Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
buku dengan judul “Teori Pembelajaran IPA”. Buku ini berisi materi-materi mengenai
teori pembelajaran IPA antara lain; teori belajar kognitif, teori belajar humanistik, teori
belajar behavioristik, teori belajar konstruktivistik, teori belajar sibernetik, dan teori
belajar kecerdasan ganda. Masing-masing teori belajar akan memaparkan mengenai
sejarah, pengertian, tokoh-tokoh penganut teori belajar, dan implementasinya dalam
pembelajaran IPA. Selain itu, buku ini juga berisi model pembelajaran antara lain
PjBL, PBL, Discovery learning, dan CLIS. Buku ini disusun untuk memberikan
wawasan dan pengetahuan kepada pembaca mengenai Teori Pembelajaran IPA.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak terkait demi penyempurnaan
penyusunan buku ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan dalam buku
ini, oleh karena itu dengan kerendahan hati Penulis menerima masukan berupa saran
dan kritik membangun dari para Pembaca. Besar harapan Penulis, semoga buku ini
bermanfaat bagi semua dan pihak-pihak terkait.
A. Sejarah
Sebelum kelahiran teori kognitivisme, teori behaviorisme sangat mendominasi
teori-teori belajar selama kurang lebih satu abad. Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa sebagian besar teori belajar yang kita kenal saat ini berasal dari kaum
behaviorisme salah satunya adalah teori operant conditioning yang dirumuskan oleh
B.F Skinner. Dalam behaviorisme, seluruh perilaku manusia dapat dipahami sebagai
respon atau tanggapan terhadap stimuli eksternal. Behaviorisme menekankan pada
konsekuensi dari perilaku dimana pelajar akan mengulangi perilakunya jika diberi
ganjaran (Nada, 2019).
Di awal tahun 1920an, orang mulai menemukan keterbatasan yang dalam
behaviorisme terkait dengan pemahaman pembelajaran. Menurut kaum kognitivisme,
behaviorisme dipandang tidak dapat menjelaskan secara pasti mengenai perilaku
sosial. Selain itu, behaviorisme juga tidak dapat menjelaskan motivasi yang terjadi
dalam diri individu. Salah satu kritik pertama terhadap kaum behaviorisme berasal dari
para ahli psikologi Gestalt selama dekade pertama abad 20 yang terkait dengan
ketergantungan kaum behaviorisme secara ekslusif kepada perilaku yang terbuka atau
yang tampak. Pandangan psikologi Gestalt tentang pembelajaran yang mempengaruhi
pendekatan baru di luar beheviorisme dan meletakkan dasar-dasar prinsip yang kita
kenal sekarang sebagai teori-teori belajar kognitif.
Teori kognitivisme lahir sebagai bentuk kritik terhadap teori behaviorisme.
Dalam pandangan kognitivisme, manusia bukanlah makhluk yang bersikap pasif
terhadap lingkungan melainkan makhluk yang selalu berusaha untuk memahami
lingkungannya. Di tahun 1960an, behaviorisme sebagai paradigma pembelajaran yang
sangat dominan sebelumnya perlahan mulai digantikan dengan kognitivisme.
Kognitivisme bukanlah merupakan hasil pemikiran satu orang melainkan sekumpulan
dari beberapa teori, diantaranya adalah Edward C. Tolman (Teori Pembelajaran
Tanda), Jean Piaget (Teori Pengembangan Kognitif Individu), Lev Vygotsky (Teori
Perkembangan Kognisi Sosial), Leon Festinger (Teori Disoansi Kognitif), David
Ausubel (Teori Asimilasi), Robert Gagne (Kondisi Pembelajaran), Richard Anderson
(Teori Skema), Max Wertheimer (Psikologi Gestalt), Charles Reigeluth (Teori
Elaborasi), dan Joseph Novak (Concept Mapping).
B. Pengertian
Definisi “Cognitive” berasal dari kata “Cognition” yang mempunyai persamaan
dengan “knowing” yang berarti mengetahui. Dalam arti yang luas kognisi adalah
perolahan penataan, penggunaan pengetahuan (Rahman & Rahman, 2019). Teori
belajar kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu
sendiri. Baharudin menerangkan teori ini lebih menaruh perhatian dari pada peristiwa-
peristiwa Internal. Belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon sebagaimana dalam teori behaviorisme, lebih dari itu belajar dengan teori
kognitivisme melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks (Rahmah, 2022).
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar
kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya (Nurhadi, 2020).
Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekadar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang
mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus respon, model belajar
kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model
perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku sesesorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Perubahan belajar merupakan persepsi dan pemahaman yang
tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak (Nurhadi, 2020).
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari sistuasi saling
berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau
membagi-bagikan situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil
dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini
berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan,
retensi, pengolahan infirmasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar
merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat komplek. Proses
belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan
menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk
dalam diri sesorang berdasarkan pemahman dan pengalaman sebelumnya. Dalam
praktik pembelajaran, teori kognitif tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “tahap-
tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh
Ausubel, pemahaman konsep oleh Bruner, hirarki belajar oleh Gagne, webteacing oleh
norman dan sebagainya.
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses
yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat
dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas (Nurhadi, 2020).
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar
tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar
merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus menerus
sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan
“pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai
masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan
dan sebagainya (Nurhadi, 2020).
C. Tokoh-tokoh
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori kognitif dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Jean Piaget (1896-1980)
Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan
kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur
seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami
adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-
perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan
kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan
bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula
secara kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar terdiri dari 3 tahap, yakni asimilasi, akomodasi
dan equilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi
baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian
struktur kognitif ke dalam siatuasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah
penyesuaian kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi (Suzana dkk., 2021).
Apabila seseorang memperoleh kecakapan intelektual, maka akan berhubungan dengan
proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui
pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman
atau persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru,
keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi
dengan lingkungannya.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya
sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses
penyeimbangan atau ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif
seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya
tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak
logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam
struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi
struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan
kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget,
proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai
dengan umumnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui
berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di
luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini
menjadi empat yaitu, tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun), tahap praoperasional (umur
2-7/8 tahun), tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.
Pada dasarnya setiap teori dan tokoh yang menganut aliran teori kognitif
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menurut Nurhadi (2020),
secara umum, kelebihan dan kekurangan teori kognitif antara lain:
a. Kelebihan Teori Belajar Kognitif
1) Menjadikan siswa lebih kreatif serta mandiri karena guru memfasilitasi siswa
memahami materi secara lebih mudah
2) Secara awam kurikulum di Indoenesia menerapkan teori kognitif yang lebih
mengutamakan pada pengembangan pengetahuan siswa pada tiap individu
3) Apabila menerapkan teori ini, guru dapat memaksimalkan ingatan siswa
ketika menulas materi yang telah sdisampaikan sebelumnya, karena salah satu
ciri dari pembelajaran kognitif adalah memori atau daya ingat siswa
4) Metode pembelajaran kognitif guru memberikan dasar acuan materi pada
siswa, selanjutnya guru hanya membimbing dan memantau aktivitas dari
siswa
5) Siswa dituntut untuk kreatif dari suatu hal menjadi hal yang baru menjadi lebih
baik lagi
A. Sejarah
Munculnya aliran humanis yaitu sebagai gerakan besar yang terjadi pada rentang
tahun 1950-an hingga 1960-an. Pada zaman itu dikenal dengan zaman renaisnas atau
zaman kebangkitan kembali. Selain itu zaman tersebut juga dikenal dengan zaman
pemikiran, perkembangan filsafat dan ilmu, serta kebangkitan pada manusia setelah
sekian lama dikekang oleh dogma dogma agama. Perlawanan terhadap dogma agama
adalah salah satu alasan munculnya teori humanistic. Beberapa contohnya seperti
Desiderius Erasmus dan Sir Thomas More yang memprotes gereja karena gereja
memerintah manusia harus taat pada doktrin agama, perampasan kebebasan berpikir
untuk diri sendiri yang mengakibatkan kerusakan martabat manusia (Manik dkk.,
2022).
Istilah humanisme merupakan berbagai jalan pikiran yang berbeda dan
memfokuskan ke jalan keluar dalam permasalahan dan isu-isu pada manusia.
Humanisme bisa dikatakan doktrin yang beretika karena cakupannya luas hingga
mencakup semua etnisitas manusia. Hal berbeda pada sistem-sistem tradisional yang
hanya berlaku pada kelompok tertentu (Haerazi, 2018). Suatu pendapat yang didukung
oleh data dan argumentasi sebagai dasar merupakan pengertian dari teori. Sedangkan
proses untuk memperoleh pengetahuan adalah pengertian dari belajar. Belajar adalah
suatu perubahan yang terdapat pada individu dan disebabkan oleh pengalaman. Belajar
bisa terjadi dengan macam-macam cara, seperti disengaja dan tidak disengaja. Menurut
W.S. Winkel, belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung pada
interaksi aktif dengan lingkungan, hasilnya yaitu sejumlah perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat relatif
konstan dan berbekas (Ghofur, 2019).
Pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan
pendidikan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, ini jika dilihat melalui
aliran humanistik. Manusia memiliki keinginan alami untuk berkembang, lebih baik,
dan juga belajar. Supaya insting ini tidak mati, maka sekolah harus berhati-hati. Jika
anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum merak siap mempelajarinya secara
fisiologis dan keinginan, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Peran guru dalam
aliran ini adalah sebagai fasilitator, fungsinya untuk membantu siswa dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi. Guru di sini bukan sebagai konselor ataupun
pengelola perilaku seperti dalam behavorisme.
Beberapa pakar dalam teori humanistik yaitu Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Potensi pelajar dan kesediaan moral sangat dipentingkan dalam teori humanistik. Fokus
dalam teori ini yaitu pada perkara yang berkaitan dengan pelaku secara langsung.
Maslow (1984) pernah membuat pernyataan, bahwa jika keperluan psikologi tidak
dipenuhi oleh individu, maka jiwa individu tersebut akan terganggu dan tidak tentram.
Sekiranya keperluan harus dipenuhi sepenuhnya maka akan secara langsung individu
tersebut bisa termotivasi diri sendiri dan ke peringkat yang lebih atas agar mencapai
tahap kesempurnaan diri (Yahaya & Chu, 2010).
B. Pengertian
Istilah Humanistik berasal dari kata latin humanitas (pendidikan manusia) dalam
bahasa Yunani disebut Paideia, pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang
hendak menempatkan seni liberal yang dijadikan materi atau sarana utamanya. Kata
humanistik pada hakikatnya berbentuk kata sifat yang menitikberatkan pada
pendekatan di dalam pendidikan. Pendidikan humanistik memfokuskan pada
pendidikan yang menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan
kelompok di dalam. Dengan demikian hakikat pendidikan sesungguhnya untuk
mengembangkan harkat dan martabat manusia (human dignity) atau memperlakukan
manusia sebagai humanizing human sehingga menjadi manusia sesungguhnya.
(Yuliandri, 2017).
Teori belajar humanistik merupakan salah satu teori belajar yang paling abstrak
diantara teori belajar yang ada, karena teori ini lebih banyak membicarakan gagasan
tentang belajar yang paling ideal dari pada memperhatikan apa yang bisa dilakukan
dalam keseharian. Teori belajar humanistik memiliki tujuan untuk memanusiakan
manusia. Belajar dalam teori humanistik dikatakan berhasil jika peserta didik bisa
memahami lingkungan dan dirinya sendiri (mencapai aktualisasi diri). Berbeda dengan
teori belajar behavioristik dan teori belajar kognitif, yang terpenting dari teori belajar
humanistik adalah menekankan pada kehidupan kejiwaan manusia, di dalamnya
terdapat potensi-potensi manusia yang khas dan istimewa yang perlu diberdayakan.
Teori humanistik lebih mengedepankan sisi humanis manusia dan tidak menuntut
jangka waktu pembelajar mencapai pemahaman yang diinginkan, akan tetapi lebih
menekankan pada isi atau materi yang harus dipelajari agar membentuk manusia
seutuhnya. Proses belajar dilakukan agar pembelajar mendapatkan makna yang
sesungguhnya dari belajar atau yang disebut Ausubel sebagai meaningful learning.
Meaningful learning bermakna bahawa belajar adalah mengasosiasikan pengetahuan
baru dengan prior knowledge (pengetahuan awal) si pembelajar (Insani, 2019).
Teori belajar humanistik merupakan teori yang menyatakan bahwa manusia
berhak mengenali dirinya sendiri sebagai langkah untuk belajar, sehingga diharapkan
mampu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang untuk
belajar secara optimal. Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika
si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-
baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya (Umam, 2019).
Pengaplikasian-pengaplikasian teori humanistik hanya bisa diterapkan atau
ditampilkan di dalam pembelajaran saja, hal ini karena keterbatasan waktu dan ruang.
Beberapa contoh pengaplikasian teori humanistik yaitu:
1. Pendidikan Terbuka.
Yaitu proses pendidikan yang memberi kesempatan murid untuk bisa bergerak
secara bebas. Tempatnya yaitu di sekitar kelas dan aktivitas belajarnya dipilih
mereka sendiri. Ciri-ciri tipe pembelajaran ini yaiyu murid bekerja secara sendiri
ataupun dengan kelompok kecil.
2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif
Yaitu untuk meningkatkan dorongan prestasi murid diperlukan pondasi yang baik.
Tipe pembelajaran kooperatif memiliki tiga karakteristik.
3. Belajar yang Terpusat Pada Siswa atau Students Centered Learning
Yaitu penempatan peserta didik dengan strategi secara aktif dan mandiri, dan bisa
bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan siswa. Harapan dari
pembelajaran ini yaitu siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir secara
kritis dan juga sistem dukungan sosial bagi pembelajaran siswa. Siswa juga harus
bisa menentukan gaya belajar yang menurutnya efektif.
4. Pembelajaran Mandiri atau Independent Learning
Yaitu murid dituntut menjadi subjek yang merancang, mengontrol, mengatur, dan
bertanggung jawab atas kegiatan mereka sendiri. Subjek dan metode instruksional
tidak digantungkan dalam proses ini.
C. Tokoh-tokoh
Menurut (Ekawati & Yarni, 2019) teori belajar humanistik ini dipelopori oleh
Abraham Maslow, Arthur Combs, dan Carl Rogers. Berikut ini merupakan penjelasan
dari masing-masing pelopor.
a. Abraham Maslow
Abraham Maslow memberikan pernyataan bahwa seseorang yang berperilaku
pada dasaranya ditujukan dalam memenuhi kebutuhan yang sifatnya hirarkis. Maslow
memiliki kepercayaan bahwa manusia bergerak untuk memahami dan menerima
dirinya sebisa mungkin. Teori ini juga terkenal dengan sebutan teori hirarki kebutuhan
Moslow. Maslow mwmberikan penjelasan bahwa manusia termotivasi dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan tersebut memiliki tingkatan dari
yang terendah (dasar/fisiologi) sampai yang tertinggi (aktualisasi diri) (Insani, 2019).
Maslow merupakan pelopor teori humanistik yang terkenal dengan teori kebutuhan
(Hierarchy of Needs). Adapun 5 kebutuhan manusia yang disampaikan oleh Maslow,
yaitu:
1. Kebutuhan fisiologi/dasar, seperti makan dan minum.
2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram, seperti terhindar dari tindakan kriminal,
ejekan dari orang lain, dan binatang buas, serta lainnya.
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, seperti bagaimana rasanya dianggap
sebagai komunitas sosialnya.
4. Kebutuhan untuk dihargai, seperti rasa bagimana dibutuhkan orang lain dalam hal
kepercayaan dan tanggung jawab.
5. Kebutuhan aktualisasi diri dalam membuktikan dan menunjukkan dirinya pada
orang lain.
Berikut ini merupakan pokok dari pemikiran Abraham Maslow untuk memahami
kebutuhan herarki yang dicetuskannya.
a. Suatu kebutuhan yang telah terpuaskan akan terhentikan sebgai suatu motivasi.
Contohnya ialah ketika seseorang yang menganggap dirinya telah diberikan upah
terkait konstibusinya terhadap suatu hal, maka upah tersebut akan kehilangan
kekuatannya dalam memotivasi dirinya.
b. Kebutuhan yang tidak terpuaskan memberikan suasana hati stress, banyak konflik,
dan frustasi. Kebutuhan yang tidak terpuaskan memberikan bahaya bagi dirinya
sendiri karena menyebabkan hasil kerja yang tidak diinginkan.
c. Maslow memberikan penjelasan bahwa orang memiliki kebutuhan untuk tumbuh
dan berkembang sebagai suatu akibat, dan akan terus berkembang ke atas dalam
hirarji untuk memenuhi kepuasan. Asumsi ini memberikan pernyataan yang benar
bagi Ssbagian orang dan tidak untuk sebagiannya lagi (Suprayetno, 2021).
b. Arthur Combs
Belajar dapat dikatakan berhasil apabila terdapat makna yang dapat dicapai oleh
peserta didik baik dari segi materi maupun dalam kehidupannya nanti. Pendidik tidak
memberikan materi yang bukan sesuai dan tidak disenangi oleh peserta didik dalam
kehidupannya. Sehingga pendidik mampu memahami tingkah laku dengan mengontrak
pada dunia peserta didik, maka terdapat perubahan perilakuyang membuat peserta
didik menjadi yakin pada hal positif tersebut. Combs juga menyatakan bahwa pendidik
sering salah dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pensisik akan sukses mengajar,
jika sudah mampu menyampaikan materi kepada siswa secara sistematik. Namun, hal
ini tidak menyatu pada materi pelajaran dengan tingkah laku peserta didik. Belajar bagi
peserta didik dapat membuat kepribadiannya baik dalam menganalisa permasalaha
dalam kehidupannya. Combs juga menjelaskan bahwa gambaran diri pada peserta didik
ialah lingkaran kecil dan dunia sebagai lingkaran yang besar. Menurut (Sulaiman &
Neviyarni, 2021), semakin jauh peristiwa tersebut dari diri peserta didik, maka semakin
berkurang pula pengaruh terhadap perilakunya. Jadi, suatu hal yang memiliki sedikit
hubungan dengan diri sendiri, maka semakin mudah dalam melupakannya.
c. Carl Rogers
Menurut (Susilawati, 2021) Carl R. Rogers merupakan seorang ahli psikologis
humanis yang gagasannya memiliki pengaruh terhadap pemikiran dan praktik
pendidikan. Rogers menyatakan bahwa saling toleransi dan tidak ada prasangka dalam
mengatasi suatu permasalahan dalam kehidupan. Pendidik harus mampu menekankan
pada proses pembelajaran supaya aktif, yaitu:
a. Membelajarkan manusia, artinya siswa tidak belajar mengenai materi-materi yang
tidak bermanfaat bagi diri mereka sendiri.
b. Siswa mempelajari materi bermakna bagi dirinya. Bahan pelajaran sudah
dikembangkan menjadi bentuk materi serta konsep varu sehingga terdapat makna
pembelajaran.
c. Penyusunan sistematik materi pengajaran berarti Menyusun materi dan konsep
baru menjadi materi yang mempunyai makna yang lebih tinggi bagi peserta didik.
d. Peserta didik belajar dengan kebermaknaanpada lingkungan modern yang ada di
sekitarnya dan dapat diartikan bahwa siswa belajar dengan suatu sistem yang baik.
Roger juga memberikan pernyataan mengenai ciri-ciri pendidik yang
memberikan fasilitas pada peserta didiknya, antara lain:
1. Merespon perasaan peserta didik.
2. Mengembangan ide-ide siswa dalam interaksi yang telah dirancang.
3. Dialog dan diskusi dengan siswa.
4. Menghargai peserta didik.
5. Perilaku dan perbuatan sesuai dengan baik.
6. Isi kerangka berpikir peserta didik disesuaikan (penjelasan memenuhi standar
kebutuhan siswa).
7. Memberikan senyuman pada peserta didik.
Menurut (Insani, 2019) teori ini lebih memiliki harapan dan optimis menganai
manusia karena manusia memiliki potensi yang lebih sehat dan maju. Selain itu, proses
belajar dapat membantu peserta didik dalam mencapai perwujudan dirinya sesuai
kemampuan dan keunikan yang dimiliki. Roger juga menyebutkan bahwa
kebermaknaan pembelajaran sangat berpengaruh pada proses belajar. Sesuai dengan
dasar teori ini, yaitu humanisme merupakan doktrin, sikap, dan cara hidup yang
menempatkan nilai-nilai sebagai pusat dan menekankan pada harga diri, kehormatan
dan kapasitas dalam merealisasikan diri untuk maksud tertentu sesuai dengan
pembelajaran yang manusiawi.
A. Sejarah
Teori belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman. Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang
membuthkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti:
kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak
yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung
seperti diberi permen atau puji.
Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran ini
disebabkan oleh adanya rasa tidak puas terhadap teori psikologi daya dan teori mental
state. Hal ini karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi kesadaran
saja. Fokus utama dalam konsep behaviorisme adalah perilaku yang terlihat
danpenyebab luar menstimulasinya. Menurut teori behaviorisme belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar jika dapat
menunjukkan perubahan perilaku.
B. Pengertian
Teori belajar behavioristik adalah suatu teori yang didasarkan dengan perubahan
perilaku peserta didik yang dapat diamati. Pada teori behavioristik ini memfokuskan
diri pada sebuah pada suatu pola perilaku yang dilakukan dengan terus-menerus hingga
perilaku tersebut dapat berubah menjadi kebiasaan (Hardianto, 2012). Teori ini
merupakan suatu teori yang mempelajari mengenai tingkah laku pada manusia.
Menurut Desmita (2009) teori belajar behavioristik adalah suatu teori belajar
yang memahami mengenai tingkah laku pada manusia dengan menggunakan
pendekatan objektif, materialistik, serta mekanistik, sehingga perubahan perilaku yang
terjadi pada diri seseorang dapat melalui upaya pengondisiannya. Pada teori ini
mempelajari tentang tingkah laku yang terjadi pada seseorang yang seharusnya
dilakukan dengan pengamatan dan pengujian mengenai tingkah laku seseorang yang
terlihat, tidak dengan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh seseorang. Teori
behavioristik ini lebih mengutamakan pada kegiatan pengamatan, hal ini dikarenakan
pengamatan merupakan sesuatu hal yang cukup penting untuk melihat terjadi atau tidak
perubahan tingkah laku seseorang tersebut.
Teori belajar behavioristik yaitu suatu aliran dalam sebuah teori belajar yang
dapat menekankan pada tingkah laku seseorang yang dapat untuk diamati. Menurut
aliran ini, belajar merupakan suatu pembentukan asosiasi antar kesan yang diperoleh
dari panca indra dan kecenenderungan untuk bertindak atau dapat hubungan yang
terjadi antara respon dan juga stimulus. Oleh sebab itu, pada teori ini juga dapat disebut
dengan teori stimulus respon (Andrayani, 2015).
Faktor-faktor yang memengaruhi teori belajar behavioristik antara lain:
1. Faktor stimulus
Stimulus adalah segala bentuk hal yang diberikan guru kepada siswa.
2. Faktor pengukuran
Pengukuran penting karena sebagai tolak ukur adanya perubahan tingkah laku atau
tidak.
3. Faktor penguatan
Penguatan adalah sesuatu yang dapat memperkuat timbulnya respon.
4. Faktor lingkungan
Sebagai salah satu faktor penentu dari tingkah laku manusia.
5. Faktor sosial
Berkaitan dengan pengamatan siswa terhadap model peniruan di sekitarnya.
Prinsip-Prinsip Teori Belajar Behavioristik adalah:
1. Belajar adalah perubahan perilaku. Artinya, seseorang yang sudah melakukan
kegiatan belajar namun tidak menunjukan perubahan perilaku maka tidak
dianggap sebagai belajar.
2. Adanya stimulus dan respon
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat peraga,
gambar atau chart tertentu dalam rangka membantu belajarnya. Sedangkan respon
adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang telah diberikan oleh guru tersebut,
reaksi ini haruslah dapat diamati dan diukur.
3. Adanya reinforcement (penguatan)
Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku disebut penguatan
(reinforcement) sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan
memperlemah perilaku disebut dengan hukuman (punishment). Macam-macam
penguatan antara lain:
1) Penguatan positif dan negatif
Pemberian stimulus positif yang diikuti respon disebut penguatan positif.
Sedangkan mengganti peristiwa yang dinilai negatif untuk memperkuat perilaku
disebut penguatan negatif
2) Penguatan primer dan sekunder
Penguat primer adalah penguatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
fisik. Sedangkan penguatan sekunder adalah penguatan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan non fisik.
3) Kesegeraan memberi penguatan (immediacy)
Penguatan hendaknya diberikan segera setelah perilaku muncul karena akan
menimbulkan perubahan perilaku yang jauh lebih baik dari pada pemberian
penguatan yang diulur-ulur waktunya (Setiawan, 2017).
4) Pembentukan perilaku (Shapping)
Menurut skinner untuk membentuk perilaku seseorang diperlukan langkah-
langkah berikut (Fathurrohman, 2017):
a. Mengurai perilaku yang akan dibentuk menjadi tahapan-tahapan yang lebih rinci
b. Menentukan penguatan yang akan digunakan.
c. Penguatan terus diberikan apabila muncul perilaku yang semakin dekat dengan
perilaku yang akan dibentuk.
d. Kepunahan (Extinction)
Kepunahan akan terjadi apabila respon yang telah terbentuk tidak mendapatkan
penguatan lagi dalam waktu tertentu.
Kelebihan Teori Belajar Behavioristik adalah:
1. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi
belajar.
2. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan
positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif yang
didasari pada prilaku yang tampak.
3. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya.
4. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada
yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu
menghasilakan suatu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu (Suparno,
1997).
5. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya
sampai respons yang diinginkan muncul.
6. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktik dan
pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan
(Umar, 2018).
7. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kekurangan Teori Behavioristik adalah:
1. Bahan pelajaran disusun dalam bentuk yang sudah siap.
2. Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini.
3. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan
apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
4. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
(Yanuardianto, 2019).
5. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru (Familus, 2016).
6. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan dari guru dan mendengarkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga
inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa
diselesaikan oleh siswa.
7. Cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak
produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif (Mursyidi, 2019).
8. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistik dan hanya
berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
9. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya
proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai
center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan
apa yang harus dipelajari murid.
C. Tokoh-tokoh
1. Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar merupakan interaksi antara stimulus dengan respon.
Hukum-hukum belajar yang diteorikan oleh Thorndike mengandung tiga konsep utama
yakni Hukum kesiapan (Law of Readiness), Hukum Latihan (Law of Exercise) dan
Hukum Akibat (Law of Effect) (Gredler, 1991).
a. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
b. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
c. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya
tidak memuaskan.
2. John Broades Watson (1878-1958)
Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respons yang di maksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat di amati (observabel)
dan dapat di ukur.
3. Clark Leaonard Hull (1884-1952)
Teori belajar Clark Leonard Hull dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin,
bagi Hull seluruh fungsi tingkah laku itu berfungsi supaya kelangsungan hidup tetap
terjaga. Stimulus yang terjadi dalam belajar hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis, walaupun respon yang datang mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
4. Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Edwin mengemukakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung
bersifat sementara. Menurut Guthrie, tingkah laku manusia itu secara keseluruhan
merupakan rangkaian tingkah laku yang terdiri atas unit-unit (Nahar, 2016). Unit-unit
tingkah laku ini merupakan respons-respons dari stimulus sebelumnya dan kemudian
unit respons tersebut menjadi stimulus yang kemudian akan menimbulkan respons bagi
unit tingkah laku yang berikutnya. Demikian seterusnya sehingga merupakan deretan
tingkah laku yang terus-menerus. Jadi, proses terbentuknya rangkaian tingkah laku
tersebut terjadi dengan kondisioning melalui proses asosiasi antara unit tingkah laku
yang satu dengan unit tingkah laku lainnya menjadi semakin kuat. Prinsip belajar
pembentukan tingkah laku ini disebut “law of Association”.
5. Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
B.F. Skinner terkenal dengan teori pengkondisian operan (operant
conditioning), yaitu suatu bentuk pembelajaran dimana konsekuensi perilaku
menghasilkan berbagai kemungkinan terjadinya perilaku tersebut. Penggunakaan
frekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku
itulah yang disebut dengan pengondisian operan (Kusmintardjo & Mantja, 2011).
Prinsip teori skinner ini adalah hukum akibat, penguatan, dan konsekuensi.
1. Penguatan (reinforcement),
Penguatan adalah suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya suatu
perilaku. Menurut skinner, untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku
diperlukan penguatan (reirforcement). Ada dua jenis penguatan, yaitu: penguatan
positif dan penguatan negative.
a. Penguatan positif (positive reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari
suatu respons akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung
penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh
stimulus menyenangkan.
b. Penguatan negatif (negative reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari
suatu respons akan meningkat karena diikuti dengan suatu stimulus yang tidak
menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan
meningkat karena diikuti stimulus yang tidak menyenangkan.
2. Hukuman (Punishment)
Respons yang diberi konsekuensi yang tidak menyenangkan atau menyakitkan akan
membuat seseorang tertekan. Menurut Budiningsih (2006), dari semua teori yang
ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai
target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan
berimajinasi. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang
tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun
apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Skinner lebih percaya kepada
apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan
hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang
sama menjadi semakin kuat (Lundin, 1991). Misalnya, seorang pebelajar perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan
untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah,
sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
- Dalam aspek berpikir yang menumbuhkan pengetahuan baru, siswa berpikir untuk
memecahkan masalah, menggali ide, dan mengambil keputusan
- Dalam hal pemahaman, siswa terlibat langsung dalam mengkonstruksi
pengetahuan baru, memahaminya lebih baik dan mampu menerapkannya dalam
segala situasi
- Konsep dapat diingat lebih lama dalam hal mengingat bahwa siswa terlibat
langsung. Pendekatan ini membantu siswa mengembangkan pemahaman mereka
- Mengenai keterampilan sosial, keterampilan sosial diperoleh ketika siswa
berinteraksi dengan teman, kelompok kerja atau guru untuk mendapatkan
pengetahuan dan wawasan baru.
B. Tokoh-tokoh
Tokoh-tokoh yang berperan dalam teori Konstruktvisme antara lain:
1. Jean Piaget
Teori belajar konstruktivis yang dikembangkan oleh Piaget dikenal dengan
konstruktivisme kognitif. Teori yang dikembangkan oleh Piaget mengandung
konsep-konsep utama dalam bidang psikologi perkembangan, yang berarti
kemampuan untuk lebih akurat mewakili dunia dan melakukan operasi logis dari
representasi konsep realitas. Dalam pandangan Piaget, kemampuan seorang anak
untuk memahami sains sesuai dengan kematangan intelektualnya dan dibangun
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru,
sedangkan akomodasi adalah sesuatu yang disediakan untuk kebutuhan
memperoleh informasi lama dan informasi baru (Wicaksana, 2018).
2. Jerome Bruner
Dalam teorinya, Bruner berpendapat bahwa belajar dapat berasal dari proses
pemecahan masalah sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bermakna.
Jerome Bruner menyarankan agar siswa dapat belajar secara aktif melalui konsep
dan prinsip untuk memperoleh pengetahuan. Bruner berasumsi bahwa inovasi
akan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh diri sendiri.
Kebutuhan belajar melalui penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa belajar
yang sebenarnya adalah melalui penemuan pribadi (Wicaksana, 2018).
3. Vygotsky
Menurut Vygotsky, perkembangan intelektual dapat dilihat dari sejarah dan
budaya pengalaman individu dan juga tergantung pada kebutuhan sistem yang
dipandu oleh simbol-simbol yang dibuat untuk memudahkan berpikir,
berkomunikasi dan memecahkan masalah. Vygotsky menginginkan setting kelas
kooperatif dalam setiap kelompok yang terdiri dari siswa melalui keterampilan
yang berbeda sehingga mereka dapat berinteraksi dan merancang solusi untuk
memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dalam pembelajaran, Vygotsky
menekankan scaffolding, sehingga siswa akan semakin bertanggung jawab atas
pembelajarannya sendiri dari waktu ke waktu. Scaffolding adalah suatu bentuk
pemberian bantuan kepada siswa melalui tahapan pembelajaran dan pengurangan
bantuan sehingga pada akhirnya dapat memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melanjutkan pekerjaannya, bantuan yang diberikan oleh guru dapat berupa
petunjuk, peringatan, motivasi, dan saran. Inti dari teori Vygotsky adalah
menekankan perlunya pembelajaran sosiokultural yang meliputi interaksi dengan
orang dewasa, teman sebaya yang lebih mampu, dan juga pembelajaran akan
terjadi jika siswa dapat menangani tugas yang belum dipelajarinya, tetapi tugas
tersebut masih dalam jangkauannya (Nurlina & Bahri, 2021).
4. John Dewey
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan harus mencontohkan kehidupan
sosial secara luas, dan tingkat itu harus digunakan untuk memecahkan masalah
yang ada. Teori Dewey mengharuskan pendidik mengharuskan siswanya untuk
berpartisipasi dalam proyek atau tugas yang berpusat pada masalah, pendidik juga
didorong untuk membantu siswa melihat masalah sosial dan intelektual. Teori
konstruktivistik menurut pandangan John Dewey bahwa dalam proses
pembelajaran guru dapat menggunakan presentasi berupa masalah eksperimen
yang terjadi di lapangan, metode pembelajaran yang terkait dengan teori ini adalah
discovery learning pendekatan penemuan dan meaning full learning atau
pembelajaran bermakna (Nurlina & Bahri, 2021).
C. Implementasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam Pembelajaran IPA
Implementasi teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas:
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan mengapresiasi ide atau pemikiran siswa dan mendorong siswa untuk
berpikir secara mandiri, berarti guru telah membantu siswa menemukan identitas
intelektualnya. Siswa yang merumuskan pertanyaan dan kemudian menganalisis dan
menjawabnya berarti mereka telah mengembangkan tanggung jawab untuk proses
belajar mereka sendiri dan menjadi "pemecah masalah".
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberi siswa waktu untuk menjawab.
Berpikir reflektif membutuhkan waktu dan sering kali didasarkan pada ide dan
komentar orang lain. Cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa menanggapi
atau menjawabnya akan mendorong siswa untuk dapat membangun keberhasilan dalam
melakukan penyelidikan.
3. Mendorong siswa untuk berpikir kritis
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang
siswa untuk dapat menjangkau hal-hal yang berada di balik respon faktual sederhana.
Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan meringkas konsep melalui analisis,
prediksi, pembenaran, dan mempertahankan ide atau pemikiran mereka.
4. Siswa terlibat aktif dalam diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial yang intensif di kelas sangat
membantu siswa untuk dapat mengubah atau memperkuat ide-idenya. Jika mereka
memiliki kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan
mendengarkan ide orang lain, maka mereka akan dapat membangun pengetahuan
mereka sendiri berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa nyaman
dan aman untuk berbagi ide, maka dialog yang sangat berarti akan tercipta di dalam
kelas.
Pada pengaplikasiannya pada pembelajaran IPA di SMP, pendidik dapat
melakukan diskusi dan tanya jawab kepada siswa untuk meningkatkan keaktifan siswa
dalam belajar, contohnya diskusidan tanya jawab tentang bagaimana asal-usul makhluk
hidup. Selain itu pendidik juga bisa melakukan pretest dan posttest untuk mengukur
sejauh mana siswa memahami materi yang akan disampaikan dan telah disampaikan.
Contohnya sebelum menjelaskan materi asal-usul makhluk hidup, pendidik melakukan
pretest dengan menanyakan bagaimana asal-usul makhluk hidup.
BAB 6
TEORI BELAJAR SIBERNETIK
B. Tokoh-tokoh
1. Teori belajar menurut Landa
Menurut Landa proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran
yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan diketahui ciri-cirinya.
Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur,
sedangkan materi pelajaran lainnya akanlebih tepat bila disajikan dalam bentuk
“terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir.
Dalam teori ini Landa membedakan ada dua macam proses berpikir, yaitu:
1) Proses berpikir algoritmik
Yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus,
menuju ke satu target tujuan tertentu. Contoh: kegiatan menelpon, menjalankan mesin
mobil dan lain-lain.
2) Proses berpikir heuristik
Yaitu cara berpikir devergen yang menuju ke beberapa target tujuan sekaligus.
Contoh: operasi pemilihan atribut geometri, penemuan cara-cara pemecahan masalah
dan lain-lain.
A. Sejarah
Multiple Intelligence merupakan sebuah teori tentang kecerdasan yang artinya
“kecerdasan ganda” atau “kecerdasan majemuk”. Teori ini ditemukan dan
dikembangkan oleh Horwad Gardner, seorang ahli psikologi perkembangan dan
profesor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University, Amerika
Serikat (Nurhidayati, 2015). Berdasarkan penjelasan Syarifah (2019), Gardner yang
bernama lengkap Howard Gardner, adalah seorang psikolog perkembangan dan pakar
pendidikan. Ia lahir pada 11 Juli 1943, dan dibesarkan di Scranton, sebuah kota
pertambangan berukuran sedang di timur laut Pennsylvania, AS (Ladislaus Naisaban
2004). Orang tuanya, Ralph Gardner dan Hilde Gardner, pengungsi yang melarikan
diri dari kekejaman Nazi Jerman, menetap di Amerika Serikat pada 9 November 1938.
Orang tuanya kehilangan anak pertama mereka dalam kecelakaan kereta. Anak itu
adalah kakak laki-laki Gardner, Eric, yang meninggal sebelum Gardner lahir. Kejadian
tersebut tampaknya telah menimbulkan semacam trauma bagi orang tua Gardner, yang
terlihat dari sikap orang tuanya terhadap Gardner kecil. Gardner selalu dilarang
melakukan aktivitas yang dapat membahayakan tubuhnya, seperti bersepeda atau
olahraga berat lainnya, yang menumbuhkan kecintaannya pada musik, menulis, dan
membaca. Bahkan musik menjadi penting dalam hidupnya.
Semua peristiwa mengerikan yang menimpa keluarganya tidak pernah
diceritakan kepada Gardner kecil, tetapi Gardner sendiri yang akhirnya mengetahui
bahwa mereka adalah keturunan Yahudi yang diburu oleh Nazi. Baginya, peristiwa ini
memiliki dampak besar pada pertumbuhan dan pemikirannya hingga hari ini. Kejadian
itu membuatnya semakin dewasa, dan ia menyadari bahwa sebagai anak tertua yang
masih hidup dengan keluarga besar, banyak yang harus ia capai di negara barunya
(Amerika Serikat). Dia juga mencatat bahwa pemikir Yahudi Jerman dan Austria
seperti Einstein, Freud, Marx, dan Mahler hidup, belajar, dan bersaing dengan para
pemikir lain di jantung intelektual Eropa, tetapi dia sendiri terperangkap di lembah
Pennsylvania yang tidak menarik. Akibatnya, ia mengalami kebuntuan intelektual dan
depresi finansial. Keinginannya yang kuat untuk kemajuan dan perkembangan dan
kecintaannya pada musik membuatnya menolak tuntutan orang tuanya untuk
mengirimnya ke Phillips Academy di Massachusetts, dan bahkan pergi ke Wyoming
Seminary di Kingston. Setelah menyelesaikan studi sekolahnya, ia melanjutkan
studinya di Universitas Harvard pada tahun 1961, di mana ia sekarang berkomitmen
penuh. Di bangku kuliah, saya belajar sejarah sebagai persiapan untuk berkarir sebagai
pengacara, khususnya pengacara. Dia juga belajar banyak tentang sosiologi dan
psikologi. Di universitas ia juga bertemu banyak orang yang menginspirasinya untuk
melakukan studi tertentu tentang hukum-hukum alam manusia, The Man Who Ignited
Ambition, sosiolog David Riesman, dan psikolog kognitif Jerome Bruner.
Pada tahun 1966, Gardner melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Harvard,
lulus pada tahun 1971. Di Harvard, saya dilatih sebagai psikolog perkembangan dan
kemudian sebagai ahli saraf. Berdasarkan hasil persiapannya di berbagai institusi yang
ditekuninya, terutama Harvard University, ia akhirnya menjadi spesialis psikologi,
neurologi, bahkan pedagogi. Setelah perjalanan yang begitu panjang, ia sekarang
menjadi Profesor Kognisi dan Pendidikan di Harvard School of Education, Profesor
Psikologi di Universitas Harvard, Profesor Neurologi di Fakultas Kedokteran
Universitas Boston, dan Pemimpin Tim Senior (Direktur) Project Zero. Saat
melakukan berbagai kegiatan penelitian dalam proyek tersebut, Gardner menemukan
banyak teori kecerdasan.
B. Pengertian
Teori kecerdasan majemuk merupakan konsep baru yang muncul sebagai kritik
terhadap psikometri atau tes IQ yang disusun Alfred Binet pada tahun 1905, Gardner
menganggap bahwa tes tersebut tidaklah cukup dijadikan ukuran untuk mengetahui
kecerdasan seseorang. Gardner mendefinisikan intelligensi sebagai kemampuan untuk
memecahkan persoalan dan menghasilkan, yang memandang kecerdasan manusia
hanya dari segi kemampuan kuantitatif dan linguistik (otak kiri). Gardner mengaitkan
kecerdasan dengan kapasitas/kemampuan untuk:
a. Memecahkan masalah-masalah (problem solving), dan
b. Menciptakan produk-produk dan karya-karya baru yang mempunyai nilai budaya
(creativity).
Berdasarkan pernyataan Gardner tersebut tes IQ yang selama ini banyak
dipercaya, tidak lagi cukup mewakilinya. Sebab IQ hanya mewakili kecerdasan
linguistik dan logis-matematis saja sedangkan yang lain tidak. Selama berabad-abad,
dunia pendidikan hanya berfokus pada perkembangan otak kiri berdasarkan kriteria
psikometri. Teori kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh Gardner (1983),
muncul sebagai upaya untuk mengoptimalkan fungsi otak manusia. Gardner berhasil
menyelidiki dimensi lain dari kecerdasan manusia, yang terletak di belahan otak kiri
dan kanan.
C. Tokoh-tokoh
Teori intelegensi ganda (Multiple Intelegence) ditemukan dan dikembangkan
oleh Howard Gardner, seorang ahli psikologi perkembangan dan profesor pendidikan
dari graduate School of Education, Harvard university, Amerika Serikat. Ia menuliskan
gagasannya tentang intelegensi ganda dalam bukunya Frames of Mind pada tahun
1983. Pada tahun 1993 ia mempublikasikan bukunya berjudul multiple intelegence,
setelah melakukan banyak penelitiantentang implikasi teori intelegensi ganda didunia
pendidikan.
Selama tahun 1983 sampai dengan 2003 Gardner, yang juga menjadi Direktur
Proyek Zero di Harvard University, banyak menulis dan mengembangkan teori
intelegensi gandadan terutama aplikasinya dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat.
Proyek Zero adalah pusat penelitian dan pendidikan yang mengembangkan cara
belajar, berfikir dan kreatifitas dalam mempelajari suatu bidang bagi individu dan
intuisi. Teori intelegensi ganda banyak mendasari proyek Zero. Gardner mengatakan
bahwa intelegensi bukan hanya kemampuanseseorang untuk menjawab suatu tes IQ
dalam kamar tertutup yang lepas dari lingkungannya. Intelegnsi memuat kemampuan
memecahkan persoalan yangnyata dalam situasi yang berbeda-beda (Kamila dkk.,
2021).
D. Implementasi Teori Belajar Kecerdasan Ganda dalam Pembelajaran IPA
Bentuk Implementasi atau penerapan Teori kecerdasan ganda ini yaitu dengan
menerapkan pembelajaran multimodel, pendekatan interdisipliner terhadap proses
pengembangan materi pembelajaran, sedangkan dalam hal evaluasi pembelajaran dapat
dilakukan dengan model penilaian otentik dengan tujuan sepenuhnya mengakomodasi
keragaman kecerdasan yang dimiliki oleh siswa. Implementasi teori kecerdasan ganda
yang di cetus oleh Howard Gardner banyak memberikan sumbangan dalam proses
pembelajaran, bahkan di Indonesia pun kini banyak digunakan dalam implementasi
pembelajaran. Berikut akan dijelaskan beberapa implementasi Teori Intelegensi ganda
dalam pembelajaran IPA:
1. Implementasi teori Kecerdasan ganda dalam aspek kurikulum
Beberapa tahun belakangan bahwa teori kecerdasan ganda telah banyak
memberikan input bagi kurikulum di Indonesia, misalnya saja, dari segi pengaturan
materi pelajaran yang bersifat tematik, proses pembelajaran tematiktelah banyak
dilakukan diaplikasikan di sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah dengan
diterapkannya buku-buku pelajaran terpadu seperti IPA Terpadu. Tidak hanya itu
dengan adanya pengaruh teori kecerdasan ganda metode mengajar guru yang
dahulunya bersifat konvensional sekarang menjadi lebih bervariasi.
2. Implementasi dalam pengaturan kelas
Saat ini telah banyak berkembang model-model pembelajaran yang menekankan
pada pengelolaan kelas dalam proses belajar mengajar. Model-model pembelajaran
yang bervariasi dapat meningkatkan motivasi siswa sehinggamereka tidak merasa
bosan dan tidak jenuh ketika proses belajar mengajar berlangsung. Salah satu yang
mungkin sering kita dengar yaitu model pembelajaran karyawisata, yang bertujuan
menghadirkan obyek langsung kepadasiswa seperti berkunjung ke museum, hutan, atau
tempat-tempat yang menariklainnya. Dengan model ini siswa akan memunculkan
kecerdasan-kecerdasan yang berbeda, siswa akan berkembang dengan
mengekspresikan apa yang mereka alamidan temukan.
3. Terhadap Evaluasi
Peran teori intelegensi ganda banyak diterapkan di ranah perguruan tinggi,
penerapan teori intelegensi ganda untuk sekolah dasar ataupun menengah masih belum
terlalu banyak berkembang, namun proses untuk mengembangkan siestemevaluasi
yang diterapkan teori intelegensi ganda sudah ada dan sedangdikembangkan, lebih-
lebih penerapan kurikulum baru yang menggunakan pendekatan scientific, tentu saja
dalam pengembangannya nanti evaluasi hasil belajar siswa akan lebih banyak di
evaluasi dari kegiatan-kegiatan sehari-hari,mulai dari keaktifan siswa, kerja kelompok
dan lain sebagainya.
4. Dampak terhadap pendidikan nilai
Pada Kurikulum KTSP kita ketahui bahwa tujuan dari penerapan
kurikulumKTSP adalah dalam rangka menanamkan pendidikan berkarakter kepada
siswa. Sehingga dalam setiap materi yang dimuat dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) diharapkan bisa menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari, seperti kejujuran, rasa tanggung jawab dan lainsebagainya. Saat
ini penerapan pendidikan karakter yang mengharapkantertanamnya nilai-nilai luhur
kepada siswa masih terus dikembangkan untukmelahirkan generasi-generasi penerus
bangsa yang memiliki karakter-karakter yang diharapkan untuk menyongsong masa
depan.
5. Sekolah Individual
Dengan munculnya teori kecerdasan ganda, tidak hanya merubah system
kurikulum dan yang lainnya, lahirnya teori kecerdasan ganda juga memiculahirnya
sekolah-sekolah individu yang istilahnya mungkin tidak asing kita dengar yaitu yang
biasa disebut dengan istilah sekolah privat (Suparno, 2009).
BAB 8
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
PEMBELAJARAN IPA
B. Tujuan
Tujuan project-based learning antara lain:
a) Melatih sikap proaktif peserta didik dalam memecahkan suatu masalah.
b) Mengasah kemampuan peserta didik dalam menguraikan suatu permasalahan di
kelas.
c) Meningkatkan keaktifan peserta didik di kelas dalam menyelesaikan permasalahan
yang kompleks sampai diperoleh hasil nyata.
d) Mengasah keterampilan peserta didik dalam memanfaatkan alat dan bahan di kelas
guna menunjang aktivitas belajarnya.
e) Melatih sifat kolaboratif peserta didik.
C. Karakteristik
Karakteristik project-based learning antara lain:
a) Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja.
b) Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik.
c) Peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau
tantangan yang diajukan.
d) Penyelesaian tugas dilakukan secara mandiri dimulai dari tahap perencanaan,
penyusunan, hingga pemaparan produk.
e) Peserta didik bertanggung jawab penuh terhadap proyek yang akan dihasilkan.
f) Proyek melibatkan peran teman sebaya, guru, orang tua, bahkan masyarakat.
D. Langkah-Langkah
Langkah-langkah melakukan project-based learning antara lain:
1. Memulai dengan pertanyaan esensial: siswa diberi permasalahan oleh guru terkait
materi yang akan dipelajari.
2. Membuat rencana proyek: siswa merancang proyek sesuai dengan topik yang
diberikan.
3. Menyusun jadwal: siswa bersama guru melakukan kesepakatan mengenai jadwal
pembuatan proyek hingga penyelesaian proyek.
4. Memonitoring siswa dan kemajuan proyek: proyek yang sedang dibuat oleh siswa
dimonitoring oleh guru.
5. Menguji dan menilai hasil: siswa mempresentasikan proyek dan guru menguji serta
menilai produk yang dihasilkan oleh siswa.
6. Mengevaluasi pengalaman: siswa bersama guru melakukan refleksi terhadap
aktivitas pembelajaran dan proyek yang telah dibuat.
Adapun langkah-langkah pembelajaran PjBL menurut Rani (2021) antara lain:
1. Peserta didik dibagi dalam kelompok‐kelompok kecil dan masing-masing kelompok
melaksanakan proyek nyata (connecting the problem).
2. Masing‐masing kelompok diberikan penjelasan tentang tugas dan tanggung jawab
(setting the structure) yang harus dilakukan oleh kelompoknya dalam praktik.
3. Peserta didik di masing‐masing kelompok berusaha maksimal untuk
mengidentifikasikan masalah bisnis (visiting the problem) yang dihadapi sesuai
pengetahuan yang dimiliki; (a) mengidentifikasi masalah dengan seksama untuk
menemukan inti problem bisnis yang sedang dihadapi dan (b) mengidentifikasi cara
untuk memecahkan masalah.
4. Peserta didik di masing‐masing kelompok mencari informasi dari berbagai sumber
(buku, pedoman dan sumber lain) atau bertanya pada pakar yang mendampingi
untuk mendapatkan pemahaman tentang masalah (re‐visiting the problem).
5. Berbekal informasi yang diperoleh peserta didik saling bekerjasama danberdiskusi
dalam memahami masalah dan mencari solusi (produce the product) terhadap
masalah dihadapi dan langsung diaplikasikan. Pelatih bertindak sebagai
pendamping.
6. Masing‐masing kelompok mensosialisasikan pengalaman dalam memecahkan
masalah kepada kelompok lainnya untuk mendapatkan masukan dan penilaian
(evaluation) dari kelompok lainnya.
Langkah‐langkah pembelajaran PjBL menurut Delise (1997) antara lain:
1. Connecting with the problem, yaitu pendidik memilih, merancang dan
menyampaikan masalah yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari peserta
didik.
2. Setting up the structure. Setelah peserta didik telah terlibat dengan masalah,
pendidik menciptakan struktur untuk bekerja melalui masalah yang dihadapi.
Struktur ini akan memberikan rancangan tugas‐tugas yang harus dilakukan oleh
peserta didik. Struktur menjadi kunci dari keseluruhan proses bagaimana peserta
didik latihan berpikir melalui situasi nyata dan mencapai solusi yang tepat.
2. Visiting the problem. Pendidik fokus pada ide‐ide yang dimiliki peserta didik
tentang bagaimana menyelesaikan masalah. Fokus tersebut diarahkan untuk
menghasilkan fakta dan daftar item yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
3. Revisiting the problem. Setelah peserta didik dalam kelompok kecil telah
menyelesaikan tugas mandiri, mereka harus segera bergabung kembali dalam kelas
untuk menemukan kembali masalah‐masalah tersebut. Pendidik pertama‐tama
meminta kelompok kecil untuk melaporkan hasil pengamatan mereka. Pada saat itu
pendidik menilai sumber yang mereka pakai sebagai referensi, waktu yang
digunakan, dan efektivitas rencana tindakan yang akan dilakukan.
4. Producing a product/performance. Peserta didik membuat hasil pemecahan
masalah yang disampaikan kepada pendidik untuk dievaluasi tentang mutu isi dan
penguasaan skill mereka.
5. Evaluating performance and the problem. Pendidik meminta peserta didik untuk
mengevaluasi hasil kerja (performance) dari kajian masalah dan alternatif solusi
yang diajukan.
E. Sistem Penilaian
Sistem penilaian project-based learning menggunakan penilaian kinerja peserta
didik, penilaian portofolio, potensi, dan penilaian usaha kelompok. Penilaian ini
dilakukan melalui evaluasi diri atau self-assesment dan peer assessment.
G. Penerapan PjBL
Penerapan PjBL antara lain:
a. Topik/materi yang dipelajari peserta didik merupakan topik yang bersifat
kontekstual dan mudah didesain menjadi sebuah proyek yang menarik;
b. Peserta didik tidak digiring untuk menghasilkan satu proyek saja (satu peserta
didik menghasilkan satu proyek);
c. Proyek tidak harus selesai dalam 1 pertemuan (diselesaikan dalam 3-4 pertemuan);
d. Proyek merupakan bentuk pemecahan masalah sehingga dari pembuatan proyek
bermuara pada peningkatan hasil belajar;
e. Bahan, alat, dan media yang dibutuhkan untuk membuat proyek diusahakan
tersedia di lingkungan sekitar dan diarahkan memanfaatkan bahan bekas/sampah
yang tidak terpakai agar menjadi bernilai guna; dan
f. Penilaian autentik menekankan kemampuan merancang, menerapkan,
menemukan, dan menyampaikan produknya kepada orang lain.
Dalam penerapan model pembelajaran yang telah diuraikan di atas, seorang guru
hendaknya memahami cara menentukan model pembelajaran yang akan digunakan.
Adapun tahapan penentuan model pembelajaran sebagai berikut:
1. Memahami sintaks tiap model pembelajaran;
2. Menganalisis konten/ materi pembelajaran;
3. Memahami konteks peserta didik; Jika peseta didik belum siap, perlu dibangun
jembatan penghubung antara proses LOTS menuju HOTS. yaitu membangun
skema pengetahuan awal dengan pengetahuan baru.
4. Mempersiapkan sebuah situasi nyata yang dapat menstimulasi proses berpikir
tingkat tinggi dengan menciptakan dilemma. kebingungan, tantangan, dan
ambiguitas dari permasalahan yang direncanakan akan dihadapi peserta didik;
5. Menentukan keterampilan yang akan digunakan untuk menghadapai situasi nyata
tersebut;
6. Mempertimbangkan alokasi waktu pembelajaran;
7. Menentukan luaran (output) yang akan dihasilkan; dan
8. Menganalisis situasi, keterampilan, dan luaran dengan sintak model pembelajaran
untuk menentukan model yang relevan.
Adapun aktivitas guru dan peserta didik berdasarkan langkah kerta PjBL
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Aktivitas guru dan peserta didik dalam pembelajaran PjBL
Langkah Kerja Aktivitas Guru Aktivitas Peserta Didik
Pertanyaan Mendasar Guru menyampaikan Mengajukan pertanyaan
topik dan mengajukan mendasar apa yang harus
pertanyaan bagaimana dilakukan peserta didik
cara memecahkan terhadap topik/pemecahan
masalah. masalah.
Mendesain Guru memastikan Peserta didik berdiskusi
Perencanaan Produk setiap peserta didik menyusun rencana pembuatan
dalam kelompok proyek pemecahan masalah
memilih dan meliputi pembagian tugas,
mengetahui prosedur persiapan alat, bahan, media,
pembuatan sumber yang dibutuhkan.
proyek/produk yang
akan dihasilkan.
Menyusun Jadwal Guru dan peserta didik Peserta didik menyusun
Pembuatan membuat kesepakatan jadwal penyelesaian proyek
tentang jadwal dengan memperhatikan batas
pembuatan proyek waktuyang telah ditentukan
(tahapan-tahapan dan bersama.
pengumpulan).
Memonitor Keaktifan Guru memantau Peserta didik melakukan
dan Perkembangan keaktifan peserta didik pembuatan proyek sesuai
Proyek selama melaksanakan jadwal, mencatat setiap
proyek, memantau tahapan, mendiskusikan
realisasi perkembangan masalah yang muncul selama
dan membimbing jika penyelesaian proyek dengan
mengalami kesulitan. guru.
Menguji hasil Guru berdiskusi Membahas kelayakan proyek
tentang prototipe yang telah dibuat dan membuat
proyek, memantau laporan produk/ karya untuk
keterlibatan peserta dipaparkan kepada orang lain.
didik, mengukur
ketercapaian standar.
Evaluasi Pengalaman Guru membimbing Setiap peserta didik
Belajar proses pemaparan memaparkan laporan, peserta
proyek, menanggapi didik yang lain memberikan
hasil, selanjutnya guru tanggapan, dan bersama guru
dan peserta didik menyimpulkan hasil proyek.
merefleksi/
kesimpulan.
B. Karakteristik
Karakteristik Problem Based Learning antara lain:
a) Learning is students centered, yaitu proses pembelajaran dalam PBL lebih
menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL
didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
b) Autenthic problems from organizing focus for learning, yaitu masalah yang
disajikan kepada siswa adalah masalah yang autentik sehingga siswa mampu
dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam
kehidupan profesionalnya nanti.
c) New information is acquired through self direct learning, yaitu dalam proses
pemecahan masalah mungkin saja belum mengetahui dan memahami semua
pengetahuan prasayaratnya sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui
sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.
d) Learning occurs in small group, yaitu agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar
pemikiran dalam usaha mengembangkan pengetahuan secara kolaboratif, PBL
dilaksanakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian
tugas yang jelas dan penerapan tujuan yang jelas.
e) Teacher act as facilitator, yaitu pada pelaksanaan PBL, guru hanya berperan
sebagai fasilitator. Meskipun begitu guru harus selalu memantau perkembangan
aktivitas siswa dan mendorong mereke agar mencapai target yang hendak dicapai.
C. Sistem Penilaian
Sistem Penilaian berupa pengetahuan, kecakapan, dan sikap dengan penilaian
pembelajaran menggunakan authentic assesment. Penilaian terhadap penguasaan
pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan
ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan
laporan.
D. Sintaks PBL
Sintaks PBL antara lain:
a) Peserta didik disajikan suatu masalah.
b) Peserta didik mendiskusikan masalah dalam tutorial PBL dalam sebuah kelompok
kecil. Mereka mengklarifikasi fakta-fakta suatu kasus kemudian mendefinisikan
sebuah masalah. Mereka membrainstorming gagasannya dengan berpijak pada
pengetahuan sebelumnya. Kemudian, mereka mengidentifikasi apa yang mereka
butuhkan untuk menyelesaikan masalah serta apa yang mereka tidak ketahui.
Mereka menelaah masalah tersebut. Mereka juga mendesain suatu rencana tindakan
untuk menggarap masalah.
c) Peserta didik terlibat dalam studi independen untuk menyelesaikan masalah diluar
bimbingan guru. Hal ini bisa mencakup: perpustakaan, database, website,
masyarakat, dan observasi.
d) Peserta didik kembali pada tutorial PBL, lalu saling sharing, informasi, melalui peer
teaching atau cooperative learning atas masalah tertentu.
e) Peserta didik mereview apa yang mereka pelajari proses pengerjaan selama ini.
Semua yang berpartisipasi dalam proses tersebut terlibat dalam review berpasangan,
dan review berdasarkan bimbingan guru, sekaligus melakukan refleksi atas
kontribusinya tehadap proses tersebut.
Berdasarkan sintaks tersebut, aktivitas guru dan peserta didik dalam
pembelajaran PBL disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Aktivitas guru dan peserta didik pada pembelajaran PBL
B. Tujuan
Tujuan pembelajaran discovery learning antara lain:
1. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran.
2. Mengajarkan siswa untuk menemukan pola dalam situasi konkret maupun abstrak,
termasuk meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.
3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar merumuskan strategi tanya
jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab sebagai alat untuk
memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan pengetahuan.
4. Membantu siswa melakukan kegiatan kerja sama yang efektif, saling membagi
informasi, serta mendengar dan mengaplikasikan ide-ide orang lain.
C. Prinsip
a) Siswa menghadapi masalah yang direkayasa oleh guru.
b) Materi yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final.
c) Siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui.
d) Siswa mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk
(konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk
akhir.
D. Karakteristik
a) Menekankan aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan inti materi pelajaran.
b) Siswa diarahkan untuk melakukan aktivitas menemukan dan mencari jawaban
sendiri dari suatu permasalahan.
c) Mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
c. Data collection
Pada tahap ini, peserta didik diminta untuk mencari informasi yang relevan guna
menjawab pertanyaan yang dirumuskan pada tahap problem statement.
d. Data processing
Pada tahap ini, guru meminta peserta didik untuk berdiskusi dengan anggota
kelompoknya untuk memproses informasi yang telah dikumpulkan oleh masing-
masing anggota.
e. Verification
Tahap verification memuat kegiatan peserta didik untuk membuktikan kebenaran
hipotesis yang telah dirumuskan. Cara untuk membuktikannya adalah dengan
melakukan pemeriksaan kembali hipotesisnya dan mencocokkan hipotesis tersebut
dengan informasi yang diperoleh dari literatur.
f. Generalization
Pada tahap ini, peserta didik menyimpulkan berdasarkan kecocokan antara informasi
yang diperoleh dan hipotesis.
Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran di atas, aktivitas guru dan peserta
didik pada pembelajaran discovery learning disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Aktivitas Guru dan Peserta Didik pada Pembelajaran Discovery Learning
Langkah Kerja Aktivitas Guru Aktivitas Peserta Didik
Pemberian rangsangan Guru memulai kegiatan Peserta didik dihadapkan
(Stimulation) pembelajaran dengan pada sesuatu yang
mengajukan pertanyaan, menimbulkan
anjuran membaca buku, kebingungannya,
dan aktivitas belajar kemudian dilanjutkan
lainnya yang mengarah untuk tidak memberi
pada persiapan generalisasi, agar timbul
pemecahan masalah. keinginan untuk
menyelidiki sendiri.
Pernyataan/Identifikasi Guru memberi Permasalahan yang
masalah kesempatankepada dipilih itu selanjutnya
(Problem Statement) peserta didik untuk harus dirumuskan dalam
mengidentifikasi bentuk pertanyaan, atau
sebanyak mungkin hipotesis, yakni
agenda-agenda masalah pernyataan sebagai
yang relevan dengan jawaban sementara atas
bahan pelajaran, pertanyaan yang diajukan.
kemudian salah satunya
dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas
pertanyaan masalah).
Pengumpulan data (Data Ketika eksplorasi Tahap ini berfungsi untuk
Collection) berlangsungguru juga menjawab pertanyaan
memberi kesempatan atau membuktikan benar
kepada para peserta didik tidaknyahipotesis.
untuk mengumpulkan Dengan demikian peserta
informasi yang relevan didik diberi kesempatan
sebanyak-banyaknya untuk mengumpulkan
untuk membuktikan benar (collection) berbagai
atau tidaknya hipotesis. informasi yang relevan,
membaca literatur,
mengamati objek,
wawancara dengan nara
sumber, melakukan uji
coba sendiri dan
sebagainya.
Pengolahan data (Data Guru melakukan Pengolahan data
Processing) bimbingan pada saat merupakan kegiatan
peserta didik melakukan mengolah data dan
pengolahan data. informasi baik melalui
wawancara, observasi,
dan sebagainya, lalu
ditafsirkan.Semua
informasi hasil bacaan,
wawancara, observasi,
dan sebagainya,
semuanya diolah, diacak,
diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan
cara tertentu serta
ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu.
Pembuktian (Verification) Verifikasi bertujuan Peserta didik melakukan
agarproses belajar akan pemeriksaan secara
berjalan dengan baik dan cermat untuk
kreatif jika guru membuktikan benar atau
memberikan kesempatan tidaknya hipotesis yang
kepada peserta didik ditetapkan tadidengan
untuk menemukan suatu temuan alternatif,
konsep, teori, aturan atau dihubungkan dengan hasil
pemahaman melalui pengolahan data.
contoh-contoh yang ia
jumpai dalam
kehidupannya.
Menarik Proses menarik Berdasarkan hasil
simpulan/generalisasi sebuahkesimpulan yang verifikasi maka
(Generalization) dapat dijadikan prinsip dirumuskan prinsip-
umum dan berlaku untuk prinsip yang mendasari
semua kejadian atau generalisasi.
masalah yang sama,
dengan memperhatikan
hasil verifikasi.
B. Sistem Penilaian
Sistem penilaian meliputi 3 aspek yaitu kompetensi saintifik (psikomotorik), sikap
saintifik (afektif), dan pengetahuan saintifik (kognitif).
Belajar
Berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu
Humanistik
Humanistis; bersifat kemanusiaan
Ilmiah
Bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan
IPA
Ilmu Pengetahuan Alam
Kecerdasan
Kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran)
Kognitif
Berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris
Pembelajaran
Proses, cara, perbuatan menjadikan belajar
Projek
Rencana pekerjaan dengan sasaran khusus (pengairan, pembangkit tenaga listrik, dan
sebagainya) dan dengan saat penyelesaian yang tegas
Sains
Pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba
yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki,
dipelajari, dan sebagainya
Stimulus
Perangsang organisme (bagian tubuh atau reseptor lain) untuk menjadi aktif
Teori
Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan
argumentasi
DAFTAR PUSTAKA
Adha, M. A., Gordisona, S., Ulfatin, N., & Supriyanto, A. (2019). Analisis komparasi
sistem pendidikan Indonesia dan Finlandia. Jurnal Studi Manajemen Pendidikan,
3(2), 145-160.
Agustin, N. (2018). Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran Akidah
Akhlak Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Naturalistik
Eksistensial Spiritual. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 9(1), 37-59.
Andriyani, F. (2015). Teori Belajar Behavioristik dan Pandangan Islam tentang
Behavioristik. Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam. Edisi 10 No. 2 Hal. 165-
180.
Armstrong, T. (2002). 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan
Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Armstrong, T. (2005). Setiap Anak Cerdas: Panduan Membantu Anak Belajar dengan
Memanfaatkan Multiple Intelligence-nya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Awalludin, F. A. (2021). Konsep Pendidikan Humanistik Berbasis Al-Quran. Al-Din:
Jurnal Dakwah Dan Sosial Keagamaan, 7(1).
Badi’ah, Z. (2021). Implikasi Teori Belajar Kognitif J. Piaget dalam Pembelajaran
Bahasa Arap dengan Metode Audiolongual. Attractive: Innovative Education
Journal, 3(1), 76-90.
Budiningsih, C. A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Chatib, M. & Said, A. (2012). Sekolah Anak-Anak Juara Berbasis Kecerdasan Jamak
dan Pendidikan Berkeadilan. Bandung: Kaifa.
Delise, R. (1997). Used Problem Based Learning in The Classroom. USA: Association
for Supervision and Curriculum Development.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya.
Devi, A. D. (2021). Implementasi Teori Belajar Humanisme dalam Proses Belajar
Mengajar Pendidikan Agama Islam. At-Tarbawi: Jurnal Pendidikan, Sosial
dan Kebudayaan, 8(1), 71-84.
Ekawati, M., & Yarni, N. (2019). Teori Belajar Berdasarkan Aliran Psikologi
Humanistik Dan Implikasi Pada Proses Belajar Pembelajaran. Jurnal Review
Pendidikan Dan Pengajaran, 2(2), 266–269.
Faiqoh, N. M. R., & Baroroh, R. U. (2020). Teori Belajar Humanistik Dan Implikasinya
Pada Maharah Istima'. Urwatul Wutsqo: Jurnal Studi Kependidikan Dan
Keislaman, 9(2), 213-228.
Familus. (2016). Teori Belajar Aliran Behavioristik serta Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal PPKn dan Hukum. 11 (2): 108.
Fathurrohman, M. (2017). Belajar dan Pembelajaran Modern. Yogyakarta:
Garudhacawa.
Frimia, A. N. (2017). Teori Belajar dan Pembelajaran Implementasinya dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP, SMA, dan SMK. Yogyakarta:
Deepublish.
Ghofur, A. A. (2019). Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis Humanistik
Dengan Pendekatan Aktif Learning (Studi Multikasus). (Doctoral Dissertation,
IAIN Tulungagung).
Gredler, B. (1991). Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali.
Haerazi, H. (2018). Landasan Filosofis Pembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia.
JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan), 2(1).
Hamid, M. A., Hilmi, D., & Mustofa, M. S. (2019). Pengembangan Bahan Ajar Bahasa
Arab Berbasis Teori Belajar Konstruktivisme Untuk Mahasiswa. Arabi:
Journal of Arabic Studies, 4(1), 100-114.
Hardianto, D. (2012). Paradigma Teori Behavioristik dalam Pengembangan
multimedia Pembelajaran. Majalah Ilmiah Pembelajaran.
Insani, F. D. (2019). Teori Belajar Humanistik Abraham Maslow Dan Carl Rogers
Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. As-Salam:
Jurnal Studi Hukum Islam & Pendidikan, 8(2), 209–230.
Joice and Well. (2009). Models of Teaching (Model Model Pengajaran).
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kamila, J. T., Haliza, V. N., Putri, S. B., & Windayana, H. (2021). Revitalisasi
Manajemen Pembelajaran Daring dalam Rangka Pengembangan Kecerdasan
Majemuk Peserta Didik. Aulad: Journal on Early Childhood, 4(3).
Kusmintardjo., & Mantja, W. (2011). Landasan-Landasan Pendidikan dan
Pembelajaran. Program Studi Doktor Manajemen Pendidikan, Universitas
Negeri Malang.
Lundin, (1991). Theories and Systems of Psychology. 4 rd Ed. Toronto: D.C. Heath and
Company.
Manik, H., Sihite, A. C., Manao, M. M., Sitepu, S., & Naibaho, T. (2022). Teori Filsafat
Humanistik dalam Pembelajaran Matematika. Edumaspul: Jurnal Pendidikan,
6(1), 348-355.
Mursyidi, W. (2019). Kajian Teori Belajar Behaviorisme Dan Desain Instruksional.
Almarhalah: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 33.
Nada, N. (2019). Pola modifikasi perilaku disiplin santri di Madrasah Tsanawiyah
Zainul Hasan 1 Genggong (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Nahar, I. N. (2016). Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Proses Pembelajaran.
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. 1-70.
Nurhadi, N. (2020). Teori Kognitivisme serta Aplikasinya dalam Pembelajaran. EDISI,
2(1), 77-95.
Nurhidayati, T. (2015). Inovasi Pembelajaran PAI Berbasis Multiple Intelligences.
Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), 3(1),
23-56.
Nurlina, N., & Bahri, A. (2021). Teori Belajar dan Pembelajaran. Makassar: CV.
Berkah Utami.
Pratama, Y. A. (2019). Relevansi teori belajar behaviorisme terhadap pendidikan
agama islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 4(1), 38-49.
Rahmah, S. (2022). Teori Kognitivisme Serta Aplikasinya Dalam Pembelajaran.
SKULA: Jurnal Pendidikan Profesi Guru Madrasah, 2(3), 23-34.
Rahman, Y. A., & Rahman, R. (2019). Teori Belajar Kognitif Membedah Psikologi
Belajar Jean Piaget. Tsaqofah: Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 1-10.
Rangkuti, A. N. (2014). Konstruktivisme dan Pembelajaran Matematika. Darul Ilmi:
Jurnal Ilmu Kependidikan dan Keislaman, 2(2).
Rani, H. (2021). Penerapan Metode Project Based Learning pada Pembelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam dalam Meningkatkan Motivasi Belajar. Jurnal Pendidikan
Refleksi, 10(2), 95-102.
Ratnasari, S. L., Supardi, S., & Nasrul, H. W. (2020). Kecerdasan Intelektual,
Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, Dan Kecerdasan Linguistik
Terhadap Kinerja Karyawan. Journal of Applied Business Administration, 4(2),
98-107.
Ratnawati, E. (2016). Karakteristik teori-teori belajar dalam proses pendidikan
(perkembangan psikologis dan aplikasi). Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial &
Ekonomi, 4(2).
Rosidah, L. (2014). Peningkatan kecerdasan visual spasial anak usia dini melalui
permainan maze. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 8(2), 281-290.
Safitri, A. O., Handayani, P. A., Yunianti, V. D., & Prihantini, P. (2022). Pengaruh
Model Pembelajaran Discovery Learning terhadap Peningkatan Hasil Belajar
Siswa SD. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 9106-9114.
Setiawan, A. (2017). Belajar dan Pembelajaran. Palangka Raya: Uwais Inspirasi
Indonesia.
Setyowati, A., & Subali, B. (2011). Implementasi Pendekatan Konflik Kognitif dalam
Pembelajaran Fisika untuk Menumbuhkan Kemampuan erpikir Kritis Siswa
SMP Kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7(2).
Subakti, H., Utami, N. R., Sulaeman, D., Soputra, D., Hardiyanti, S. A., Avicenna, A.,
& Yuniwati, I. (2022). Teori Pembelajaran. Yayasan Kita Menulis.
Sugiharti, R. E., & Sukowati, T. Z. (2020). Pendekatan Science Environment
Technology Society (Sets) Sebagai Alternatif Dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Ipa Pada Materi Cahaya Di Sekolah Dasar. PEDAGOGIK (Jurnal
Pendidikan Sekolah Dasar), 8(2), 10-15.
Sugrah, N. (2019). Implementasi Teori Belajar Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Sains. Humanika: Jurnal Ilmiah Mata Kuliah Umum, 19(2), 121-138.
Sulaiman, S., & Neviyarni, S. (2021). Teori Belajar Menurut Aliran Psikologi
Humanistik Serta Implikasinya Dalam Proses Belajar dan Pembelajaran. Jurnal
Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan dan Pembelajaran, 2(3), 220-234.
Sukenti. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suprayetno, E. (2022). Menyibak Sastra Feminisme Kekinian: Ditinjau Perspektif
Teori Belajar Humanistik. EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia), 1(1),
66-74.
Susilawati, N. (2021). Humanisme, M. B. K. M. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian
Pendidikan Dan Pembelajaran, 2(3).
Suparno, Paul. 2009. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius.
Suzana, Y., Jayanto, I., & Farm, S. (2021). Teori belajar & pembelajaran. Literasi
Nusantara.
Syafe’i, M. (2018). Upaya Mengembangkan Kecerdasan Musikal Melalui Permainan
Persepsi Bentuk Musikal Pada Anak Kelomok B di TK Pertiwi Tanjung Juwiring
Klaten. SALIHA: Jurnal Pendidikan & Agama Islam, 1(2), 71-85.
Syarifah, S. (2019). Konsep Kecerdasan Majemuk Howard Gardner. Sustainable
Jurnal Kajian
Mutu Pendidikan, 2(2), 176-197.
Umam, M. C. (2019). Implementasi Teori Belajar Humanistik Carl R. Rogers Pada
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Tadrib, 5(2), 247-264.
Umar, U. (2018). Analisis Konstruktif Teori Belajar Behaviorisme dalam Proses
Pembelajaran di Sekolah. EL-Muhbib: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian
Pendidikan Dasar, 2(1), 41.
Wahyudi, D. (2011). Pembelajaran IPS Berbasis Kecerdasan Intrapersonal
Interpersonal dan
Eksistensial. Journal Pendidikan, Edisi Khus (1).
Wicaksana, T. I., Ambiyar, A., Maksum, H., & Irfan, D. (2022). Penerapan model
(PJBL) untuk meningkatkan kreativitas dan hasil belajar dalam mata pelajaran
pemrograman berorientasi objek. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 7(3),
470-478.
Wicaksana, I. G. W. (2018). Konstruktivisme. Surabaya: Airlangga University Press.
Widyantari, N. K. S., Suardana, I. N., & Devi, N. L. P. L. (2019). Pengaruh Strategi
Belajar Kognitif, Metakognitif Dan Sosial Afektif Terhadap Hasil Belajar Ipa.
Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Sains Indonesia (JPPSI), 2(2), 151-160.
Widiyatmoko, A. (2013). Pengembangan perangkat pembelajaran ipa terpadu
berkarakter menggunakan pendekatan humanistik berbantu alat peraga murah.
Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 2(1).
Wisman, Y. (2020). Teori Belajar Kognitif dan Implementasi dalam Proses
Pembelajaran. Jurnal Ilmiah Kanderang Tingang, 11(1), 209-215.
Wulandari, R. (2017). Berpikir ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA untuk
meningkatkan literasi sains. SEJ (Science Education Journal), 1(1), 29-35.
Yahaya, A., & Chu, S. P. (2010). Teori-Teori Pembelajaran. Teori-Teori
Pembelajaran, 1-4.
Yanuardianto, E. (2019). Teori Kognitif Sosial Albert Bandura (Studi Kritis dalam
Menjawab Problem Pembelajaran di Mi). Auladuna: Jurnal Prodi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah, 1(2), 111.
Yaumi, M. (2013). Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences:
Mengidentifikasi dan Mengembangkan Multitalenta Anak. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Yuliandri, M. (2017). Pembelajaran Inovatif di Sekolah Berdasarkan Paradigma Teori
Belajar Humanistik. Journal of Moral and Civic Education, 1(2), 101-115.