Anda di halaman 1dari 5

Kebijakan Ujian Akhir Nasional

Karya ini di susun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir mata kuliah Analisis Kebijakan
Publik. Permasalahan yang di pilih untuk menjadi objek kajian pemetaan masalah adalah
Kebijakan Ujian Akhir Nasional. Pemetaan masalah terdiri dari situasi problematis, meta
masalah, masalah substansif dan masalah Formal

Masalah Problematis

Disebuah berita televisi, “Seorang siswi di daerah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri
hanya karena TIDAK LULUS UAN. Menurut keluarganya, korban sudah mengikuti UAN untuk
kali kedua dan yang pertama korban tidak lulus. Setelah mengikuti UAN yang kedua ternyata
hasilnya sama..”TIDAK LULUS”. Entah pengaruh apa yang mendorong siswi tersebut hingga
akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat Tragis”.

(Ningsih, siswi di sebuah SMKN di Muaro Jambi)

Fenomena yang terjadi di atas adalah Permasalahan yang terjadi di banyak daerah.
Seorang anak yang terbilang belum dewasa sudah harus menanggung beban dan tekanan yang
berat dari suatu kebijakan Pemerintah. Kebijakan pemerintah mengenai Pelaksanaan Ujian Akhir
Nasional (UAN) dalam beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai dibicarakan
dan menjadi kontroversi dalam banyak seminar atau perdebatan. Fenomena di atas adalah salah
satu kasus yang terjadi di dalam permasalahan Kebijakan UAN. siswa yang tidak lulus ujian
mengalami tekanan mental dan psikologis yang luar biasa hingga menempuh suatu cara bunuh
diri.

Melihat banyaknya kasus-kasus serupa yang ada di daerah maka Beberapa kali sempat
terlontar rencana atau keinginan dari beberapa pihak untuk menghapus atau meniadakan Ujian
Akhir Nasional tersebut. Tidak kurang dari Mendikbud sendiri pernah melontarkan pernyataan
akan menghapus UAN, dan pernyataan beberapa anggota Dewan yang mengusulkan
penghapusan UAN tersebut.
Pada tahun 2005, Komisi X DPR RI pernah menolak kebijakan pemerintah khususnya
Mendiknas Bambang Sudibyo yang bersikukuh tetap melaksanakan UAN di tahun 2005 yang
lalu. Menurut Ketua Komisi X Heri Akhmadi, pelaksanaan UAN bertentangan dengan UU
Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan :
Evaluasi Peserta Didik, satuan Pendidik, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik, untuk menilai pencapaian
standard nasional pendidikan. Dalam pasal 58 UU Sisdiknas tersebut juga dinyatakan bahwa
evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan ( Kompas, Senin 24 Januari 2005)

Data Kelulusan siswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan Sebanyak


4.713 siswa atau 11,9 persen dari 39.649 siswa SMA se-DIY baik swasta maupun negeri di DIY
dinyatakan tidak lulus ujian nasional yang diumumkan Senin (19/6/2006). Jumlah ini jauh lebih
tinggi dari angka tahun sebelumnya di mana tingkat ketidaklulusan hanya 5,56 persen.  Kepala
1
Dinas Pendidikan DIY, Sugito menyatakan tingkat kelulusan siswa SMA se-DIY tahun ajaran
2005/2006 inipun hanya 89,1 persen atau 34.936 siswa . Sugito mengakui angka ketidaklulusan
untuk tahun ajaran ini memang cukup tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 lalu angka
ketidaklulusan siswa hanya mencapai 2.309 siswa atau hanya 5,56 persen dari 41.294 siswa
tingkat SMA saat itu. Selain angka standar kelulusan UAN naik, tahun ini juga tidak digelar
ujian ulangan sehingga siswa yang tidak lulus tidak bisa mengikuti ulangan seperti tahun
sebelumnya. (http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=103499, Senin, 19 Juni 2006 ).

Dari fenomena dan data-data yang di paparkan di atas merupakan bukti penyebab
permaslahan Kebijakan UAN yang di terapkan pemerintah terhadap pendidikan dasar dengan
menerapkan standart nilai kelulusan. Maka permasalahan – permasalahan di atas akan di petakan
melalui meta masalah.

Meta Masalah

Berdasarkan Situasi Problematis yang telah di paparkan di atas, ada beberapa masalah yang
dapat diidentifikasikan berkenaan dengan UAN ini sebagai berikut:

1. Permasalahan Pertama, tekanan Mental dan psikologis siswa yang masih labil seusia
mereka untuk mengalami Beban dan tekanan dalam memenuhi standart nilai kelulusan
yang di tetapkan pemerintah. Ketika standart itu tidak terpenuhi beban mental dan
psikologi siswa terganggu.
2. Permasalahan kedua yang dapat terlihat adalah anggapan dari sebagian orang, terutama
para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan UU
Sisdiknas. Jika hal ini benar, berarti UAN harus dihapuskan atau ditiadakan. Tapi jika hal
ini salah, maka UU Sisdiknas harus direvisi isinya. Dalam hal ini haruslah dilihat apakah
memang terjadi pertentangan antara dua kebijakan tersebut. Dan kalau memang terjadi
pertentangan, kebijakan mana yang lebih sesuai.
3. Permasalahan Ketiga, Ujian Nasional hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan
penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Tentu hal
ini tidak bisa dijadikan acuan bagi semua siswa di Indonesia. Sekolah-sekolah yang
berada di daerah pedalaman tentu memiliki standar yang berbeda dengan sekolah-sekolah
yang berada di daerah pusat kota karena infrastruktur dan aksesnya pun berbeda sehingga
akan memengaruhi output dari masing-masing sekolah.

Masalah Substansi

2
Dari masalah-masalah tersebut diatas, akan disaring dan dipertajam untuk mengetahui
permasalahan yang terkait dengan kebijakan UAN. Pada dasarnya Sistem pendidikan, terutama
di tingkat pendidikan dasar sampai menengah merupakan bahan praktikum bagi para “birokrat
pendidikan” negeri ini. Kemajuan sering kali didentikkan dengan dinamisasi/perubahan.
Sehingga para birokrat tersebut berusaha mencapai status kemajuan tersebut dengan mengadakan
berbagai macam perubahan kebijakan. Walaupun pada akhirnya anak didiklah yang menjadi
korban kebijakan tersebut

Sistem Penentuan standar kelulusan membuat pihak sekolah memberikan tekanan kepada
guru-guru pengajar bidang studi UAN untuk dapat mengoptimalkan segala upaya demi
tercapainya persentase kelulusan 100%. Tekanan ini mengakibatkan guru-guru tersebut
mengalami perubahan orientasi mengajar. Guru-guru lebih berupaya bagaimana caranya para
siswa mampu mengerjakan tipikal soal-soal UAN dengan mengkesampingkan sejauh mana
konsep-konsep pelajaran itu diserap oleh siswa. Sehingga kita temui banyak siswa yang
“pragmatis”. Siswa yang pandai mengerjakan soal, namun lemah dalam pemahaman konsep-
konsep materi pelajaran itu sendiri.

Sistem pembelajaran tersebut hanya mengajarkan pada siswa bagaimana cara menjawab
soal-soal. Bukan lagi memahami konsep ilmu pada masing-masing pelajaran. Kemampuan siswa
yang mendapat predikat pintar di ukur dari angka-angka nilai. Jadi siswa yang pintar bukan
siswa yang menguasai konsep. Tetapi bagaimana cara-cara menjawab dan menguasai soal-soal
ujian nasional.

Masalah Formal

Permasalahan Kebijakan UAN dapat di lihat dari beberapa yaitu aspek Politik, aspek
Yuridis, aspek sosial dan psikologis, dan aspek ekonomi.

Pertama, Kebijakan UAN di lihat dari aspek politik pendidikan, Selama ini politik
pendidikan kita tidak didasarkan pada teori ilmiah dan pengalaman empirik sendiri, tetapi
menyandarkannya kepada spekulasi dan naluri orang-orang tertentu. Ketergesa-gesaan
menjadikan ide-ide individual sebagai kebijakan publik, tanpa mempertimbangkan substansi dan
signifikansinya telah memerosotkan kualitas pendidikan dan kasus UN mempertegas
pragmatisme ini. Kalau dicermati, UU Sistem Pendidikan Nasional ( USPN ) sebenarnya telah
menyediakan ruang memadai bagi inisiatif dan kreativitas pelaku pendidikan. Ketentuan-
ketentuan dalam USPN memang mengikat pelaku pendidikan negeri ini dalam bingkai kesatuan
nasional, tetapi ikatan itu sekaligus juga ikatan yang menuntut pelaku pendidikan berinisiatif dan
berkreativitas sebagai actor.

Kedua, di lihat dalam aspek yuridis sudah jelas di sebutkan bahwa dalam pelaksanaan
UAN bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Dalam undang-
undang tersebut dinyatakan : Evaluasi Peserta Didik, satuan Pendidik, dan program pendidikan
dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik, untuk
menilai pencapaian standard nasional pendidikan. Dalam pasal 58 UU Sisdiknas tersebut juga

3
dinyatakan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau
proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Semakin
menegaskan Kebijakan UAN menggambarkan ketidakseriusan para pemangku kebijakan
pendidikan, dalam hal ini Depdiknas, yang seharusnya konsisten untuk menjalankan apa yang
tertuang dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang menyebutkan bahwa kelulusan peserta
didik berada di tangan guru, bukan malah menggantinya dengan PP No. 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan yang secara substansinya kontradiktif dengan UU tadi.

Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa motivasi
manusia untuk belajar datang dari keinginan mereka untuk mencari tahu, ingin mengerti, dan
keinginan mengembangkan diri. Jadi motivasi yang mucul dalam diri siswa untuk belajar tidak
datang dari nilai yang mereka peroleh pada akhir proses pembelajaran, tapi muncul dari
kesenangan dan keaktifan mereka selama proses pembelajaran (internal motivation). Selain itu
motivasi dari luar (external motivation) juga ikut mempengaruhi, siswa dapat termotivasi melalui
adanya penghargaan (reward), tapi  tidak akan termotivasi melalui sangsi (punishment). Dengan
adanya ujian nasional, motivasi belajar itu “dipaksa” muncul hanya untuk mengejar standar
kelulusan yang telah dibuat.

Keempat, di lihat dari aspek ekonomi, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Pelaksanaan


ujian nasional telah mengeluarkan biaya yang mahal dan tidak efektif. Biaya ujian nasional yang
mahal telah dinodai dengan perilaku-perilaku kecurangan yang terjadi di lapangan sehingga dana
yang telah dikeluarkan tidak sebanding dengan target yang telah ditetapkan. Selain itu, ternyata
perilaku kecurangan yang terjadi di lapangan sudah terjadi berulang-ulang walaupun upaya-
upaya pencegahan terus dilakukan. Tidak hanya peserta ujian saja yang melakukan kecurangan,
tetapi dari pihak pengajar (guru) pun ikut ambil bagian. Guru-guru yang mengiginkan semua
anak didiknya lulus di ujian nasional melakukan upaya apapun untuk membantu kelulusan,
termasuk kecurangan.

4
5

Anda mungkin juga menyukai