Anda di halaman 1dari 31

1.

Robekan Jalan Lahir


Risiko yang ditimbulkan karena robekan jalan lahir adalah perdarahan
yang dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Risiko lain yang dapat terjadi
karena robekan jalan lahir dan perdarahan yang hebat adalah ibu tidak berdaya,
lemah, tekanan darah turun, anemia dan berat badan turun. Keluarnya bayi
melalui jalan lahir umumnya menyebabkan robekan pada vagina dan perineum.
Meski tidak tertutup kemungkinan robekan itu memang sengaja dilakukan untuk
memperlebar jalan lahir.
Jalan-lahir terdiri atas jalan-lahir bagian tulang dan jalan-lahir bagian
lunak. Jalanlahir bagian tulang terdiri atas tulang-tulang panggul dan sendi-
sendinya, sedang bagian lunak terdiri atas otot-orot, jaringan, dan ligamen-
ligamen. Dalam persalinan per vaginam janin harus melewati jalan-lahir ini. Jika
jalan-lkhususnya bagian tulang-mempunyai bentuk dan ukuran rata- rata normal
serta ukuran janinnya pun rara-rata normal, maka dengan kekuatan yang normal
pula persalinan per vaginam akan berlangsung tanpa kesulitan.
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan
pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat
episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstraksi. Faktor resiko terjadinya robekan jalan lahir adalah :
 Bayi besar
 Malpresentasi atau malposisi janin (distosia bahu, posisi kepala
kurang fleksi dan oksipital anterior kelahiran dengan bantuan
(forcep)
 Posisi ibu saat melahirkan (berdiri), persalinan presipitatus (sangat
cepat)
 Kala dua persalinan yang lama
 Prkus pubis yang sempit
 Primipara
 Jarak persalinan
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,
robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani
terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar
klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat, mptura uteri. Oleh karena itu, pada
setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari
kemungkinan adanya robekan ini.
Serviks mengalami laterasi pada lebih dari separuh pelahiran
pervaginatum, sebagian besar berukuran kurang dari 0.5 cm. Robekan yang dalam
dapat meluas ke sepertiga atas vagina. Cedera terjadi setelah setalah rotasi forceps
yang sulit atau pelahiran yang dilakukan pada serviks yang belum membuka
penuh dengan daun forseps terpasang pada serviks. Robekan dibawah 2 cm
dianggap normal dan biasanya cepat sembuh dan jarang menimbulkan kesulitan.
Gejala :
 Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
 Uterus kontraksi dan keras
 Plasenta lengkap, dengan gejala lain pucat, lemah, dan menggigil
Berdasarkan tingkat robekan, maka robekan perineum, dibagi menadi 4
tingkatan yaitu:
 Tingkat I : Robekan hanya terdapat pada selaput lendir vagina
dengan atau tanpa mengenai kulit perineum
 Tingkat II : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot
perinei transversalis, tetapi tidak mengenai sfringter ani
 Tingkat III : Robekan menganai seluruh perineum dan otot
sfringter ani
 Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada


vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber
perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut
nadi. Perdarahan karena rutrura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau
kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan
tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus
diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai
perdarahan berhenti.
Jika terjadi ruptur perineum dan robekan dinding vagina, maka
dilakukan tindakan berikut:
 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
 Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
 Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap. Lakukan penjahitan (lihat lampiran A.6).

 Bila perdarahan masih berlanjut,berikan 1gr asam traneksamat IV


(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk
pasien.
Jika terjadi robekan pada serviks:
 Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari
porsio.
 Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan.
 Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan
 kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
 Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1gr asam
traneksamat IV (bolus selama 1 menit, dapat diulang
setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan
lampu yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila
penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi
untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis.
Komplikasi dari robekan jalan lahir adalah timbulnya perdarahan,
fistula, hematoma, hingga infeksi.

2. Inversio Uteri
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan
adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana
iapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri
eksternum. Inversio uteri sangat jarang terjadi. Menurut kepustakaan angka
kejadiannya adalah I : 5000-20.000 persalinan. Inversio uteri dapat bersifat
inkomplit sampai komplit. Pada inversio inkomplit, fundus uteri tidak
sampai keluar dari serviks, sedangkan pada inversio komplit seluruh fundus
keluar dari serviks. Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah
adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan
yang menarik'fundus ke bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan
perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada
fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang
keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin).
Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda sebagai berikut:
• Syok karena kesakitan
• Perdarahan banyak bergumpal
• Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta
yang masih melekat
• Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila
kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan
membuat utenrs mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri dilakukan palpasi abdomen
dan pemeriksaan dalam. Palpasi abdomen pada inversio inkomplit
didapatkan cekungan berbentuk seperti kawah pada fundus uteri, sedang
pada inversio komplit fundus uteri tidak dapat diraba. Pemeriksaan dalam
pada inversio uteri inkomplit teraba fundus uteri di kanalis servikalis dan
pada inversio komplit fundus uteri teraba di vagina atau bahkan sudah keluar
dari vagina.
Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut:
• Kaji ulang indikasi.
• Kaji ulang prinsip dasar perawatan dan pasang infus.
• Berikan petidin dan diazepam IV dalam semprit berbeda secara
perlahan- lahan, atau anestesi umum jika diperlukan.
• Basuh uterus dengan larutan antiseptik dan tutup dengan kain
basah (dengan NaCl hangat) menjelang operasi.
• Reposisi manual:
Pasang sarung tangan DTT
Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan
kembali melalui serviks, dimulai dari bagian fundus. Gunakan
tangan lain untuk membantu menahan uterus dari dinding
abdomen. Jika plasenta masih belum terlepas, lakukan plasenta
manual setelah tindakan reposisi.
 Jika reposisi manual tidak berhasil, lakukan reposisi hidrostatik.
• Reposisi hidrostatik
 Pasien dalam posisi Trendelenburg – dengan kepala lebih rendah
sekitar 50 cm dari perineum.
 Siapkan sistem douche yang sudah didisinfeksi, berupa selang 2 m
berujung penyemprot berlubang lebar. Selang disambung dengan
tabung berisi air hangat 3-5 L (atau NaCl atau infus lain) dan
dipasang setinggi 2 m.
 Identifikasi forniks posterior.
 Pasang ujung selang douche pada forniks posterior sambil menutup
labia sekitar ujung selang dengan tangan.
 Guyur air dengan leluasa agar menekan uterus ke posisi semula.
 Reposisi manual dengan anestesia umum
Jika reposisi hidrostatik gagal, upayakan reposisi dalam anestesia
umum. Halotan merupakan pilihan untuk relaksasi uterus.
 Reposisi kombinasi abdominal-vaginal
 Kaji ulang indikasi.
 Kaji ulang prinsip dasar perawatan operatif.
 Lakukan insisi dinding abdomen sampai peritoneum dan singkirkan
usus dengan kassa. Tampak uterus berupa lekukan.
 Dengan jari tangan, lakukan dilatasi cincin kontraksi serviks.
 Pasang tenakulum melalui cincin serviks pada fundus.
 Lakukan tarikan/traksi ringan pada fundus sementara asisten
melakukan reposisi manual melalui vagina.
 Jika tindakan traksi gagal, lakukan insisi cincin konstriksi serviks di
bagian belakang untuk menghindari risiko cedera kandung kemih,
ulang tindakan dilatasi, pemasangan tenakulum dan traksi fundus.
 Jika reposisi berhasil, tutup dinding abdomen setelah melakukan
penjahitan hemostasis dan dipastikan tidak ada perdarahan.
 Jika ada infeksi, pasang drain karet.
 Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitosin 20 unit dalam 200
ml cairan NaCl/Ringer Laktat IV dengan kecepatan 10 tetes/menit.
 Jika dicurigai perdarahan, berikan infus sampai dengan 60 tetes/menit.
 Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau
prostaglandin.
 Berikan antibiotika dosis tunggal Ampisilin 2 g IV dan metronidazol 500
mg IV ATAU sefazolin 1 g IV dan metronidazol 500 mg iv
 Lakukan perawatan pasca bedah bila dilakukan reposisi kombinasi
abdominal-vaginal.
 Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi sampai pasien bebas demam
selama 48 jam.
 Berikan analgetik bila perlu.

Cara Manual Reposisi Inversio Uteri

3. Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah


Kausal perdarahan pascapersalinan karena gangguan pembekuan darah
baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada
riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada
tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan
akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan
dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal
hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan
memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya
FDP (Fibrin Degradation Time) serta pemanjangan tes prothrombin dan PTT
(Partial Tromboplastin Time). Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah
solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eclampsia, emboli cairan
ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan
produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen, dan heparinisasi
atau pemberian EACA (Epsilon Amino Caproic Acid).

4. Preeklampsia-Eklampsia
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penyuiit kehamilan
dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas
ibu bersalin. Di Indonesia mortaiitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan
juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga
oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan
sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami
oieh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan rentang pengelolaan
hipertensi dalam kehamiian harus benar- benar dipahami oleh semua tenaga
medik baik di pusat maupun di daerah.
A. Terminologi
Terminologi yang dipakai adalah
1. Hipertensi dalam kehamilan, atau
2. Preeklampsia-eklampsia

B. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah:
1. Hipertensi kronik
2. Preeklampsia-eklampsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensi gestasional. Penjelasan pembagian klasifikasi

1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur


kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
seteiah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12
minggu pascapersalinan.
2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan
3. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-
keiang dan/atau koma
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah
hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik
disertai proteinuria
5. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension)
adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria
dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersaiinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia retapi tanpa proteinuria
Penjelasan Tambahan
1. Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90
mmHg. Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali
selang 4 jam. Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan
tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg sebagai parameter hipertensi sudah
tidak dipakai iagi.
2. Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24
jam atau sama dengan ≥1+ dipstick
3. Edema, dahulu edema mngkai, dipakai sebagai tanda-tanda
preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali
edema generalisata (anasarka). Perlu dipenimbangkan faktor risiko
timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapatkan edema
generalisata, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu. Primigravida
yang mempunyai kenaikan berat badan rendah, yaitu <

0,34 kg/minggu, menurunkan risiko hipertensi, tetapi menaikkan risiko


berat badan bayi rendah.

C. Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai
berikut:
1. Primigravida, primipaternitas.
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum
hamil
6. Obesitas

D. Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini beium
diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang
terjadinya hipertensi dalam kehamilan, terapi tidak ada satu pun teori
tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak
dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran
darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua
pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuarta
dan arteri arkuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis
memberi cabang arteria spiralis.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi
rrofoblas ke dalam Iapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebur sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri
spiralis ini memberi dampak penunrnan tekanan darah, penurunan
resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan "remodeling arteri spiralis".
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arreri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi
kegagalan "remodeling arteri spiralis", sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang
dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500
mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil
normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali
aliran darah ke utero plasenta.

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


 Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kegagalan "remodeling arteri spiralis", dengan
akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia
dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas).
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron
atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah
radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia
adalah suatu proses norrnal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin
dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka
dulu hipertensi dalam kehamilan disebut "toxaemia".
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida
lemak selain akan merusak membrane sel, juga akan merusak nukleus,
dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh
yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidan.
 Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam
kehamilan Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukd bahwa kadar
oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan,
misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga
terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini
akan beredar di seluruh rubuh dalam aliran darah dan akan merusak
membran sel endotel.
Membran sei endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh
peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran
darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak
tidak jenuh sangar renran terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan
berubah menjadi peroksida lemak.
• Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka
terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai daii membran
sel endotel. Kerusakan membrane sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh strukrur sel
endotel. Keadaan ini disebut "disfungsi endotel".
Pada wakru terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi
sel endotel, maka akan terjadi:
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi
sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menumnnya
produksi prostasiklin (PGE2): suatu vasodilatator kuat.
b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-
tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit
memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat.
c. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi
vasodilatator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari
kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi
kenaikan tekanan darah.
d. Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular
endotheliosis).
e. Peningkatan permeabilitas kapilar.
f. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar nitrat oksida (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin
(vasokonstriktor) meningkat.
g. Peningkatan faktor koagulasi.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi
dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut.
• Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi
dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.
• Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko
lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan
dengan suami yang sebelumnya.
• Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat
kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak
adanya “hasil konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya
human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting
dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi
trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping
untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di
desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua.
Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan
gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G
juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya
reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi adaptasi imun pada preeklampsia.
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yarrg mempunyai
kecenderungan teriadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi
Helper Sel yang lebih rendah dibanding pada normotensif.

4. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik


Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-
bahan vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang
lebih tinggi untuk menirnbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan
normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel
endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter
terhadap bahan vasopressor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa
inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin).
Prostaglandin ini dikemudian hari ternyata adalah prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh
darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti
telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan- bahan
vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester
I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi
hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua
puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.

5. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya
akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia.

6. Teori defisiensi gizi (teori diet)


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan
defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian
tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum
pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup
dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam
kehamilan.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk
memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam
lemak tak jenuh dalam mencegah preeklampsia. Hasil sementara
menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat
dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium
pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia. Penelitian di Negara Equador Andes dengan
metode uji klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian
kalsium dan plasebo.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi
suplemen kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14
% sedang yang diberi glukosa 17 %.

7. Teori stimulus inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas,
sebagai sisa sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi
stres oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang
timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih
dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada
preeklampsia, di mana pada preeklampsia terjadi peningkatan stres
oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga
meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta
besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat.
Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu
menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan
normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel
makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala- gejala preeklampsia pada
ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia akibat
produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,
mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat tinggi" pada sirkulasi ibu.
Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi dari
proses inflamasi intravaskular pada kehamilan" yang biasanya
berlangsung normal dan menyeluruh.

E. Perubahan Sistem dan Organi pada Preeklampsia


Volume plasma
Pada hamil nomal volume plasma meningkat dengan bermakna
(disebut hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin.
Peningkaan tertinggi volume plasma pada hamil normal terjadi pada
umur kehamilan 32 - 34 minggu. Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas
pada preeklampsia terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40%
dibanding hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi
dengan vasokonstriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang
menurun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting.
Preeklampsia sangat peka terhadap pemberian cairan intravena yang
terlalu cepat dan banyak. Demikian sebaliknya preeklampsia sangat peka
terhadap kehilangan darah waktu persalinan. Oleh karena itu, observasi
cairan masuk ataupun keluar harus ketat.

Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan
diagnosis hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik
menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik,
menggambarkan besaran curah jantung. Pada preeklampsia peningkatan
reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi
dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada
preeklampsia bersifat labil dan mengikuti irama sirkadian normal.
Tekanan darah menjadi normal beberapa hari pascapersalinan, kecuali
beberapa kasus preeklampsia berat kembalinya tekanan darah normal
dapat terjadi 2-4 minggu pascapersalinan. Tekanan darah bergantung
terutama pada curah jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan
viskositas darah. Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme
menyeluruh dengan ukuran tekanan darah ≥ 140/90 mmHg selang 6 jam.
Tekanan diastolik ditentukan pada hilangnya suara Korotkoff’s phase V.
Dipilihnya tekanan diastolik 90 mmHg sebagai batas hipertensi, karena
batas tekanan diastolik 90 mmHg yang disenai proteinuria, mempunyai
korelasi dengan kematian perinatal tinggi. Mengingat proteinuria
berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah diastolik, maka kenaikan
(perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria diagnosis
hipertensi, hanya sebagai tanda waspada. Mean Arterial Blood Pressure
(MAP) tidak berkorelasi dengan besaran proteinuria. MAP jarang dipakai
oleh sebagian besar klinisi karena kurang praktis dan sering terjadi
kesalahan pengukuran. Pengukuran tekanan darah harus dilakukan secara
standar.

Fungsi Ginjal
• Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut.
a. Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga
terjadi oliguria, bahkan anuria.
b. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran dan
mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir
kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria,
karena janin lebih dulu lahir.
c. Terjadi Glomerular Capilary Endotheliosis akibat sel endotel
glomerular membengkak disertai deposit fibril.
d. Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila
sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi
"nekrosis korteks ginjal" yang bersifat ireversibel.
e. Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat
vasospasme pembuluh darah. Dapat diatasi dengan pemberian dopamin
agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal.
• Proteinuria
a. Bila proteinuria timbul:
Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal. Tanpa
hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan
Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, umumnya
ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan
proteinuria pada tekanan diastolik < 90 mmHg.
b. Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia,
tetapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga
sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin sudah lahir
lebih dulu.
c. Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik:
100 mg/l atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6
jam dan (b) pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis
bila besaran proteinuria ≥ 300 mg/24 jam.
• Asam urat serum (wric acid serwm): umumnya meningkat ≥ 5
mg/cc. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang menimbulkar
menumnnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi
glomerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam
urat dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan.
• Kreatinin
Sama halnya dengan kadar asam urat semm, kadar kreatinin plasma pada
preeklampsia juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia,
maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi
glomerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan
kreatinin plasma. Dapat mencapai kadar kreatinin plasma ≥ 1 mg/cc, dan
biasanya terjadi pada preeklampsia berat dengan penyulit pada ginjal.
• Oliguria dan anuria
Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke
ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria),
bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria

menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hal ini berarti


menggambarkan pula berat ringannya preeklampsia. Pemberian cairan
intravena hanya karena oliguria tidak dibenarkan.

Elektrolit
Kadar elektrolit rotal menumn pada wakru hamil normal. Pada
preeklampsia kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali
bila diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian
cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik.
Preeklampsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang eklampsia
kadar bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan
akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida.
Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar
hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh.
Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada preeklampsia,
maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada
preeklampsia tidak diperlukan restriksi konsumsi garam.

Tekanan osmotic koloid plasma/tekanan onkotik


Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menumn pada umur
kehamilan 8 minggu. Pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun
karena kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.
Koagulasi dan fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya
trombositopenia, jarang yang berat, tetapi sering dijumpai. Pada
preeklampsia terjadi peningkatan Fibrin Degradation Products,
penurunan anti trombin III, dan peningkatan fibronektin.

Viskosotas Darah
Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro:
fibrinogen dan hematokrit. Pada preeklampsia viskositas darah
meningkat, mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan
menurunnya aliran darah ke organ.

Hematokrit
Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipervolemia,
kemudian meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi
urin. Pada preeklampsia hematocrit meningkat karena hipovolemia yang
menggambarkan beratnya preeklampsia.

Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normai. Edema yang terjadi
pada kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema
dijumpai pada hamil normal, 60% edema dijumpai pada kehamilan
dengan hipertensi, dan 80 % edema dijumpai pada kehamilan dengan
hipertensi dan proteinuria.
Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel
endotel kapilar. Edema yang patologik adalah edema yang nondependen
pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan biasanya disertai
dengan kenaikan berat badan yang cepat.

Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat
vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme
arteriol dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriol. Perubahan
terscbut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat hipovolemia,
peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis

mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit < 100.000


sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit.

Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan
perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sei periportal lobus perifer, akan
terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini
dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular
hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah
epigastrium dan dapat menimbuikan ruptur hepar, sehingga perlu
pembedahan.

Neurologi
Perubahan neurologik dapat berupa:
• Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga
menimbulkan vasogenik edema.
• Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi
gangguan visus. Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur,
skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanpa jelas adanya kelainan
dan ablasio retina.
• Hiperrefleksi sering dijumpai pada oreeklampsia berat, tetapi
bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia.
• Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik
belum diketahui dengan jelas. Faktor-faktor yang menimbulkan
kejang eklamptik ialah edema serebri, vasospasme serebri dan
iskemia serebri.
• Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada
preeklampsia berat dan eklampsia.

Kardiovaskuler
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkamn cardiac
afterload akibat hipertensi dan penumnan cardiac preload akibat
hipovolemia.

Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya
edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri,
kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan
menurunnya diuresis. Dalam menangani edema paru, pemasangan
Central Venous Pressure (CVP) tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya dari pulmonary capillary uedge pressure.

Janin
Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada
kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta,
hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah
plasenta.
Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah:
• Intrauterine growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion
• Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung
akibat intrauterine growth restriction, prematuritas, oligohidramnion, dan
solusio plasenta.

F. Pembagian Preeklampsia
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat
terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsia
dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti
adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan
penderita dengan preeklampsia ringan dapat mendadak mengalami
kejang dan jatuh dalam koma.
Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat
individual. Kadang-kadang sukar untuk menentukan gejala preeklampsia
mana yang timbul lebih dahulu. Secara teoritik urutan-uruan gejala yang
timbul pada preeklampsia ialah edema, hipertensi, dan terakhir
proteinuria; sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan di
atas, dapat dianggap bukan preeklampsia.
Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuria
merupakan gejala yang paling penting. Namun, sayangnya penderita
seringkali tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh
adanya gangguan nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri
epigastrium, maka penyakit ini sudah cukup lanjut (Karkata, 2010).

1. Preeklampsia ringan
• Definisi
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan
dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme
pembuluh darah dan aktivasi endotel
• Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20
minggu.
 Hipertensi: sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥
30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak dipakai lagi
sebagai kriteria preeklampsia.
 Proteinuria: ≥300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstik.
 Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria
preeklampsia, kecuaii edema pada lengan, muka dan perut, edema
generalisata
• Penanganan
Kehamilan kurang dari 37 minggu:
a. Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu
secara rawat jalan:
1. Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan
kondisi janin.
2. Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya
preeklampsia dan eklampsia.
3. Lebih banyak istirahat.
4. Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
5. Tidak perlu diberi obat-obatan

b. Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit:


1. Diet biasa
2. Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan urin (untuk proteinuria)
sekali sehari.
3. Tidak perlu diberi obat-obatan
4. Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru,
dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut
5. Jika tekanan diastolik turun sampai normal, pasien dapat
dipulangkan:
 Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda
preeklampsia berat.
 Kontrol 2 kalli seminggu untuk memantau tekanan darah, urin,
keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
 Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali

c. Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tettap dirawat. Lanjutkan


penanganan dan observasi kesehatan janin
d. Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak, rawat sampai aterm.
e. Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat.
Kehamilan lebih dari 37 minggu:
a. Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan
dengan oksitosin atau prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan
dengan prostaglandin atau kateter foley atau lakukan seksio
sesarea.

2. Preeklampsia berat dan Eklampsia


• Definisi
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah
sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai
proteinuria lebih 5 g/24 jam
• Diagnosis
Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan
satu atau lebih gejala sebagai berikut:
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu
hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah
baring.
b. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan
kualitatif.
c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d. Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e. Gangguan visus dan serebral: penunrnan kesadaran, nyeri
kepala, skotoma dan pandangan kabur.
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
(akibat teregangnya kapsula Glisson).
g. Edema pam-paru dan sianosis.
h. Hemolisis mikroangiopatik.
i. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 arau penunlnan
trombosit dengan cepat.
j. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan
kadar alanin dan aspartate aminotransferase
k. Pertumbuhan ianin intrauterin yang terhambat.
l. Sindrom HELLP (Hemolisis, peningkatan enzim hati, dan
jumlah trombosit rendah).

• Penanganan
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali
bahwa persalinan harus berlangsung dalam 12 jam setelah timbulnya
kejang pada eklampsia. Semua kasus preeklampsia berat harus ditangani
secara aktif. Penanganan konservatif tidak dianjurkan karena gejala dan
tanda eklampsia seperti hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering
tidak sahih.

Penanganan kejang:
a. Beri obat antikonvulsan
b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas, sedotan,
masker dan balon, oksigen)
c. Beri oksigen 4-6 liter per menit
d. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat
terlalu keras.
e. Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi risiko aspirasi
f. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu.

Penanganan umum:
a. Jika tekanan diastolik tetap lebih dari 110mmHg, berikan obat
antihipertensi, sampai tekanan diastolik di antara 90-100 mmHg
b. Pasang infus dengan jarum besar (16 gauge atau lebih besar)
c. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi kelebihan
cairan
d. Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan
proteinuria
e. Jika jumlah urin kurang dari 30ml per jam:
1) Hentikan magnesium sulfat (MgSO4) dan berikan cairan
intravena. (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) pada kecepatan 1
liter per 8 jam
2) Pantau kemungkinan edema paru
f. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi
munta dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
g. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin
setiap jam.
h. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru
i. Hentikan pemberian cairan intravena dan berikan diuretik
misalnya furosemide 40mg intravena sekali saja jika ada edema
paru
j. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana (bedsite
clotting test). Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit,
kemungkinan terdapat koagulopati.

Antikonvulsi
Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk
mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan eklampsia.
Cara pemberian ialah:
a. Dosis awal:
1) MgSO4 4g intravena sebagai larutan 40% selama 5 menit
2) Segera dilanjutkan dengan pemberian 10g larutan MgSO4 50%,
masing-masing 5g di bokong kanan dan kiri secara intramuskular
dalam, ditambah 1 ml lignokain 2% pada semprit yang sama.
Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4
3) Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2g
(larutan 40%) intravena selama 5 menit

b. Dosis pemeliharaan:
1) MgSO4 1-2g per jam per infus, 15 tetes/menit atau 5g MgSO4
intramuskular tiap 4 jam.
2) Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pasca persalinan
atau kejang berakhir.

c. Sebelum pemberian MgSO4, periksa:


1) Frekuensi pernapasan minimal 16x/menit
2) Refleks patella (+)
3) Urin minimal 30ml/jam dalam 4 jam terakhir
d. Berhentikan MgSO4. Jika:
1) Frekuensi pernapasan <16x/menit
2) Refleks patella (-)
3) Urin <30ml/jam dalam 4 jam terakhir
e. Siapkan antidotum:
1) Jika terjadi henti napas: lakukan ventilasi (masker dan balon,
ventilator) beri kalsium glukonat 1g (20ml dalam larutan 10%) intravena
perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi.
Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan
risiko terjadinya depresi pernapasan neonatal. Dosis tunggal diazepam
jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal. Pemberian terus-
menerus secara intravena meningkatkan risiko depresi pernapasan pada
bayi yang sudah mengalami iskemia uteroplasental dan persalinan
prematur. Pengaruh diazepam dapat berlangsung beberapa hari. Cara
pemberian diazepam ialah:
a. Dosis awal:
1) Diazepam 10mg intravena pelan-pelan selama 2 menit
2) Jika kejang berulang, ulangi dosis awal

b. Dosis pemeliharaan:
1) Diazepam 40mg dalam 500ml larutan RL per infus
2) Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis
>30mg/jam
3) Jangan berikan >100mg/24 jam
c. Pemberiaan melalui rektum:
1) Jika pemberian intravena tidak memungkinkan, diazepam dapat
diberikan per rektal, dengan dosis awal 20mg dalam semprit 10ml
tanpa jarum
2) Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan
10mg/jam atau lebih, bergantung pada berat badan pasien dan
respons klinik.

Antihipertensi
Jika tekanan diastolik 110mmHg atau lebih, berikan obat
antihipertensi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan tekanan
diastolik di antara 90-100mmHg dan mencegah perdarahan serebral.
Obat pilihan adalah hidralazin.
a. Berikan hidralazin 5mg intravena pelan-pelan setiap 5 menit
sampai tekanan darah turun. Ulangi setiap jam jika perlu atau
berikan hidralazin 12,5mg intramuskular setiap 2 jam

b. Jika hidralazin tidak tersedia, berikan:


1) Labetolol 10mg intravena:
a) Jika respon tidak baik (tekanan diastolik tetap
>110mmHg), berikan labetolol 20mg intravena
b) Naikkan dosis sampai 40mg dan 80mg jika respons tidak baik
sesudah 10 menit
2) Atau berikan nifedipin 5mg sublingual. Jika tidak baik setelah 10
menit, beri tambahan 5mg sublingual
3) Metildopa 3x250-500mg/hari

Persalinan
Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil
Penundaan persalinan meningkatkan risiko untuk ibu dan janin.
a. Periksa serviks
b. Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuba, lalu induksi
persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin
c. Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam
(pada eklampsia) atau dalam 24 jam (pada preeklampsia), lakukan
seksio sesarea
d. Jika denyut jantung janin <100/menit atau >180/menit lakukan
seksio sesarea
e. Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio sesarea
f. Jika anestesi untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau janin mati
atau terlalu kecil:
1) Usahakan lahir pervaginam
2) Matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin, atau
kateter foley

Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa:


a. Tidak terdapat koagulopati
b. Anestesi yang aman/terpilih adalah anestesi umum, sedang
anestesi spinal berhubungan dengan risiko hipotensi. Risiko ini
dapat dikurangi dengan memberikan 500-1000ml cairan intravena
sebelum anestesi
c. Jika anestesi umum tidak tersedia, janin mati, atau kemungkinan
hidup kecil, lakukan persalinan pervaginam.

Perawatan pasca persalinan


a. Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau
kejang terakhir
b. Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolik
masih 110mmHg atau lebih
c. Pantau urin

Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika:
a. Terdapat oliguria (urin kurang dari 400ml per 24 jam) selama 48
jam setelah persalinan
b. Terdapat koagulopati, atau sindrom HELLP
c. Koma berlanjut lebih dari 24 jam sesudah kejang.

Anda mungkin juga menyukai