Anda di halaman 1dari 42

BAB VII

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN DAN


REFORMASI

A. Istilah dan Pengertian Paradigma


Kata paradigma berasal dari bahasa Inggris “paradigm” yang berarti
model, pola, atau contoh. Paradigma juga berarti suatu gugusan sistem
pemikiran, cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara
pemecahan masalah yang dianut suatu masyarakat tertentu. Pancasila adalah
paradigma, sebab Pancasila dijadikan landasan, acuan, metode, nilai, dan
tujuan yang ingin dicapai dalam program pembangunan. Pancasila sebagai
paradigma pembangunan,  artinya  Pancasila berisi anggapan-anggapan
dasar yang merupakan kerangka keyakinan yang berfungsi sebagai acuan,
pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan
hasil-hasil pembangunan nasional.
   Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam
merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana
seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus
dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut.Suatu paradigma
mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh
ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut.
Paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu,
memungkinkan seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab
suatu masalah dalam ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama
makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada
bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka

247
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.
Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka,
acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

B. Pengertian Pembangunan
Portes (1976) mendefinisikan pembangunan (development) sebagai
transformasi ekonomi, sosial dan budaya.  Pembangunan nasional adalah
proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek
kehidupan masyarakat ke arah yang diinginkan, melalui kebijakan, strategi
dan rencana. Perubahan atau transformasi dalam struktur ekonomi,
misalnya, dapat dilihat dari adanya peningkatan atau pertumbuhan produksi
yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kotribusinya terhadap
pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian
akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan
industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Ciri stuktur ekonomi negara
industri yang sudah berada pada level “high mass consumption” adalah
tingginya kontribusi sektor jasa terhadap pendapatan nasional (GNP/PDB).
            Transformasi sosial dapat dilihat dari adanya pendistribusian
kemakmuran melalui pendapatan dan pemerataan untuk memperoleh akses
terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, air bersih, fasilitas rekreasi, dan  partisipasi dalam proses
pembuatan keputusan politik. Transformasi budaya, biasa dikaitkan, antara
lain, dengan  bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping 
adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti
perubahan dari spiritualisme ke  materialisme/ sekularisme. Pergeseran dari
penilaian yang tinggi kepada moralitas menjadi penilaian yang tinggi kepada
248
penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern
dan rasional. Secara umum dapat dipahami bahwa pembangunan adalah
perubahan sosial, sedangkan perubahan sosial tidak selalu identik dengan
pembangunan. Dalam konteks ini, pembangunan adalah perubahan yang
direncanakan, disengaja dan diinginkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Proses pembangunan terjadi dalam semua  aspek kehidupan
masyarakat, baik yang berlangsung pada tingkat nasional maupun
wilayah/daerah. Karakteristik yang cukup penting dalam pembangunan 
adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan, dan
difersifikasi. Kemajuan misalnya, dapat diidentifikasi dari adanya
peningkatan dalam rasionalisasi kehidupan masyarakat, teknologi dan 
efisiensi. Sedangkan pertumbuhan identik dengan kemajuan  ekonomi yang
ditandai oleh peningkatan pendapatan masyarakat sebagai akibat dari
pertumbuhan produktifitas dan diikuti oleh diversifikasi kegiatan ekonomi,
baik vertikal maupun horizontal. Dengan demikian, pembangunan memiliki
tiga ciri dasar yaitu: pertumbuhan, diversifikasi/diferensiasi dan
perbaikan (progress) yang terjadi pada  semua aspek dan  tingkat kehidupan
masyarakat. Proses pembangunan dapat dibedakan menurut
kecepatan (rate), arah (direction) dan level dimana proses tersebut
berlangsung.  Hal ini terjadi karena variabel-variabel pembangunan berubah
dengan rates (kecepatan) yang berbeda di tempat yang berbeda. Sebuah
bangsa yang baru membangun mungkin hanya dapat memusatkan usaha-
usaha pembangunannya kepada aspek-aspek primer seperti nation building,
penurunan angka kelahiran dan kematian, pendidikan dasar, dan
infrastruktur seperti jalan/jembatan dan komunikasi.
Penggunaan indikator dan variabel pembangunan bisa berbeda untuk
setiap negara atau wilayah. Misalnya, di negara-negara yang masih miskin,

249
ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih sekitar pemenuhan
berbagai kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan
pedesaan, dan harga makanan  pokok yang rendah. Sementara itu,  untuk
negara-negara/wilayah yang telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut, 
indikator pembangunan akan bergeser kepada faktor-faktor sekunder dan
tersier, seperti:
(1)  Pertumbuhan ekonomi yang mendorong pemerataan,
kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup;
(2)  Menguatkan ekonomi nasional/domestik yang dapat
memperluas lapangan kerja, sehingga daya beli masyarakat
terus meningkat baik untuk barang lokal maupun impor;
(3)  Diversifikasi kegiatan/sektor ekonomi dengan penguatan
sektor industri dan jasa disertai dengan keseimbangan antara
produksi barang  ekspor dan impor;
(4)  Partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik dan proses
pembuatan keputusan;
(5)  Tersedianya kesempatan untuk memperoleh pendidikan
untuk semua lapisan  masyarakat, baik laki-laki maupun 
perempuan;
(6)  Stabilitas sosial, politik dan pemerintahan yang disertai
dengan  penguatan hak-hak azasi manusia.

Dalam perkembangan selanjutnya, development dapat dibedakan


menjadieconomic development dan social development,  seperti yang
dikemukakan oleh Blakely (2000). Pembangunan ekonomi berkenaan
dengan investasi, peningkatan penyerapan angkatan kerja, dan peningkatan
upah buruh. Dalam pandangan pembangunan endogen, pembangunan
ekonomi dapat dipahami sebagai proses melalui mana pemerintah lokal
bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat dan swasta dalam
mengelola sumberdaya yang tersedia untuk menciptakan lapangan kerja dan
menstimulasi kegiatan ekonomi (Blakely 2000). Pembangunan sosial
berkenaan dengan pembangunan masyarakat secara menyeluruh, yang
mencakup ekonomi, politik, budaya, hukum, kelembagaan, kesehatan,
250
pendidikan dan dimensi-dimensi sosial lainnya. Di dalamnya mencakup
juga pemberdayaan sektor swasta dan masyarakat sipil, proses politik yang
partisipatif dan akuntabel, pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial,
termasuk pelayanan sosial yang memadai dan memuaskan.

C. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan


Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka mencapai
masyarakat adil dan makmur. Pembangunan nasional merupakan
perwujudan nyata dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia
indonesia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan negara yang
tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan rincian
sebagai berikut:
1) Tujuan negara hukum formal, adalah melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sedangkan 
Tujuan negara hukum material dalam hal ini merupakan
tujuan khusus atau nasional, adalah memajukan kesejahteraan
umum,dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
2) Tujuan Internasional, adalah ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Yang perwujudanya terletak pada tatanan
pergaulan masyarakat internasional.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung
suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita
harus berdasar pada hakikat nilai sila-sila Pancasila yang didasari oleh
ontologis manusia sebagai subjek pendukung pokok negara. Dan ini terlihat
dari kenyataan obyektif bahwa pancasila dasar negara dan negara adalah
organisasi (persekutuan hidup) manusia. Dalam mewujudkan tujuan negara

251
melalui pembangunan nasional yang merupakan tujuan seluruh warganya
maka dikembalikanlah pada dasar hakikat manusia “monopluralis” yang
unsurnya meliputi : kodrat manusia yaitu rokhani (jiwa) dan raga, sifat
kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dan
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makhluk Tuhan YME.
Kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional
harus memperlihatkan konsep berikut ini :
a. Pancasila harus menjadi kerangka kognitif dalam identifikasi
diri sebagai bangsa
b. Pancasila sebagai landasan pembangunan nasional
c. Pancasila merupakan arah pembangunan nasioanl
d. Pancasila merupakan etos pembangunan nasional
e. Pancasila merupakan moral pembangunan
Masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perkembangan yang
amat pesat karena dampak pembangunan nasional maupun rangsangan
globalisasi, memerlukan pedoman bersama dalam menanggapi tantangan
demi keutuhan bangsa. Oleh sebab itu pembangunan nasional harus dapat
memperlihatkan prinsip-prinsip sebagai berikut:          Hormat terhadap
keyakinan religius setiap orang; dan      Hormat terhadap martabat manusia
sebagai pribadi atau subjek (manusia seutuhnya).
Sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia maka
pembangunan nasional harus meliputi aspek jiwa, seperti akal, rasa dan
kehendak, raga (jasmani), pribadi, sosial dan aspek ketuhanan yang
terkristalisasi dalam nilai-nilai pancasila. Selanjutnya dijabarkan dalam
berbagai bidang pembangunan antara lain politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang

252
kehidupan agama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakikatnya Pancasila
sebagai paradigma pembangunan mengandung arti atas segala aspek
pembangunan yang harus mencerminkan nilai-nilai pancasila
Pancasila sebagai paradigma dijabarkan dalam pembangunan
sehingga proses dan hasil pembangunan sesuai dengan Pancasila, yaitu:
1) Pembangunan tidak boleh  bersifat pragmatis, yaitu
pembangu- nan itu tidak hanya mementingkan tindakan
nyata dan mengabaikan pertimbangan etis.
2) Pembangunan tidak boleh bersifat ideologis, yaitu secara mut-
lak melayani Ideologi tertentu dan mengabaikan manusia
nyata.
3) Pembangunan harus menghormati HAM, yaitu
pembangunan tidak boleh mengorbankan manusia nyata
melainkan menghormati harkat dan martabat bangsa.
4) Pembangunan dilaksanakan secara demokratis, artinya
melibat- kan masyarakat sebagai tujuan pembangunan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kebutuhan
mereka.
5) Pembangunan diperioritaskan pada penciptaan taraf
minimum keadilan sosial, yaitu mengutamakan mereka yang
paling lemah untuk menghapuskan kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural, adalah kemiskinan yang timbul bukan
akibat malasnya individu atau warga Negara, melainkan
diakibatkan dengan adanya struktur-struktur sosial yang
tidak adil.

1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik


Warga Indonesia ditempatkan sebagai pelaku atau subjek politik
bukan objek politik. Pancasila dalam pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia dengan menempatkan
kekuasaan tertinggi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dimana
sistem politik indonesia yang sesuai dengan pancasila sebagai paradigma
adalah sistem politik demokrasi. Sehingga, perlu dikembangkan berdasarkan
asar kerakyatan dalam sila IV Pancasila, kemudian pada asas-asas moral dari

253
pada sila-sila Pancasila. Maka, secara berturut-turut, sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
dan keadilan. Moral tersebut menjadi landasan warga dan penyelenggara
negara guna perilaku politik santun dan bermoral.
Sedangkan Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial diartikan
bahwa pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang
ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila.
Pemahaman untuk implementasinya dilihat secara berurutan terbalik:
a. Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan
politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-
hari.
b. Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) dalam
pengambilan keputusan.
c. Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas
kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan. 
d. Dalam pencapaiannya tujuan keadilan menggunakan
pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.  
e. Nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan
kemanusiaan (keadilan keberadaban) tersebut bersumber pada
nilai ketuhanan Yang Maha Esa (YME). 
Di era globalisasi informasi dari implementasi perlu direkonstruksi
kedalam perwujudan masyarakat warga (civil society) yang mencakup
masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama dan golongan),
masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Sehingga nilai-nilai
sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah sebagai
berikut:
a. Nilai toleransi 

254
b. Nilai transparansi hukum dan kelembagaan 
c. Nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata) 
d. Bermoral berdasarkan konsensus (fukuyama dalam Astrid:
2003:3)

2.  Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi


Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dengan sistem
ekonomi pada nilai moral daripada Pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi
harus didasrkan pada dasar moralitas ketuhanan pada Sila I Pancasila dan
kemanusiaan pada Sila II Pancasila yang menghasilkan sistem ekonom
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia,
baik dari segi selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun
makhluk tuhan.
Sistem ekonomi berdasar Pancasila berbeda dengan sistem ekonomi
liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada
manusia lain. Sistem ekonomi ini berbeda dengan sistem ekonomi dalam
sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek.
Maka dari itu, sistem ekonomi  harus dengan sistem dan pembangunan
ekonomi dengan tujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan
berasaskan kekeluargaan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus menghindarkan diri dari bentuk persaingan
bebas, monopoli yang akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan,
penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi mengacu Sila
IV Pancasila, sedangkan pengembangan ekonomi pada sistem ekonomi
Indonesia yaitu Pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau Pembangunan
Demokrasi Ekonomi atau Sistem Ekonomi Pancasila yang mana ekonomi
255
untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat yang berkeadilan bagi warga
Indonesia dimana politik ekonomi kerakyatan memberikan kesempatan,
dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat mencakup koperasi, usaha
kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi
nasional. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar asas kekeluargaan yang mampu mengembangkan program-
program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan
pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi kerakyatan akan mampu
memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil,
demokratis, transaran, dan partisipatif. Dalam ekonomi kerakyatan, Negara
berperan melindungi warga negara dengan mengingkatkan kepastian
hukum.

3. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya


Pancasila bersifat humanistik karena memang Pancasila bertolak dari
hakikat dan kedudukan kodrat manusia sendiri. Hal tersebut tertuang dalam
sila Kemanusiaan Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat
homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan
sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial
dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju
pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan
kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka
merasa dihargai dan diterima sebagai warga negara. Dengan demikian,
pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,

256
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma baru dalam pembangunan
nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam
perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan
menghormati hak budaya komuniti-komuniti terlibat di samping hak negara
untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu pembangunan
berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu
diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang
terlibat, disamping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
hak asasi individu secara berimbang (sila kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/
penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma tersebut
dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan
Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada
otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan
lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional
(Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan
(Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa
yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI
(Sila Ketiga). Sebenarnya nila-nilai Pancasila memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka acuan-acuan bersama, bagi
kebudayan-kebudayaan di daerah. 

4. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan HANKAM


Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung
makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara
negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar
257
tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh
komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan
Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata). Hal itulah yang mendasari, bahwa Indonesia tidak
mewajibkan warganya untuk wajib militer (WAMIL)
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga
negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan
secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu,
terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas
hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana
pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai
paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 Tentang
Pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.

5. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan kehidupan umat


beragama
Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah
satu negara yang tersusun atas berbagai unsur yang sangat pluralistik, baik
ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini di satu pihak
258
dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan bangsa,
namun di lain pihak juga merupakan sumber potensial bagi munculnya
berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Pada proses reformasi dewasa ini dibeberapa wilayah Negara
Indonesia terjadi konflik social yang bersumber pada masalah SARA,
terutama bersumber pada masalah agama. Hal ini menunjukkan
kemunduran bangsa Indonesia kearah kehidupan beragama yang tidak
berkemanusiaan. Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang
fundamental bagi bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam
kehidupan beragama dinegara Indonesia ini. Manusia adalah sebagai
mahluk Tuhan yang Maha Esa, oleh karena itu manusia wajib untuk
beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa dalam wilayah Negara dimana
mereka hidup.
Dalam pengertian inilah maka Negara menegaskan dalam pokok
pikiran ke IV bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa atas
dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Hal ini berarti bahwa
kehidupan dalam Negara mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Negara
memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memeluk agama
serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-
masing. Hal ini menunjukan bahwa dalam Negara Indonesia memberikan
kebebasan atas kehidupan beragama atau dengan lain perkataan menjamin
atas demokrasi dibidang agama. Oleh karena itu setiap agama memiliki
dasar-dasar ajaran-ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing maka
dalam pergaulan hidup Negara, kehidupan beragama hubungan antar
pemeluk agama didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab hal ini
berdasarkan pada nilai bahwa semua pemeluk agama adalah sebagai bagian
dari umat manusia di dunia. Oleh karena itu kehidupan beragama dalam

259
Negara Indonesia dewasa ini harus dikembangkan kearah terciptanya
kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasarkan
nilai kemanusiaan yang beradab.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat
Beragama Bangsa Indonesia sudah dikenal dari dulu sebagai bangsa ramah
dan santun yang dikenal dimata dunia Internasional. Indonesia dengan
kemajemukan, binneka dan plural. Indonesia juga terdiri dari suku, etnis,
bahasa dan agama namun terjalin kerja sama untuk meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, keramahan Indonesia kini mulai
banyak dipertanyakan karena banyak kasus kekerasan yang bernuansa
Agama.  Paradigma toleransi antar umat beragama untuk menciptakan
kerukunan dalam beragama perspektif Piagam Madina yang intinya adalah
sebagai berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun dari banyak suku merupakan satu
komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara
komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan dari prinsip-
prinsip yaitu: Bertetangga dengan rukun ; Saling membantu
dalam menghadapi musuh bersama; Membela yang teraniaya;
Saling menasehati;  dan menghormati mengenai kebebasan
beragama.
Berdasarkan lima prinsip yang mengisyaratkan bahwa: (1).Adanya
persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa dengan
membedakan atas dasar suku dan agama; (2). Adanya semangat
persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah
bersama serta saling membantu menghadapi musuh bersama.

260
Hal yang mendasar dalam memperkokoh kerukunan hidup antara
umat beragama adalah dengan membangun dialog horizontal dan vertikal.
Dialog horizontal adalah interaksi antara manusia yang berdasar dialog
untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan
pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa
posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia bukan
sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang memiliki akal budi
kreatif dan berbudaya. 
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya
kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan.
Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak
memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3
Pancasila secara eksplisit disebutkan “Persatuan Indonesia”. Kedua,
Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan
terutama pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang
Warga Negara, terutama tentang hak-hak menjadi warga negara. Keempat,
Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang terdapat dalam penjelasan
UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah,
(2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak kebudayaan
daerah dan penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya
Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-
bahasa daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa secara normatif, para
founding fathers negara Indonesia sangat menjunjung tinggi pluralitas yang

261
ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah,
kebudayaan, bahasa dan lain-lain.
Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif
pemikiran dalam rangka menyelesaikan masalah SARA ini antara lain:
Pertama, Pancasila merupakan paham yang mengakui adanya pluralitas
kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam satu wadah ke-
indonesiaan. Kesatuan tidak boleh  menghilangkan pluralitas yang ada,
sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia.
Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan perundangan
yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu
dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi.
Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-
nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara
yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang
toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-
nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegera yang diterima
oleh masyarakat.

6. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum


Salah satu tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal tersebut bermakna
bahwa negara bertugas dan bertanggung jawab atas seluruh rakyat Indonesia
sehingga perlu memperkuat pertahanan dan keamanan dengan membangun
pertahanan dan keamanan Indonesia yang kini dikenal dengan
sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta).
Sistem pertahanan yang sifatnya semesta dengan melibatkan seluruh
warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya serta dengan
mempersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
262
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas
hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem tersebut pada dasarnya sesuai dengan nilai-nila Pancasila dimana
rakyat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan
negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
pertahanan keamanan tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan negara.
`Setelah ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah
konstitusi yang dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi muatan
konstitusi yaitu sebagai berikut: (1). Adanya perlindungan terhadap HAM
(2).Adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar,
(3). Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang terdapat rumusan Pancasila,
Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari UUD 1945 atau bagian dari
hukum positif yang mana kedudukan Pancasila mengandung segi positif dan
negatif. Segi positif kedudukan Pancasila adalah dapat dipaksakan
berlakunya oleh negara, sedangkan dalam segi negatif adalah pembukaan
dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis, contohnya UUD termasuk pada perubahannya, UU dan
peraturan perundang-undangan mengacu pada dasar negara (sila-sila
Pancasila dasar negara). Dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai
paradigma pengembangan hukum baik hukum   tertulis maupun hukum
tidak tertulis tidak boleh  bertentangan dengan sila-sila pada Pancasila yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
263
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dengan demikian substansi hukum yang dikembangkan merupakan


perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
Artinya substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum
responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi
rakyat).

7. Pancasila sebagai Paradigma IPTEK


Pancasila bukan merupakan ideologi yang kaku dan tertutup, namun
justru bersifat reformatif, dinamis, dan antisipatif. Dengan demikian
Pancasilan mampu menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yaitu dengan tetap memperhatikan
dinamika aspirasi masyarakat. Kemampuan ini sesungguhnya tidak berarti
Pancasila itu dapat mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung, tetapi lebih
menekan pada kemampuan dalam mengartikulasikan suatu nilai menjadi
aktivitas nyata dalam pemecahan masalah yang terjadi (inovasi teknologi
canggih). Kekuatan suatu ideologi itu tergantung pada kualitas dan dimensi
yang ada pada ideologi itu sendiri (Alfian, 1992) . Ada beberapa dimensi
penting sebuah ideologi, yaitu:
a. Dimensi Realiti.
Yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi
tersebut secara riil berakar dalam hidup masyarakat atau
bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut
bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
b. Dimensi Idealisme.

264
Yaitu nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme
yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik
melalui pengalaman dalam praktik kehidupan bersama dengan
berbagai dimensinya.

c. Dimensi Fleksibiliti.
Dimensi pengembangan Ideologi tersebut memiliki kekuasaan
yang memungkinkan dan merangsang perkembangan
pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi
bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat
atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.

     Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakekatnya


merupakan hasil kreatifitas rohani (jiwa) manusia. Atas dasar kreatifitas
akalnya, manusia mengembangkan IPTEK untuk mengolah kekayaan alam
yang diciptakan Tuhan YME. Tujuan dari IPTEK ialah untuk mewujudkan
kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabat manusia, maka IPTEK
pada hakekatnya tidak bebas nilai, namun terikat nilai – nilai. Pancasila telah
memberikan dasar nilai – nilai dalam pengembangan IPTEK, yaitu
didasarkan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
     Dengan memasuki kawasan IPTEK yang diletakan diatas Pancasila
sebagai paradigmanya, perlu dipahami dasar dan arah peranannya, yaitu :
a. Aspek ontologi
Hakekat IPTEK merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal
titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menentukan kebenaran dan
kenyataan. Ilmu Pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam
dimensinya sebagai :

265
1) Sebagai masyarakat, menunjukkan adanya suatu academic
community yang dalam hidup keseharian para warganya
untuk terus menggali dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
2) Sebagai proses, menggambarkan suatu aktivitas masyarakat
ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi,
observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari
dan menemukan kebenaran dan kenyataan.
3) Sebagai produk, adalah hasil yang diperoleh melalui proses,
yang berwujud karya – karya ilmiah beserta implikasinya
yang berwujud fisik ataupun non-fisik.
b. Aspek Epistemologi, bahwa pancasila dengan nilai–nilai yang
terkandung didalamnya dijadikan metode berpikir.
c. Aspek Askiologi, dengan menggunakan nilai-nilai yang
terkandung didalam pancasila sebagai metode berpikir, maka
kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan
secara negatif tidak bertentangan dengan ideal dari pancasila
dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai
ideal pancasila.
Sila-sila pancasila yang harus menjadi sistem etika dalam
pengembangan IPTEK:
Sila ketuhanan yang mahaesa mengkomplementasikan ilmu
pengetahuan mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara
akal dan kehendak. Berdasarkan sila ini IPTEK tidak hanya memikirkan apa
yang ditemukan dibuktikan dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan
maksud dan akibatnya apakah merugikan manusia disekitarnya atau tidak.
Pengolahan diimbangi dengan melestarikan.

266
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar
moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan IPTEK harus bersikap
beradab karena IPTEK adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab
dan bermoral. Oleh karena itu, pengembangan Iptek harus didasarkan pada
hakikat tujuan demi kesejahteraan umat manusia. Iptek bukan untuk
kesombongan dan keserakahan manusia. Namun, harus diabdikan demi
peningkatan harkat dan martabat manusia.
Sila persatuan Indonesia mengkomplementasiakan universalitas dan
internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan
IPTEK hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran 
bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian umat manusia di dunia.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan mendasari pengembangan IPTEK secara
demokratis, artinya setiap ilmuan harus memiliki kebebasan untuk
mengembangkan IPTEK juga harus menghormati dan menghargai kebebasan
orang lain dan juga memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik dikaji ulang
maupun di bandingkan dengan penemuan lainnya.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
mengkomplementasikan pengembangan IPTEK haruslah menjaga
keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan
keadilan dalam hubungannnya dengan dirinya senndiri maupun dengan
Tuhannya, manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat bangsa
dan negara, serta manusia dengan alam lingkungannya.
Pengembangan dan penerapan IPTEK harus sejauh mungkin
memenuhi kriteria ketepatgunaan, yakni :
a. Secara teknis dapat dilaksanakan,
b. Secara sosial akseptable,

267
c. Secara ekonomi dapat dipertanggungjawabkan, dan
d. Secara ekologi tidak menurunkan kualitas hidup

T.Jacob (2000) berpendapat bahwa Pancasila mengandung hal-hal yang


penting dalam pengembangan IPTEK, yaitu:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengingatkan manusia bahwa ia
hanyalah makhluk Tuhan yang mempunyai keterbatasan seperti
makhluk-makhluk lain, baik yang hidup maupun yang tidak
hidup. Ia tidak dapat terlepas dari alam, sedangkan alam raya
dapat berada tanpa manusia.
2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, usaha untuk
menyejahterakan manusia haruslah dengan cara-cara yang
berprikemanusiaan. Desain, eksperimen, ujicoba dan penciptaan
harus etis dan tidak merugikan uamat manusia zaman sekarang
maupun yang akan datang. Sehingga kita tidak boleh terjerumus
mengembangkan iptek tanpa nilai-nilai perikemanusiaan.
3. Sila Persatuan Indonesia, mengingatkan pada kita untuk
mengembangkan iptek untuk seluruh tanah air dan bangsa.
Dimana segi-segi yang khas Indonesia harus mendapat prioritas
untuk dikembangkan secara merata untuk kepentingan seluruh
bangsa, tidak hanya atau terutama untuk kepentingan bangsa
lain.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, membuka kesempatan yang sama
bagi semua warga negara untuk mengembangkan iptek, dan
mengenyam hasilnya, sesuai kemampuan dan keperluan masing-
masing.

268
5. Sila Keadilan sosial, memperkuat keadilan yang lengkap dalam
alokasi dan perlakuan, dalam pemutusan, pelaksanaan,perolehan
hasil dan pemikiran resiko, dengan memaksimalisasi kelompok-
kelompok minimum dalam pemanfaatan pengembangan
teknologi.
Pemahaman pancasila melalui kelima silanya secara universal dapat
masuk kedalam tatanan pembangunan Indonesia melalui perkembangan
IPTEK. Pentingnya keselerasan diantara keduanya menjanjikan hubungan
yang harmonis dalam membangun sebuah negara yang dicita-citakan.
Namun, pada kenyataanya sangat sulit untuk menyeimbangkan keduanya,
karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, tidak jarang di
antara masyarakat tersebut tidak memiliki etika dalam menggunakan
teknologi. Hal tersebut sangat tergantung kepada tingkah laku manusia.
Tidak setiap tingkah laku itu memberikan jaminan. Hanya tingkah laku
tertentu saja yang dapat menjamin, yaitu tingkah laku yang bertanggung
jawab. Artinya, yang berdasarkan pada prinsip keadilan, yakni melakukan
perbuatan sebagai kewajiban atas hak yang layak bagi seseorang menurut
posisi, fungsi dan keberadaannya.
Peraturan perundangan, sebagai salah satu teknik bernegara, harus
mampu menghidupi warganya dalam suasana tenteram damai, dan bahagia
karena hal ini merupakan wujud ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan
negara itu sendiri. Dengan demikian cara-cara pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi seharusnya berkiblat kepada kelima sila
pancasila yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan hak dan
kewajiban sebagai basis ketenteraman bernegara.
Pengembangan dan penguasaan dalam IPTEK (ilmu pengetahuan dan
teknologi) merupakan salah satu syarat menuju terwujudnya kehidupan

269
masyarakat bangsa yang maju dan modern. Pengembangan dan penguasaan
IPTEK menjadi sangat penting untuk dikaitkan dengan kehidupan global
yang ditandai dengan persaingan. Namun pengembangna IPTEK bukan
semata-mata untuk mengejar kemajuan material melainkan harus
memperhatikan aspek-aspek spiritual, artinya pengembangan IPTEK harus
diarahkan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-sila yang merupakan
sumber nilai, kerangka pikir serta asas moralitas bagi pembangunan IPTEK.
Sehingga bangsa yang memiliki pengembangan hidup pancasila, maka tidak
berlebihan apabila pengembangan IPTEK harus didasarkan atas paradigma
pancasila.
Syarat dan kondisi dikembangkannya IPTEK yang pancasialis :
a. Adanya keyakinan akan kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam
diri setiap ilmuwan
b. Adanya situasi yang kondusif secara kultural, yaitu harus
adanya semangat pantang menyerah untuk mencari kebenaran
ilmiah yang belum selesai, dan adanya kultur bahwa disiplin
merupakan suatu kebutuhan bukan sebagai beban atau
paksaan.
c. Adanya situasi yang kondusif secara struktural, bahwa
perguruan tinggi harus terbuka wacana akademisnya, kreatif,
inovatif, dan mengembangkan kerja sama dengan bidang-
bidang yang berbeda
Hasil iptek harus dapat dipertanggungjawabkan akibatnya, baik pada
masa lalu, sekarang, maupun masa depan. Oleh karena itu, diperlukan suatu
aturan yang mampu menjadikan pancasila sebagai roh bagi perkembangan

270
iptek di Indonesia. Dalam hal ini pancasila mampu berperan memberikan
beberapa prinsip etis pada iptek sebagai berikut.
a. Martabat manusia sebagai subjek, tidak boleh  diperalat oleh
IPTEK.
b. Harus dihindari kerusakan yang mengancam kemanusiaan.
c. IPTEK harus sedapat mungkin membantu manusia melepaskan
kesulitan-kesulitan hidupnya.
d. Harus dihindari adanya monopoli IPTEK.
e. Harus ada kesamaan pemahaman antara ilmuwan dan
agamawan. Iman dalam agama harus memancar dalam ilmu
dan ilmu menerangi jalan yang telah ditunjukkan oleh iman.
Hal ini sesuai dengan ucapan Einstein, yaitu “without religion
is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa agama
adala buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh).

D. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi


Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata kembali
keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang
disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua
boleh”, penjarahan atau “pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan
penting yang harus diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan
reformasi, antara lain sebagai berikut:
1. Reformasi bukan revolusi;
2. Reformasi memerlukan proses;
3. Reformasi memerlukan perubahan dan berkelanjutan;
4. Reformasi menyangkut masalah struktural dan cultural;
5. Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda;
6. Reformasi memerlukan arah.
271
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi antara
lain: Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di
bidang hukum, ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung
selesai; ketiga, bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya
praktek KKN, kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya memperbaiki segenap
tatanan kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-
budaya, hankam dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi,
agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan antara lain: pertama,
mengatasi krisis; kedua, melaksanakan reformasi, dan ketiga melanjutkan
pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut
dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk
dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai tuntutan dan
euforia reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan pertimbangan,
antara lain: pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset
nasional yang tersisa dan diharapkan masih dapat menjadi perekat tali
persatuan yang hampir koyak. Keyakinan ini didukung oleh peranan
Pancasila sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara historis dan
sosiologis bangsa Indonesia yang sangat plural baik ditinjau dari segi etnis,
geografis, maupun agama. Kedua, Secara yuridis, Pancasila merupakan
Dasar Negara, jika dasar negara berubah, maka berubahlah negara itu. Hal
ini didukung oleh argumentasi bahwa para pendukung gerakan reformasi
yang tidak menuntut mengamandemen Pembukaan UUD 1945 yang di sana
terkandung pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang merupakan
perwujudan nilai-nilai Pancasila.

272
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila adalah tidak
satunya antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan
pelaksanaan. Maka tuntutan reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam
satu kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan reformasi
mengkritik kecenderungan digunakannya Pancasila sebagai alat kekuasaan,
akhirnya hukum diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan mitos
dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun kiranya penting
bagi upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain: Pertama,
mengarahkan pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang
lebih konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang
sangat ideologis (untuk legitimasi kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga,
mengarahkan pemikiran Pancasila dari kecenderungan subjektif ke objektif,
yaitu dengan menggeser pemikiran dengan menghilangkan egosentrisme
pribadi, kelompok, atau partai, dengan menumbuhkan kesadaran pluralisme,
baik pluralisme sosial, politik, budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran politik
kenegaraan dan dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena
beberapa hal, di antaranya, antara lain: Pertama, adanya gap atau
ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau perundang-undangan
dengan filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan rumah, filosofi,
asas dan norma hukum adalah pondasi, maka undang-undang dasar dan
perundang-undangan lain di bawahnya merupakan bangunan yang
dibangun di luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada lembaga-
lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak dapat memerankan fungsinya
secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk diadakan amandemen
UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga judicial

273
review yang memiliki independensi untuk menguji secara substansial dan
prosedural suatu produk hukum. Kedua, Kelemahan yang terletak pada para
penyelenggara negara adalah maraknya tindakan kolusi, korupsi dan
nepotisme, serta pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan
menyingkirkan lawan-lawan politik dan ekonomisnya
Di balik berbagai macam kepurukan bangsa indonesia tersebut masih
tersisa satu keyakinan akan nilai yang dimilikinya yaitu nilai-nilai yang
berakar dari pandangan hidup bangsa indonesia sendiri yaitu nilai-nilai
pancasila. Reformasi adalah menata kehicupan bangsa dan negara dalam
suatu sistem negara dibawah nilai-nilai pancasila, bukan menghancurkan
dan membubarkan bangsa dan negara indonesia. Jadi, reformasi harus
memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa
indonesia nilai-nilai pancasila itulah yang merupakan paradigma reformasi
total tersebut.
1. Gerakan Reformasi dan Pancasila
Sosialisasi Pancasila juga mendapat kritik tajam di era reformasi,
sehingga keluarlah Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 untuk mencabut Tap
MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran tentang
sosialisasi Pancasila itu antara lain: menghindari jargon-jargon yang tidak
berakar dari realitas konkret dan hanya menjadi kata-kata kosong tanpa arti,
sebagai contoh slogan tentang “Kesaktian Pancasila”, slogan bahwa
masyarakat Indonesia dari dulu selalu berbhineka tunggal ika, padahal
dalam kenyataan bangsa Indonesia dari dulu juga saling bertempur,
melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan lain-lain.
Menghindari pemaknaan Pancasila sebagai proposisi pasif dan netral, tetapi
lebih diarahkan pada pemaknaan yang lebih operasional, contoh: Pancasila
hendaknya dibaca sebagai kalimat kerja aktif, seperti masyarakat dan negara

274
Indonesia harus mengesakan Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil
dan beradab, mempersatukan Indonesia, memimpin rakyat dengan
hikmat/kebijaksanaan dalam suatu proses permusyawaratan perwakilan,
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sosialisasi diharapkan
juga dalam rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan
membodohkannya sebagaimana yang terjadi pada penataran-penataran P-4,
sehingga sosialisasi lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan argumentatif
Pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ketujuh sejalan dengan
bangsa indonesia yang menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis
ekonomi Asia terutama Asia tenggara sehinnga menyebabkan stabilitas
politik menjadi goyah. Selain itu, pancasila yang seharusnya sebagai sumber
nilai dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara dalam
kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Maka timbullah
berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan
dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya
reformasi disegala bidang diantaranya: bidang pembangunan, politik,
ekonomi, dan hukum.
Makna serta pengertian reformasi banyak disalah artikan sehingga
gerakan masyarakat yang melakukan perubahan mengatasnamakan gerakan
reformasi, sehingga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri.
Secara harafiah reformasi memiliki makna yaitu suatu gerakan untuk
memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang
menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu suatu
gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :
1)     Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu
penyimpangan-penyimpangan.

275
2)     Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-
cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini
pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara indonesia.
3)     Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada
suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD)
sebagai kerangka acuan reformasi.
4)     Reformasi dilakukan kearah suatu perubahan ke arah kondisi
serta keadaan yang lebih baik.
5)     Refomasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik
sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta
terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Reformasi dalam perspektif pancasila pada hakikatnya harus
berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan baradab, persatuan indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Adapun secara rinci
sebagai berikut:
1)      Reformasi yang berketuhanan Yang Maha Esa.
2)      Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab.
3)      Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan.
4)      Visi dasar reformasi harus jelas.

2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum dan HAM


Dalam era refomasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat
terhadap pembaharuan hukum dan HAM sudah merupakan suatu
keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali tidak
mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap

276
peraturan perundang-undangan. Namun demikian hendaklah dipahami
bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara
spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai
yang jelas, dan dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila yang merupakan dasar cita-cita reformasi.
Sumber hukum meliputi dua macam pengertian yaitu (1) sumber
formal hukum adalah sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara
penyusunan, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya undang-
undang, permen perda. (2) sumber material hukum adalah suatu sumber
hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum. Selain sumber
nilai yang terkandung dalam pancasila reformasi dan pembaharuan hukum
juga harus bersumber pada kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat
terutama dalam wujud aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya. Dengan
demikian maka upaya untuk reformasi hukum akan benar-benar mampu
mengantarkan manusia ketingkatan harkat dan martabat yang lebih tinggi
sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab.
Dalam era reformasi pelaksaan hukum dan HAM harus didasarkan
pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya. Pelaksanaan hukum pada
masa reformasi ini harus benar-benar dapat mewujudkan negara demokratis
dengan suatu supremasi hukum. Jaminan atas terwujudnya keadilan bagi
setiap warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi
seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif, keadilan komutatif , serta
keadilan legal.
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak
yang melekat pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia
hidup sebagaimana layaknya manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi
manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam arti

277
kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan tidak
memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya
ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam membahas masalah
HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat
dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga
masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang
memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian
lingkungan hidup. (2) Isu HAM selalu diangkat oleh media massa setiap
bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia
oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3) Masalah HAM secara
khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor
dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan
secara ekonomis dan politis. Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur
antara paham universalisme dan partikularisme. Paham universalisme
menganggap HAM itu ukurannya bersifat universal diterapkan di semua
penjuru dunia. Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap
bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai dengan latar
belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki
ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang
melihat HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku universal karena
menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran ideologis, yang
melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak kewarganegaraan, sifatnya
partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran
kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan situasi
dan kondisi yang sifatnya insidental.

278
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia dapat
ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD
1945, Tap-Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam
Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih rinci
dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas
kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29
ayat 2); Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan
(Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2);
Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34).
Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945, antara
lain: pertama, UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga tidak
secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut
adalah hak-hak warga negara. Kedua, Mengingat UUD 1945 tidak mengatur
ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun
mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang
diserahkan kepada DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap
Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi
Manusia.
Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak
asasi manusia, terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan
substansi, serta pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada
bagian Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh
yang terdiri dari 10 bab 44 pasal

279
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit antara lain:
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak keadilan
5. Hak kemerdekaan
6. Hak atas kebebasan informasi
7. Hak keamanan
8. Hak kesejahteraan
9. Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban
membela negara
10. Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini
merupakan upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber
pada UUD 1945 dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

3. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik


Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam pancasila
sebagai fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara
kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana
kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut. Prinsip-prinsip demokrasi
tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai esensial yang terkandung
dalam pancasila maka kedaulatan tertinggi negara ada di tangan rakyat. Oleh
karena itu paradigma ini harus merupakan dasar pijak dalam reformasi
politik.

280
Untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus melalui
reformasi pada undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut,
dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan
sebagaimana terkandung dalam pancasila. Sebagai contoh, Susunan
keanggotaan MPR sebagaimana termuat dalam Undang-undang Politik No.2
Tahun 1985 tersebut jelas tidak demokratis dan tidak mencerminkan nilai-
nilai pancasila bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagai tertuang
dalam semangat UUD 1945. Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang
dalam Undang-undang No.4 Tahun 1999 Pasal 11 yaitu berkaitan dengan
keanggotaan ABRI di DPR.
Reformasi atas undang-undang politik yang mengatur susunan
keanggotaan DPRD tingkat I, tertuang dalam undang-undang politik No.4
Tahun 1999 yaitu berkaitan dengan tatanan demokrasi pada dasar nilai
kedaulatan di tangan rakyat. Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II
tertuang dalam undang-undang politik No. 4 Tahun 1999 yaitu berkaitan
tentang susunan keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD yang benar-benar
mencerminkan nilai kerakyatan.
Demi terwujudnya supra struktur politik yang benar-benar
demokratis dan spiratif, maka sangat penting untuk dilakukan penataan
kembali infrastruktur politik, terutama tentang partai politik. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi terhadap peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang partai politik. Pada masa orde baru ketentuan tentang
partai politik diatur dalam undang-undang politik yaitu UU No.3 Tahun
1975, serta UU No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya.
Dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa partai politik dan
golongan karya hanya meliputi tiga macam partai yaitu: Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi

281
Indonesia (PDI). Adapun syarat pembentukan partai politik tertuang dalam
Pasal 2 Undang-undang No.2 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuaan UU
tersebut warga negara diberi kebebasan untuk membentuk partai politik,
serta diberi kebebasan untuk menentukan asas sebagai ciri serta program
masing-masing. Atas ketentuaan UU tersebut, maka bermunculanlah partai
politik di era reformasi ini mencapai 114 partai politik. Namun dalam
kenyataannya yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum
hanya 48 partai politik. Selain itu pelaksanaan pemilu juga dilakukan
perubahan untuk mewujudkan pemilihan umum yang benar-benar
demokratis, maka penyelenggara pemilu tersebut berdasarkan ketentuan UU
No.3 Tahun 1999, Bab III Pasal 8.
Pancasila sebagai dasar negara, asas kerohaniaan negara, sebagai
sumber nilai dan norma negara, suasana kerohanian dari UUD negara dalam
implementasinya diperalat sebagai sarana legitimilasi politik penguasa,
untuk mempertahankan kekuasaannya. Oleh karena itu, reformasi
kehidupan politik harus benar-benar demokratis dilakukan dengan jalan
revitalisasi ideoligi pancasila, yaitu dengan mengembalikan pancasila pada
kedudukan serta fungsi yang sebenarnya, sebagaimana dikehendaki oleh
para pendiri negara yang tertuang dalam UUD 1945. Reformasi kehidupan
politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita kehidupan kenegaraan
dan kebangsaan dalam satu kesatuaan waktu yaitu nilai masa lalu, masa kini,
dan kehidupan masa yang akan datang. Jadi, dengan sendirinya
kesemuanya ini harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri sebagai filsafat hidupnya yaitu nilai-nilai
pancasila.

4. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi

282
Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orba ternyata
tidak berkelanjutan karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi yang
besar, baik antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya
melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula berawal dari perubahan kurs
dolar yang begitu tinggi, kemudian menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya
krisis kepercayaan pada segenap sektor tidak hanya ekonomi. Kegagalan
ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip
ekonomi dalam kelembagaan, ketidak- merataan ekonomi, dan lain-lain.
yang juga dipicu dengan maraknya praktek monopoli, Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme oleh para penyelenggara Negara Sistem ekonomi Indonesia yang
mendasarkan diri pada filsafat Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dan
landasan operasionalnya GBHN sering disebut Sistem Ekonomi Pancasila.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Sistem Ekonomi Pancasila antara
lain: mengenal etik dan moral agama, tidak semata-mata mengejar materi.
mencerminkan hakikat kemusiaan, yang memiliki unsur jiwa-raga, sebagai
makhluk individu-sosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Sistem
demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas manusia, menjunjung
tinggi kebersamaan, kekeluargaan, dan kemitraan, mengutamakan hajat
hidup rakyat banyak, dan menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat
bukan kemakmuran individu.
Sistem ekonomi Pancasila dibangun di atas landasan konstitusional
UUD 1945, pasal 33 yang mengandung ajaran bahwa (1) Roda kegiatan
ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial,
dan moral; (2) Seluruh warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan
kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan adanya ketimpangan ekonomi
dan kesenjangan sosial; (3) Seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen,
konsumen, dan pemerintah selalu bersemangat nasionalistik, yaitu dalam

283
setiap putusan-putusan ekonominya menomorsatukan tujuan terwujud-nya
perekonomian nasional yang kuat dan tangguh; (4) Koperasi dan bekerja
secara kooperatif selalu menjiwai pelaku ekonomi warga masyarakat.
Demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Perekono-mian
nasional yang amat luas terus-menerus diupayakan adanya keseimbangan
antara perencanaan nasional dengan peningkatan desentralisasi serta
otonomi daerah. hanya melalui partisipasi daerah secara aktif aturan main
keadilan ekonomi dapat berjalan selanjutnya menghasilkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem ekonomi indonesia pada masa orde baru bersifat birokratik
otoritan yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam
membuat keputusan-keputusan nasional hampir sepenuhnya berada
ditangan penguasa bekerjasama dengan kelompok militer dan kaum
teknokrat. Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya
mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai
kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya
menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang
berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai pancasila yang
mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut:
keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, program rehabilitasi
dan pemulihan ekonomi, serta transformasi struktur, yaitu guna untuk
memperkuat ekonomi rakyat. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan
nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka
peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat,
sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.

284
5. Pancasila sebagai Reformasi kehidupan kampus
Pembangunan di Bidang Pendidikan yang dilaksanakan atas falsafah
Negara Pancasila diarahkan untuk membentuk manusia-manusia
pembangunan yang berjiwa Pancasila, membentuk manusia-manusia
Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi disertai budi
pekerti yang luhur, mencintai bangsa dan negara dan mencintai sesama
manusia.
Peranan perguruan tinggi dalam usaha pembangunan mempunyai
tugas pokok menyelenggarakan pendidikan dan pegajaran di atas perguruan
tingkat menengah berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia dengan cara
ilmiah  yang disebut Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Peningkatan peranan Perguruan Tinggi sebagai satuan pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam usaha pembangunan
selain diarahkan untuk menjadikan Perguruan Tinggi sebagai pusat
pemeliharaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
seni, juga mendidik mahasiswa untuk berjiwa penuh pengabdian serta
memiliki tanggung jawab yang besar pada masa depan bangsa dan Negara,
serta menggiatkan mahasiswa, sehingga bermanfaat bagi usaha
pembangunan nasional dan pengembangan daerah.
Kampus merupakan wadah kegiatan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat, sekaligus merupakan tempat persemaian dan
perkembangan nilai-nilai luhur.  Kampus merupakan wadah perkembangan
nilai-nilai moral, sehingga seluruh warganya diharapkan menjunjung tinggi
sikap yang menjiwai moralitas yang tinggi dan dijiwai oleh pancasila

285
Kampus merupakan wadah membentuk sikap yang dapat
memberikan kekuatan moral yang mendukung lahir dan berkembangnya
sikap mencintai kebenaran dan keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Masyarakat kampus sebagai masyarakat ilmiah harus benar-benar
mengamalkan budaya akademik. Masyarakat kampus wajib senantiasa
bertanggung jawab secara moral atas kebenaran obyektif, bertanggung jawab
terhadap masarakat bangsa dan negara, serta mengabdi pada kesejahteraan
kemanusiaan. Oleh karena itu sikap masyarakat kampus tidak
boleh tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik penguasa sehingga
benar-benar luhur dan mulia melalui aktualisasi atau penerapan nilai-nilai
pancasila oleh civitas akademika dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah
bersifat universal, tetap dan tidak berubah. Nilai-nilai tersebut berwujud
norma-norma, baik norma hukum, kenegaraan, maupun norma-norma
moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dapat dibedakan atas dua macam
yaitu :
a. Aktualisasi objektif
Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah aktualisasi pancasila dalam
berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara
antara lain, legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu juga meliputi
bidang-bidang aktualisasi lainnya. Seperti politik, ekonomi, hokum terutama
dalam penjabaran kedalam undang-undang, garis-garis besar haluan Negara,
hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya.

b. Aktualisasi Subjektif 
Aktualisasi Pancasila yang subyektif adalah aktualisasi pancasila pada
setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup
286
Negara dan masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali
baik warga Negara biasa, aparat pentelenggara Negara, penguasa Negara,
terutama kalangan elit politik dalam kegiatan politik, maka dia perlu mawas
diri agar memiliki moral ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana
terkandung dalam pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang
memungkinkan segenap lapisan masyarakat yang dapat mencerminkan nilai-
nilai Pancasila itu dan dapat terlihat dalam perilaku. Perpaduan ciri tersebut
di dalam kehidupan kampus melahirkan gaya hidup tersendiri yang
merupakan variasi dari corak kehidupan yang menjadikan kampus sebagai
pedoman dan harapan masyarakat.
Dalam rangka bangsa Indonesia melaksanakan reformasi dewasa ini
suatu agenda yang sangat mendesak untuk mewujudkan adalah reformasi
dalam bidang hukum dan peraturan perundang- undangan. Negara
indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, oleh karena itu dalam
rangka melakukan penataan Negara untuk mewujudkan masyarakat yang
demokratis maka harus menegakkan supremasi hukum. Agenda reformasi
yang pokok untuk segera direalisasikan adalah untuk melakukan reformasi
dalam bidang hukum. Konsekuensinya dalam mewujudkan suatu tatanan
hukum yang demokratis, maka harus dilakukan pengembangan hukum
positif.
Sesuai dengan tertib hukum Indonesia dalam rangka pengembangan
hukum harus sesuai dengan tatib hukum Indonesia. Berdasarkan tatib
hukum Indonesia maka dalam pengembangan hukum positif Indonesia,
maka falsafah negara merupakan sumber materi dan sumber nilai bagi
pengembangan hukum. Hal ini berdasarkan Tap No. XX/MPRS/1966, dan

287
juga Tap No. III/MPR/2000. namun perlu disadari, bahwa yang dimaksud
dengan sumber hukum dasar nasional, adalah sumber materi dan nilai bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam
penyusunan hukum positif di Indonesia nilai pancasila sebagai sumber
materi, konsekuensinya hukum di Indonesia harus bersumber pada nilai-
nilai hukum Tuhan (sila I), nilai yamh terkandung pada harkat, martabat dan
kemanusiaan seperti jaminan hak dasar (hak asasi) manusia (sila II), nilai
nasionalisme Indonesia (sila III), nilai demokrasi yang bertumpu pada rakyat
sebagai asal mula kekuasaan negara (sila IV),  dan nilai keadilan dalam
kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan (sila V).
Selain itu, tidak kalah pentingnya dalam penyusunan dan
pengembangan hukum aspirasi dan realitas kehidupan masyarakat serta
rakyat adalah merupakan sumber materi dalam penyusunan dan
pengembangan hukum. Dalam penegakan hak asasi manusia sebagaimana
diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999, mahasiswa sebagai kekuatan moral
(moral force) harus bersikap obyektif, dan benar-benar berdasarkan
kepentingan moral demi harkat dan martabat manusia, bukan karena
kepentingan politik terutama kepentingan kekuasaan politik dan konspirasi
kekuatan internasional yang ingin menghancurkan negara Indonesia.

288

Anda mungkin juga menyukai