Anda di halaman 1dari 31

Tugas Individu,

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

OLEH:
ULIANA
C1D120204

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIALL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELKANG

Setiap negara atau bangsa di dunia ini mempunyai sistem nilai (filsafat) tertentu yang
menjadi pegangan bagi anggota masyarakat dalam menjalankan kehidupan dan
pemerintahannya. Filsafat negara merupakan pandangan hidup bangsa yang diyakini
kebenarannnya dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat yang mendiami negara tersebut.
Pandangan hidup bangsa merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap bangsa. Nilai-nilai
tersebut akan mempengaruhi segala aspek suatu bangsa. Nilai adalah suatu konsepsi yang secara
eksplisit maupun implisit menjadi milik atau ciri khas seseorang atau masyarakat. Pada konsep
tersembunyi bahwa pilihan nilai merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian
yang secara umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku suatu masyarakat
(Prayitno, 1989:1). Pancasila adalah dasar dari falsafah Negara Indonesia, sebagaimana
tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia wajib
untuk mempelajari, menghayati, mendalami dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam setiap
bidang kehidupan.

Sistem nilai ( filsafat) yang dianut suatu bangsa merupakan filsafat masyarakat budaya
bangsa. Bagi suatu bangsa, filsafat merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku
dalam suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, filsafat berfungsi dalam
menentukan pandangan hidup suatu masyarakat dalam menghadapi suatu masalah, hakikat dan
sifat hidup, hakikat kerja, hakikat kedudukan manusia, etika dan tata krama pergaulan dalam
ruang dan waktu, serta hakikat hubungan manusia dengan manusia lainnya (Prayitno, 1989:2).
Indonesia adalah salah satu negara yang juga memiliki filsafat seperti bangsa-bangsa lain.
Filsafat ini tak lain adalah yang kita kenal dengan nama Pancasila yang terdiri dari lima sila.
Pancasila merupakan filsafat hidup bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai pancasila adalah falsafah
hidup atau pandangan yang berkembang dalam sosial-budaya Indonesia. Nilai pancasila
dianggap nilai dasar dan puncak atau sari dari budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini
sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan
memberikan indentitas, maka pengakuan atas kedudukan pancasila sebagai falsafah adalah
wajar. Pancasila sebagai ajaran falsafah, pancasila mencerminkan nilai-nilaidan pandangan
mendasar dan hakiki rakyat Indonesia dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni
Tuhan Yang Maha Esa. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas fundamental dalam
kesemestaan, dijadikan pula asas fundamental kenegaraan. Asas fundamental dalam kesemestaan
itu mencerminkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia yang religious. Pancasila sebagai
system filsafat adalah merupakan kenyataan pancasila sebagai kenyataan yang obyektif, yaitu
bahwa kenyataan itu ada pada pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas dari
pengetahuan orang. Kenyataan obyekrif yang ada dan terletak pada pancasila, sehingga pancasila
sebagai suatu system filsafat bersifat khas dan berbeda dalam system-sistem filsafat yang lain.
Hal ini secara ilmiah disebut sebagai filsafat secara obyektif. Dan untuk mendapatkan makna
yang lebih mendalam dan mendasar, kita perlu mengkaji nilai-nilai pancasila dari kajian filsafat
secara menyeluruh.

BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORI

1. Pengertian Filsafat dan Para Ahli


a. Secara etimologi
Kata falsafah/filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu: philosophia,
philo/philos/philein  yang artinya cinta /pencinta/mencintai dan Sophia, yang berarti
kebijakan/ wisdom /kearifan/ hikamah / hakikat kebenaran. Jadi filsafat artinya cinta akan
kebijaksanaan atau hakikat kebenaran.
Beberapa istilah filsafat dalam berbagai bahasa, misalnya “falsafah” dalam bahasa arab,
“philosophie” bahasa belanda, “philosophy” dalam bahasa inggris dan masih banyak lagi istilah
dalam bahasa lain, yang pada hakekatnya semua istilah itu mempunyai arti yang sama.

b. Pengertian Filsafat Para Ahli

·         Harold H. Titus
                        Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yg
biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yg dijunjung tinggi;
·         Hasbullah Bakry
                        Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
·         Prof. Dr.Mumahamd Yamin
            Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya
didalam kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan.
·         Prof. Dr. Ismaun, M.Pd
            Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara
sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal
untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau
kebenaran yang sejati).
·         Pudjo Sumedi AS., Drs.,M.Ed. & Mustakim, S.Pd.,MM
            Istilah dari filsafat berasal bahasa Yunani: ”philosophia”. Seiring perkembangan zaman
akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti: ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa
Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa
Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
·         Plato
            Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
·         Aristoteles
            Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
·         Cicero
            Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “ (the mother of all the arts). Ia juga
mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan ).
·         Johann Gotlich Fickte
            Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yg jadi
dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat
memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh
kenyataan.
·         Paul Nartorp
            Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan
manusia dengan menunjukan dasar akhir yg sama, yg memikul sekaliannya .
·         Imanuel Kant
            Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan, yakni : Apakah yang dapat kita
kerjakan? (jawabannya metafisika); Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika );
Sampai dimanakah harapan kita? (jawabannya Agama ); Apakah yang dinamakan manusia?
(jawabannya Antropologi).
Notonegoro
            Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang
tetap tidak berubah, yang disebut hakikat.

2. Perngertian Pancasila

Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (Bahasa Brahmana India), Pancasila berasal
dari kata ‘Panca’ dan ‘Sila’. Panca artinya lima, sila atau syila yang berarti batu sendi atau dasar.
Kata sila bisa juga berasal dari kata susila, yang berarti tingkah laku yang baik. Jadi secara
kebahasaan dapat disimpulkan bahwa Pancasila dapat berarti lima batu sendi atau dasar. Atau
dapat juga berarti lima tingka laku yang baik.
Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang BPUPKI pada 1
Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara.1 Eksistensi Pancasila tidak dapat
dipisahkan dari situasi menjelang lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Setelah mengalami pergulatan pemikiran, para pendiri bangsa ini akhirnya sepakat dengan lima
pasal yang kemudian dijadikan sebagai landasan hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Pancasila dirumuskan berbeda-beda oleh para perumusnya di masa lalu dan sempat mengalami
beberapa perubahan dari waktu ke waktu hingga mencapai rumusan yang sah secara
konstitusional dan dipakai hingga dewasa ini.
Menurut Mr. Mohammad. Yamin sebagaimana yang disampaikan dalam sidang BPUPKI
pada 29 Mei 1945, isinya sebagai berikut: (1) Prikebangsaan (2) Prikemanusiaan (3)
Priketuhanan (4) Prikerakyatan (5) Kesejahteraan rakyat. Sedangkan menurut Soekarno yang
disampaikan pada 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Pancasila memuat hal sebagai berikut:
(1) Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau prikemanusiaan (3)
Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan sosial dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan.
Pancasila dalam piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya, (2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Rumusan piagam Jakarta tersebut kemudian mengalami perubahan, dan
perubahan ini yang kemudian dianggap sah secara konstitusional sebagaimana tercantum dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan
beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbeda dengan latar belakang sejarah perkembangan negara modern di Inggris,
Amerika, Prancis dan Rusia, Negara Indonesia perjuangan untuk terwujudnya negara modern
diwarnai dengan penjajahan bangsa asing selama 3,5 abad serta akar budaya yang dimilikinya,
yang merupakan local wisdom bangsa Indonesia sendiri. Pengalaman sejarah ini memberikan
warna sendiri terhadap Indonesia dalam merumuskan negara modern yang demokratis yang
berbeda dengan negara-negara lain.
Indonesia resmi sebagai sebuah bangsa, lahir sejak diikrarkannya sumpah pemuda 28
Oktober 1928. Sebuah ikrar perjanjian luhur (mu’a>hadah) pemuda-pemudi Indonesia yang
bertekad untuk satu bangsa, satu tanah air dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indoensia. Peristiwa tersebut merupakan eskalasi tekad bangsa Indonesia untuk bersama-sama
merebut kemerdekaan dari cengkraman penjajah, sehingga kemerdekaan berhasil diwujudkan
beberapa tahun kemudian. Perjanjian luhur yang diikrarkan perjanjian luhur yang diiklarkan
bangsa Indonesia, tidak semata di bangun atas kesamaan perangai, melainkan lebih pada
kesadaran geo-politik, cita-cita, dan nilai-nilai luhur hidup dan mengakar dalam kepribadian
bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, bangsa Indonesia melewati perjuangan panjang dengan
mempersembahkan segenap pengorbanan dan penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara,
dan jalan yang ditempuhnya sendiri, yang merupakan hasil antara proses sejarah, tantangan
perjuangan, dan citacita masa depan, yang secara keseluruhan membentuk karakter
kepribadiannya.
Karakter kepribadian bangsa Indonesia inilah yang selanjutnya ditetapkan sebagai
pandangan hidup dan dasar negara yakni pancasila. Karena itu, pancasila tidak lahir secara tiba-
tiba pada 1 juni 1945. Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia yang telah hidup sejak dahulu hingga sekarang. Pancasila adalah filsafat dan
pandangan hidup yang digali melalui pemikiran sedalam-dalamnya dari budaya, sifat dan cita-
cita bangsa yang di yakini sebagai kenyataan norma-norma dan nilai-nilai yang paling benar,
paling adil, paling baik, dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Pancasila merupak titik temu
dari pluralitas bagi bangsa Indonesia NKRI yang menjadi perjanjian luhur bangsa, dan pancasila
menjadi payung kebinekaannya.
3. Landasan Epistemologis Pancasila

            Epistemologi adalah cabang filsafat  yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan
validitas ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia sebagai hasil pengalaman dan pemikiran,
membentuk budaya. Bagaimana manusia mengetahui bahwa ia tahu atau mengetahui bahwa
sesuatu itu pengetahuan menjadi penyelidikan epistemologi. Dengan kata lain, adalah
bidang/cabang yang menyelidiki makna dan nilai ilmu pengetahuan, sumbernya, syarat-syarat
dan proses terjadinya ilmu, termasuk semantik, logika, matematika dan teori ilmu.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya adalah suatu sistem pengetahuan.
Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila menjadi pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia
dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang
makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia Indonesia untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti itu telah menjadi suatu
sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (belief system) sehingga telah menjelma menjadi
ideologi yang mengandung tiga unsur yaitu :
a.    Logos  (rasionalitas atau penalaran)
b.    Pathos  (penghayatan)
c.    Ethos (kesusilaan).
                       
4. Landasan Aksiologis Pancasila

 Aksiologi mempunyai arti nilai, manfaat, pikiran dan atau ilmu/teori. Menurut Brameld,
aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki
a.    Tingkah laku moral, yang berwujud etika,
b.  Ekspresi etika, yang berwujud estetika atau seni dan keindahan,
c.   Sosio politik yang berwujud ideologi.

 Kehidupan manusia sebagai mahluk subyek budaya, pencipta dan penegak nilai, berarti
manusia secara sadar mencari memilih dan melaksanakan (menikmati) nilai. Jadi nilai
merupakan fungsi rohani jasmani manusia. Dengan demikian, aksiologi adalah cabang fisafat
yang menyelidiki makna nilai, sumber nilai, jenis nilai, tingkatan nilai dan hakikat nilai,
termasuk estetika, etika, ketuhanan dan agama. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat
dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya yang bersifat material saja
tetapi juga sesuatu yang bersifat nonmaterial/rokhaniah. Nilai-nilai material relatif mudah diukur
yaitu dengan menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya, sedangkan nilai rokhaniah alat
ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta
keyakinan manusia.

 Arti Pancasila Sebagai Filsafat


Bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dalam satu
kesatuan. Namun, dengan datangnya bangsa barat  persatuan dan kesatuan itu dipecah oleh
mereka dalam rangka menguasai daerah Indonesia yang kaya raya ini. Arti Pancasila sebagai
dasar filsafat negara adalah sama dan mutlak bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Tidak ada
tempat bagi warga negara Indonesia yang pro dan kontra, karena Pancasila sudah ditetapkan
sebagai filsafat bangsa Indonesia.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai fungsi filsafat Pancasila perlu dikaji tantang
ilmu-ilmu yang erat kaitannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi filsafat secara
umum, sebagai berikut :
a) Memberi jawaban atas pernyataan yang bersifat fundamental atau mendasar dalam kehidupan

bernegara. Segala aspek yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat bangsa tersebut
dan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dari negara bersangkutan. Oleh karena itu,
fungsi Pancasila sebagai filsafat dalam kehidupan bernegara, haruslah memberikan jawaban
yang mendasar tentang hakikat kehidupan bernegara. Hal yang fundamental dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, susunan politik atau sistem politik dari negara, bentuk negara,
susunan  perekonomian dan dasar-dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini
Pancasila yang dikaji dari sudut fungsinya  telah mampu memberikan jawabannya.
b) Filsafat Pancasila mampu memberikan dan mencari kebenaran yang substansi tentang hakikat
negara, ide negara, dan tujuan negara. Dasar Negara kita ada lima dasar dimana setap silanya
berkaitan dengan sila yang lain dan merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak terbagi dan
tidak terpisahkan. Saling memberikan arah dan sebagai dasar kepada sila yang lainnya.
Tujuan negara akan selalu kita temukan dalam setiap konstitusi negara bersangkutan.
Karenanya tidak selalu sama dan bahkan ada kecenderungan perbedaan yang jauh sekali
antara tujuan disatu negara dengan negara lain. Bagi Indonesia secara fundamental tujuan itu
ialah Pancasila dan sekaligus menjadi dasar berdirinya negara ini.
c) Pancasila sebagi filsafat bangsa harus mampu menjadi perangkat dan pemersatu dari berbagai
ilmu yang dikembangkan di Indonesia. Fungsi filsafat akan terlihaat jelas, kalau di negara itu
sudah berjalan keteraturan kehidupan bernegara.

2.   Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

2.1 Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Titus, Smith dan Nolan memberikan definisi filsafat berdasarkan watak dan fungsinya. Pertama,
filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya
diterima secara tidak kritis (arti informal). Kedua, filsafat adalah suatu proses kritik atau
pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi (arti formal). Ketiga,
filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan (arti komprehensif). Keempat,
filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep (arti analisis
linguistik). Kelima, filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung mendapat perhatian
manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat (arti aktual-fundamental).

Beberapa alasan Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat. Pertama, dalam sidang BPUPKI, 1
Juni 1945, Soekarno memberi judul pidatonya dengan nama Philosofische Grondslag daripada
Indonesia Merdeka. Adapun pidatonya sebagai berikut: “Paduka Tuan Ketua yang mulia, saya
mengerti apa yang Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta Philosofische
Grondslag, atau jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang
mulia minta suatu Weltanschauung, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu”.
Kedua, menurut Noor Bakry, Pancasila adalah hasil permenungan mendalam para tokoh
kenegaraan Indonesia, melalui suatu diskusi dan dialog panjang dalam sidang BPUPKI hingga
pengesahan PPKI. Hasil permenungan itu sesuai dengan ciri-ciri pemikiran filsafat, yakni
koheren,  logis, inklusif, mendasar, dan spekulatif.
Ketiga, menurut Sastrapratedja, Pancasila menjadi ideologi negara. Pancasila adalah dasar politik
yang mengatur dan mengarahkan segala kegiatan yang berkaitan dengan hidup kenegaraan,
seperti perundang-undangan, pemerintahan, perekonomian nasional, hidup berbangsa, hubungan

warga negara dengan negara, dan hubungan antarsesama warga negara, serta
usaha-usaha untuk menciptakan kesejateraan bersama.
Driyarkara membedakan antara filsafat dan Weltanschauung. Filsafat lebih bersifat teoritis dan
abstrak, yaitu cara berpikir dan memandang realita dengan sedalam-dalamnya untuk memperoleh
kebenaran. Weltanschauung lebih mengacu pada pandangan hidup yang bersifat praktis.
Driyarkara menegaskan bahwa weltanschauung belum tentu didahului oleh filsafat karena pada
masyarakat primitif terdapat pandangan hidup (Weltanschauung) yang tidak didahului rumusan
filsafat. Filsafat berada dalam lingkup ilmu, sedangkan weltanshauung berada di dalam
lingkungan hidup manusia, bahkan banyak pula bagian dari filsafat (seperti: sejarah filsafat,
teori-teori tentang alam) yang tidak langsung terkait dengan sikap hidup.
Nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh peraturan
hukum yang berlaku di Indonesia. Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai
Pancasila itu merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia,
yang kemudian disepakati sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag).

2.2 Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat

Manusia memerlukan filsafat dengan beberapa alasan. Pertama, manusia telah memperoleh
kekuatan baru yang besar dalam sains dan teknologi, telah mengembangkan bermacam-macam
teknik untuk memperoleh ketenteraman (security) dan kenikmatan (comfort). Kedua, filsafat
melalui kerjasama dengan disiplin ilmu lain memainkan peran yang sangat penting untuk
membimbing manusia kepada keinginan-keinginan dan aspirasi mereka.
Beberapa faedah filsafat yang perlu diketahui dan dipahami. Pertama, faedah terbesar dari
filsafat adalah untuk menjaga kemungkinan terjadinya pemecahan-pemecahan terhadap problem
kehidupan manusia. Kedua, filsafat adalah suatu bagian dari keyakinan-keyakinan yang menjadi
dasar perbuatan manusia. Ide-ide filsafat membentuk pengalaman- pengalaman manusia pada
waktu sekarang. Ketiga, filsafat adalah kemampuan untuk memperluas bidang-bidang kesadaran
manusia agar dapat menjadi lebih hidup, lebih dapat membedakan, lebih kritis, dan lebih pandai”
Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat atau filsafat Pancasila, artinya refleksi filosofis
mengenai Pancasila sebagai dasar negara. Sastrapratedja menjelaskan makna filsafat Pancasila
sebagai berikut. Pertama, agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan mendasar
mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik. Kedua, agar dapat dijabarkan
lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam bidang-bidang yang menyangkut hidup
bernegara. Ketiga, agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Keempat, agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala
kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, serta
memberikan perspektif pemecahan terhadap permasalahan nasional.
3.   Landasan Pancasila sebagai Sistem Filsafat

3.1 Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus  dan  Subjectivus

Pancasila sebagai genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai objek yang
dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang filsafat yang
berkembang di Barat. Pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai Pancasila
dipergunakan untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik untuk
menemukan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun untuk melihat nilai-nilai
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, nilai-nilai Pancasila tidak hanya dipakai
dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi juga nilai-nilai Pancasila harus
mampu menjadi orientasi pelaksanaan sistem politik dan dasar bagi pembangunan nasional.

Sastrapratedja mengatakan bahwa Pancasila adalah dasar politik, yaitu prinsip-prinsip dasar
dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Soerjanto mengatakan bahwa fungsi
Pancasila untuk memberikan orientasi ke depan mengharuskan bangsa Indonesia selalu
menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya.

3.2 Landasan Ontologis Filsafat Pancasila

Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat segala yang ada secara umum
sehingga dapat dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu yang membahas sesuatu secara khusus.
Ontologi membahas tentang hakikat yang paling dalam dari sesuatu yang ada,  yaitu unsur yang
paling umum dan bersifat abstrak, disebut juga dengan istilah substansi. Inti persoalan ontologi
adalah menganalisis tentang substansi. Substansi berasal dari bahasa Latin “substare” artinya
serentak ada, bertahan, ada dalam kenyataan. Substantialitas artinya sesuatu yang berdiri sendiri,
hal berada, wujud, hal wujud.
Menurut Bakker, Ontologi adalah ilmu yang paling universal karena  objeknya meliputi segala-
galanya menurut segala bagiannya (ekstensif) dan menurut segala aspeknya (intensif). Bakker
mengaitkan dimensi ontologi ke dalam Pancasila dalam uraian berikut. Manusia adalah
makhluk individu sekaligus sosial (monodualisme), yang secara universal berlaku pula bagi
substansi infrahuman, manusia, dan Tuhan. Kelima sila Pancasila menurut Bakker menunjukkan
dan mengandaikan  kemandirian masing-masing, tetapi dengan menekankan kesatuannya yang
mendasar dan keterikatan dalam relasi-relasi. Dalam kebersamaan itu, sila-sila Pancasila
merupakan suatu hirarki teratur yang berhubungan satu sama lain, khususnya pada Tuhan.
Bakker menegaskan bahwa baik manusia maupun substansi infrahuman bersama  dengan
otonominya ditandai oleh ketergantungan pada Tuhan Sang Pencipta.  Ia menyimpulkan bahwa
segala jenis dan taraf substansi berbeda secara esensial, tetapi tetap ada keserupaan mendasar.
Stephen W. Littlejohn dan Karen A Foss dalam Theories of Human Communication menegaskan
bahwa ontologi merupakan sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat makhluk hidup. Ada
empat masalah mendasar dalam asumsi ontologis ketika dikaitkan dengan masalah sosial:
pertama, pada tingkatan apa manusia membuat pilihan-pilihan yang nyata? Kedua, apakah
perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat? Ketiga, apakah
pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial? Keempat, pada tingkatan apakah
komunikasi sosial menjadi kontekstual?
Littlejohn dan Fossterkait mengemukakan bahwa, masalah ontologis ini dapat diterapkan ke
dalam Pancasila sebagai sistem filsafat. Pertama, determinisme menyatakan bahwa perilaku
manusia disebabkan oleh banyak kondisi sebelumnya sehingga manusia pada dasarnya bersifat
reaktif dan pasif. Pancasila sebagai sistem filsafat lahir sebagai reaksi atas penjajahan yang
melanggar Hak Asasi Manusia, sebagaimana amanat yang tercantum dalam alinea I Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, ”Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Kedua, pragmatisme menyatakan bahwa manusia merencanakan perilakunya untuk mencapai
tujuan masa depan sehingga manusia merupakan makhluk yang aktif dan dapat mengambil
keputusan yang memengaruhi nasib mereka. Sifat aktif yang memunculkan semangat perjuangan
untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan termuat dalam alinea II Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Ketiga, kompromisme menyatakan bahwa manusia yang membuat pilihan dalam jangkauan yang
terbatas atau bahwa perilaku telah ditentukan, sedangkan perilaku yang lain dilakukan secara
bebas. Ketergantungan di satu pihak dan kebebasan di pihak lain tercermin dalam alinea III
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”. Ketergantungan dalam hal ini adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa, sedangkan kebebasan bangsa Indonesia mengacu pada keinginan luhur untuk bebas
merdeka.
Persoalan kedua, dipertanyakan apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk
keadaan atau sifat? Keadaan mencerminkan kedinamisan manusia, sedangkan sifat mengacu
pada karakteristik yang konsisten sepanjang waktu. Keadaan dan sifat membentuk perilaku
bangsa Indonesia dari masa ke masa, berupa solidaritas, rasa kebersamaan, gotong rotong, bahu-
membahu untuk mengatasi kesulitan demi menyongsong masa depan yang lebih baik.
Persoalan ketiga, dipertanyakan apakah pengalaman manusia semata-mata individual ataukah
sosial? Para pahlawan (Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, dan seterusnya) dan tokoh-tokoh
pergerakan nasional (Soekarno, M. Hatta, A.A Maramis, Agus Salim, dan seterusnya) berjuang
bersama untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Landasan ontologis Pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas hakikat dan nilai-nilai sila
Pancasila sebagai dasar filosofis negara Indonesia. Sastrapratedja menjabarkan prinsip-prinsip
Pancasila sebagai berikut. pertama, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pengakuan
atas kebebasan beragama, saling menghormati dan bersifat toleran, serta menciptakan kondisi
agar hak kebebasan beragama itu dapat dilaksanakan oleh masing-masing pemeluk agama.
Kedua, prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengakui bahwa setiap orang memiliki
martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil sebagai manusia yang menjadi dasar
bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Ketiga, prinsip Persatuan Indonesia mengandung konsep
nasionalisme politik yang menyatakan bahwa perbedaan budaya, etnis, bahasa, dan agama tidak
menghambat atau mengurangi partsipasi perwujudannya sebagai warga negara kebangsaan.
Wacana tentang bangsa dan kebangsaan dengan berbagai cara pada akhirnya bertujuan
menciptakan identitas diri bangsa Indonesia. Keempat, prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna bahwa sistem
demokrasi diusahakan ditempuh melalui proses musyawarah demi tercapainya mufakat untuk
menghindari dikotomi mayoritas dan minoritas. Kelima, prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia sebagaimana yang dikemukakan Soekarno, yaitu didasarkan pada prinsip tidak
adanya kemiskinan dalam Negara Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).
3.3 Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila

Epistemologi adalah cabang filsafat pengetahuan yang membahas tentang sifat dasar
pengetahuan, kemungkinan, lingkup, dan dasar umum pengetahuan. Epistemologi terkait dengan
sesuatu yang paling sederhana dan paling mendasar. Littlejohn and Foss menyatakan bahwa
epistemologi merupakan cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang-
orang dapat mengetahui tentang sesuatu atau apa-apa yang mereka ketahui. Mereka
mengemukakan beberapa persoalan paling umum dalam epistemologi sebagai berikut. Pertama,
pada tingkatan apa pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman? Kedua, pada tingkatan apa
pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang pasti?
Pada problem yang pertama, terdapat dua aliran sumber pengetahuan manusia, yakni rasonalisme
dan empirisme. Kaum Rasionalis berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah
akal budi. Unsur a priori sangat ditekankan. Kaum empiris berpendapat bahwa sumber utama
pengetahuan manusia adalah pengalaman. Unsur a posteriori sangat ditekankan. Bila dikatikan
dengan Pancasila, sebagaimana menurut Soekarno, merupakan pengetahuan yang sudah tertanam
dalam pengalaman rakyat Indonesia. Soekarno menggabungkan kedua paham rasionalis dan
empiris. Menurut Soekarno Pancasila menghargai pluralitas etnis, religi dan budaya.
Pada problem yang kedua, dibedakan dua bentuk tingkat pengetahuan yakni mutlak dan relatif.
Pancasila dikatakan sebagai pengetahuan yang mutlak karena sifat universal yang terkandung
dalam hakikat sila-silanya, yaitu Tuhan, manusia, satu (solidaritas, nasionalisme), rakyat, dan
adil dapat berlaku di mana saja dan bagi siapa saja. Notonagoro menamakannya dengan istilah
Pancasila abstrak-umum universal. Pancasila dikatakan sebagai pengetahuan yang relatif karena
Pancasila dapat dipahami secara beragam, namun semangatnya bersifat umum.
Landasan epistemologi Pancasila digali dari pengalaman dan dipadukan menjadi suatu
pandangan menyeluruh kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila secara epistemologis dapat
diuraikan sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa digali dari pengalaman kehidupan
beragama bangsa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab digali dari pengalaman atas kesadaran masyarakat yang ditindas oleh penjajahan selama
berabad-abad. Oleh karena itu, dalam alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa penjajahan itu tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sila Persatuan Indonesia digali dari pengalaman atas kesadaran bahwa keterpecahbelahan yang
dilakukan penjajah kolonialisme Belanda melalui politik Devide et Impera menimbulkan konflik
antarmasyarakat Indonesia. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat  Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan digali dari budaya bangsa Indonesia yang sudah mengenal secara
turun temurun pengambilan keputusan berdasarkan semangat musyawarah untuk mufakat. Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia digali dari prinsip-prinsip yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia yang tercermin dalam sikap gotong royong.

3.4 Landasan Aksiologis Pancasila

Littlejohn and Foss mendefinisikan aksiologi sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai-nilai. Masalah utama dalam aksiologi adalah bisakah teori bebas dari nilai?. Positivisme
meyakini bahwa teori dan ilmu harus bebas dari nilai sehingga unsur ilmiah terjaga. Padahal
tidak semua aspek kehidupan manusia dapat diukur secara ilmiah. Pancasila tidak mengikuti
positivisme. Pancasila adalah sumber nilai bagi bangsa Indonesia seperti nilai spiritualitas,
kemanusiaan, solidaritas, musyawarah, dan keadilan.
Landasan aksiologis Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila. Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual, kekudusan, dan sakral. Sila
kemanusiaan mengandung nilai martabat, harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab. Sila
persatuan mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Sila keempat mengandung nilai
demokrasi, musyawarah, mufakat, dan berjiwa besar. Sila keadilan mengandung nilai kepedulian
dan gotong royong.
4.   Sumber Pancasila sebagai Sistem Filsafat
4.1 Sumber Historis

Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat
Indonesia sebagai berikut.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan
negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama
lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad
pengaruh Kristen. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan
dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem
religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama memiliki peranan sentral
dalam pendefinisian institusi-institusi social.

Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bangsa Indonesia dikenal sebagai negara maritim.
Soekarno menyebutnya dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Sila kedua ini
dibuktikan melalui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan
suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada
penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial serta pada
pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia.

Sila Persatuan Indonesia. Bangsa Indoneisa adalah bangsa yang majemuk sosial, kultural, dan
territorial. Bangsa Indonesia dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan
Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara
dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi.

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan


Perwakilan. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal
yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf
tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit
politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya.
Tan Malaka mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam
kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan
kepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu;
hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan hak untuk menyingkir
dari kekuasaan raja yang tidak disenangi.

Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Masyarakat adil dan makmur adalah impian
kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia.
Impian kebahagian itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta
raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah
mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa
Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini
kemudian dirampas oleh kolonialisme.

4.2 Sumber Sosiologis

Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok
pertama, Kelompok pertama masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat
yang terdapat dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia.
Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat
dengan teori-teori yang bersifat akademis.

Menurut Notonagoro, Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan satu kesatuan utuh yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Artinya, sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan utuh yang saling
terkait dan saling berhubungan secara koheren. Notonagoro menggambarkan kesatuan dan
hubungan sila-sila Pancasila itu dalam bentuk kesatuan dan hubungan hierarkis piramidal dan
kesatuan hubungan yang saling mengisi atau saling mengkualifikasi.

4.3 Sumber Politis

Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada siding
BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan1959, tentang
pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen
politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam
pidato politik Habibie 1 Juni 2011.
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat berlaku juga atas kesepakatan penggunaan
simbol dalam kehidupan bernegara. Garuda Pancasila merupakan salah satu simbol dalam
kehidupan bernegara. Dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut.
”Bendera Negara Indonesia ialah sang merah putih”. Pasal 36, ”Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia”. Pasal 36A, ”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka
Tunggal Ika”. Pasal 36B, ”Lagu kebangsaan Indonesia ialah Indonesia Raya”. Bendera merah
putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan lagu Indonesia Raya, semuanya merupakan
simbol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Berikut arti lambang Garuda Pancasila:
a. Garuda Pancasila sendiri adalah Burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno
dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang
rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia
adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
b. Warna keemasan pada Burung Garuda melambangkan keagungan dan kejayaan.
c. Garuda memiliki paruh, sayap, cakar, dan ekor yang melambangkan kekuatan dan tenaga
pembangunan.
d. Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari jadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945, di antaranya:
· 17 helai bulu pada masing-masing sayap.
· 8 helai bulu pada ekor.
· 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor.
· 45 helai bulu di leher.
e. Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia
sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk
mencapai tujuan.
f. Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa
yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang
dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
g. Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaaan negara Indonesia "Merah-
Putih", sedangkan pada bagian tengah berwarna dasar hitam. Pada perisai terdapat lima buah
ruang yang mewujudkan dasar Negara Pancasila.

Pengaturan pada lambang perisai adalah sebagai berikut:

· Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa; dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah
perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam.

· Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; dilambangkan dengan tali rantai bermata
bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah.
· Sila ketiga: Persatuaan Indonesia; di lambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas
perisai berlatar putih.
· Sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai
berlatar merah.
· Sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia; Dilambangkan dengan kapas dan
padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.
Rancangan awal burung garuda dibuat oleh Sultan Hamid II. Sultan Hamid II lahir dengan nama
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
(lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret1978 pada
umur 64 tahun).
5.     Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem
Filsafat

5.1 Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah
“Philosofische Grondslag”. Soekarno memikirkan perihal kemerdekaan bangsa Indonesia. Ide
tersebut disambut baik oleh berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama  1 Juni
1945. Akan tetapi, ide tentang Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci atau masih
bersifat teoritis. Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat
asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.
Pada pemerintahan Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat berkembang ke arah
yang lebih praktis melalui istilah weltanschauung. Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya
bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai pedoman hidup
sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat Pancasila menjadi
penataran P-4.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana akademik,
termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni 2011. Habibie
menyatakan bahwa:
“Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan untuk
disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa
Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks
kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di
sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-
pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik”.

5.2 Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan bahan renungan yang menggugah kesadaran
para pendiri negara, termasuk Soekarno ketika menggagas ide Philosophische Grondslag.
Perenungan ini mengalir ke arah upaya untuk menemukan nilai-nilai filosofis yang menjadi
identitas bangsa Indonesia. Perenungan yang berkembang dalam diskusi-diskusi sejak sidang
BPUPKI sampai ke pengesahan Pancasila oleh PPKI, termasuk salah satu momentum untuk
menemukan Pancasila sebagai sistem filsafat.

Kendatipun demikian, sistem filsafat itu sendiri merupakan suatu proses yang
berlangsung secara kontinu sehingga perenungan awal yang dicetuskan para pendiri negara
merupakan bahan baku yang dapat dan akan terus merangsang pemikiran para pemikir
berikutnya. Notonagoro, Soerjanto Poespowardoyo, Sastrapratedja termasuk segelintir pemikir
yang menaruh perhatian terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat. Oleh karena itu, akan dibahas
kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat dengan berbagai pemikiran para tokoh yang bertitik
tolak dari teori-teori filsafat. Mengapa mahasiswa perlu memahami Pancasila secara filosofis?
Alasannya karena mata kuliah Pancasila pada tingkat perguruan tinggi menuntut mahasiswa
untuk berpikir secara terbuka, kritis, sistematis, komprehensif, dan mendasar sebagaimana ciri-
ciri pemikiran filsafat. Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat menguasai
kompetensi sebagai berikut.

Bersikap inklusif, toleran dan gotong royong dalam keragaman agama dan budaya;
mengembangkan karakter Pancasilais yang teraktualisasi dalam sikap jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif dan
proaktif; bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasar prinsip musyawarah;
memahami dan menganalisis hakikat sila-sila Pancasila, serta mengaktualisasikan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya sebagai paradigma berpikir, bersikap, dan berperilaku; mengelola
hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu gagasan tentang Pancasila yang hidup dalam
tata kehidupan Indonesia.
Pengertian filsafat butir (2) suatu proses kritik terhadap kepercayaan dan sikap yang
dijunjung tinggi, lebih mengacu pada arti refleksif, yaitu sikap terbuka dan toleran dan mau
melihat sesuatu dari segala sudut persoalan tanpa prasangka (Titus, Smith & Nolan, 1984: 11--
12). Dalam hal ini, filsafat dapat menjadi sarana untuk berpikir lebih jauh dan mendalam
daripada sekadar mengandalkan atau percaya pada opini yang ada di masyarakat. Misalnya,
masyarakat awam beranggapan bahwa tenggelamnya seseorang yang sedang mandi di pantai
Parangtritis dipercaya sebagai ulah Nyi Roro Kidul yang mengambilnya sebagai pasukan.
Ungkapan semacam ini, dalam filsafat dikategorikan sebagai mitos, sedangkan kelahiran filsafat
sejak zaman Yunani kuno justru sebagai reaksi terhadap mitos. Adagium pada zaman Yunani
berbunyi, “Logos (akal) mengalahkan mitos (dongeng, legenda) yang bersifat irrasional”.
Voltaire, salah seorang filsuf Perancis abad kedelapan belas pernah melontarkan adagium yang
berbunyi, “Takhayul (mitos) membakar dunia, filsafat memadamkannya” (Magee, 2008: i).
Pengertian filsafat butir (4) sebagai analisa logis. Misalnya, pernyataan Voltaire yang
berbunyi, “Manusia mengorbankan separuh hidupnya untuk mencari uang, sedangkan separuh
waktu lainnya justru manusia mengorbankan uang untuk meraih kembali kesehatan (Hardiman,
2000: 110). Hasil analisis atas pernyataan Voltaire itu menunjukkan bahwa suatu hal yang
dilakukan oleh kebanyakan manusia modern itu ternyata sia-sia. Hal ini terjadi karena tujuannya
hanya untuk menumpuk kekayaan dengan memforsir tenaga dan pikiran. Tentu saja, hal ini
sangat beresiko terhadap kesehatan. Padahal biaya kesehatan itu mahal sehingga merampas
kembali dan menghilangkan hasil yang telah diperoleh Pengertian filsafat butir (5) sekumpulan
problematik yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh para ahli
filsafat, lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang mendalam dari eksistensi manusia (Titus,
Smith & Nolan, 1984: 13). Misalnya, apakah kebenaran itu? Apakah keadilan itu? Persoalan-
persoalan tersebut menyita sebagian besar waktu para pemikir, termasuk pemikir bangsa
Indonesia.
6.     Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
6.1 Esensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki esensi, antara lain:


1. Hakikat Sila Ketuhanan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan adalah prinsip utama dalam
kehidupan semua makhluk. Setiap orang memiliki kebebasan yang bertanggungjawab.
2. Hakikat Sila Kemanusiaan terletak pada manusia monopluralis, yang terdiri dari susunan
kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), dan kedudukan kodrat (makhluk
pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan).
3. Hakikat Sila Persatuan terletak pada semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan terwujud dalam
bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu tanah air real, tanah air formal,
dan tanah air mental. Tanah air real adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan,
bersuka, dan berduka, yang dialami secara fisik sehari-hari. Tanah air formal adalah Negara
bangsa yang berundang-undang dasar, yang Anda, manusia Indonesia, menjadi salah seorang
warganya, yang membuat undang-undang, menggariskan hukum dan peraturan, menata,
mengatur dan memberikan hak serta kewajiban, mengesahkan atau membatalkan, memberikan
perlindungan, dan menghukum, memberikan paspor atau surat pengenal lainnya. Tanah air
mental bukan bersifat teritorial karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, melainkan imajinasi
yang dibentuk dan dibina oleh ideologi atau seperangkat gagasan vital.
4. Hakikat Sila Kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah. Artinya, keputusan yang diambil
lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan membenarkan begitu saja
pendapat mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.
5. Hakikat Sila Keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan distributif, legal, dan
komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat membagi dari negara kepada warga
negara. Keadilan legal adalah kewajiban warga negara terhadap negar a atau dinamakan keadilan
bertaat. Keadilan komutatif adalah keadilan antara sesama warga negara.

6.2 Urgensi bagi Pengembangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Beberapa hal penting bagi pengembangan Pancsila sebagai sistem filsafat, antara lain:
1. Memulihkan harga diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis,
dan juga merdeka dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik
secara materiil maupun spiritual.
2. Membangun alam pemikiran yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri
sehingga mampu dalam menghadapi berbagai ideologi dunia.
3. Menjadi dasar pijakan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang dapat melunturkan
semangat kebangsaan dan melemahkan sendi-sendi perekonomian yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat banyak.
4. Menjadi way of life sekaligus way of thinking bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan
dan konsistensi antara tindakan dan pemikiran.
Peran Filsafat Pancasila terhadap Pendidikan di Indonesia Pendidikan dilakukan oleh
manusia melalui kegiatan pembelajaran. Dalam praktik pendidikan yang universal banyak
ditemukan beragam komunitas dari manusia yang memberikan makna yang beragam dari
pendidikan. Di Indonesia pendidikan di tekankan pada penguasaan landasan terbentuknya
masyarakat meritorik, artinya memberikan waktu jam pelajaran yang luas dalam penguasaan
mata pelajaran tertentu. Pendidikan berdasarkan terminologi merupakan terjemahan dari istilah
Pedagogi.
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu Paidos dan agoo. Paidos artinya budak dan
agoo artinya membimbing. Pedagogie dapat diartikan sebagai bdak yang mengantarkan anak
majikan untuk belajar. (Jumali, dkk, 2004: 19)menjelaskan bahwa hakikat pendidikan adalah
kegiatan yang melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan
memproses peserta didik menjadi lebih lebih bertambah pengetahuan, skill, dan nilai
kepribadiannya dalam suatu keteraturan kalender akademik. Filsafat pendidikan nasional
Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila
tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan nasional
dalam semua level dan jenis pendidikan. Ada dua pandanagan yang menurut (Jumali, dkk ,
2004:54), perlu dipertimbangkan dalam menetukan landasan filosofis dalam pendidikan nasional
Indonesia. Pertama, pandangan tentang manusia Indonesia. Filosofis pendidikan nasional
memandang bahwa manusia Indonesia sebagai: a. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan
segala fitrahnya b. Makhluk individu dengan segalahal dan kewajibannya c. Makhluk sosial
dengan segala tanggung jawab hidup dalam masyarakat yang pluralistik baik dari segi
lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa
berkembang dengan segala tantangannya. Kedua, Pandangantentang pendidikan nasional itu
sendiri. Dalam pandangan filosofis pendidikan nasional dipandang sebagai pranata sosila yang
selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial lainnya dalam masyarakat. Menurut John Dewey,
filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik
yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah
tabiat manusia, maka filsafat juga diartikan sebagai teori umum pendidikan.
Brubachen berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta
di depan seekor kuda dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal
pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena
memiliki kaitan dengan filsafat umum, meskipun kaitan tersebut tidak penting, yang terjadi
adalah suatu keterpaduan antara pandangan filosofi dengan filsafat pendidikan, karena filsafat
sering diartikan sebagai teori pendidikan secara umum ( Arifin, 1993 ).
Pendidikan merupakan usaha sadar yang sengaja dan terencana untuk membantu
perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfat bagi kepentingan hidupnya sebagai
individu dan sebagai warga masyarakat. Pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar
dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak. Dalam sejarah pendidikan dapat
dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai perkembangan manusia dan hasil pendidikan,
seperti : 1. Empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada
pengalaman yang diperoleh anak didik selama hidpnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar
dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya, John Locke berpendapat bahwa anak
yang dilahirkan di dunia ini bagaikan kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (tabula rasa)
yang belum ada tulisan diatasnya. 2. Nativisme, teori yang dianut oleh Schopenhauer yang
berpendapat bahwa bayi lahir dengan pembawan baik dan pembawan yang buruk. Dalam
hubungannya dengan pendidikan, ia berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan
perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Aliran ini
berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan
dengan perkembangan anak didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran
Pesimisme dalam pendidikan, berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi
rendahnya dan jenis pembawaan yang dimilikinya.
3. Naturalisme, dipelopori oleh J.J Rousseau, ia berpendapat bahwa semua anak yang
baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anakpun lahir dengan pembawaan
buruk. Aliran ini berpendapat bahwa pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan anak didik
saja dengan sendirinya, diserahkan saja selanjutnya kepada alam ( negativisme ). Pendidikan
tidak diperlukan, yang dilaksanakan adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan
yang baik tidak rusak oleh tangan manusia melalui proses pendidikan. 4. Konvergensi,
dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan pembawaan baik
dan buruk. Hasil pendidikan itu bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Pendidikan
diartikan sebagai penolong yang diberikan kepada lingkugan anak didik untuk mengembangkan
pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawan yang buruk.
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk
menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa. Indonesia adalah negara yang
berdasarkan padaPancasila dan Undang- Undang dasar 1945 yang di dalamnya diatur bahwa
pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai satu sistem pengajaran
nasional. Aristoteles mengatakan, bahwa tujuan pendidikan sama dengan tujuan didirikannya
suatu negara (Rapar, 1988). Demikian juga dengan Indonesia. Pendidikan selain sebagai sarana
tranfer ilmu pengetahuan, sosial budaya juga merupakan sarana untuk mewariskan ideologi
bangsa kepada generasi selanjutnya. Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti
ideologi suatu bangsa yang dianutnya.
Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa Indonesia yang mempunyai fungsi dalam
hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, filsafat pendidikan adalah pemikiran yang
mendalam tentang pendidikan berdasarkan filsafat, apabila kita hubungkan fungsi Pancasila
dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, bahwa Pancasila pandangan hidup
bangsa yang menjiwai dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya sistem pendidikan nasional
Indonesia wajarapabila dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Cita dan karsa
bangsa Indonesia diusahakan secara melembaga dalam sistem pendidikan nasioanl yang
bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan folosofi tertentu, inilah dasar
pikiran mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasioanl dan sistem filsafat
pendidikan Pancasila adalah sub sistem dari sistem negara Pnacasila.
Dengan memperhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi bangsa, khususnya
dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang ada padaakhirnya menentukan
eksistensi dan martabat bangsa, maka sistem pendidikan nasional dan filsafat pendidikan
pancasila seyogyanya terbina secar optimal supaya terjamin tegaknya martabat dan kepribadian
bangsa. Filsafat pendidikan Pancasila merupakan aspek rohaniah atau spiritual sistem pendidikan
nasional, tiada sistem pendidikan nasioanal tanpa filsafat pendidikan. C. Pelaksanaan Nilai-Nilai
Pancasila dalam Pendidikan Berkarakter di Negara Indonesia Pengertian karakter menurut Pusat
Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter
mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills).
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang
berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut
dengan berkarakter mulia. Dari pengertian di atas dapat dimaknai bahwa pendidikan karakter
merupakan suatu proses penanaman perilaku yang didasarkan pada budi pekerti yang baik sesuai
dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Menurut
T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat
yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh
karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pancasila sebagai sistem filsafat bisa
dilihat dari pendekatan ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
Diktat “Filsafat Pancasila” (Danumihardja, 2011) menyebutkan secara ontologis
berdasar pada pemikiran tentang negara, bangsa, masyarakat, dan manusia. Secara epistemologis
berdasar sebagai suatu pengetahuan intern struktur logis dan konsisten implementasinya. Secara
aksiologis bedasar pada yang terkandung di dalamnya, hirarki dan struktur nilai, di dalamnya
konsep etika yang terkandung. Dasar ontologis Pancasila sebagai sistem filsafat bisa
diinterpretasi bahwa adanya negara perlu dukungan warga negara. Kualitas negara sangat
bergantung pada kualitas warga negara. Kualitas warga negara sangat erat berkaitan dengan
pendidikan. Hubungan ini juga menjadi timbal-balik, karena landasan pendidikan haruslah
mengacu pada landasan negara. Esensi landasan negara harus benarbenar memperkuat landasan
pendidikan untuk mencapai tujuan bersama adanya keserasian hubungan antara negara dengan
warga negara.
Demokrasi Pancasila menegaskan pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk masyarakat, negara dan masyarakat bangsa ( Arbi, 1998 ). Orientasi hidup kita adalah
hidup kemanusiaan yang mempunyai ciri - ciri tertentu. Ciri - ciri kemanusiaan yang kelihatan
dari Pancasila ialah integral, etis dan religius ( Soeyatni Poeposwardoyo, 1989 ). Filsafat
pendidikan Pancasila mengimplikasikan ciri-ciri tersebut. 1. Integral Kemanusiaan yang
diajarkan oleh Pancasila adalah kemanusiaan yang integral, yakni mengakui manusia seutuhnya.
Manusia diakui sebagai suatu keutuhan jiwa dan raga, keutuhan antara manusia sebagai individu
dan makhluk sosial. Kedua hal itu sebenarnya adalah dua sisi dari satu realitas tentang manusia.
Hakekat manusia yang seperti inilah yang merupakan hakekat subjek didik. 2. Etis Pancasila
Merupakan Kualifikasi etis. Pancasila mengakui keunikan subjektivitas manusia, ini berarti
menjungjung tinggi kebebasan, namun tidak dari segalanya seperti liberalisme. Kebebasan yang
dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab. 3. Religius Sila pertama pancasila
menegaskan bahwa religius melekat pada hakekat manusia, maka pandangan kemanusiaan
Pancasila adalah faham kemanusiaan religius. Religius menunjukan kecendrungan dasar dan
potensi itu. Pancasila mengakui Tuhan sebagai pencipta serta sumberkeberadaan dan menghargai
religius dalam masyarakat sebagai yang bermakna.
Kebebasan agama adalah satu hak yang paling asasi diantara hak - hak asasi manusia,
karena kebebasan agama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Hak kebebasan agama bukan pemberian negara atau pemberian perorangan atau
golongan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak memaksa
setiap manusia untuk memeluk agama tertentu. Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat
dimakanai bahwa pendidkan karakter di Indonesia merupakan hasil dari penerapan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila adalah falsafah yang merupakan pedoman
berperilaku bagi bangsa Indonesia yang sesuai dengan kultur kita bangsa Indonesia yang
memeiliki adat ketimuran.
Pendidikan karakter memang seharusnya diambil dari nilai-nilai yag terkandung dalam
Pancasila. Agar tercipta manusia Indonesia yang cerdas, berperilaku baik, mampu hidup secara
individu dan sosial, memenuhi hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik serta beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semuanya telah mencakup filsafat pendidikan
Pancasila yang mempunyai ciri yaitu integral, etis dan reigius. Seorang pendidik haruslah sadar
akan pentingnya pendidikan karakter. Salah satu cara untuk menerapkan pendidikan karakter
adalah dengan melaksanakan nilai-nilai Pancasila.
Dibawah ini ada beberapa point yang harus dilakukan oleh pendidik dalam
melaksanakan nilai-nilai pancasila. 1. Harus memahami nilai-nilai pancasila tersebut. 2.
Menjadikan pancasila sebagai aturan hukum dalam kehidupan setelah alquran dan sunnah. 3.
Memberikan contoh pelaksanaan nilai-nilai pendidikan kepada peserta didik dengan baik.
Dengan melaksanakan tiga point diatas, diharapkan cita-cita bangsa yang ingin melaksanakan
pendidikan berkarakter sesuai falsafah pancasila akan terwujud. Karena bagaimanapun juga
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang setiap waktu, sehingga tidak
mungkin rasanya menghambat perkembangan itu, sehingga satusatunya jalan dalam menerapkan
pendidikan berkarakter adalah dengan melaksanakan pointpoint diatas.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pancasila merupakan dasar pandangan hidup rakyat Indonesia yang di dalamnya memuat
lima dasar yang di dalam isinya merupakan jatidiri bangsa Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila
menggambarkan tentang pedoman hidup bernbangsa dan bernegara bagi manusia Indonesia
seluruhnya dan seutuhnya. Pancasila juga merupakan sebuah filsafat karena pancasila merupakan
acuan intelektual kognitif bagi cara berpikir bangsa, yang dalam usaha usaha keilmuan dapat
terbangun ke dalam sistem filsafat yang kredibel. Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis
mengikuti ideologi suatu bangsa yang dianutnya. Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa
Indonesia yang mempunyai fungsi dalam hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, filsafat
pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang pendidikan berdasarkan filsafat, apabila
kita hubungkan fungsi Pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan,
bahwa Pancasila pandangan hidup bangsa yang menjiwai dalam kehidupan sehari-hari.
Karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia wajar apabila dijiwai, didasari dan
mencerminkan identitas Pancasila. Pancasila adalah falsafah yang merupakan pedoman
berperilaku bagi bangsa Indonesia yang sesuai dengan kultur kita bangsa Indonesia yang
memiliki adat ketimuran. Pendidikan karakter memang seharusnya diambil dari nilai-nilai yag
terkandung dalam Pancasila. Agar tercipta manusia Indonesia yang cerdas, berperilaku baik,
mampu hidup secara individu dan sosial, memenuhi hak dan kewajiban sebagai warga negara
yang baik serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semuanya telah mencakup
filsafat pendidikan Pancasila yang mempunyai ciri yaitu integral, etis dan reigius.
B. Saran
Persaingan global telah dimulai dari segi sosial, budaya, ekonomi dan lainnya. Oleh
karenanya kita perlu menjunjung tinggi filsafat Pancasila sebagai pedoman kita. Sebagai
pedoman untuk kemajuan bangsa dan pedoman dalam mendidik generasi bangsa. Nilai luhur
yang terkandung dalam Pancasila akan menjadi inti dari pembentukan karakter bangsa yang
sesuai denagan nlai-nilai Pancasila. Diharapkan Filsafat Pancasila bisa dijadikan sebagai
pedoman untuk membangun dan membentuk karakter bangsa melalui pendidikan karakter dan
pendidikan lainnya. Oleh karenanya penulis sangat mengharapkan adanya realisasi dalam
penerapannya di dunia pendidikan di Indonesia. Penerapan yang dimaksud adalah menanamkan
nilai-nilai dalam Pancasila yang diterapkan melalui pendidikan karakter agar generasi penerus
bangsa dapat menghayati serta mengamalkan Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA

http://husrinmusiku.blogspot.com/2013/11/makalah-mata-kuliah-filsafat-
pancasila.html
http://febisilvia48.wordpress.com/2013/05/07/pancasila-sebagai-sistem-filsafat/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila
http://mashariyanto.wordpress.com/2011/05/05/pancasila-sebagai-sistem-filsafat/
http://iezzaenem.blogspot.com/2013/01/makalah-pancasila-pancasila-sebagai.html

Anda mungkin juga menyukai