Ny. RA berusia 65 tahun, memiliki berat badan 76 kg dan tinggi badan (TB) 152 cm
merupakan pasien yang pernah mengalami operasi gangrene pada bagian kaki kanan dan ibu
jarinya sudah diamputasi beberapa bulan yang lalu. Pada awalnya kedua kaki Ny. RA
mengalami udema lalu mengalami luka kecil yang tak kunjunh sembuh yang dikarenakan
tertusuk oleh ranting pohon. Pengobatan pada kuka sudah dilakukan namun tidak
memberikan hasil signifikan dan diperparah dengan seringnya luka yang terkena air (pada
saat mandi). Riwayat penyakit dahulu adalah Diabetes Melitus (DM) tipe II dan Gangguan
Ginjal Kronis (GGK). Nilai kreatinin terakhir tes adalah 20 ml/menit. Obat terdahulu yang
digunakan yaitu metformin dengan dosis 500 mg kombinasi glibenklamid 2mg 1x sehari.
Saat ini Ny. RA datang ke apotik dengan membawa resep baru dari dokter yang berisi :
a. Insulin humalog mix 25 secara iv 1x50 IU
b. Meropenem 3xsehari 1 gram
c. Lasix 1x1 tablet
Pertanyaan Soal :
a. Apakah menurut Anda sebagai seorang TTK pemberian terapi pada Ny. RA sudah tepat
berdasarkan sumber informasi yang Anda gunakan? Berikan alasannya! (cantumkan
informasi yang digunakan)
Jawaban :
Terapi tersebut kurang tepat, alasannya :
Pada pasien dengan Diabetes Mellitus (DM) tipe II sudah tepat bila penggunaan obat
antidiabetiknya, yakni kombinasi Metformin dan Glibenklamid. Namun bila penggunaannya
hanya 1xsehari hal ini dirasa kurang optimal, mengingat pasien tersebut memiliki Diabetes
Mellitus dengan Gula Darah Sewaktu (GDS) yang sudah sangat tinggi (hal ini ditunjukkan
dengan terjadinya gangrene, ibu jari yang sudah diamputasi, hingga komplikasi dengan
penyakit ginjal kronis). Menurut (Susilowati, 2008) penggunaan metformin yang hanya
1xsehari dapat mengakibatkan efek obat yang kurang optimal dan terapi yang diharapkan
tidak tercapai. Sehingga, penggunaan kombinasi Metformin dengan glibenklamid tetap
diperbolehkan lanjut, meskipun tetap harus ada kepastian dari dokter (pasien disarankan
bertanya kepada dokter). Namun pustaka lain menyebutkan penggunaan Obat DM golongan
sulfonilurea (glibenklamid) pada pasien GGK tidak diperkenankan (Menurut CDK
184/Vol.38 tahun 2011), sedangkan pada Metformin tidak dipermasalahkan pada pasien
GGK.
Pemberian Insulin humalog yang merupakan rapid acting atau obat insulin dengan kerja
cepat (sumber : Madscape, Drug Dictionary) pada pasien DM tipe II dengan komplikasi
Gangguan Ginjal Kronik yang telah memasuki stadium akhir/parah (ditandai dengan clearens
kreatinin 20ml/menit) memang banyak digunakan. Menurut CDK 184/Vol.38 tahun 2011,
belum ada rekomendasi jenis insulin yang harus dihindari atau dapat digunakan khusus untuk
pasien DM dengan GGK, beberapa peneliti menyarankan agar menghindari insulin dengan
kerja panjang (long acting), namun penggunaan insulin lispro (insulin humalog) tidak
menyebabkan perbedaan metabolisme glukosa pada pasien dengan atau tanpa DKD, sehingga
pasien DM dengan komplikasi GGK harus lebih dikontrol dan diperhatikan lagi dalam
penyesuaian dosis untuk mengontrol glukosa darah maupun menghindari kejadian
hipoglikemia. Namun pada kasus ini pasien tidak rawat inap, melainkan rawat jalan, hal ini
berpengaruh pada pemberian insulin humalog secara intravena, yang mana mestinya untuk
pasien rawat inap (dikontrol oleh dokter/tenaga kesehatan lain). Sedangkan untuk pasien
rawat jalan, disarankan penggantian insulin humalog/lispro, secara subkutan yang mana dapat
dilakukan sendiri dengan KIE yang jelas dari seorang TTK.
Penggunaan antibiotik meropenem pada pasien DM tipe II yang telah mengalami operasi
gangrene, hal tersebut ditujukan untuk mempercepat penyembuhan gangrene (agar tidak
infeksi). Namun hal ini kurang tepat, disarankan pasien tidak menggunakan antibiotik yang
memiliki resistensi tinggi (AB Beta laktam golongan Carbapenem) sumber : Madscape, IONI
2008, karena jika pasien tersebut mengalami resistensi, akan susah mencari AB lain, selain
itu pada penggunaan golongan carbapenem akan terjadi Drug Related Problem atau kejadian
yang tidak diinginkan, dimana penggunaan meropenem pada pasien dengan riwayat
bermasalah ginjal kurang disarankan. Pasien disarankan menjalani cek lab kultur bakteri
untuk mengetahui jenis bakteri apa, baru kemudian dipilihkan AB yang sesuai. Kemudian,
pasien tersebut rawat jalan, sedangkan sediaan Meropenem adalah intravena (sumber :
MIMS,Madscape), sehingga tidak disarankan digunakan sendiri tanpa pengawasan dari
tenaga medis (lebih baik jika rawat inap penggunaan pada intravenanya). Jika pasien tersebut
tetap rawat jalan, disarankan penggunaan AB golongan sefalosporin seperti sefadroxil, dan
lain-lain, jika dirasa pasien tersebut telah resistensi pada penisilin.
Penggunaan Lasix (merupakan diuretic loop yang berisi Furosemid, dan diindikasikan untuk
edema atau pembengkakan, digunakan 1x sehari 1 tablet) sumber : ISO Vol 46, MIMS,
Madscape. Pemberian Lasix pada kasus ini berfungsi untuk mengurangi pembengkakan
dengan jalan melancarkan air seni khususnya pada pasien dengan CHF, liver cirrhosis, dan
gangguan ginjal kronik (GGK) sumber : Madscape. Hal ini tidak dipermasalahkan, terutama
pada pasien GGK dengan clearens kreatinin yang telah mencapai 20ml/menit (stadium 4),
sehingga pemberian Lasix diberikan 1xsehari pada pagi hari.