi mendalam tentang sebuah
topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
“Project-based learning is a method that fosters abstract, intellectual tasks to
explore complex issues”.
Project based learning merupakan pendekatan pembelajaran yang
memperhatikan pemahaman. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian,
interpretasi dan mensintesis informasi melalui cara yang bermakna.
Pada intinya, project-based learning (PjBL) merupakan pembelajaran yang
berpusat pada siswa dan berbasis proyek (menghasilkan produk) sebagai luaran
pembelajaran.

B. Tujuan
Tujuan project-based learning antara lain:
a) Melatih sikap proaktif peserta didik dalam memecahkan suatu masalah.
b) Mengasah kemampuan peserta didik dalam menguraikan suatu permasalahan di
kelas.
c) Meningkatkan keaktifan peserta didik di kelas dalam menyelesaikan permasalahan
yang kompleks sampai diperoleh hasil nyata.
d) Mengasah keterampilan peserta didik dalam memanfaatkan alat dan bahan di kelas
guna menunjang aktivitas belajarnya.
e) Melatih sifat kolaboratif peserta didik.
C. Karakteristik
Karakteristik project-based learning antara lain:
a) Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja.
b) Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik.
c) Peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau
tantangan yang diajukan.
d) Penyelesaian tugas dilakukan secara mandiri dimulai dari tahap perencanaan,
penyusunan, hingga pemaparan produk.
e) Peserta didik bertanggung jawab penuh terhadap proyek yang akan dihasilkan.
f) Proyek melibatkan peran teman sebaya, guru, orang tua, bahkan masyarakat.

D. Langkah-Langkah
Langkah-langkah melakukan project-based learning antara lain:
1. Memulai dengan pertanyaan esensial: siswa diberi permasalahan oleh guru terkait
materi yang akan dipelajari.
2. Membuat rencana proyek: siswa merancang proyek sesuai dengan topik yang
diberikan.
3. Menyusun jadwal: siswa bersama guru melakukan kesepakatan mengenai jadwal
pembuatan proyek hingga penyelesaian proyek.
4. Memonitoring siswa dan kemajuan proyek: proyek yang sedang dibuat oleh siswa
dimonitoring oleh guru.
5. Menguji dan menilai hasil: siswa mempresentasikan proyek dan guru menguji serta
menilai produk yang dihasilkan oleh siswa.
6. Mengevaluasi pengalaman: siswa bersama guru melakukan refleksi terhadap
aktivitas pembelajaran dan proyek yang telah dibuat.
Adapun langkah-langkah pembelajaran PjBL menurut Rani (2021) antara lain:
1. Peserta didik dibagi dalam kelompok‐kelompok kecil dan masing-masing kelompok
melaksanakan proyek nyata (connecting the problem).
2. Masing‐masing kelompok diberikan penjelasan tentang tugas dan tanggung jawab
(setting the structure) yang harus dilakukan oleh kelompoknya dalam praktik.
3. Peserta didik di masing‐masing kelompok berusaha maksimal untuk
mengidentifikasikan masalah bisnis (visiting the problem) yang dihadapi sesuai
pengetahuan yang dimiliki; (a) mengidentifikasi masalah dengan seksama untuk
menemukan inti problem bisnis yang sedang dihadapi dan (b) mengidentifikasi cara
untuk memecahkan masalah.
4. Peserta didik di masing‐masing kelompok mencari informasi dari berbagai sumber
(buku, pedoman dan sumber lain) atau bertanya pada pakar yang mendampingi
untuk mendapatkan pemahaman tentang masalah (re‐visiting the problem).
5. Berbekal informasi yang diperoleh peserta didik saling bekerjasama danberdiskusi
dalam memahami masalah dan mencari solusi (produce the product) terhadap
masalah dihadapi dan langsung diaplikasikan. Pelatih bertindak sebagai
pendamping.
6. Masing‐masing kelompok mensosialisasikan pengalaman dalam memecahkan
masalah kepada kelompok lainnya untuk mendapatkan masukan dan penilaian
(evaluation) dari kelompok lainnya.
Langkah‐langkah pembelajaran PjBL menurut Delise (1997) antara lain:
1. Connecting with the problem, yaitu pendidik memilih, merancang dan
menyampaikan masalah yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari peserta
didik.
2. Setting up the structure. Setelah peserta didik telah terlibat dengan masalah,
pendidik menciptakan struktur untuk bekerja melalui masalah yang dihadapi.
Struktur ini akan memberikan rancangan tugas‐tugas yang harus dilakukan oleh
peserta didik. Struktur menjadi kunci dari keseluruhan proses bagaimana peserta
didik latihan berpikir melalui situasi nyata dan mencapai solusi yang tepat.
2. Visiting the problem. Pendidik fokus pada ide‐ide yang dimiliki peserta didik
tentang bagaimana menyelesaikan masalah. Fokus tersebut diarahkan untuk
menghasilkan fakta dan daftar item yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
3. Revisiting the problem. Setelah peserta didik dalam kelompok kecil telah
menyelesaikan tugas mandiri, mereka harus segera bergabung kembali dalam kelas
untuk menemukan kembali masalah‐masalah tersebut. Pendidik pertama‐tama
meminta kelompok kecil untuk melaporkan hasil pengamatan mereka. Pada saat itu
pendidik menilai sumber yang mereka pakai sebagai referensi, waktu yang
digunakan, dan efektivitas rencana tindakan yang akan dilakukan.
4. Producing a product/performance. Peserta didik membuat hasil pemecahan
masalah yang disampaikan kepada pendidik untuk dievaluasi tentang mutu isi dan
penguasaan skill mereka.
5. Evaluating performance and the problem. Pendidik meminta peserta didik untuk
mengevaluasi hasil kerja (performance) dari kajian masalah dan alternatif solusi
yang diajukan.

E. Sistem Penilaian
Sistem penilaian project-based learning menggunakan penilaian kinerja peserta
didik, penilaian portofolio, potensi, dan penilaian usaha kelompok. Penilaian ini
dilakukan melalui evaluasi diri atau self-assesment dan peer assessment.

F. Kelebihan dan Kekurangan


Kelebihan PjBL antara lain:
a) Model ini bersifat terpadu sehingga tidak terlalu membutuhkan tambahan apapun di
dalam pelaksanaannya.
b) Peserta didik terlibat dalam praktik otentik secara disiplin.
c) Peserta didik mampu bekerja sama berkolaborasi guna memecahkan masalah dalam
jalannya praktik.
d) Dengan adanya teknologi yang terintegrasi dapat dijadikan alat penemuan,
kolaborasi, dan komunikasi selama PjBL berlangsung.
e) Meningkatkan kerja sama antara peserta didik dan pendidik dalam merancang dan
mengimplementasikan proyek.
f) Memotivasi peserta didik dengan melibatkannya di dalam pembelajarannya,
membiarkan sesuai minatnya, menjawab pertanyaan dan untuk membuat keputusan
dalam proses belajar.
g) Membantu keterkaitan hidup di luar sekolah, memperhatikan dunia nyata, dan
mengembangkan ketrampilan nyata.
h) Menyediakan kesempatan untuk membangun hubungan dengan komunitas yang
besar.
i) Membuat peserta didik lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang
kompleks.
j) Memberikan pengalaman pada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam
mengorganisasikan proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain
seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
k) Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks
dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.
l) Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun
pendidik menikmati proses pembelajaran.

Kekurangan PjBL antara lain:


a) Membutuhnya banyak waktu untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan proyek.
b) Membutuhkan banyak biaya uang cukup banyak untuk menyelesaikan proyek.
c) Membutuhkan media dan sumber belajar yang bervariasi.
d) Adanya kekhawatiran peserta didik hanya akan menguasai satu topik tertentu saja.
e) Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan
informasi akan mengalami kesulitan.
f) Ada kemungkinan peserta didik ada yang kurang aktif dalam kerja kelompok.
g) Banyak pendidik yang merasa nyaman dengan kelas tradisional.

G. Penerapan PjBL
Penerapan PjBL antara lain:
a. Topik/materi yang dipelajari peserta didik merupakan topik yang bersifat
kontekstual dan mudah didesain menjadi sebuah proyek yang menarik;
b. Peserta didik tidak digiring untuk menghasilkan satu proyek saja (satu peserta
didik menghasilkan satu proyek);
c. Proyek tidak harus selesai dalam 1 pertemuan (diselesaikan dalam 3-4 pertemuan);
d. Proyek merupakan bentuk pemecahan masalah sehingga dari pembuatan proyek
bermuara pada peningkatan hasil belajar;
e. Bahan, alat, dan media yang dibutuhkan untuk membuat proyek diusahakan
tersedia di lingkungan sekitar dan diarahkan memanfaatkan bahan bekas/sampah
yang tidak terpakai agar menjadi bernilai guna; dan
f. Penilaian autentik menekankan kemampuan merancang, menerapkan,
menemukan, dan menyampaikan produknya kepada orang lain.
Dalam penerapan model pembelajaran yang telah diuraikan di atas, seorang guru
hendaknya memahami cara menentukan model pembelajaran yang akan digunakan.
Adapun tahapan penentuan model pembelajaran sebagai berikut:
1. Memahami sintaks tiap model pembelajaran;
2. Menganalisis konten/ materi pembelajaran;
3. Memahami konteks peserta didik; Jika peseta didik belum siap, perlu dibangun
jembatan penghubung antara proses LOTS menuju HOTS. yaitu membangun
skema pengetahuan awal dengan pengetahuan baru.
4. Mempersiapkan sebuah situasi nyata yang dapat menstimulasi proses berpikir
tingkat tinggi dengan menciptakan dilemma. kebingungan, tantangan, dan
ambiguitas dari permasalahan yang direncanakan akan dihadapi peserta didik;
5. Menentukan keterampilan yang akan digunakan untuk menghadapai situasi nyata
tersebut;
6. Mempertimbangkan alokasi waktu pembelajaran;
7. Menentukan luaran (output) yang akan dihasilkan; dan
8. Menganalisis situasi, keterampilan, dan luaran dengan sintak model pembelajaran
untuk menentukan model yang relevan.
Adapun aktivitas guru dan peserta didik berdasarkan langkah kerta PjBL
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Aktivitas guru dan peserta didik dalam pembelajaran PjBL
Langkah Kerja Aktivitas Guru Aktivitas Peserta Didik
Pertanyaan Mendasar Guru menyampaikan Mengajukan pertanyaan
topik dan mengajukan mendasar apa yang harus
pertanyaan bagaimana dilakukan peserta didik
cara memecahkan terhadap topik/pemecahan
masalah. masalah.
Mendesain Guru memastikan Peserta didik berdiskusi
Perencanaan Produk setiap peserta didik menyusun rencana pembuatan
dalam kelompok proyek pemecahan masalah
memilih dan meliputi pembagian tugas,
mengetahui prosedur persiapan alat, bahan, media,
pembuatan sumber yang dibutuhkan.
proyek/produk yang
akan dihasilkan.
Menyusun Jadwal Guru dan peserta didik Peserta didik menyusun
Pembuatan membuat kesepakatan jadwal penyelesaian proyek
tentang jadwal dengan memperhatikan batas
pembuatan proyek waktuyang telah ditentukan
(tahapan-tahapan dan bersama.
pengumpulan).
Memonitor Keaktifan Guru memantau Peserta didik melakukan
dan Perkembangan keaktifan peserta didik pembuatan proyek sesuai
Proyek selama melaksanakan jadwal, mencatat setiap
proyek, memantau tahapan, mendiskusikan
realisasi perkembangan masalah yang muncul selama
dan membimbing jika penyelesaian proyek dengan
mengalami kesulitan. guru.
Menguji hasil Guru berdiskusi Membahas kelayakan proyek
tentang prototipe yang telah dibuat dan membuat
proyek, memantau laporan produk/ karya untuk
keterlibatan peserta dipaparkan kepada orang lain.
didik, mengukur
ketercapaian standar.
Evaluasi Pengalaman Guru membimbing Setiap peserta didik
Belajar proses pemaparan memaparkan laporan, peserta
proyek, menanggapi didik yang lain memberikan
hasil, selanjutnya guru tanggapan, dan bersama guru
dan peserta didik menyimpulkan hasil proyek.
merefleksi/
kesimpulan.

2. Model Pembelajaran Problem Based Learning


A. Pengertian
Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu model pembelajaran yang
melibatkan siswa untuk memecahkan masalah nyata melalui tahap-tahap metode
ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan
masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.
Problem based learning diartikan sebagai metode pembelajaran yang mengarahkan
siswa untuk mendapatkan ilmu baru dari analisis berbagai pengetahuan dan
pengalaman belajar yang dimiliki, serta menghubungkannya dengan permasalahan
belajar yang diberikan guru.

B. Karakteristik
Karakteristik Problem Based Learning antara lain:
a) Learning is students centered, yaitu proses pembelajaran dalam PBL lebih
menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL
didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
b) Autenthic problems from organizing focus for learning, yaitu masalah yang
disajikan kepada siswa adalah masalah yang autentik sehingga siswa mampu
dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam
kehidupan profesionalnya nanti.
c) New information is acquired through self direct learning, yaitu dalam proses
pemecahan masalah mungkin saja belum mengetahui dan memahami semua
pengetahuan prasayaratnya sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui
sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.
d) Learning occurs in small group, yaitu agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar
pemikiran dalam usaha mengembangkan pengetahuan secara kolaboratif, PBL
dilaksanakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian
tugas yang jelas dan penerapan tujuan yang jelas.
e) Teacher act as facilitator, yaitu pada pelaksanaan PBL, guru hanya berperan
sebagai fasilitator. Meskipun begitu guru harus selalu memantau perkembangan
aktivitas siswa dan mendorong mereke agar mencapai target yang hendak dicapai.

C. Sistem Penilaian
Sistem Penilaian berupa pengetahuan, kecakapan, dan sikap dengan penilaian
pembelajaran menggunakan authentic assesment. Penilaian terhadap penguasaan
pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan
ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan
laporan.

D. Sintaks PBL
Sintaks PBL antara lain:
a) Peserta didik disajikan suatu masalah.
b) Peserta didik mendiskusikan masalah dalam tutorial PBL dalam sebuah kelompok
kecil. Mereka mengklarifikasi fakta-fakta suatu kasus kemudian mendefinisikan
sebuah masalah. Mereka membrainstorming gagasannya dengan berpijak pada
pengetahuan sebelumnya. Kemudian, mereka mengidentifikasi apa yang mereka
butuhkan untuk menyelesaikan masalah serta apa yang mereka tidak ketahui.
Mereka menelaah masalah tersebut. Mereka juga mendesain suatu rencana tindakan
untuk menggarap masalah.
c) Peserta didik terlibat dalam studi independen untuk menyelesaikan masalah diluar
bimbingan guru. Hal ini bisa mencakup: perpustakaan, database, website,
masyarakat, dan observasi.
d) Peserta didik kembali pada tutorial PBL, lalu saling sharing, informasi, melalui peer
teaching atau cooperative learning atas masalah tertentu.
e) Peserta didik mereview apa yang mereka pelajari proses pengerjaan selama ini.
Semua yang berpartisipasi dalam proses tersebut terlibat dalam review berpasangan,
dan review berdasarkan bimbingan guru, sekaligus melakukan refleksi atas
kontribusinya tehadap proses tersebut.
Berdasarkan sintaks tersebut, aktivitas guru dan peserta didik dalam
pembelajaran PBL disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Aktivitas guru dan peserta didik pada pembelajaran PBL

Langkah Kerja Aktivitas Guru Aktivitas Peserta Didik

Orientasi peserta Guru menyampaikan Kelompok mengamati


didik pada masalah masalah yang akan dan memahami masalah
dipecahkan secara kelompok. yang disampaikan guru
Masalah yang diangkat atau yang diperoleh dari
hendaknya kontekstual. bahan bacaan yang
Masalah bisa ditemukan disarankan.
sendiri oleh peserta didik
melalui bahan bacaan atau
lembar kegiatan.
Mengorganisasikan Guru memastikan Peserta didik berdiskusi
peserta didik untuk setiap anggota memahami dan membagi tugas untuk
belajar. tugas masing-masing. mencari data/ bahan-
bahan/ alat yang
diperlukan untuk
menyelesaikan masalah.

Membimbing Guru memantau keterlibatan Peserta didik melakukan


penyelidikan individu peserta didik dalam penyelidikan (mencari
maupun kelompok. pengumpulan data/ bahan data/ referensi/ sumber)
selama proses penyelidikan. untuk bahan diskusi
kelompok.

Mengembangkan dan Guru memantau diskusi dan Kelompok melakukan


menyajikan hasil membimbing pembuatan diskusi untuk menghasil-
karya. laporan sehingga karya kan solusi pemecahan
setiap kelompok siap untuk masalah dan hasilnya
dipresentasikan. dipresentasikan/disajikan
dalam bentuk karya.

Menganalisis dan Guru membimbing Setiap kelompok


mengevaluasi proses presentasi dan mendorong melakukan presentasi,
pemecahan maalah. kelompok memberikan kelompok yang lain
penghargaan serta masukan memberikan apresiasi.
kepada kelompok lain. Guru Kegiatan dilanjutkan
bersama peserta didik dengan
menyimpulkan materi. merangkum/membuat
kesimpulan sesuai dengan
masukan yang diperoleh
dari kelompok lain.
E. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan model Problem Based Learning antara lain:
a) Peserta didik diharap mampu memecahkan masalah dalam situasi yang ada.
b) Pembelajaran berfokus pada adanya masalah sehingga materi tidak selamanya
berpacu pada buku paket.
c) Terjadi aktivitas ilmiah pada peserta didik ketika kerja kelompok.
d) Pemikiran berpikir kritis peserta didik dapat meningkat.
e) Peserta didik terbiasa menggunakan sumber pengetahuan baik dari perpustakaan,
internet, dan observasi.
f) Pembelajaran berpusat pada peserta didik.
g) Mengembangkan pengendalian diri peserta didik.
h) Memungkinkan peserta didik mempelajari peristiwa secara multidimensi dan
mendalam.
i) Mengembangkan kemampuan sosial dan keterampilan berkomunikasi yang
memungkinkan mereka belajar dan bekerja dalam tim.
j) Mengintegrasikan teori dan praktik yang memungkinkan peserta didik
menggabungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.

Kekurangan model Problem Based Learning antara lain:


a. Model Problem Based Learning ini memerlukan waktu yang tidak sedikit.
b. Pembelajaran dengan model ini membutuhkan minat dari siswa untuk
memecahkan masalah.
c. Jika siswa tidak memiliki minat tersebut maka siswa cenderung bersikap enggan
untuk mencoba.
d. PBL tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru
berperan aktif dalam menyajikan materi. PBL lebih cocok untuk pembelajaran
yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah.
F. Penerapan PBL dalam Pembelajaran IPA
Penerapan PBL dalam pembelajaran IPA:
a) Orientasi peserta didik pada masalah
b) Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar
c) Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
d) Mempresentasikan hasil penyelidikan kelompok
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Langkah-langkah operasional dalam proses pembelajaran yang dikonsepkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebagai berikut:
a. Konsep Dasar (Basic Concept). Fasilitator memberikan konsep dasar, petunjuk,
referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk dalam atmosfer pembelajaran
dan mendapatkan peta yang akurat tentang arah dan tujuan pembelajaran.
b. Pendefinisian Masalah (Defining the Problem). Dalam langkah ini fasilitator
menyampaikan scenario atau permasalahan dan peserta didik melakukan berbagai
kegiatan brainstorming dan semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat,
ide, dan tanggapan terhadap scenario secara bebas, sehingga dimungkinkan
muncul berbagai macam alternative pendapat.
c. Pembelajaran Mandiri (Self Learning). Peserta didik mencari berbagai sumber
yang dapat memperjelas isu yang sedang dinvestigasi. Sumber yang dimaksud
dapat dalam bentuk artikel tetulis yang tersimpan dipepustakaan, halaman web,
atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Tahap investigasi memiliki dua
tujuan utama, yaitu:
(1) agar peserta didik mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang
relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan dikelas, dan
(2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan
informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.
d. Pertukaran Pengetahuan (Exchange Knowledge). Setelah mendapatkan sumber
untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran mandiri,
selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi dalam
kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari
permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara
peserta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
e. Penilaian (Assessment). Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek
pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude).

3. Model Pembelajaran Discovery Learning


A. Pengertian
Discovery learning (pembelajaran penemuan) adalah rangkaian kegiatan
pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan peserta didik
untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, dan logis sehingga mereka
dapat menemukan sendiri pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai wujud adanya
perubahan perilaku. Tidak serupa dengan model pembelajaran lainnya yang cenderung
konvensional, discovery learning lebih berpusat pada peserta didik, bukan guru.
Pengalaman langsung dan proses pembelajaran menjadi patokan utama dalam
pelaksanaannya. Di sisi lain model discovery learning merupakan model yang lebih
menekankan pada pengalaman langsung siswa dan lebih mengutamakan proses
daripada hasil belajar. Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
discovery learning merupakan proses memahami sebuah konsep berdasarkan materi
yang secara aktif dan mandiri untuk kemudian diperoleh kesimpulan.

B. Tujuan
Tujuan pembelajaran discovery learning antara lain:
1. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran.
2. Mengajarkan siswa untuk menemukan pola dalam situasi konkret maupun abstrak,
termasuk meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.
3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar merumuskan strategi tanya
jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab sebagai alat untuk
memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan pengetahuan.
4. Membantu siswa melakukan kegiatan kerja sama yang efektif, saling membagi
informasi, serta mendengar dan mengaplikasikan ide-ide orang lain.

C. Prinsip
a) Siswa menghadapi masalah yang direkayasa oleh guru.
b) Materi yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final.
c) Siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui.
d) Siswa mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk
(konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk
akhir.

D. Karakteristik
a) Menekankan aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan inti materi pelajaran.
b) Siswa diarahkan untuk melakukan aktivitas menemukan dan mencari jawaban
sendiri dari suatu permasalahan.
c) Mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.

E. Kelebihan dan Kekurangan


Kelebihan pembelajaran discovery learning antara lain:
a) Membantu peserta didik untuk mengembangkan, kesiapan, serta penguasaan
ketrampilan dalam proses kognitif.
b) Peserta didik memperoleh pengetahuan secara individual sehingga dapat
dimengerti dan bermakna.
c) Dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar lebih giat lagi.
d) Memberikan peluang untuk maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan dan
minat masing-masing.
e) Mampu meningkatkan penalaran peserta didik.
f) Lebih efektif dalam mentransfer pengetahuan pada peserta didik.
g) Menumbuhkan rasa senang saat berlangsungnya pembelajaran, terlebih jika
kesimpulan yang diperoleh sesuai.
Kekurangan pembelajaran discovery learning antara lain:
a. Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar.
b. Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
c. Tidak mudah mendesainnya, karena terbentur pada kebiasaan siswa.
d. Terkadang dalam implementasinya memerlukan waktu yang panjang, sehingga
guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan
e. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai
materi pelajaran, maka strategi ini akan sulit diimplementasikan oleh setiap guru.

E. Penerapan dalam Pembelajaran IPA


Langkah-langkah discovery learning pada pembelajaran IPA antara lain:
a. Stimulation
Pada tahapan stimulation, guru memberikan motivasi agar peserta didik bisa lebih
fokus dalam mempelajari materi tentang kelistrikan pada saraf. Lalu, guru meminta
peserta didik untuk memukulkan sikunya ke meja.
b. Problem statement
Pada tahap ini, peserta didik diminta untuk mengidentifikasi masalah terkait kelistrikan
pada saraf sebanyak mungkin, hingga akhirnya timbul pemikiran dan pertanyaan dari
peserta didik.
▪ Guru bisa bertanya pada peserta didik, misalnya “Apa yang kalian rasakan
setelah siku dipukulkan ke meja?”
▪ Guru meminta peserta didik untuk merumuskan pertanyaan yang berkaitan
dengan permasalahan. Misalnya, “Mengapa siku terasa sakit saat dipukulkan
ke meja?”, “Apa peran saraf dalam menanggapi rangsangan tersebut?”,
“Bagaimana kelistrikan terjadi pada sel saraf manusia?”
▪ Guru meminta peserta didik untuk membuat hipotesis terhadap pertanyaan di
atas.

c. Data collection
Pada tahap ini, peserta didik diminta untuk mencari informasi yang relevan guna
menjawab pertanyaan yang dirumuskan pada tahap problem statement.
d. Data processing
Pada tahap ini, guru meminta peserta didik untuk berdiskusi dengan anggota
kelompoknya untuk memproses informasi yang telah dikumpulkan oleh masing-
masing anggota.
e. Verification
Tahap verification memuat kegiatan peserta didik untuk membuktikan kebenaran
hipotesis yang telah dirumuskan. Cara untuk membuktikannya adalah dengan
melakukan pemeriksaan kembali hipotesisnya dan mencocokkan hipotesis tersebut
dengan informasi yang diperoleh dari literatur.
f. Generalization
Pada tahap ini, peserta didik menyimpulkan berdasarkan kecocokan antara informasi
yang diperoleh dan hipotesis.
Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran di atas, aktivitas guru dan peserta
didik pada pembelajaran discovery learning disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Aktivitas Guru dan Peserta Didik pada Pembelajaran Discovery Learning
Langkah Kerja Aktivitas Guru Aktivitas Peserta Didik
Pemberian rangsangan Guru memulai kegiatan Peserta didik dihadapkan
(Stimulation) pembelajaran dengan pada sesuatu yang
mengajukan pertanyaan, menimbulkan
anjuran membaca buku, kebingungannya,
dan aktivitas belajar kemudian dilanjutkan
lainnya yang mengarah untuk tidak memberi
pada persiapan generalisasi, agar timbul
pemecahan masalah. keinginan untuk
menyelidiki sendiri.
Pernyataan/Identifikasi Guru memberi Permasalahan yang
masalah kesempatankepada dipilih itu selanjutnya
(Problem Statement) peserta didik untuk harus dirumuskan dalam
mengidentifikasi bentuk pertanyaan, atau
sebanyak mungkin hipotesis, yakni
agenda-agenda masalah pernyataan sebagai
yang relevan dengan jawaban sementara atas
bahan pelajaran, pertanyaan yang diajukan.
kemudian salah satunya
dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas
pertanyaan masalah).
Pengumpulan data (Data Ketika eksplorasi Tahap ini berfungsi untuk
Collection) berlangsungguru juga menjawab pertanyaan
memberi kesempatan atau membuktikan benar
kepada para peserta didik tidaknyahipotesis.
untuk mengumpulkan Dengan demikian peserta
informasi yang relevan didik diberi kesempatan
sebanyak-banyaknya untuk mengumpulkan
untuk membuktikan benar (collection) berbagai
atau tidaknya hipotesis. informasi yang relevan,
membaca literatur,
mengamati objek,
wawancara dengan nara
sumber, melakukan uji
coba sendiri dan
sebagainya.
Pengolahan data (Data Guru melakukan Pengolahan data
Processing) bimbingan pada saat merupakan kegiatan
peserta didik melakukan mengolah data dan
pengolahan data. informasi baik melalui
wawancara, observasi,
dan sebagainya, lalu
ditafsirkan.Semua
informasi hasil bacaan,
wawancara, observasi,
dan sebagainya,
semuanya diolah, diacak,
diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan
cara tertentu serta
ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu.
Pembuktian (Verification) Verifikasi bertujuan Peserta didik melakukan
agarproses belajar akan pemeriksaan secara
berjalan dengan baik dan cermat untuk
kreatif jika guru membuktikan benar atau
memberikan kesempatan tidaknya hipotesis yang
kepada peserta didik ditetapkan tadidengan
untuk menemukan suatu temuan alternatif,
konsep, teori, aturan atau dihubungkan dengan hasil
pemahaman melalui pengolahan data.
contoh-contoh yang ia
jumpai dalam
kehidupannya.
Menarik Proses menarik Berdasarkan hasil
simpulan/generalisasi sebuahkesimpulan yang verifikasi maka
(Generalization) dapat dijadikan prinsip dirumuskan prinsip-
umum dan berlaku untuk prinsip yang mendasari
semua kejadian atau generalisasi.
masalah yang sama,
dengan memperhatikan
hasil verifikasi.

4. Model Pembelajaran Children Learning in Science


A. Pengertian
Model pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) merupakan model
pembelajaran yang mengembangkan idea atau gagasan siswa tentang suatu masalah
tertentu dalam pembelajaran serta mengkonstruksikan ide atau gagasan berdasarkan
hasil pengamatan atau percobaan.

B. Sistem Penilaian
Sistem penilaian meliputi 3 aspek yaitu kompetensi saintifik (psikomotorik), sikap
saintifik (afektif), dan pengetahuan saintifik (kognitif).

C. Kelebihan dan Kekuran


Kelebihan CLIS antara lain:
a) Peserta didik lebih berani menyampaikan pendapat
b) Peserta didik aktif dalam pembelajaran
c) Membiasakan peserta didik mengatasi masalah
d) Membiasakan peserta didik dalam berpikir ilmiah, logis, serta kritis e) Mendorong
peserta didik memperoleh pengalaman baru dari masalah yang diselesaikan
e) Memacu kreativitas peserta didik

Kekurangan CLIS antara lain:


a) Dominasi dari peserta didik yang suka bicara dan kritis
b) Membutuhkan sarana belajar yang mendukung

D. Langkah-Langkah dalam Pembelajaran IPA


Langkah-langkah dan penerapan dalam pembelajaran IPA antara lain:
a) Orientasi → pendidik memusatkan perhatian peserta didik dengan menyajikan
suatu fenomena yang masih berkaitan dengan topik misalnya tentang pesawat
sederhana contohnya bidang miring
b) Pemunculan gagasan (elicitation of ideas) → Pemunculan gagasan merupakan
upaya untuk memunculkan konsepsi awal siswa. Misalnya dengan cara meminta
siswa menuliskan apa saja yang telah diketahui tentang topik pembicaraan atau
dengan menjawab beberapa pertanyaan uraian terbuka.bagi guru tahapan ini
merupakan upaya eksplorasi pengetahuan awal siswa,oleh karena itu tahapan ini
juga dilakukan wawancara informal.
c) Penyusunan ulang gagasan (restructuring of ideas) → Tahap ini merupakan
upaya untuk memperjelas dan mengungkapkan gagasan awal siswa tentang suatu
topik secara umum misalnya dengan cara mendiskusikan jawaban siswa pada
langkah kedua (pemunculan gagasan) dalam kelompok kecil, kemudian salah
satu anggota kelompok melaporkan hasil diskusi tersebut kepada seluruh kelas.
guru tidak membenarkan atau menyalahkan.
d) Penerapan gagasan (application of ideas) → peserta didik diminta menjawab
pertanyaan yang menerapkan konsep pesawat sederhana melalui observasi yang
telah dikontruksi sehingga dapat memecahkan masalah
e) Mengkaji ulang gagasan (review change in ideas) → konsep yang diperoleh
diperkuat oleh pendidik. Konsepsi yang telah diperoleh siswa perlu diberi umpan
balik oleh guru untuk memperkuat konsep ilmiah tersebut. Dengan demikian
diharapkan siswa yang konsepsi awalnya tidak konsisten dengan konsep ilmiah
sadar akan mengubah konsepsi awalnya menjadi konsepsi ilmiah. pada
kesempatan ini dapat juga diberi kesempatan membandingkan konsep ilmiah
yang sudah disusun dengan konsep awal pada tahap b.
GLOSARIUM

Belajar
Berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu
Humanistik
Humanistis; bersifat kemanusiaan
Ilmiah
Bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan
IPA
Ilmu Pengetahuan Alam
Kecerdasan
Kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran)
Kognitif
Berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris
Pembelajaran
Proses, cara, perbuatan menjadikan belajar
Projek
Rencana pekerjaan dengan sasaran khusus (pengairan, pembangkit tenaga listrik, dan
sebagainya) dan dengan saat penyelesaian yang tegas
Sains
Pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba
yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki,
dipelajari, dan sebagainya
Stimulus
Perangsang organisme (bagian tubuh atau reseptor lain) untuk menjadi aktif
Teori
Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan
argumentasi
DAFTAR PUSTAKA

Adha, M. A., Gordisona, S., Ulfatin, N., & Supriyanto, A. (2019). Analisis komparasi
sistem pendidikan Indonesia dan Finlandia. Jurnal Studi Manajemen Pendidikan,
3(2), 145-160.
Agustin, N. (2018). Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran Akidah
Akhlak Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Naturalistik
Eksistensial Spiritual. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 9(1), 37-59.
Andriyani, F. (2015). Teori Belajar Behavioristik dan Pandangan Islam tentang
Behavioristik. Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam. Edisi 10 No. 2 Hal. 165-
180.
Armstrong, T. (2002). 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan
Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Armstrong, T. (2005). Setiap Anak Cerdas: Panduan Membantu Anak Belajar dengan
Memanfaatkan Multiple Intelligence-nya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Awalludin, F. A. (2021). Konsep Pendidikan Humanistik Berbasis Al-Quran. Al-Din:
Jurnal Dakwah Dan Sosial Keagamaan, 7(1).
Badi’ah, Z. (2021). Implikasi Teori Belajar Kognitif J. Piaget dalam Pembelajaran
Bahasa Arap dengan Metode Audiolongual. Attractive: Innovative Education
Journal, 3(1), 76-90.
Budiningsih, C. A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Chatib, M. & Said, A. (2012). Sekolah Anak-Anak Juara Berbasis Kecerdasan Jamak
dan Pendidikan Berkeadilan. Bandung: Kaifa.
Delise, R. (1997). Used Problem Based Learning in The Classroom. USA: Association
for Supervision and Curriculum Development.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya.
Devi, A. D. (2021). Implementasi Teori Belajar Humanisme dalam Proses Belajar
Mengajar Pendidikan Agama Islam. At-Tarbawi: Jurnal Pendidikan, Sosial
dan Kebudayaan, 8(1), 71-84.
Ekawati, M., & Yarni, N. (2019). Teori Belajar Berdasarkan Aliran Psikologi
Humanistik Dan Implikasi Pada Proses Belajar Pembelajaran. Jurnal Review
Pendidikan Dan Pengajaran, 2(2), 266–269.
Faiqoh, N. M. R., & Baroroh, R. U. (2020). Teori Belajar Humanistik Dan Implikasinya
Pada Maharah Istima'. Urwatul Wutsqo: Jurnal Studi Kependidikan Dan
Keislaman, 9(2), 213-228.
Familus. (2016). Teori Belajar Aliran Behavioristik serta Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal PPKn dan Hukum. 11 (2): 108.
Fathurrohman, M. (2017). Belajar dan Pembelajaran Modern. Yogyakarta:
Garudhacawa.
Frimia, A. N. (2017). Teori Belajar dan Pembelajaran Implementasinya dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP, SMA, dan SMK. Yogyakarta:
Deepublish.
Ghofur, A. A. (2019). Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis Humanistik
Dengan Pendekatan Aktif Learning (Studi Multikasus). (Doctoral Dissertation,
IAIN Tulungagung).
Gredler, B. (1991). Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali.
Haerazi, H. (2018). Landasan Filosofis Pembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia.
JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan), 2(1).
Hamid, M. A., Hilmi, D., & Mustofa, M. S. (2019). Pengembangan Bahan Ajar Bahasa
Arab Berbasis Teori Belajar Konstruktivisme Untuk Mahasiswa. Arabi:
Journal of Arabic Studies, 4(1), 100-114.
Hardianto, D. (2012). Paradigma Teori Behavioristik dalam Pengembangan
multimedia Pembelajaran. Majalah Ilmiah Pembelajaran.
Insani, F. D. (2019). Teori Belajar Humanistik Abraham Maslow Dan Carl Rogers
Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. As-Salam:
Jurnal Studi Hukum Islam & Pendidikan, 8(2), 209–230.
Joice and Well. (2009). Models of Teaching (Model Model Pengajaran).
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kamila, J. T., Haliza, V. N., Putri, S. B., & Windayana, H. (2021). Revitalisasi
Manajemen Pembelajaran Daring dalam Rangka Pengembangan Kecerdasan
Majemuk Peserta Didik. Aulad: Journal on Early Childhood, 4(3).
Kusmintardjo., & Mantja, W. (2011). Landasan-Landasan Pendidikan dan
Pembelajaran. Program Studi Doktor Manajemen Pendidikan, Universitas
Negeri Malang.
Lundin, (1991). Theories and Systems of Psychology. 4 rd Ed. Toronto: D.C. Heath and
Company.
Manik, H., Sihite, A. C., Manao, M. M., Sitepu, S., & Naibaho, T. (2022). Teori Filsafat
Humanistik dalam Pembelajaran Matematika. Edumaspul: Jurnal Pendidikan,
6(1), 348-355.
Mursyidi, W. (2019). Kajian Teori Belajar Behaviorisme Dan Desain Instruksional.
Almarhalah: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 33.
Nada, N. (2019). Pola modifikasi perilaku disiplin santri di Madrasah Tsanawiyah
Zainul Hasan 1 Genggong (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Nahar, I. N. (2016). Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Proses Pembelajaran.
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. 1-70.
Nurhadi, N. (2020). Teori Kognitivisme serta Aplikasinya dalam Pembelajaran. EDISI,
2(1), 77-95.
Nurhidayati, T. (2015). Inovasi Pembelajaran PAI Berbasis Multiple Intelligences.
Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), 3(1),
23-56.
Nurlina, N., & Bahri, A. (2021). Teori Belajar dan Pembelajaran. Makassar: CV.
Berkah Utami.
Pratama, Y. A. (2019). Relevansi teori belajar behaviorisme terhadap pendidikan
agama islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 4(1), 38-49.
Rahmah, S. (2022). Teori Kognitivisme Serta Aplikasinya Dalam Pembelajaran.
SKULA: Jurnal Pendidikan Profesi Guru Madrasah, 2(3), 23-34.
Rahman, Y. A., & Rahman, R. (2019). Teori Belajar Kognitif Membedah Psikologi
Belajar Jean Piaget. Tsaqofah: Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 1-10.
Rangkuti, A. N. (2014). Konstruktivisme dan Pembelajaran Matematika. Darul Ilmi:
Jurnal Ilmu Kependidikan dan Keislaman, 2(2).
Rani, H. (2021). Penerapan Metode Project Based Learning pada Pembelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam dalam Meningkatkan Motivasi Belajar. Jurnal Pendidikan
Refleksi, 10(2), 95-102.
Ratnasari, S. L., Supardi, S., & Nasrul, H. W. (2020). Kecerdasan Intelektual,
Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, Dan Kecerdasan Linguistik
Terhadap Kinerja Karyawan. Journal of Applied Business Administration, 4(2),
98-107.
Ratnawati, E. (2016). Karakteristik teori-teori belajar dalam proses pendidikan
(perkembangan psikologis dan aplikasi). Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial &
Ekonomi, 4(2).
Rosidah, L. (2014). Peningkatan kecerdasan visual spasial anak usia dini melalui
permainan maze. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 8(2), 281-290.
Safitri, A. O., Handayani, P. A., Yunianti, V. D., & Prihantini, P. (2022). Pengaruh
Model Pembelajaran Discovery Learning terhadap Peningkatan Hasil Belajar
Siswa SD. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 9106-9114.
Setiawan, A. (2017). Belajar dan Pembelajaran. Palangka Raya: Uwais Inspirasi
Indonesia.
Setyowati, A., & Subali, B. (2011). Implementasi Pendekatan Konflik Kognitif dalam
Pembelajaran Fisika untuk Menumbuhkan Kemampuan erpikir Kritis Siswa
SMP Kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7(2).
Subakti, H., Utami, N. R., Sulaeman, D., Soputra, D., Hardiyanti, S. A., Avicenna, A.,
& Yuniwati, I. (2022). Teori Pembelajaran. Yayasan Kita Menulis.
Sugiharti, R. E., & Sukowati, T. Z. (2020). Pendekatan Science Environment
Technology Society (Sets) Sebagai Alternatif Dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Ipa Pada Materi Cahaya Di Sekolah Dasar. PEDAGOGIK (Jurnal
Pendidikan Sekolah Dasar), 8(2), 10-15.
Sugrah, N. (2019). Implementasi Teori Belajar Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Sains. Humanika: Jurnal Ilmiah Mata Kuliah Umum, 19(2), 121-138.
Sulaiman, S., & Neviyarni, S. (2021). Teori Belajar Menurut Aliran Psikologi
Humanistik Serta Implikasinya Dalam Proses Belajar dan Pembelajaran. Jurnal
Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan dan Pembelajaran, 2(3), 220-234.
Sukenti. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suprayetno, E. (2022). Menyibak Sastra Feminisme Kekinian: Ditinjau Perspektif
Teori Belajar Humanistik. EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia), 1(1),
66-74.
Susilawati, N. (2021). Humanisme, M. B. K. M. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian
Pendidikan Dan Pembelajaran, 2(3).
Suparno, Paul. 2009. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius.
Suzana, Y., Jayanto, I., & Farm, S. (2021). Teori belajar & pembelajaran. Literasi
Nusantara.
Syafe’i, M. (2018). Upaya Mengembangkan Kecerdasan Musikal Melalui Permainan
Persepsi Bentuk Musikal Pada Anak Kelomok B di TK Pertiwi Tanjung Juwiring
Klaten. SALIHA: Jurnal Pendidikan & Agama Islam, 1(2), 71-85.
Syarifah, S. (2019). Konsep Kecerdasan Majemuk Howard Gardner. Sustainable
Jurnal Kajian
Mutu Pendidikan, 2(2), 176-197.
Umam, M. C. (2019). Implementasi Teori Belajar Humanistik Carl R. Rogers Pada
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Tadrib, 5(2), 247-264.
Umar, U. (2018). Analisis Konstruktif Teori Belajar Behaviorisme dalam Proses
Pembelajaran di Sekolah. EL-Muhbib: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian
Pendidikan Dasar, 2(1), 41.
Wahyudi, D. (2011). Pembelajaran IPS Berbasis Kecerdasan Intrapersonal
Interpersonal dan
Eksistensial. Journal Pendidikan, Edisi Khus (1).
Wicaksana, T. I., Ambiyar, A., Maksum, H., & Irfan, D. (2022). Penerapan model
(PJBL) untuk meningkatkan kreativitas dan hasil belajar dalam mata pelajaran
pemrograman berorientasi objek. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 7(3),
470-478.
Wicaksana, I. G. W. (2018). Konstruktivisme. Surabaya: Airlangga University Press.
Widyantari, N. K. S., Suardana, I. N., & Devi, N. L. P. L. (2019). Pengaruh Strategi
Belajar Kognitif, Metakognitif Dan Sosial Afektif Terhadap Hasil Belajar Ipa.
Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Sains Indonesia (JPPSI), 2(2), 151-160.
Widiyatmoko, A. (2013). Pengembangan perangkat pembelajaran ipa terpadu
berkarakter menggunakan pendekatan humanistik berbantu alat peraga murah.
Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 2(1).
Wisman, Y. (2020). Teori Belajar Kognitif dan Implementasi dalam Proses
Pembelajaran. Jurnal Ilmiah Kanderang Tingang, 11(1), 209-215.
Wulandari, R. (2017). Berpikir ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA untuk
meningkatkan literasi sains. SEJ (Science Education Journal), 1(1), 29-35.
Yahaya, A., & Chu, S. P. (2010). Teori-Teori Pembelajaran. Teori-Teori
Pembelajaran, 1-4.
Yanuardianto, E. (2019). Teori Kognitif Sosial Albert Bandura (Studi Kritis dalam
Menjawab Problem Pembelajaran di Mi). Auladuna: Jurnal Prodi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah, 1(2), 111.
Yaumi, M. (2013). Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences:
Mengidentifikasi dan Mengembangkan Multitalenta Anak. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Yuliandri, M. (2017). Pembelajaran Inovatif di Sekolah Berdasarkan Paradigma Teori
Belajar Humanistik. Journal of Moral and Civic Education, 1(2), 101-115.

Anda mungkin juga menyukai