Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Mioma uteri merupakan tumor jinak dari otot rahim. Jumlah penderita
mioma uteri ini sulit diketahui secara akurat karena banyak yang tidak
menimbulkan keluhan sehingga penderita tidak memeriksakan dirinya ke dokter.
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial.

Mioma dapat bervariasi dalam ukuran dan jumlahnya, mulai dari beberapa
gram sampai mencapai lebih 45 kg serta jumlahnya bisa tunggal atau lebih dari
satu. Mioma merupakan penyebab gangguan kesuburan sebesar 27% dan sebagai
salah satu penyebab diangkatnya rahim seorang wanita. Di USA, perdarahan
rahim berlebih akibat mioma merupakan salah satu indikasi dilakukannya
tindakan pengangkatan rahim dan diperkirakan 600.000 kasus pengangkatan
rahim dilakukan setiap tahun.
Jumlah penderitanya belum diketahui secara pasti karena banyak yang
tidak merasakan keluhan sehingga tidak periksa ke dokter, namun diperkirakan
insiden mioma uteri sekitar 20%-30% dari seluruh wanita. Di Indonesia, kasus
mioma uteri di temukan sebesar 2,39%-11,7% pada semua pasien kebidanan yang
dirawat. Mioma 3-9 kali lipat lebih sering pada wanita kulit hitam dibandingkan
wanita kulit putih.
Mioma paling sering ditemukan pada usia 35-45 tahun, jarang ditemukan
pada usia 20 tahun juga setelah menopause. Kejadian mioma uteri sebesar 20-40%
di temukan pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Mioma cenderung
membesar ketika hamil dan mengecil ketika menopause. Apabila pertumbuhan
mioma semakin membesar setelah menopause maka kecugiaan ke arah keganasan
harus dipikirkan.
Penyakit mioma uteri berasal dari otot polos rahim. Beberapa teori
menyebutkan pertumbuhan tumor ini disebabkan rangsangan hormon estrogen.
Pada jaringan mioma jumlah reseptor estrogen lebih tinggi dibandingkan jaringan

1
otot kandungan (miometrium) sekitarnya sehingga mioma uteri ini sering kali
tumbuh lebih cepat pada kehamilan (membesar pada usia reproduksi) dan
biasanya berkurang ukurannya sesudah menopause (mengecil pada
pascamenopause). Sering kali mioma uteri membesar ke arah rongga rahim dan
tumbuh keluar dari mulut rahim. Ini yang sering disebut sebagai Myoma Geburt
(Geburt berasal dari bahasa Jerman yang berarti lahir). Tumor yang ada dalam
rahim dapat tumbuh lebih dari satu, pada perabaan memiliki konsistensi kenyal,
berbentuk bulat dan permukaan berbenjol-benjol seperti layaknya tumor perut.
Mioma uteri dapat ditemukan melalui pemeriksaan ginekologi rutin.
Diagnosis mioma uteri dicurigai bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu
atau lebih massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa
massa seperti ini adalah bagian dari uterus. Sedangkan pemeriksaan untuk
mengetahui adanya mioma dapat dilakukan ultrasonografi, histeroskopi dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) yang akurat dalam menggambarkan jumlah,
ukuran, dan lokasi mioma tetapi jarang diperlukan karena keterbatasan ekonomi
dan sumber daya. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus
yang tidak dapat disimpulkan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mioma uteri atau yang disebut juga leiomioma, fibromioma dan fibroid
adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat, sehingga
bila banyak mengandung sel otot maka konsistensinya lunak, sedangkan bila
mengandung banyak jaringan ikat (fibroid) maka konsistensinya kenyal, dengan
ukuran bervariasi dari sangat kecil sampai sangat besar yang mengisi pelvis dan
abdomen dapat tunggal atau multipel.

2.2 Epidemiologi
Mioma terjadi pada kira-kira 5 persen wanita selama masa reproduksi.
Tumor ini tumbuh dengan lambat dan mungkin baru dideteksi secara klinis pada
kehidupan dekade keempat. Pada dekade keempat ini insidennya mencapai kira-
kira 20%. Mioma lebih sering pada wanita nulipara atau wanita yang mempunya 1
anak. 
Mioma pada kehamilan menurut perkiraan frekuensi dalam kehamilan dan
persalinan berkisar sekitar 1 persen dan banyak mioma kecil tidak dikenal. Dalam
banyak kasus kombinasi mioma dengan kehamilan tidak mempunyai arti apa-apa.
Di pihak lain, kombinasi itu dapat menyebabkan komplikasi obstetrik yang besar
artinya. Hal itu tergantung besarnya dan lokalisasinya. Secara umum, angka
kejadian mioma uteri diprediksi mencapai 20%-30% terjadi pada wanita berusia
di atas 35 tahun.

2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari mioma pada rahim masih belum diketahui secara jelas.
Namun beberapa penelitian mengatakan bahwa mioma muncul dari satu sel ganas
yang berada di antara otot polos dalam rahim. Selain itu adanya faktor keturunan
juga diduga sebagai penyebab mioma.

3
Pertumbuhan dari mioma uteri diduga berkaitan dengan hormon estrogen.
Mioma menunjukkan pertumbuhan maksimal selama masa reproduksi, ketika
pengeluaran estrogen maksimal dan dapat bertambah besar dengan cepat selama
kehamilan dimana saat itu kadar estrogennya sangat tinggi. Tidak didapatkan
bukti bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma namun diketahui
bahwa estrogen berpengaruh terhadap pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari
reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari
miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding
endometrium. Hormon progesteron meningkatkan aktivitas mitotik dari mioma
pada wanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak
diketahui secara pasti. Progesteron memungkinkan pembesaran tumor down-
regulation apoptosis dari tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor
dengan meningkatkan produksi matriks ekstraseluler.
Teori Mayer dan De Snoo mengajukan teori cell nest atau teori genitoblas.
Percobaan Lipschurz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan
ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada
tempat lain di dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan
pemberian preparat progesteron atau testosteron. Pukka dan kawan-kawan
menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak didapati dari pada
miometrium normal. Menurut Meyer asal mioma adalah sel immatur, bukan dari
selaput otot yang matur.
Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori
onkogenik, maka patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor, yaitu inisiator
dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih
belum diketahui secara pasti. Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphate
dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler.
Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi
somatik dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid seks
dan growth faktor. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses
pertumbuhan tumor.

4
2.4 Faktor Predisposisi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya mioma uteri.
Berikut adalah beberapa faktor tersebut :

 Genetik
Wanita  dengan  garis  keturunan  tingkat  pertama  dengan  penderita
mioma  uteri  mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma
dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.
Penderita mioma yang mempunyai riwayat  keluarga penderita mioma
mempunyai 2 (dua) kali lipat kekuatan ekspresi dari VEGF-α (alfa
myoma-related growth factor)  dibandingkan  dengan  penderita  mioma 
yang  tidak  mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri.
 Ras
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa wanita keturunan Afro-Amerika
memiliki resiko 2,9 kali lebih besar untuk menderita mioma uteri
dibandingkan dengan wanita Kaukasia.
 Usia
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun (20%),
ditemukan sekitar 40%-50% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Mioma uteri jarang ditemukan sebelum menarche (sebelum mendapatkan
haid). Sedangkan pada wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar
10%. Mioma menunjukkan pertumbuhan maksimal selama masa
reproduksi dimana saat itu kadar estrogen sangat tinggi. Tumor ini paling
sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun dan mengalami
pengecilan pada saat menopause.
 Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan
mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarche, berkembang
setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause.
 Hormon endogen (Endogenous Hormonal)

5
Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari
hasil histerektomi wanita yang telah menopause,  diterangkan bahwa
hormon  estrogen endogen pada wanita-wanita menopause pada level yang
rendah/sedikit. Ditemukan bahwa konsentrasi estrogen pada jaringan
mioma uteri lebih tinggi dibandingkan jaringan miometrium normal
terutama pada  fase proliferasi dari siklus menstruasi.
 Paritas
Lebih sering terjadi pada nulipara, multipara atau pada wanita yang relatif
infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas
menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang
menyebabkan infertilitas, atau apakah kedua keadaan ini saling
mempengaruhi.
 Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar 
estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus 
kemungkinan dapat mempercepat terjadinya pembesaran mioma uteri.
 Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri.  Hal ini mungkin 
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh
enzim aromatease di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah
estrogen tubuh yang mampu meningkatkan prevalensi mioma uteri.
 Makanan
Beberapa penelitian menerangkan hubungan antara makanan dengan 
prevalensi atau pertumbuhan mioma uteri. Dilaporkan bahwa daging sapi,
daging setengah matang (red meat), dan daging babi meningkatkan insiden
mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden mioma
uteri. Tidak  diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat atau fitoestrogen
berhubungan  dengan mioma uteri.

6
 Kebiasaan merokok
Merokok dapat mengurangi insiden mioma uteri. Diterangkan dengan
penurunan bioaviabilitas estrogen dan penurunan konversi androgen 
menjadi estrogen dengan penghambatan enzim aromatase oleh nikotin.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari
mioma uteri, diantaranya adalah :
 Faktor hormonal
1. Hormon estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan
pengangkatan ovarium. Adanya hubungan dengan kelainan lainnya
yang tergantung estrogen seperti endometriosis (50%), perubahan
fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis (16,5%) dan
hiperplasia endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas.
17B hidroxydehidrogenase : enzim ini mengubah estradiol (sebuah
estrogen kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini
berkurang pada jaringan miomatous yang juga mempunyai jumlah
reseptor estrogen yang lebih banyak daripada miometrium normal.
2. Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu :
mengaktifkan 17B hidroxydehidrogenase dan menurunkan jumlah
reseptor estrogen pada tumor.
3. Growth hormon
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon
yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL,
terlihat pada periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang
cepat dari leiomioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil
kerja sinergis antara HPL dengan estrogen.

7
 Faktor genetik
Mioma memiliki sekitar 40% kromosom yang abnormal, yaitu adanya translokasi
antara kromosom 12 dan 14, delesi kromosom 7 dan trisomi dari kromosom 12
 Faktor pertumbuhan
Faktor pertumbuhan berupa protein atau polipeptida yang diproduksi oleh
sel otot polos dan fibroblas, mengontrol proliferasi sel dan merangsang
pertumbuhan dari mioma.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi mioma uteri didasarkan atas lokasi dan lapisan uterus yang
terkena.
Berdasarkan lokasi, mioma uteri dibedakan menjadi :
1) Korpus (91%) → merupakan lokasi paling lazim dan seringkali tanpa
gejala
2) Servikal (2,6%) → umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan
infeksi
3)  Isthmus (7,2%) → lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus
urinarius
Berdasarkan lapisan uterus yang terkena dan arah pertumbuhan, dibedakan
menjadi :
1) Mioma Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma uteri jenis lain
meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi
mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan
perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase,
dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai “Currete bump” dan
dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.
Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma

8
submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis
mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari
rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama “mioma geburt” atau
mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan
infark. Kemungkinan terjadinya degenerasi sarkoma juga lebih besar pada
jenis ini.
Adanya bentuk pedikel menyebabkan dismenore sebagai usaha dari uterus
untuk mengeluarkannya. Ulserasi dan nekrosa mengakibatkan adanya
discharge yang bau dan warna yang tidak tetap, sehingga sering salah
dianggap sebagai kanker serviks.
2) Mioma Intramural
Disebut juga sebagai mioma intraepitelial dan terdapat di dinding uterus di
antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot
sekitarnya akan terdesak dan terbentuklah semacam simpai yang
mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma,
maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan
konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus,
dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke
atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
Biasanya multipel apabila masih kecil tidak merubah bentuk uterus, tetapi
bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus bertambah
besar dan berubah bentuknya. Mioma sering tidak memberikan gejala
klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di
daerah perut sebelah bawah. 
Kadang kala tumor tumbuh sebagai mioma subserosa dan kadang-kadang
sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar, padat
(jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan). Prevalensi
sebesar 54% dari seluruh kasus mioma.

9
3) Mioma Subserosa
Tumbuh keluar dari dinding uterus dan letaknya di bawah tunika serosa.
Dapat bertangkai atau melayang dalam kavum abdomen. Mioma subserosa
yang bertangkai dapat mengalami torsi dan terasa sangat nyeri. Oleh
karena itu vena-vena yang ada di permukaan pecah dan menyebabkan
perdarahan intraabdominal. Kadang-kadang mioma subserosa timbul di
antara dua ligamentum latum, merupakan mioma interligamenter yang
dapat menyebabkan penekanan pada ureter dan A. Iliaca. Ada kalanya
tumor ini mendapat vaskularisasi yang lebih banyak dari omentum
sehingga lambat laun terlepas dari uterus, disebut sebagai parasitik mioma.
Prevalensi mencapai 38,2% dari total kejadian mioma.

2.6 Gambaran Mikroskopik


Pada pembelahan, jaringan mioma tampak lebih putih dari jaringan
sekitarnya. Pada pemeriksaan secara mikroskopik dijumpai sel-sel otot polos
panjang, yang membentuk bangunan yang khas sebagai kumparan (whorle like
pattern). Inti sel juga panjang dan bercampur dengan jaringan ikat. Pada
pemotongan transversal, sel berbentuk polihedral dengan sitoplasma yang banyak
mengelilinginya. Pada pemotongan longitudinal inti sel memanjang dan

10
ditemukan adanya “mast cells” di antara serabut miometrium dan sering
diinterprestasi sebagai sel tumor atau sel raksasa (giant cells).

2.7 Perubahan Sekunder


Perubahan sekunder pada myoma uteri sebagian besar bersifat degeneratif
karena berkurangnya aliran darah ke myoma uteri. Perubahan sekunder tersebut
meliputi :
 Atrofi
Sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan berakhir mioma uteri
menjadi kecil.
 Degenerasi hialin
Perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita usia lanjut. Tumor
kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian
besar atau hanya sebagian kecil dari padanya seolah-olah memisahkan satu
kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
 Degenerasi kistik
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, sebagian dari mioma menjadi
cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi seperti
agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan
limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistansi yang lunak
tumor ini sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
 Degenerasi membatu (calcireous degeneration)
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan
dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang
mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto
rontgen.
 Degenerasi merah (carneous degeneration)
Perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis
diperkirakan karena suatu nekrosis subakut akibat gangguan vaskularisasi.
Pada pembelahan dapat terlihat sarang mioma seperti daging mentah
berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin.

11
Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda yang
disertai emesis dan haus, sedikit demam, kesakitan, tumor dan uterus
membesar serta nyeri pada perabaan. Penampilan klinik seperti ini
menyerupai tumor ovarium terpuntir atau mioma bertangkai.
 Degenerasi lemak
Keadaan ini jarang dijumpai, tetapi dapat terjadi pada degenerasi hialin
yang lanjut, dikenal dengan sebutan fibrolipoma.

2.8 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Diagnosis mioma uteri didasarkan atas gejala klinis yang didapatkan saat
anamnesa dan dari hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Gejala
klinis tergantung dari lokasi dan besarnya tumor.
Anamnesa :
1. Perdarahan uterus yang abnormal
Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang
paling sering terjadi dan paling penting. Gejala ini terjadi pada 30% pasien
dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan
mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur.
Menorrhagia dan metrorrhagia sering terjadi pada pasien mioma uteri.
Perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
Patofisiologi perdarahan belum diketahui pasti tapi diduga disregulasi dari
beberapa faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptor yang mempunyai efek
langsung pada fungsi vaskuler dan angiogenesis. Perubahan-perubahan ini
menyebabkan kelainan vaskularisasi akibat disregulasi struktur vaskuler di
dalam uterus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain berupa peningkatan
ukuran endometrium, peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus,
gangguan kontraktilitas uterus, ulserasi endometrium pada mioma
submukosum dan kompresi pada pleksus venosus di dalam miometrium.
Yang sering menyebabkan gejala perdarahan ialah jenis submukosa
sebagai akibat pecahnya pembuluh-pembuluh darah. Mioma intramural

12
juga dapat menyebabkan perdarahan, oleh karena ada gangguan kontraksi
uterus. Jenis subserosa tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal.
Kalau ada perdarahan yang abnormal harus diingat akan kemungkinan
yang lain yang timbul bersamaan dengan mioma yaitu :
- Adeno karsinoma
- Polip
- Faktor fungsionil
2. Nyeri panggul
Gejala ini tidak khas untuk mioma, walaupun sering terjadi.
Keluhan yang sering diutarakan ialah rasa berat dan dismenore. Timbulnya
rasa sakit dan nyeri pada mioma disebabkan karena adanya degenerasi
akibat adanya oklusi vaskuler, infeksi, torsio dari mioma yang bertangkai
(sifatnya akut dan disertai rasa eneg dan muntah-muntah) maupun akibat
kontraksi miometrium yang disebabkan mioma subserosum. Tumor yang
besar dapat mengisi rongga pelvis dan menekan bagian tulang pelvis yang
dapat menekan saraf sehingga dapat menyebabkan rasa nyeri yang
menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas posterior.
3. Penekanan dan pendesakan
Tanda-tanda penekanan dan pendesakan tergantung dari lokasi dan
besar tumor. Bila menekan kandung kencing, akan menimbulkan
kerentanan kandung kencing (bladder irritability), polakisuria dan disuri.
Bila uretra tertekan dapat menimbulkan retensio urine, dan bila hal ini
berlangsung lama dapat menyebabkan hidronefrosis. Tekanan pada rektum
tidak terlalu besar, kadang-kadang menyebabkan konstipasi dan kadang-
kadang sakit pada waktu defekasi. Tumor dalam kavum Douglas dapat
menyebabkan retensio urin. Kalau besar sekali mungkin ada gangguan
pencernaan. Kalau terjadi tekanan pada vena kava inferior akan terjadi
edema dari tungkai bawah.
4. Disfungsi reproduksi
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih
belum jelas. Dilaporkan sebesar 27%-40% wanita dengan mioma uteri

13
mengalami fertilitas. Mioma yang terletak di daerah kornu dapat
menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio
akibat oklusi tuba bilateral.
Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus
yang sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma di dalam uterus.
Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan
disfungsi reproduksi.
Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada keberadaaan
mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi
karena kompresi massa tumor.
5. Benjolan
Mengeluh benjolan di perut bagian bawah.
Pemeriksaan Fisik :
Dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Pemeriksaan luar/abdomen
Pada pemeriksaan abdomen, uterus yang membesar dapat dipalpasi
pada abdomen terutama jika ukurannya besar. Tumor teraba sebagai
nodul ireguler, gerakan bebas serta tidak sakit. Area perlunakan
memberi kesan adanya perubahan-perubahan degeneratif. Biasanya
letak tumor di tengah-tengah. Perlunakan abdomen yang disertai nyeri
dapat disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari ruptur vena pada
permukaan tumor.
b. Pemeriksaan bimanual rutin
Pemeriksaan bimanual dilakukan bila pemeriksaan luar belum jelas,
terutama pada wanita gemuk. Diagnosis mioma uteri dicurigai bila
dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang lebih
licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus. Pada keadaan tertentu, mioma submukosa
yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan terlihat pada
ostium servikalis. Uterus cenderung membesar, tidak beraturan dan
berbentuk nodul.

14
Pemeriksaan Penunjang :
a. Darah lengkap
Hb turun, albumin turun, leukosit turun/meningkat, eritrosit turun.
b. USG (Ultrasonography)
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan
keadaan adneksa dalam rongga pelvis.
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama
lebih bermanfaat untuk mendeteksi kelainan pada rahim, termasuk
mioma uteri. Uterus yang besar lebih baik diobservasi melalui
ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri dapat menampilkan
gambaran secara khas yang mendemonstrasikan irregularitas kontur
maupun pembesaran uterus. Sehingga sangatlah tepat untuk digunakan
dalam monitoring.
Adanya kalsifikasi ditandai dengan fokus-fokus hiperekoik dengan
bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai dengan adanya gambaran
hipoekoik.
c. Histeroskopi
Menggunakan alat berupa teleskop yang tipis dan dimasukkan ke
uterus melalui serviks.
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa,
jika tumornya kecil serta bertangkai. Pemeriksaan ini dapat berfungsi
sebagai alat untuk penegakan diagnosis dan sekaligus untuk
pengobatan karena dapat diangkat.

15
d. Laparaskopi
Untuk mengevaluasi massa di daerah pelvis.
e. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran dan lokasi mioma tetapi
jarang diperlukan karena keterbatasan ekonomi dan sumber daya. Pada
MRI, mioma tampak sebagai massa gelap terbatas tegas dan dapat
dibedakan dari miometrium yang normal. MRI dapat mendeteksi lesi
sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma
submukosa. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-
kasus yang tidak dapat disimpulkan
f. Foto Bulk Nier Oversidth (BNO), Intra Vena Pielografi (IVP)
Menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan
perjalanan ureter.
g. Papaniculou Test
Merupakan pemeriksaan sitologis yang memungkinkan untuk
mendeteksi adanya sel yang abnormal dan mendeteksi keganasan
tumor pada tahap awal.

2.9 Diagnosa Banding


Seorang pemeriksa harus mampu membedakan diagnosa mioma uteri
dengan penyakit lain karena setiap penyakit mempunyai metode penanganan yang
berbeda. Berikut adalah diagnosa banding dari mioma uteri :

16
1. Kehamilan
Uterus membesar merata. Tes kehamilan positif.
2. Pseudosiesis
Terdapat amenorrhea, perut membesar tetapi uterus sebesar biasa, tanda
tanda kehamilan dan reaksi kehamilan negatif.
3. Kistoma Ovarii
Mungkin ada amenorrhea, perut penderita membesar tetapi ukuran uterus
biasa.
4. Vesika urinaria dengan retensio urine
Uterus biasanya membesar.
5. Menopause
Terdapat amenorrhea. Umur wanita kira kira di atas 43 tahun. Uterus
sebesar biasa, tanda-tanda kehamilan dan reaksi kehamilan negatif.

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dengan timbulnya mioma uteri antara lain
adalah :
a. Degenerasi ganas
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus
yang telah diangkat. Kecurigaan keganasan uterus apabila mioma uteri
cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam
menopause.

b. Torsi (putaran tungkai)


Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis.
c. Nekrosis dan infeksi
Setelah torsi dapat diikuti infeksi dan nekrosis.
d. Pengaruh timbal balik mioma uteri dan kehamilan
1. Pengaruh mioma terhadap kehamilan dan persalinan

17
 Mengurangi kemungkinan wanita menjadi hamil (infertilitas),
terutama pada mioma uteri submukosa
 Kemungkinan abortus bertambah
 Kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang besar
dan letak subserosa
 Menghalang-halangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang
letaknya di serviks
 Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya
di dalam dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma
 Mempersulit lepasnya plasenta, terutama pada mioma yang
submukus dan intramural
2. Pengaruh kehamilan terhadap mioma
 Tumor bertumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi
dan edema, terutama dalam bulan-bulan pertama, karena pengaruh
hormon estrogen. Setelah kehamilan 4 bulan tumor tidak
bertambah besar lagi.
 Tumor menjadi lebih lunak dalam kehamilan, dapat berubah
bentuk, dan mudah terjadi gangguan sirkulasi di dalamnya,
sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis, terutama ditengah-tengah
tumor. Tumor tampak merah (degenerasi merah) atau tampak
seperti daging (degenerasio karnosa). Perubahan ini menyebabkan
rasa nyeri di perut yang disertai gejala-gejala rangsangan
peritonium dan gejala-gejala peradangan, walaupun dalam hal ini
peradangan bersifat suci hama (steril). Lebih sering lagi komplikasi
ini terjadi dalam masa nifas karena sirkulasi dalam tumor
mengurang akibat perubahan-perubahan sirkulasi yang dialami
oleh wanita setelah bayi lahir.
 Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami putaran
tangkai akibat desakan uterus yang makin lama makin membesar.
Torsi menyebabkan gangguan sirkulasi yang nekrosis yang
menimbulkan gambaran klinik perut mendadak (akut abdomen).

18
2.11 Penatalaksanaan
Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, paritas, lokasi dan ukuran
tumor. Terbagi atas :
a. Konservatif
Tidak ada ukuran standar kapan mioma harus diterapi. Mioma
besar tanpa gejala dan tidak mengarah ke keganasan tidak perlu diterapi.
Pemeriksaan fisik dan USG harus diulangi setiap 6-8 minggu untuk
mengawasi pertumbuhan baik ukuran maupun jumlah. Apabila
pertumbuhan stabil maka pasien diobservasi setiap 3-4 bulan
Bila mioma uteri berukuran kecil, tidak cenderung membesar dan
tidak memicu keluhan yang berarti, cukup dilakukan pemeriksaan rutin
setiap 3-6 bulan sekali termasuk pemeriksaan USG. 55% dari semua
mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apapun.
Menopause dapat menghentikan pertumbuhan mioma uteri
Bila seorang wanita dengan mioma mencapai menopause, biasanya
tidak mengalami keluhan, bahkan dapat mengecil. Oleh karena itu
sebaiknya mioma pada wanita premenopause tanpa gejala diobservasi
saja. Bila mioma besarnya sebesar kehamilan 12-14 minggu apalagi
disertai pertumbuhan yang cepat sebaiknya dioperasi, walaupun tidak ada
gejala atau keluhan. Mioma yang besar kadang-kadang memberikan
kesukaran pada operasi.
Pada masa postmenopause, mioma biasanya tidak memberikan
keluhan. Tetapi bila ada pembesaran mioma pada masa post menopause
harus dicurigai kemungkinan keganasan (sarkoma).
b. Hormonal
Menggunakan agonis GnRH. Bekerja dengan menurunkan regulasi
gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisis anterior. Akibatnya, fungsi ov
arium menghilang dan  diciptakan  keadaan menopause yang reversibel.
Sebanyak 70% mioma  mengalami  reduksi  dari  ukuran  sebelumnya 
telah  dilaporkan  terjadi  dengan  cara ini,  menyatakan  kemungkinan 

19
manfaatnya  pada  pasien  perimenopausal  dengan menahan atau
mengembalikan  pertumbuhan  mioma  sampai  menopause yang
sesungguhnya  mengambil  alih.  Tidak  terdapat  resiko penggunaan
agonis GnRH  jangka panjang dan kemungkinan rekurensi mioma setelah
terapi dihentikan.
Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-
3 menstruasi setiap minggu sebanyak tiga kali. Efek maksimum dalam
mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum
pembedahan, karena memberikan beberapa keuntungan: mengurangi
hilangnya darah selama pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan
akan transfusi darah.
Adapun preparat lain yang digunakan untuk terapi hormonal adalah
progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, anti prostaglandin,
agen-agen lain (gossipol, amantadin).
Baru-baru ini ada penemuan obat oral terbaru berupa Ulipristal asetat.
Ulipristal asetat (Esmya) adalah modulasi selektif terhadap reseptor
progesteron yang telah disetujui untuk terapi pre-operasi mioma uteri pada
wanita dewasa yang reproduktif. Lama pemberian terbatas sampai dengan
3 bulan. Ulipristal asetat mempunyai bagian yang spesifik memberi efek
antagonis terhadap progesteron, bekerja pada reseptor progesteron di
endometrium dan myometrium sehingga mencegah rangsangan lebih
lanjut terhadap pertumbuhan mioma. Ulipristal asetat juga memberi efek
langsung terhadap mioma, mengurangi ukuran mioma dengan cara
menghambat peroliferasi sel dan menginduksi apoptosis. Disarankan dosis
pemberian per hari 5 mg. Dengan dosis tersebut dapat menekan kadar
produksi FSH. Penggunaan terapi secara farmakologis adalah jika ukuran
mioma uteri berukuran kurang dari 3 cm. Bagaimanapun juga, jika mioma
uteri berukuran lebih dari 3 cm dan disertai oleh keadaan klinis yang
menunjang, pilihan terapi terbatas pada analog GnRh dan terapi
pembedahan.

20
Adapun preparat lain yang digunakan untuk terapi hormonal adalah
progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, anti prostaglandin,
agen-agen lain (gossipol, amantadin).
c. Radioterapi
Syarat dilakukan radioterapi :
 Hanya dilakukan pada wanita yang tidak dapat dioperasi (bad risk
patient)
 Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 3 bulan
 Bukan merupakan jenis submukosa
 Tidak disertai radang pelvis, atau penekanan pada rektum
 Tidak dilakukan pada wanita muda, karena dapat menyebabkan
menopause.
Jenis radioterapi :
 Radium dalam kavum uteri
 X-ray pada ovaria
Tujuan dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan
d. Pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang
menimbulkan gejala. Menurut American College of Obstetrics and
Gynecologists (ACOG) dan American Society for Reproductive Medicine
(ASRM), indikasi pembedahan pasien mioma uteri adalah :
1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif
2. Sangkaan adanya keganasan
3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause
4. Infertilitas karena gangguan kavum uteri maupun karena oklusi tuba
5. Nyeri dan penekanan yang sangat mengganggu
6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
7. Anemia akibat perdarahan
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi dan
histerektomi

21
Miomektomi :
Miomektomi dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi
reproduksinya. Ada beberapa pilihan tindakan untuk melakukan
miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma. Tindakan
miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun
dengan laparoskopi.
1. Laparotomi
Dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat mioma dari
uterus. Sebelum melakukan, dokter harus memperhatikan keadaan
pasien, seperti hipermenorea dan semua bentuk dari perdarahan
abnormal membutuhkan evaluasi karena perdarahan juga merupakan
komplikasi dari operasi. Perdarahan yang terjadi berhubungan dengan
ukuran dari uterus, total berat mioma yang diangkat, dan lamanya
operasi.
Keunggulan : lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga
penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada
pembedahan pada miomektomi dapat ditangani dengan segera.
Kerugian : Resiko perlengketan lebih besar, sehingga akan
mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien. Disamping itu, masa
penyembuhan pasca operasi juga lebih lama, sekitar 4-6 minggu.
2. Histeroskopi
Untuk mioma submukosa yang terletak pada kavum uteri. Ahli bedah
memasukkan alat histeroskop melalui serviks dan mengisi kavum uteri
dengan cairan untuk memperluas dinding uterus.
Indikasi :
Multipel mioma, riwayat multipel miomektomi, perdarahan abnormal,
riwayat abortus, infertilitas, dan nyeri.
Kontraindikasi :
Karsinoma endometrium, infeksi alat reproduksi, ketidakmampuan
uterus untuk membesar dan tumor yang meluas ke miometrium.
Kelebihan :

22
Masa penyembuhan pasca operasi singkat (2 hari).
Kerugian :
Timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit
dan perdarahan.
3. Laparoskopi
Merupakan prosedur standar bagi pasien yang ingin mempertahankan
fungsi reproduksi. Caranya adalah dengan memasukkan alat
laparoskop ke dalam abdomen melalui insisi kecil pada dinding
abdomen.
Indikasi :
Mioma bertangkai di luar kavum uteri dan mioma subserosa yang
terletak pada permukaan uterus.
Kelebihan :
Masa penyembuhan pasca operasi yang cepat antara 2-7 hari.
Kerugian :
Perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium,
rektum serta perdarahan.

Histerektomi :
Indikasi :
Menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan
ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.
Terdapat 3 cara, yaitu :
1. Pendekatan abdominal (laparatomi)
Terdiri dari 2 metode berupa total abdominal histerektomi (TAH) dan
subtotal abdominal histerektomi (STAH).
a. TAH
Dapat terjadi banyak perdarahan, trauma operasi pada ureter,
kandung kemih dan rektum. Jaringan granulasi yang timbul pada
tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina.

23
b. STAH
Terhindar dari banyak perdarahan, trauma pada ureter, kandung
kemih dan rektum.
2. Pendekatan vaginam
Merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum
yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul
pada usus dapat diminimalisasi. Oleh karena pendekatan operasi tidak
melalui dinding abdomen, maka pada histerektomi vaginal tidak
terlihat parut bekas operasi sehingga memuaskan pasien dari segi
kosmetik. Selain itu, kemungkinan terjadinya perlengketan pada
operasi juga lebih minimal. Masa penyembuhan lebih cepat daripada
yang menjalani histerektomi abdominal.
3. Laparoskopi
Berupa miolisis. Miolisis adalah prosedur operasi invasif yang
minimal dengan jalan menghantarkan sumber energi yang berasal dari
laser Neodynium:yttrium alumunium garmet (Nd:YAG) ke jaringan
mioma, dimana akan menyebabkan denaturasi protein sehingga
menimbulkan proses koagulasi dan nekrosis di dalam jaringan yang
diterapi. Efektif untuk mengurangi gejala yang terjadi. Miolisis
merupakan alternatif terapi prosedur miomektomi.
Bisa juga dilakukan dengan laparoskopi yang tujuannya untuk
mengalihkan histerektomi abdominal ke histerektomi laparoskopi
secara keseluruhan. Ada beberapa teknik :
a. Laparoscopically Assisted Vaginal Hysterectomy (LAVH)
Memisahkan adneksa dari dinding pelvis dan memotong
mesosalfing ke arah ligamentum kardinale di bagian bawah.
Pemisahan pembuluh darah uterine dilakukan dari vagina.
b. Classic Intrafascial Serrated Edged Macromorcellated
Hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy.
Modifikasi dari STAH, dimana lapisan dalam dari serviks dan
uterus direseksi menggunakan morselator. Diharapkan dapat

24
mempertahankan integritas lantai pelvis dan aliran darah pada
pelvis untuk mencegah prolaps.
Keunggulan :
Mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih,
perdarahan yang lebih minimal, waktu operasi yang lebih cepat,
resiko infeksi yang lebih minimal dan masa penyembuhan yang
cepat.

2.12 Pencegahan
Terjadinya mioma uteri dapat dicegah dengan kiat-kiat sebagai berikut :
1. Paritas
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada perbandingan terbalik antara
jumlah paritas dengan timbulnya mioma. Karena pada waktu kehamilan
paparan estrogen berkurang, sehingga total waktu terpaparnya estrogen
pada wanita yang pernah hamil sampai melahirkan lebih sedikit daripada
wanita yang tidak pernah hamil.
2. Hindari obesitas
Berdasarkan penelitian, obesitas meningkatkan faktor resiko terjadinya
mioma sekitar 21% setiap kenaikan berat badan 10 kg di atas berat badan
ideal.
3. Rajin olahraga
Berdasarkan penelitian, wanita yang jarang berolahraga mempunyai resiko
timbulnya tumor jinak uterus 1,4x lebih besar daripada wanita yang rajin
berolahraga.
4. Hindari penggunaan kontrasepsi oral pada usia remaja (13 -16 tahun)
Berdasarkan penelitian, penggunaan kontrasepsi oral pertama pada usia
remaja (13 – 16 tahun) meningkatkan resiko timbulnya mioma dikemudian
hari.

25
5. Hindari penggunaan Hormonal Replacement Therapy (HRT) pada
post menopause
Berdasarkan penelitian, penggunaan HRT pada wanita post menopause
meningkatkan jumlah mioma yang diderita.

2.13 RA – SAB (Regional Anestesi – Subarachnoid Block)


2.13.1 Defenisi
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid
di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang
sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.

2.13.2 Indikasi
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam.

2.13.3 Kontra Indikasi


Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

a. Kontra Indikasi Absolut


 Infeksi pada tempat suntikan: Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare. : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis

26
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.
b. Kontra Indikasi Relatif
 Infeksi sistemi : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan
deficit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih
90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi
bisa bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman

27
2.13.4 Persiapan Anestesi
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib
diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi
dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat
diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
 Informed consent :Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
 Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat


dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil
point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.

28
8. Infus set.

Gambar 3.5 : Jenis Jarum Spinal

2.13.5 Obat-obat Anestesi Spinal


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat
anestesi lokal. Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat
anestesi lokal bersifat reversible.
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf.Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama.Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 370 C adalah 1.003-1.008.
Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik.Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.Anastetik lokal yang

29
sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik
lokal dengan dextrose.Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan
umum digunakan.
 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,
dosis 20-50 mg (1-2ml).
 Bupivakaine 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20
mg.
 Bupivakaine 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg(1-3 ml).

Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh


manusia.Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya
harus diperhatikan saat melakukan anestesi spinal.
1. Sistem Saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi: Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular: Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
lokal agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun: Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi pelepasan histamin

30
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal
khususnya pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal


dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi lokal
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesik opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesik opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena

31
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

2.13.6 Tehnik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.
Berikut adalah prosedur pelaksanaan teknik anestesi spinal:
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -
1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.

32
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan
menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid
tersebut.

33
Gambar 3.6 Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Gambar 3.7 Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median


dan paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah

34
dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm
lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar3.8Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring.Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motorik pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah
bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang
belumdiberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor
dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing,mual, berkeringat.

35
Gambar 3.9 Lokasi Dermatom Sensoris

2.13.7 Faktor yg Mempengaruhi Anestesi Spinal


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah :
 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

36
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.

2.13.8 Komplikasi Tindakan


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah:

a. Kardiovaskular 
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.
Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.Cardiac
arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal.Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang
berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus
seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest
tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang
disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak
10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila
dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan
sulfas atropine 1/8-1/4mg IV.

b. Blok Tinggi atau Total

37
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis
motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok
simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,
hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak
dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada
anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan
kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas
saraf phrenikus biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan
henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan
yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif.Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali
ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang
permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang
cepat dan tepat.
c. Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla. 

38

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.[2]
d. Komplikasi Gastro intestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 – 48 jam pasca pungsi lumbal,
dengan kekerapan yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat.Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu
Ondansetron atau diberikan Ranitidine.
e. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala.Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural
pada anestesi epidural.Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor
seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar
resiko untuk terjadi nyeri kepala.Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga
adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post
suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal.
Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke
retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda
yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan
akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi
(secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada
abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari
plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif

39
tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk
menghentikan kebocoran.
f. Nyeri Punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat
dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang
dalam beberapa waktu yang singkat saja.
f. Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional.Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali
paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.

40
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
Nama : Asra Hannum Nasution
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 46 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kapten Jamil No.21 Medan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Sudah Menikah
No RM : 26.65.99

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Nyeri disaat haid
Telaah : Pasien perempuan datang ke IGD RS Haji dengan keluhan
nyeri saat haid. Hal ini telah dialami pasien sejak 5 tahun yang lalu. Nyeri
bersifat terus menerus, os mengatakan nyeri seperti perutnya diperas. Os
mengatakan saat menstruasi keluar darah kental kehitaman. Os juga
mengatakan bahwa pada tahun 2016 os juga menderita penyakit yang sama
dan di sudah di operasi. Haid teratur, selamat 6-7 hari. Riwayat keluar darah
diluar siklus haid (-), Riwayat minum obat – obatan (-), Riwayat keputihan(-),
Riwayat Penurunan Berat Badan (-), Riwayat penurunan nafsu makan (-),
mual (-), muntah (-). BAB (+) normal, BAK (+) normal spontan.
RPT : Mioma Uteri
RPO : -
RPK : -

41
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
 Keadaan Umum : Baik
Vital Sign
 Sensorium : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 130/90 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 RR : 20x/menit
 Suhu : 370C
 Tinggi Badan : 155 cm
 Berat Badan : 70 kg

Pemeriksaan Umum
Kepala
 Bentuk :Normocepali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skleraikterik (-/-),Reflex cahaya
(+/+),Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm,Gerak bola mata
terkonjugasi ke segala arah.
 Telinga : Bentuk normal, tidak ada deformitas, nyeri tekan (-).
 Hidung : Hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung.
 Mulut : Tidak ada sianosis
Leher
 Pembesaran KGB : (-)
 Tyroid : (+) normal
 Bentuk : normal, simetris
Thorax
Paru
 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan torako
abdominal,retraksi costae -/-
 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan

42
 Perkusi : sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru
Jantung
 Inspeksi : Ictus tidak terlihat
 Palpasi : Ictus teraba, tidak kuat angkat
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : Bunyi jant/ung dalam batas normal
Abdomen
 Inspeksi : simetris
 Palpasi : terasa massa padat dibagian perut kiri bawah
 Perkusi : Timpani, nyeri tekan (+) dibagian perut kiri bawah
 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Ekstremitas : oedem -/-

Status Lokalisata
Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : teraba massa padat pada bagian perut kiri bawah disertai nyeri
tekan
Perkusi: Redup
Auskultasi : terdengar bunyi peristaltik usus (+).

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 10 g/dl (13 – 18 g/dl)
 Ht : 35.3 % (40 – 54 %)
 Eritrosit : 4,3x 106/µL (4.5 – 6.5 x 106/µL)
 Leukosit : 8.500/ µL (4000 – 11.000 / µL)
 Trombosit : 477.000/µL (150.000 – 450.000 / µL)

43
Index Eritrosit
 MCV : 86.6 fL (80-96)
 MCH : 23.0 pg (27-31)
 MCHC : 28.3 % (30-34)
Hitung Jenis Leukosit
 Eosinofil :1% (1-3)
 Basofil :0% (0-1)
 N.Stab :0% (2-6)
 N.Seg : 59 % (53-75)
 Limfosit : 34 % (20-45)
 Monosit : 6% (4-8)
Metabolik
 KGDS : 78 mg/dL (<140)
 Asam Urat :-
Fungsi Ginjal
 Ureum : 18 mg/dL (20-40)
 Kreatinin : 0.49 mg/dL (0.6-1.1)

DIAGNOSIS : Mioma Uteri

5. RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : Laparotomi
 Anesthesi : RA-SAB
 PS-ASA :2
 Posisi : Supinasi
 Pernapasan : Nasal Kanul

44
6. KEADAAN PRA BEDAH
Pre operatif
B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 20x/menit
 SP : Vesikuler ka=ki
 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
 Akral : Hangat
 TD : 130/70 mmHg
 HR : 86x/menit
B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis
 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
 RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
 Urine Output : -
 Kateter : Tidak Terpasang
B5 (Bowl)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : (+) lemah
 Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
 Oedem : (-)

PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal
 Bupivacaine : 12,5mg
Jumlah Cairan
 PO : RL 250 cc

45
 DO : RL 1000 cc
 Produksi Urin : -
Perdarahan
 Kasa Basah : 5 x 10 = 50 cc
 Kasa 1/2 basah :3x5 = 15 cc
 Suction :-
 Jumlah : 65 cc
 EBV : 56 x 70 = 3.920cc
 EBL 10 % = 392 cc
20 % = 784 cc
30 % = 1176 cc

Durasi Operatif
 Lama Anestesi= 11.30– 12.35 WIB
 Lama Operasi = 11.35 – 12.30 WIB

Teknik Anestesi : RA-SAB


Posisi duduk (SITTING) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan betadine +
alkohol → Insersi spinocan 25G + CSF (+), darah (-), injeksi bupivacain
→posisi supine → atur blok setinggi T4

POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 12.30 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
 Pergerakan :2
 Pernapasan :2
 Warna kulit :2

46
 Tekanan darah :2
 Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI


 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, vital sign stabil,
pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, tidur
telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal headache, karena obat
anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI


 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 30gtt/menit
 Minum sedikit-sedikit bila peristaltik (+) normal
 Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
 Inj. Ranitidin25mg/8 jam IV
 Inj. Ondansetron 4mg/12 jam IV bila mual/muntah

47
DAFTAR PUSTAKA

1. http://nepjol.info/index.php/NJOG/article/view/2397/2137
2. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3163653/
3. http://www.pnas.org/content/110/6/1980.full.pdf+html
4. http://www.paloaltoinstitute.org/PDF/SympatheticandTHelper.pdf
5. http://www.nichd.nih.gov/health/topics/uterine/Pages/default.aspx
6. Varghese BV, et al. (2013) Loss of the repressor REST in uterine fibroids
promotes aberrant G protein-coupled receptor 10 expression and activates
mammalian target of rapamycin pathway. Proc Natl Acad Sci USA 110 :
2187–2192
7. Ciarmela P, et al. (2011) Growth factors and myometrium: Biological
effects in uterine fibroid and possible clinical implications. Hum Reprod
Update 17(6):772–790
8. Sabry M, Al-Hendy A (2012) Medical treatment of uterine leiomyoma.
Reprod Sci 19(4):339–353
9. Tendal VR . Jeffcoates’s Principle of Gynaecology ; fifth edition ;
Butterworth London ; 1993 ; 419-32
10. Wallach EE, VlahouaNF. Uterine myoma : Anoverview of development,
clinical features and management. Obstet Gynaecol 2004 ; 104 : 393-
406
11. EA Stewart uterine fibroid. Lancet 2001; 357: 293-298
12. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam : Sarwono

Prawiroharjo,edisi kedua. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta


: 1994 ;338-345
13. Derek Llewellyn-Jones. Fundamentals of Obstetry and Gynaecology.
Edisi 6. Syney ; 1994

48

Anda mungkin juga menyukai