Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

“Sukuk Sebagai Upaya Pengembangan Investasi Syariah”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Politik Hukum Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abdul Ghofur, M.Ag.

Disusun Oleh :

Muhammad Haikal Amru (1802036138)


Ryzke Nur Afifah (1802036139)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai masyarakat yang ingin diakui terlibat dalam hiruk pikuknya kehidupan modern,
tentu saja tidak bijkasana membiarkan harta yang dimiliki hanya tertanam di lahan investasi yang
tidak memberikan return (pengembalian) yang tinggi. Apalagi membiarkan harta terpendam di
bawah bantal atau terbenam di tempat rahasia. Ini cara kuno menyimpan uang. Namun, cara
kuno itu bisa menyelamatkan pemilik harta karena risikonya lebih kecil dari cara modern. Orang
yang berinvestasi pada emas misalnya, jarang terdengar mendengar kerugian demikian besar
seperti investor saham atau surat berharga lainnya. Bahkan investasi berupa tanah yang juga
cenderung dianggap kuno, selalu memberikan keuntungan yang kadang-kadang nilainya sangat
tinggi. Menurut Widoatmodjo keinginan untuk terlibat dalam gaya hidup modern, maka lahan-
lahan investasi yang dipilihpun yang mencerminkan kemodernan. Bahkan bagi mereka yang
mahir atau mengerti manajemen keuangan, akan menyusun portofolio atas kekayaannya. Tidak
jarang orang yang mempunyai banyak harta tetapi kurang mengerti strategi pengamanan
hartanya atau yang tidak memiliki cukup waktu untuk mengelola hartanya, berani menyewa ahli
portofolio-semacam konsultan keuangan keluarga. Investasi tidak sulit dan tidak
membingungkan. Investasi adalah segala sesuatu yang bertujuan untuk mengembangkan harta
yang dimiliki. Seringkali orang terjebak dengan anggapan bahwa investasi mengandung hal-hal
sebagai berikut: (1) tujuan atau kebutuhan yang spesifik, (2) terukur jumlah yang dibutuhkan, (3)
jelas jangka waktunya, (4) alternatif instrumen investasi, dan (5) strategi untuk mencapai
investasi tersebut. Pada dasarnya investasi dalam perspektif syariah adalah bentuk aktif dari
Ekonomi Syariah. Dalam Islam setiap harta ada zakatnya. Jika harta tersebut didiamkan, maka
lambat laun akan termakan oleh zakatnya. Salah satu hikmah dari zakat ini adalah mendorong
setiap muslim untuk menginvestasikan hartanya agar bertambah. Di dalam investasi terkandung
hubungan antara keuntungan yang diharapkan dan risiko yang dihadapi. Pemilik modal akan
“bisa” mengalami kerugian (untung dan rugi jika terjadi).

Di dalam investasi secara fisik, nominal dan nilai mengalami perubahan. Investasi modal
dikelola pihak lain yang dipercaya oleh pemilik modal, misalnya: Bank Syariah, Pasar Modal,
atau pasar keuangan lainnya. Masalahnya, banyaknya varian produk beserta kemudahan yang
diberikan tidak serta merta sesuai dengan syariah. Meski banyak produk investasi memiliki
peluang untuk memberikan return yang tinggi, harus diingat bawa semata-mata berupa
keuntungan duniawi tetapi juga keuntungan ukhrawi. Dengan begitu, setiap pemodal yang
memilih uangnya untuk berinvestasi secara syariah sudah semestinya tidak hanya
mempertimbangkan keuntungan materi semata tetapi juga dimensi lain yaitu aturan yang telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Di Indonesia sendiri dalam rangka memperluas alternatif
sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sekaligus
mengembangkan pasar keuangan syariah, diterbitkanlah instrumen investasi syariah yang dikenal
dengan sukuk negara. Sejak di terbitkan pada tahun 2008 instrumen ini mampu memberikan
kontribusi terhadapa APBN sebesar 30 persen dari total pembiayaan Surat Berharga Negara
(SBN) setiap tahunnya. Menariknya secara reguler sejak tahun 2009 penerbitan Sukuk ini
ditujukan bagi investor individu Warga Negara Indonesia sebagai instrumen inklusi finansial
yang efektif. Terbukti selama hampir sepuluh tahun total penerbitan Sukuk Ritel mencapai Rp
144,7 triliun dengan jumlah investor sebanyak 243.364. Selain itu, penerbitan Sukuk Tabungan
mencapai Rp 2,6 triliun dengan jumlah investor sebanyak 11.338 orang dan rata-rata nominal
investasi mencapai Rp 228 juta per investor. Total akumulasi penerbitan Sukuk Negara hingga
bulan Oktober 2018 telah mencapai lebih dari Rp 950 triliun (USD 63 miliar) dengan
outstanding per 25 Oktober 2018 sebesar Rp 657 triliun. Pada kesempatan kali ini penulis akan
membahas mengenai “ Sukuk Sebagai Upaya Pengembangan Investasi Syariah: UU No.19
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) “.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Sukuk?

2 Bagaiman Dasar Hukum Penerbitan SBSN ?

3. Bagaiman Penerbitan SBSN Sebagai Instrumen Investasi Syariah Menurut UU No 19 Tahun


2008?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Sukuk.

2. Untuk Mengetahuai Dasar Hukum Penerubitan Sukuk.

3. Untuk mengetahu SBSN Sebagai Instrumen Investasi Syariah Menurut UU No 19 Tahun


2008.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sukuk

Sebelum kata sukuk mulai dikenal di Indonesia, pelaku pasar keuangan dan perbankan
mengenal instrumen obligasi berbasis syariah yang disebut obligasi syariah. Kata obligasi berasal
dari Bahasa Belanda, yaitu obligatie atau obligaat yang berarti kewajiban yang tidak dapat
ditinggalkan atau surat utang suatu pinjaman negara atau daerah atau perseroan dengan bunga
tetap. Selain itu kata obligasi dikaitkan dengan obligation atau bonds berarti kewajiban. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, obligasi mempunyai 2 (dua) makna, yaitu: obligasi adalah surat
perjanjian dengan bunga tertentu dari pemerintah yang dapat diperjualbelikan, dan obligasi
adalah surat utang berjangka (waktu) lebih (lari 1 (satu) tahun dan bersuku bunga tertentu, yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan
perusahaan. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
menjelaskan bahwa obligasi syariah merupakan surat berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan
emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syam'ah berupa hasil/margin/fee,
serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Pada substansinya, obligasi
merupakan surat utang seperti yang didefiniqikan dalam ekonomi konvensional.

Sukuk dipersamakan dengan obligasi syariah. Istilah obligasi syariah yang digunakan
dalam Fatwa DSN sebenarnya lebih mengikuti opini pasar modal konvensional. Tetapi obligasi
syariah dan obligasi konvensional sangat berbeda. Sistem pengembalian pada obligasi syariah
adalah bagi hasil, margin danfee, sedangkan pada obligasi konvensional sistem pengembaliannya
adalah sistem bunga. Bunga merupakan perwujudan dari riba sehingga obligasi konvensional
haram dimiliki dan diperdagangan. Karena itu, istilah obligasi syariah tidak usah diperdebatkan
walaupun secara istilah salah, tetapi secara substansi tidak menyalahkan kaidah fikih. Di masa
mendatang, penggunaan istilah obligasi syariah harus dihindari, karena pada dasarnya istilah
obligasi berarti instrumen  utang. Islam melarang memperjualbelikan utang, sehingga obligasi
tidak boleh diperdagangkan di bursa efek syariah. Hal ini diperkuat dengan Keputusan Ketua
Bapepam LK Nomor Kep 130/BL/2006 tentang Penerbitan Efek Syariah atau Peraturan
Bapepam Nomor IX.A.13. Dalam Keputusan tersebut istilah obligasi eyariah tidak digunakan
lagi, melainkan digunakan istilah sukuk baik yang dikeluarkan olch corporate atau swasta
maupun yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini disebabkan penggunaan istilah obligasi syariah
masih mengandung makna surat utang yang dilarang berdasarkan prinsip syariah. 

Istilah sukuk berasal dari Bahasa Arab shukuk, bentukjamak dari kata shakk, yang dalam
peristilahan ekonomi berarti legal instrument, deed dan cheek. Secara istilah sukuk didefinisikan
sebagai surat berharga yang berisi kontrak (akad) pembiayaan berdasarkan prinsip &yariah.
Sukuk dikeluarkan oleh lembaga/institusi/organisasi baik swasta maupun pemerintah kepada
investor (sukuk holder). Penerbit sukuk wajib membayar pendapatan kepada investor berupa
bagi hasil/margin/fee selama masa akad. Emiten wajib membayar kembali dana investaei kepada
investor pada saat jatuh tempo. Konsep sukuk yang merupakan konsep pemindahan kewajiban
pembayaran sudah pernah dilakukan dalam masa abad pertengahan di kawasan Timur Tengah.
Pada masa permulaan Islam itu terdapat istilah yang disebut dengan saka’ik merupakan varian
dari kata Sukuk. Kedua kata ini merupakan plural dari kata sakk yang berarti dokumen atau
sertifikat. Istilah ini terdapat dalam dokumen sejarah yang dikenal dengan dokumen Genaizah.
Untuk membentuk konsep Islam yang dinamis dan menyeluruh seperti bidang sekuritisasi, maka
bukti sejarah ini memberikan seperangkat konsep yang fleksibel. Istilah ini dapat membedakan
antara sekuritisasi konvensional yang tidak sesuai dengan konsep Keuangan Islam.1

Adapun perbedaan Perbedaan sukuk dengan obligas Konvensional Dalam harga


penawaran, jatuh tempo pokok obligasi, saat jatuh tempo, dan rating antara obligasi syariah
dengan obligasi konvensional tidak ada perbedaannya. Perbedaan terdapat pada pendapatan dan
return. Dimana Obligasi Konvensional pendapatan atau return didapat dari bunga bunga yang
besarnya sudah ditetapkan / ditentukan di awal transaksi dilakukan. Sedangkan pada obligasi
syariah pendapatan didapat dari bagi hasil di masa yang akan datang. Berikut perbandingan
antara sukuk dan obligasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:2

Deskripsi Sukuk Obligasi


Dasar hukum Undang-undang Undang-undang
Penerbit - Pemerintah - Pemerintah
- Korporasi - Korporasi
Ketentuan perdagangan Trodable Trodable
Sifat instrument Sertifikat kepemilikan/ Pengakuan utang
penyerahan asset-asset
Tipe investor - konvensional Konvensional
- syariah
Penghasilan bagi investor Imbalan, bagi hasil, Bunga/kupon, capital
margin gain
dokumen yangdiperlukan - Dokumen pasar modal Dokumen pasar modal
- Dokumen syariah
Underlying asset Perlu Tidak perlu
Penggunaan hasil Harus sesuai syariah Bebas
Lembaga terkait SPV, trustee, costodion, trustee, costodion, agen
agen pembayar pembayar
Syariah endorsement Perlu Tidak perlu

1
Iyan Faniyah, Kepastian Hukum Sukuk Negara Sebagai Instrumen Investasi Di Indonesia, (Yogyakarta: IKAPI,
2012), h. 47-50.
2
Veitzhal Rivai, Sarwono sudarto dkk, Islamic Banking & Finance dari teori ke praktik bank dan keuangan syariah
sebagai solusi dan bukan alternatif (Yogyakarta: BPFE, 2012), h. 395.
B. Dasar Hukum Penerbitan Surat Berharga Syariah Nasional

Anda mungkin juga menyukai