Tutorial
Tutorial
2. Inversio Uteri
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan
adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana
iapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri
eksternum. Inversio uteri sangat jarang terjadi. Menurut kepustakaan angka
kejadiannya adalah I : 5000-20.000 persalinan. Inversio uteri dapat bersifat
inkomplit sampai komplit. Pada inversio inkomplit, fundus uteri tidak
sampai keluar dari serviks, sedangkan pada inversio komplit seluruh fundus
keluar dari serviks. Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah
adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan
yang menarik'fundus ke bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan
perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada
fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang
keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin).
Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda sebagai berikut:
• Syok karena kesakitan
• Perdarahan banyak bergumpal
• Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta
yang masih melekat
• Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila
kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan
membuat utenrs mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri dilakukan palpasi abdomen
dan pemeriksaan dalam. Palpasi abdomen pada inversio inkomplit
didapatkan cekungan berbentuk seperti kawah pada fundus uteri, sedang
pada inversio komplit fundus uteri tidak dapat diraba. Pemeriksaan dalam
pada inversio uteri inkomplit teraba fundus uteri di kanalis servikalis dan
pada inversio komplit fundus uteri teraba di vagina atau bahkan sudah keluar
dari vagina.
Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut:
• Kaji ulang indikasi.
• Kaji ulang prinsip dasar perawatan dan pasang infus.
• Berikan petidin dan diazepam IV dalam semprit berbeda secara
perlahan- lahan, atau anestesi umum jika diperlukan.
• Basuh uterus dengan larutan antiseptik dan tutup dengan kain
basah (dengan NaCl hangat) menjelang operasi.
• Reposisi manual:
Pasang sarung tangan DTT
Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan
kembali melalui serviks, dimulai dari bagian fundus. Gunakan
tangan lain untuk membantu menahan uterus dari dinding
abdomen. Jika plasenta masih belum terlepas, lakukan plasenta
manual setelah tindakan reposisi.
Jika reposisi manual tidak berhasil, lakukan reposisi hidrostatik.
• Reposisi hidrostatik
Pasien dalam posisi Trendelenburg – dengan kepala lebih rendah
sekitar 50 cm dari perineum.
Siapkan sistem douche yang sudah didisinfeksi, berupa selang 2 m
berujung penyemprot berlubang lebar. Selang disambung dengan
tabung berisi air hangat 3-5 L (atau NaCl atau infus lain) dan
dipasang setinggi 2 m.
Identifikasi forniks posterior.
Pasang ujung selang douche pada forniks posterior sambil menutup
labia sekitar ujung selang dengan tangan.
Guyur air dengan leluasa agar menekan uterus ke posisi semula.
Reposisi manual dengan anestesia umum
Jika reposisi hidrostatik gagal, upayakan reposisi dalam anestesia
umum. Halotan merupakan pilihan untuk relaksasi uterus.
Reposisi kombinasi abdominal-vaginal
Kaji ulang indikasi.
Kaji ulang prinsip dasar perawatan operatif.
Lakukan insisi dinding abdomen sampai peritoneum dan singkirkan
usus dengan kassa. Tampak uterus berupa lekukan.
Dengan jari tangan, lakukan dilatasi cincin kontraksi serviks.
Pasang tenakulum melalui cincin serviks pada fundus.
Lakukan tarikan/traksi ringan pada fundus sementara asisten
melakukan reposisi manual melalui vagina.
Jika tindakan traksi gagal, lakukan insisi cincin konstriksi serviks di
bagian belakang untuk menghindari risiko cedera kandung kemih,
ulang tindakan dilatasi, pemasangan tenakulum dan traksi fundus.
Jika reposisi berhasil, tutup dinding abdomen setelah melakukan
penjahitan hemostasis dan dipastikan tidak ada perdarahan.
Jika ada infeksi, pasang drain karet.
Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitosin 20 unit dalam 200
ml cairan NaCl/Ringer Laktat IV dengan kecepatan 10 tetes/menit.
Jika dicurigai perdarahan, berikan infus sampai dengan 60 tetes/menit.
Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau
prostaglandin.
Berikan antibiotika dosis tunggal Ampisilin 2 g IV dan metronidazol 500
mg IV ATAU sefazolin 1 g IV dan metronidazol 500 mg iv
Lakukan perawatan pasca bedah bila dilakukan reposisi kombinasi
abdominal-vaginal.
Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi sampai pasien bebas demam
selama 48 jam.
Berikan analgetik bila perlu.
4. Preeklampsia-Eklampsia
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penyuiit kehamilan
dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas
ibu bersalin. Di Indonesia mortaiitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan
juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga
oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan
sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami
oieh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan rentang pengelolaan
hipertensi dalam kehamiian harus benar- benar dipahami oleh semua tenaga
medik baik di pusat maupun di daerah.
A. Terminologi
Terminologi yang dipakai adalah
1. Hipertensi dalam kehamilan, atau
2. Preeklampsia-eklampsia
B. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah:
1. Hipertensi kronik
2. Preeklampsia-eklampsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensi gestasional. Penjelasan pembagian klasifikasi
C. Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai
berikut:
1. Primigravida, primipaternitas.
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum
hamil
6. Obesitas
D. Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini beium
diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang
terjadinya hipertensi dalam kehamilan, terapi tidak ada satu pun teori
tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak
dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran
darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua
pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuarta
dan arteri arkuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis
memberi cabang arteria spiralis.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi
rrofoblas ke dalam Iapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebur sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri
spiralis ini memberi dampak penunrnan tekanan darah, penurunan
resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan "remodeling arteri spiralis".
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arreri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi
kegagalan "remodeling arteri spiralis", sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang
dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500
mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil
normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali
aliran darah ke utero plasenta.
5. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya
akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia.
Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan
diagnosis hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik
menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik,
menggambarkan besaran curah jantung. Pada preeklampsia peningkatan
reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi
dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada
preeklampsia bersifat labil dan mengikuti irama sirkadian normal.
Tekanan darah menjadi normal beberapa hari pascapersalinan, kecuali
beberapa kasus preeklampsia berat kembalinya tekanan darah normal
dapat terjadi 2-4 minggu pascapersalinan. Tekanan darah bergantung
terutama pada curah jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan
viskositas darah. Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme
menyeluruh dengan ukuran tekanan darah ≥ 140/90 mmHg selang 6 jam.
Tekanan diastolik ditentukan pada hilangnya suara Korotkoff’s phase V.
Dipilihnya tekanan diastolik 90 mmHg sebagai batas hipertensi, karena
batas tekanan diastolik 90 mmHg yang disenai proteinuria, mempunyai
korelasi dengan kematian perinatal tinggi. Mengingat proteinuria
berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah diastolik, maka kenaikan
(perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria diagnosis
hipertensi, hanya sebagai tanda waspada. Mean Arterial Blood Pressure
(MAP) tidak berkorelasi dengan besaran proteinuria. MAP jarang dipakai
oleh sebagian besar klinisi karena kurang praktis dan sering terjadi
kesalahan pengukuran. Pengukuran tekanan darah harus dilakukan secara
standar.
Fungsi Ginjal
• Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut.
a. Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga
terjadi oliguria, bahkan anuria.
b. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran dan
mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir
kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria,
karena janin lebih dulu lahir.
c. Terjadi Glomerular Capilary Endotheliosis akibat sel endotel
glomerular membengkak disertai deposit fibril.
d. Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila
sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi
"nekrosis korteks ginjal" yang bersifat ireversibel.
e. Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat
vasospasme pembuluh darah. Dapat diatasi dengan pemberian dopamin
agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal.
• Proteinuria
a. Bila proteinuria timbul:
Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal. Tanpa
hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan
Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, umumnya
ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan
proteinuria pada tekanan diastolik < 90 mmHg.
b. Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia,
tetapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga
sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin sudah lahir
lebih dulu.
c. Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik:
100 mg/l atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6
jam dan (b) pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis
bila besaran proteinuria ≥ 300 mg/24 jam.
• Asam urat serum (wric acid serwm): umumnya meningkat ≥ 5
mg/cc. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang menimbulkar
menumnnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi
glomerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam
urat dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan.
• Kreatinin
Sama halnya dengan kadar asam urat semm, kadar kreatinin plasma pada
preeklampsia juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia,
maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi
glomerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan
kreatinin plasma. Dapat mencapai kadar kreatinin plasma ≥ 1 mg/cc, dan
biasanya terjadi pada preeklampsia berat dengan penyulit pada ginjal.
• Oliguria dan anuria
Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke
ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria),
bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria
Elektrolit
Kadar elektrolit rotal menumn pada wakru hamil normal. Pada
preeklampsia kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali
bila diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian
cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik.
Preeklampsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang eklampsia
kadar bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan
akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida.
Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar
hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh.
Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada preeklampsia,
maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada
preeklampsia tidak diperlukan restriksi konsumsi garam.
Viskosotas Darah
Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro:
fibrinogen dan hematokrit. Pada preeklampsia viskositas darah
meningkat, mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan
menurunnya aliran darah ke organ.
Hematokrit
Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipervolemia,
kemudian meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi
urin. Pada preeklampsia hematocrit meningkat karena hipovolemia yang
menggambarkan beratnya preeklampsia.
Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normai. Edema yang terjadi
pada kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema
dijumpai pada hamil normal, 60% edema dijumpai pada kehamilan
dengan hipertensi, dan 80 % edema dijumpai pada kehamilan dengan
hipertensi dan proteinuria.
Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel
endotel kapilar. Edema yang patologik adalah edema yang nondependen
pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan biasanya disertai
dengan kenaikan berat badan yang cepat.
Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat
vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme
arteriol dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriol. Perubahan
terscbut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat hipovolemia,
peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis
Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan
perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sei periportal lobus perifer, akan
terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini
dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular
hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah
epigastrium dan dapat menimbuikan ruptur hepar, sehingga perlu
pembedahan.
Neurologi
Perubahan neurologik dapat berupa:
• Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga
menimbulkan vasogenik edema.
• Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi
gangguan visus. Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur,
skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanpa jelas adanya kelainan
dan ablasio retina.
• Hiperrefleksi sering dijumpai pada oreeklampsia berat, tetapi
bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia.
• Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik
belum diketahui dengan jelas. Faktor-faktor yang menimbulkan
kejang eklamptik ialah edema serebri, vasospasme serebri dan
iskemia serebri.
• Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada
preeklampsia berat dan eklampsia.
Kardiovaskuler
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkamn cardiac
afterload akibat hipertensi dan penumnan cardiac preload akibat
hipovolemia.
Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya
edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri,
kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan
menurunnya diuresis. Dalam menangani edema paru, pemasangan
Central Venous Pressure (CVP) tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya dari pulmonary capillary uedge pressure.
Janin
Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada
kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta,
hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah
plasenta.
Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah:
• Intrauterine growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion
• Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung
akibat intrauterine growth restriction, prematuritas, oligohidramnion, dan
solusio plasenta.
F. Pembagian Preeklampsia
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat
terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsia
dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti
adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan
penderita dengan preeklampsia ringan dapat mendadak mengalami
kejang dan jatuh dalam koma.
Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat
individual. Kadang-kadang sukar untuk menentukan gejala preeklampsia
mana yang timbul lebih dahulu. Secara teoritik urutan-uruan gejala yang
timbul pada preeklampsia ialah edema, hipertensi, dan terakhir
proteinuria; sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan di
atas, dapat dianggap bukan preeklampsia.
Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuria
merupakan gejala yang paling penting. Namun, sayangnya penderita
seringkali tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh
adanya gangguan nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri
epigastrium, maka penyakit ini sudah cukup lanjut (Karkata, 2010).
1. Preeklampsia ringan
• Definisi
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan
dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme
pembuluh darah dan aktivasi endotel
• Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20
minggu.
Hipertensi: sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥
30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak dipakai lagi
sebagai kriteria preeklampsia.
Proteinuria: ≥300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstik.
Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria
preeklampsia, kecuaii edema pada lengan, muka dan perut, edema
generalisata
• Penanganan
Kehamilan kurang dari 37 minggu:
a. Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu
secara rawat jalan:
1. Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan
kondisi janin.
2. Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya
preeklampsia dan eklampsia.
3. Lebih banyak istirahat.
4. Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
5. Tidak perlu diberi obat-obatan
• Penanganan
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali
bahwa persalinan harus berlangsung dalam 12 jam setelah timbulnya
kejang pada eklampsia. Semua kasus preeklampsia berat harus ditangani
secara aktif. Penanganan konservatif tidak dianjurkan karena gejala dan
tanda eklampsia seperti hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering
tidak sahih.
Penanganan kejang:
a. Beri obat antikonvulsan
b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas, sedotan,
masker dan balon, oksigen)
c. Beri oksigen 4-6 liter per menit
d. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat
terlalu keras.
e. Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi risiko aspirasi
f. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu.
Penanganan umum:
a. Jika tekanan diastolik tetap lebih dari 110mmHg, berikan obat
antihipertensi, sampai tekanan diastolik di antara 90-100 mmHg
b. Pasang infus dengan jarum besar (16 gauge atau lebih besar)
c. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi kelebihan
cairan
d. Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan
proteinuria
e. Jika jumlah urin kurang dari 30ml per jam:
1) Hentikan magnesium sulfat (MgSO4) dan berikan cairan
intravena. (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) pada kecepatan 1
liter per 8 jam
2) Pantau kemungkinan edema paru
f. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi
munta dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
g. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin
setiap jam.
h. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru
i. Hentikan pemberian cairan intravena dan berikan diuretik
misalnya furosemide 40mg intravena sekali saja jika ada edema
paru
j. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana (bedsite
clotting test). Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit,
kemungkinan terdapat koagulopati.
Antikonvulsi
Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk
mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan eklampsia.
Cara pemberian ialah:
a. Dosis awal:
1) MgSO4 4g intravena sebagai larutan 40% selama 5 menit
2) Segera dilanjutkan dengan pemberian 10g larutan MgSO4 50%,
masing-masing 5g di bokong kanan dan kiri secara intramuskular
dalam, ditambah 1 ml lignokain 2% pada semprit yang sama.
Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4
3) Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2g
(larutan 40%) intravena selama 5 menit
b. Dosis pemeliharaan:
1) MgSO4 1-2g per jam per infus, 15 tetes/menit atau 5g MgSO4
intramuskular tiap 4 jam.
2) Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pasca persalinan
atau kejang berakhir.
b. Dosis pemeliharaan:
1) Diazepam 40mg dalam 500ml larutan RL per infus
2) Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis
>30mg/jam
3) Jangan berikan >100mg/24 jam
c. Pemberiaan melalui rektum:
1) Jika pemberian intravena tidak memungkinkan, diazepam dapat
diberikan per rektal, dengan dosis awal 20mg dalam semprit 10ml
tanpa jarum
2) Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan
10mg/jam atau lebih, bergantung pada berat badan pasien dan
respons klinik.
Antihipertensi
Jika tekanan diastolik 110mmHg atau lebih, berikan obat
antihipertensi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan tekanan
diastolik di antara 90-100mmHg dan mencegah perdarahan serebral.
Obat pilihan adalah hidralazin.
a. Berikan hidralazin 5mg intravena pelan-pelan setiap 5 menit
sampai tekanan darah turun. Ulangi setiap jam jika perlu atau
berikan hidralazin 12,5mg intramuskular setiap 2 jam
Persalinan
Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil
Penundaan persalinan meningkatkan risiko untuk ibu dan janin.
a. Periksa serviks
b. Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuba, lalu induksi
persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin
c. Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam
(pada eklampsia) atau dalam 24 jam (pada preeklampsia), lakukan
seksio sesarea
d. Jika denyut jantung janin <100/menit atau >180/menit lakukan
seksio sesarea
e. Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio sesarea
f. Jika anestesi untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau janin mati
atau terlalu kecil:
1) Usahakan lahir pervaginam
2) Matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin, atau
kateter foley
Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika:
a. Terdapat oliguria (urin kurang dari 400ml per 24 jam) selama 48
jam setelah persalinan
b. Terdapat koagulopati, atau sindrom HELLP
c. Koma berlanjut lebih dari 24 jam sesudah kejang.