Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis
A.1. Definisi 1,6-9
TB (Tuberkulosis) merupakan penyakit menular yang
disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman ini menyerang paru (TB paru), dan dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang, dan lain-lain. TB dapat disembuhkan dengan berobat secara
tepat dan teratur minimal 6 bulan. Kuman TB menular dari seorang
pasien TB menular (BTA positif) yang batuk dan bakteri tersebut
menyebar melalui udara yang terhirup orang sehat.
A.2. Etiologi 10,11
Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya
penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host),
penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan
sebagai segitiga. Perubahan dari sektor lingkungan akan
mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu
maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut.
Pada prinsipnya secara umum kejadian penyakit yang
digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan
hubungan tiga komponen penyebab penyakit, yaitu penjamu, agen
dan lingkunan seperti gambar berikut:

http://digilib.unimus.ac.id
Agent

Host Environment

Gambar 2.1. Segitiga epidemiologi penyebab penyakit

Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan


perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen.
Perubahan pada satu komponen akan mengubah ketiga komponen
lainnya, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian
penyakit TB paru. Komponen untuk terjadinya penyakit TB paru
yaitu:
a. Agent
Agent penyebab penyakit Tuberkulosis adalah kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru (TB paru), tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya.

b. Host (Pejamu)
Pejamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh
pengaruh agent. Dalam penelitian ini yang diteliti dari faktor
penjamu adalah faktor Manusia.

c. Environment (Lingkungan)
Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang
bukan bagian dari agent maupun pejamu, tetapi mampu
menginteraksikan agent dan pejamu.
A.3. Patogenesis 1
A.3.1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas
akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu
sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam
paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer
ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
sarang ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum (menyebar ke sekitamya)
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu
suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh,
jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan
dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,
typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan:
a. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah
mendapat meningoensefalitis, tuberkuloma) atau
b. Meninggal
A.3.2. Tuberkulosis Post-primer (Sekunder)
Tuberkulosis post-primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada
usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post-primer mempunyai nama
yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk
suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1. Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan
cacat.
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses
penyembuhan dengan membentuk jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi
aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti, bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju
(jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni
baru. Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola
perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus
diri dan akhimya mengecil. Kemungkinan berakhir
sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 2.2. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post-primer dan
perjalanan penyembuhannya

A.4. Klasifikasi 1,7,8


A.4.1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak BTA (bakteri tahan asam),
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
menunjukkan hasil BTA positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA
negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi
menunjukkan tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA
negatif

A.4.2. Berdasarkan tipe pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau
biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi
aktif/perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan:
 Lesi non-tuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis,
jamur, keganasan, dll)
 TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter
spesialis yang berkompeten menangani kasus
tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out (putus berobat)
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1
bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu
bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang dengan
pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
A.5. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan fisik atau jasmani, pemeriksaan bakteriologi,
radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya, yaitu:1
a. Gejala klinik 1
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena
adalah paru maka gejala lokal iaiah gejala respiratori (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat):
1. Gejala respiratorik
 Batuk > 2 minggu
 Batuk produktif (berdahak dan atau disertai darah)
 Sesak napas
 Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai
tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung
dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama tetjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala Sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam,
anoreksia dan berat badan menurun
3. Gejala Tuberkulosis Ekstra-paru
Gejala tuberkulosis ekstra-paru tergantung dari organ
yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
b. Pemeriksaan Jasmani 1
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung
luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan
jasmani dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,
amforik, suara nafas melemah, ronki basah.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar
getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
c. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologi fungsinya untuk menemukan
kuman tuberkulosis.1 Pemeriksaan ini mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis.1 Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor-cerebro-spinal (LCS), bilasan bronkus, kurasan
bronkoalveolar, urin, dan jaringan biopsi.1 Di indonesia sendiri
untuk menegakkan tuberkulosis paru sering menggunakan
spesimen dahak, yaitu mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS): 7,8
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB
datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak
pagi pada hari kedua.
 P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari
kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (unit pelayanan
kesehatan).
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan


ditemukannya kuman TB (BTA) setelah pemeriksaan dahak
mikroskopis tersangka TB paru.7,8 Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis, sepanjang sesuai dengan indikasinya.7,8
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.7,8 Selain itu, gambaran kelainan
radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek
TB paru berikut: 7,8

Gambar 2.3. Alur diagnosis TB Paru.7,8


d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks AP (anteroposterior).1
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik,
oblik, CT-Scan.1 Pada pemeriksaan foto toraks, tuberikulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).1 Ada 2 gambaran radiologi yang dicurigai sebagai
lesi TB paru, yaitu: 1
1. Aktif, apabila:
 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan
posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus
bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak miller
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
2. Inaktif, apabila:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama


ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan
tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi
sebagai berikut: 7,8
 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan
untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. (lihat
bagan alur).
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non-OAT (lihat bagan alur).
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak
nafas berat yang memerlukan penanganan khusus
(seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi
perikarditis atau efusi pleura) dan pasien yang mengalami
hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
A.6. Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Oleh karena itu pemerintah menerapkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse). Strategi DOTS sendiri diartikan
sebagai berikut: 1,12
1. D (Directly), yaitu dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop
untuk menentukan apakah ada kuman TB atau tidak. Agar
kasus penderita TB dapat disembuhkan, maka prioritas utama
dari setiap program TB harus langsung pada sumber penyakit.
Jadi, penderita dengan pemeriksaan sputum BTA positif
langsung diobati sampai sembuh.
2. O (Observed), yaitu ada observer atau PMO yang mengamati
pasien dalam minum obat. Yang diamati yaitu saat minum obat
dan dosis obat. Observer dapat berupa seorang tenaga kesehatan
atau kader terlatih.
3. T (Treatment), yaitu Pasien disediakan pengobatan lengkap
serta dimonitor. Pasien harus diyakinkan bahwa mereka akan
sembuh setelah pengobatan selesai. Alat monitor berupa buku
laporan yang merupakan bagian dari sistem dokumen kemajuan
dalam penyembuhan.
4. S (Shortcourse), yaitu Pengobatan TB dengan kombinasi dan
dosis yang benar. Obat- obat anti TB dikenal dengan shortcourse
chemotheraphy. Pengobatan harus dilakukan dalam jangka
waktu yang benar selama 6 bulan.

Tujuan dari pelaksanaan DOTS adalah menjamin kesembuhan


bagi penderita, mencegah penularan, mencegah resistensi obat,
mencegah putus berobat dan segera mengatasi efek samping obat
jika timbul, yang pada akhirnya dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian akibat tuberkulosis di dunia. 1,12
Selama lebih dari satu dekade Strategi DOTS merupakan
elemen yang sangat penting untuk pengendalian TB. Strategi ini
terdiri dari 5 komponen, yaitu: 1,12
1. Peningkatan Komitmen Politis dengan adanya Rencana
Jangka Panjang Penanggulangan TB yang didukung oleh
penganggaran yang tetap dan memadai sesuai dengan target
World Health Assembly 2005 dan Millenium Development
Goals (MDGs) 2015, yaitu Komitmen politik pemerintah
dalam mendukung pengawasan tuberkulosis adalah penting
terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik.
Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan keputusan
pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai perioritas
penting/utama dalam program kesehatan. Untuk mendapatkan
dampak yang memadai maka harus dibuat program nasional
yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk
(guideline) yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat
diimplementasikan dalam program/sistem kesehatan umum
yang ada. Begitu dasar-dasar ini telah diletakkan maka
diperlukan dukungan pendanaan serta tenaga pelaksana yang
terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi kegiatan
nyata di masyarakat.
2. Penegakkan diagnosis dengan mikroskopis dahak dan serta
penguatan jejaring laboratorium mikroskopis TB, yaitu
pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling
efektif untuk penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis
paru. WHO merekomendasikan strategi pengawasan
tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi
baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan
menetapkan pengobatannya. Secara umum pemeriksaan
mikroskop merupakan cara yang paling cost effective dalam
menemukan kasus tuberkulosis. Dalam hal ini, pada keadaan
tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan
kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di
masyarakat.
3. Pengobatan TB standart dengan PMO (Pengawas
Menelan Obat) dalam upaya mengurangi risiko
terjadinya MDR dan peningkatan kesembuhan penderita,
yaitu pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal
dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse), pasien diawasi secara langsung ketika menelan
obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standart.
Dalam aturan pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang
berlangsung selama 6-8 bulan dengan menggunakan kombinasi
obat anti TB yang adekuat. Pemberian obat harus berdasarkan
apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau kasus
lanjutan/kambuh, dan seyogyanya diberikan secara gratis
kepada seluruh pasien tuberkulosis. Pengawasan pengobatan
secara langsung adalah penting setidaknya selama tahap
pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa
obat dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu
yang tepat. Dengan pengawasan pengobatan secara langsung,
pasien tidak memikul sendiri tanggung jawab akan kepatuhan
penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan, petugas
kesehatan masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua
harus berbagi tanggung jawab dan memberi banyak dukungan
kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan
pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang
berkeinginan, terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh
pasien dan bertanggung jawab terhadap pelayanan
pengawasan pengobatan tuberkulosis.
4. Jaminan ketersediaan dan sistim pengelolaan OAT yang
efektif, yaitu jaminan tersedianya obat secara teratur,
menyeluruh dan tepat waktu, sangat diperlukan guna keteraturan
pengobatan. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan
dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk
ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat
yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori
pengobatan, kasus yang ditangani pada waktu lalu (untuk
memperkirakan kebutuhan), data akurat stok masing-masing
gudang yang ada, dan lain-lain.
5. Sistim Pencatatan dan Pelaporan baku untuk TB, yaitu
sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika
evaluasi kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini
terdiri dari daftar laboratorium yang berisi catatan dari semua
pasien yang diperiksa sputumnya, kartu pengobatan pasien yang
merinci penggunaan obat dan pemeriksaan sputum lanjutan.
Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu
identitas penderita yang telah tercatat di catatan tuberkulosis
yang ada di kabupaten. Kemanapun pasien ini pergi, dia harus
menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan
pemgobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali. Di luar lima
komponen penting ini, tentu juga ada beberapa kegiatan lain
yang penting, seperti pelatihan, supervisi, jaringan laboratorium,
proses jaga mutu (quality control).

Perlu diketahui bahwa rekomendasi Program Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia sesuai strategi DOTS
adalah menggunakan kombinasi dari obat-obat: isoniazid (H),
rifampisin (R), pyrazinamid (Z), streptomycin (S), dan ethambutol
(E) dengan prinsip-prinsip: 1,6-9
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan:
 Tahap awal (intensif):
 Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap Lanjutan:
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
minimal 4 bulan
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Berdasarakan sasaran pengobatan sesuai Program Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia, maka ditetapkan 2
kategori OAT kombinasi pengobatan TB, yaitu: 1,6-9
a. Kategori 1 (6 bulan): 2(RHZE)/4(HR)3, artinya untuk 2
bulan pertama pasien harus minum isoniazid (H), rifampisin
(R), pyrazinamid (Z), ethambutol (E) yang tiap hari dan 4
bulan selanjutnya pasien minum isoniazid (H), rifampisin (R)
setiap harinya atau 3 kali seminggu.
Paduan OAT kategori 1 ini diberikan untuk:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru.

b. Kategori 2 (8 bulan): 2(RHZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif
yang telah diobati sebelumnya:
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default).

Khusus untuk TB pada anak adalah: 2RHZ/4HR.


Untuk sediannya, paduan OAT kategori-1 dan kategori-2
disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini
disediakan dalam bentuk OAT kombipak.6-8 Paket Kombipak
adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.6-
8
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT-KDT.6-8
Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.6-8
Tujuan dibuatnya paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
disediakan dalam bentuk paket untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai.6-8

B. Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


B.1. Definisi Kepatuhan 6
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin
dan taat. Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.
Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia, patuh adalah suka
menurut (perintah, dan sebagainya), taat (pada perintah, aturan dan
sebagainya). Kepatuhan atau ketaatan (compliance atau adherance)
adalah sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan
perilaku yang sesuai dengan yang disarankan oleh dokter atau
petugas kesehatan lainnya.
B.2. Konsep perilaku patuh berobat
Konsep perilaku dinyatakan sebagai bentuk respon atau
reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme
(orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada
faktor-faktor berikut:13
1. Faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu umur,
pengetahuan, pendidikan, penghasilan, dan agama
2. Faktor pendukung (enabling factor), yaitu ketersediaan
obat, dukungan keluarga
3. Faktor pendorong (reinforcing factor), yaitu adanya
pengawasan.
Selain tiga faktor di atas, terdapat pula faktor komorbid (faktor
pengikut) yang dapat memperburuk penyakit TB paru sehingga
pengobatan bisa bertambah lama dan mempengaruhi kepatuhan
minum OAT. Faktor-faktor komorbid tersebut antara lain: diabetes
melitus, HIV, hamil, menyusui, dan gagal ginjal.1
Dari macam-macam faktor tersebut, maka meskipun
stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap
orang berbeda. Sehingga ketiga faktor tersebut mempunyai andil
yang besar dalam menjadikan berperilaku patuh.

B.3. Penjaminan kepatuhan minum obat pasien tuberkulosis paru 6


Cara menjamin kepatuhan agar pasien tidak putus berobat
dilakukan dengan cara:
1. Konseling pada awal pengobatan yang berisi:
a. Tentang penyakit yang diderita
b. Jenis dan jumlah OAT serta lamanya pengobatan
c. Kemungkinan efek samping obat
d. Akibat ketidakteraturan pengobatan
e. Kesepakatan waktu pengambilan obat dan pemeriksaan dahak.
2. Penetapan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan
memberdayakan petugas K3 atau karyawan atau keluarga pasien
yang ditunjuk untuk mengawasi secara langsung pasien saat
menelan obat.
3. Mendekatkan tempat pelayanan kepada pasien dengan
memanfaatkan unit pelayanan kesehatan (UPK) di tempat kerja
atau unit pelayanan kesehatan terdekat lainnya.
4. Mengidentifikasi kemungkinan munculnya permasalahan yang
menyebabkan pasien putus berobat.
5. Pada akhir fase awal pengobatan, pasien perlu menyepakati
kembali rencana pengobatan fase lanjutan.
6. Membuat kesepakatan jadwal waktu untuk pengambilan OAT ke
UPK antara pasien dan petugas.
7. Apabila pasien terlambat mengambil OAT paling lama 2 hari dari
jadwal, maka petugas kesehatan harus melacak pasien tersebut.

C. Faktor-faktor Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis


C.1. Umur
Menurut kamus besar bahasa indonesia, umur atau usia
didefinisikan sebagai lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan
atau diadakan). Banyaknya umur sangat berhubungan dengan tingkat
kematangan dan pengetahuan seseorang, sedangkan tingkat
pengetahuan seseorang juga ikut andil dalam mengadopsi perilaku
baru.14 Atas dasar tersebut maka secara tidak langsung banyaknya
umur berhubungan dengan perilaku seseorang, yang dalam hal ini
adalah perilaku patuh minum obat anti tuberkulosis yang nantinya
menentukan kesembuhan penyakit tuberkulosis.14
Menurut penelitian Hutabarat (2008), anak-anak mempunyai
tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja,
meskipun anak-anak mendapatkan informasi yang kurang.15 Untuk
penderita lanjut usia kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh
daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila penderita lanjut
usia tinggal sendiri sedangkan orang dewasa cenderung patuh
minum obat karena mengikuti semua anjuran dokter.15
Akhir-akhir ini usia produktif mempunyai pengaruh terhadap
kepatuhan dalam pengobatan.3 Definisi usia produktif sendiri
menurut kamus besar bahasa indonesia adalah usia ketika seseorang
masih mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu.16 Sehingga jika
telah memasuki usia produktif maka diharapkan bisa memenuhi
minimal kebutuhannya sendiri.15 Oleh karena itu mereka harus bisa
bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri untuk tetap
produktif.15 Pernyataan lain juga menyebutkan bahwa bila tubuh
sakit maka dirinya tidak bisa bekerja, oleh karena itu mereka akan
segera berobat berharap segera sembuh dan mampu bekerja lagi. 15
Secara tidak langsung untuk sembuh mereka harus mematuhi
anjuran petugas kesehatan.15 Merujuk dari pernyataan diatas
menerangkan maka usia produktif punya andil besar dalam
memenuhi kepatuhan pengobatan dikarenakan mereka harus
secepatnya bisa beraktifitas kembali.15

C.2. Pendidikan 14
Di banyak negara pendidikan sampai jenjang tertentu
dinyatakan gratis apabila bersekolah pada fasilitas pendidikan yang
disediakan pemerintah. Di Indonesia pendidikan hingga SD (6 tahun)
dinyatakan gratis dan ada gagasan membuat ini gratis hingga tingkat
SLTP (9 tahun). Di banyak negara yang sudah maju pendidikan
hingga tingkat SMU (12 tahun) dinyatakan gratis. Dari kenyataan
tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memang
sangat diperlukan dan berguna bagi anggota masyarakat. Pendidikan
sebenarnya bukan hanya terkait dengan kemampuan untuk
memperoleh tingkat pendapatan yang lebih baik tapi juga
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sehingga terkait dengan
kehidupan sehari-hari.
Sebelum membahas kaitan antara tingkat pendidikan dengan
perilaku yang dalam hal ini adalah kepatuhan minum obat, ada
baiknya dikemukakan terlebih dahulu arti dari pendidikan. Menurut
Robinson (2006) Pendidikan adalah
a. Merupakan sembarang proses yang dipakai individu untuk
memperoleh pengetahuan atau wawasan, atau mengembangkan
sikap-sikap ataupun keterampilan-keterampilan.
b. Proses sosial di mana seseorang dipengaruhi oleh suatu
lingkungan yang terpimpin (misalnya sekolah) sehingga ia
dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan
pribadinya.
Dari uraian kedua definisi tersebut kita mengetahui bahwa
pendidikan dapat bersifat formal dan tidak formal. Bersifat formal
apabila peningkatan kecakapan itu dilakukan dalam lingkungan
khusus (misalnya: sekolah) dan tidak formal apabila kecakapan itu
diperoleh lewat pengalaman kehidupan atau belajar sendiri dari
lingkungan. Namun apabila dihubungkan dengan fenomena lain
(misalnya perilaku kepatuhan minum obat) maka yang digunakan
adalah tingkat pendidikan formal sebab yang diperoleh lewat
pengalaman kehidupan atau lingkungan susah ditentukan besarannya
kecuali dijadikan variabel tersendiri berupa pengalaman.
Tujuan dari pendidikan sebenarnya dari definisi di atas juga
telah tersirat di dalam pendidikan tersebut yaitu meningkatkan
kecakapan seseorang. Namun tujuan pendidikan itu dapat
menciptakan integritas atau kesempurnaan pribadi. Integritas itu
menyangkut jasmaniah, intelektual, emosional, dan etis. Dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab II Pasal 3 menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Hal ini
berarti tujuan pendidikan itu sangat luas karena menyangkut
perbaikan sikap dan perilaku anak didik. Manfaatnya terkait dengan
seluruh kehidupan manusia itu sendiri baik sebagai pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat. Namun salah satu manfaat yang tidak
dapat diabaikan adalah adanya harapan bahwa peningkatan
pendidikan akan menghasilkan perubahan perilaku di kemudian hari.
Pendidikan itu sendiri apabila disertai dengan karakter yang baik
semestinya selain menciptakan berbagai manfaat sosial lainnya juga
mampu menjadi faktor perubahan perilaku.

C.3. Pengetahuan
C.3.1. Definisi 10,11,17
Berasal dari kata "tahu" dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu,
penginderaan terjadi melalui panca indra manusia. Tetapi
sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari atau
melalui mata dan telinga. Sebelum orang mengadopsi
perilaku baru dalam diri seseorang akan terjadi proses yang
berturut-turut yaitu:
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari
dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2. Interest, yaitu orang tertarik pada stimulus.
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap
responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5. Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

C.3.2. Cara Memperoleh Pengetahuan


Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari
pengalaman yang berasal dari sumber, misalnya media
massa, media cetak, media elektronik, petugas kesehatan,
media poster, kerabat dekat, dan sebagainya.10,11 Menurut
Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa banyak cara yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan, namun
sepanjang sejarah cara mendapatkan pengetahuan antara
lain :
1. Trial and error 18
Cara ini dipakai sebelum adanya kebudayaan, bahkan
mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu bila
seseorang menghadapi persoalan atau masalah, upaya
yang dilakukan hanya dengan mencoba-coba saja. Cara
coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan
kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila
kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba kemungkinan
yang lain sampai berhasil. Oleh karena itu, cara ini disebut
dengan metode Trial (mencoba) dan Error
(gagal/salah) atau metode coba salah/coba-coba. Metode
ini telah banyak jasanya, terutama dalam meletakkan
dasar-dasar menemukan teori-teori dalam berbagai ilmu
pengetahuan. Hal ini juga merupakan pencerminan
dari upaya memperoleh pengetahuan, walaupun dalam
taraf yang masih primitif. Disamping itu, pengalaman
yang diperoleh melalui penggunakan metode ini banyak
membantu perkembangan berpikir dalam kebudayaan
manusia ke arah yang lebih sempurna.
2. Kekuasaan atau Otoritas 18
Dalam kehidupan manusia sehari-hari banyak sekali
kebiasaan dan tradisi yang dilakukan oleh orang tanpa
melalui perantara, apakah yang dilakukan itu baik/tidak.
Kebiasaan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat
tradisional saja melainkan juga terjadi pada masyarakat
modern. Kebiasaan-kebiasaan ini seolah-olah diterima
oleh sumbernya berbagai kebenaran yang mutlak. Sumber
pengetahuan dapat berupa pemimpin-pemimpin
masyarakat baik formal maupun non-formal, ahli agama,
pemegang pemerintah dan sebagainya. Dengan kata lain
pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada
otoritas/kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemimpin agama,
maupun ahli pengetahuan.
3. Berdasarkan Pengalaman Pribadi 18
Adapun pepatah mengatakan “Pengalaman adalah
guru terbaik”. Pepatah ini mengandung bahwa
pengalaman ini merupakan suatu cara untuk memperoleh
kebenaran jalan pikiran sejalan dengan perkembangan
kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut
berkembang. Dari sini manusia telah mampu
menggunakan perasaannya dalam memperoleh
pengetahuan. Manusia telah menjalankan jalan pikirannya,
baik melalui induksi atau deduksi. Induksi dan deduksi
pada dasarnya adalah cara melairkan pemikiran secara
tidak langsung pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan,
kemudian dicari hubungan sehingga dapat dibuat suatu
kesimpulan. Apabila proses pembuatan kesimpulan itu
melalui pertanyaan-pertanyaan khusus kepada yang
umum dinamakan induksi, sedangkan deduksi adalah
pembuatan kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan umum
kepada khusus.
4. Cara Ilmiah 18
Dalam memperoleh pengetahuan dewasa ini lebih
sistematik, logis ilmiah. Cara ini disebut metode
penelititan ilmiah atau lebih populer disebut metodologi
penelitian (Research Methodology).
C.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan 17
Menurut Notoatmodjo (2003), faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan, yaitu :
C.3.3.1. Umur
Semakin cukup umur, maka tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih
dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang
belum cukup tinggi dewasanya. Hal ini sebagai
akibat dari kematangan, pengetahuan, dan
pengalaman.
C.3.3.2. Tingkat Pendidikan
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses
belajar yang berarti bahwa dalam pendidikan itu
telah terjadi proses pertumbuhan, perkembangan,
dan perubahan ke arah yang dewasa, lebih baik dan
lebih matang dalam diri individu, kelompok dan
masyarakat. Makin tinggi pendidikan maka makin
mudah menerima informasi sehingga makin
banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya
pendidikan yang kurang akan menghambat
perkembangan sikap seseorang terhadap nilai bagi
yang dikenakan.
C.3.3.3. Pengalaman
Pengetahuan dapat dipengaruhi pengalaman
sendiri atau dari pengalaman orang lain, sebagai
contoh seorang anak memperoleh pengetahuan
bahwa api itu panas adalah setelah memperoleh
pengetahuan dimana tangan atau kakinya terkena
api dan terasa panas.
C.3.4. Komponen pengetahuan 10,11
1. Tahu
Pengetahuan berkenan dengan bahan yang dipelajari
sebelumnya disebut juga istilah recall (mengingat lagi)
namun apa yang yang telah diketahui hanya sekedar
informasi yang diingat saja. Oleh sebab itu ini
merupakan tongkat pengetahuan yang rendah.
2. Pemahaman
Adalah kemampuan mengetahui arti sesuatu bahan
yang telah dipakai dipelajari seperti menafsirkan.
Menjelaskan dan meringkas tentang sesuatu
kemampuan. Ini lebih tinggi dari sekedar tahu.
3. Penerapan
Adalah kemampuan menggunakan suatu bahan yang
telah dipelajari dalam sesuatu yang baru atau konkrit.
4. Analisa
Adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi
atau suatu bahan obyek kedalam komponen-komponen
tetapi masih didalam stuktur organisasi tersebut dan
masih ada kaitannya sama lain.
5. Sintesa
Kemampuan untuk menghimpun bagian dalam
keseluruhan sehingga menciptakan suatu pemikiran baru.
6. Evaluasi
Adalah berkenan dengan kemampuan menggunakan
pengetahuan untuk membantu penelitian terhadap
sesuatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu.

C.4. Penghasilan
Beragamnya pekerjaan setiap orang menuntut perbedaan dalam
memperoleh uang yang sering kita sebut dengan penghasilan atau
pendapatan.19 Ada yang menjadi karyawan swasta, PNS (pegawai
negeri sipil), dan atau pengusaha.19 Pembayaran pun ada yang
berskala harian, bulanan, bahkan tahunan.19 Sehingga untuk
mengukur tingkat kebutuhan maka pemerintah menetapkan yang
disebut UMR (upah minimum regional).19 UMR ini tidak semua
daerah sama, dikarenakan perbedaan kondisi demografi, sosial, dan
ekonomi.19 Oleh karena itu penetapan UMR di suatu daerah itu
sangat diperlukan.19 Untuk UMR ini paling banyak dipakai adalah
jangka bulanan, jadi pemberian uang atau gaji diberikan per bulan. 19
Adapun penghasilan disini adalah penghasilan pokok sehingga dapat
ditentukan kisaran nilainya untuk memenuhi minimal kebutuhan
pokoknya.19
Pada pasien TB paru selain penghasilannya untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari, mereka masih harus mengeluarkan
biaya untuk berobat di Puskesmas.22 Hal ini yang menyebabkan
penderita tidak patuh dalam pengobatan.20
Menurut Hutabarat (2008), Penghasilan keluarga setiap
bulannya digunakan untuk membiayai keluarga sehari-hari.15
Adanya berbagai keresahan dibidang sosial dan ekonomi keluarga,
khususnya masyarakat yang pendapatannya kecil.16 Dengan
penghasilan yang kecil, mengeluarkan biaya untuk ongkos berobat
terasa berat bagi masyarakat datang ke pelayanan kesehatan atau
puskesmas, dengan tidak datangnya mereka ke puskesmas membuat
penderita tidak akan teratur meminum obat.15

C.5. PMO (Pengawas Menelan Obat) 7,8


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan
OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk
menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
 Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, dan kalau perlu disegani
dan dihormati oleh pasien.
 Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
 Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-
sama dengan pasien.
b. Siapa yang bisa menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi,
dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
 Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.
 Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
 Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan
 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB
yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk
segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti
kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan
kesehatan, tetapi sebagai pengawas secara langsung dan
memastikan pasien menelan obat.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
 TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
 TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
 Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan
cara pencegahannya
 Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan
lanjutan)
 Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara
teratur
 Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya
segera meminta pertolongan ke UPK.

C.6. Dukungan Keluarga 20


C.6.1. Definisi Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah dukungan-dukungan yang
dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat
diadakan untuk keluarga dimana dukungan tersebut bisa atau
tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga
dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari
suami/istri, dukungan dari saudara kandung, dukungan dari anak
dan dukungan keluarga eksternal, seperti dukungan dari sahabat,
tetangga, sekolah, keluarga besar, tempat ibadah, praktisi
kesehatan. Dukungan keluarga juga didefinisikan suatu proses
hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya.
Dukungan keluarga tersebut bersifat reprokasitas (timbal balik),
umpan balik (kuantitas dan kualitas komunikasi), dan keterlibatan
emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam
hubungan sosial. Dukungan keluarga merupakan sebuah proses
yang terjadi sepanjang kehidupan, dimana dalam semua tahap
siklus kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu
berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga dalam kehidupan.
C.6.2 Komponen-Komponen Dukungan Keluarga
Menurut Martia Dewi (2009), dukungan keluarga
mempunyai beberapa komponen, yaitu:
a. Dukungan Pengharapan
Dukungan pengharapan meliputi pertolongan pada
individu untuk memahami kejadian gangguan jiwa dengan
baik, sumber gangguan jiwa dan strategi koping yang dapat
digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan
pengharapan yang diberikan berdasarkan kondisi sebenarnya
dari penderita. Sehingga dukungan yang diberikan dapat
membantu meningkatkan strategi koping individu dengan
strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang
berfokus pada aspek-aspek yang positif. Dalam dukungan
pengharapan, kelompok dukungan dapat mempengaruhi
persepsi individu akan ancaman dengan mengikutsertakan
individu untuk membandingkan diri mereka sendiri dengan
orang lain yang mengalami hal yang lebih buruk. Dukungan
keluarga membantu individu dalam melawan keadaan
gangguan jiwa yang dialami individu dengan membantu
mendefenisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman
kecil. Pada dukungan pengharapan keluarga bertindak sebagai
pembimbing seperti membimbing pasien untuk minum obat
dan membina hubungan yang baik dengan pasien-pasien lain
dengan memberikan umpan balik yaitu pertolongan yang
diberikan oleh keluarga yang memahami permasalahan yang
dihadapi oleh anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa sekaligus memberikan pilihan respon yang tepat untuk
menyelesaikan masalah. Jenis dukungan ini membuat individu
mampu membangun harga dirinya, kompetensi dan bernilai.
b. Dukungan Nyata
Dukungan nyata meliputi penyediaan dukungan
jasmaniah seperti pelayanan, bantuan financial, material
berupa bantuan nyata, dimana benda atau jasa yang diberikan
akan membantu memecahkan masalah, seperti saat seseorang
memberi atau meminjamkan uang, menyediakan transportasi,
menjaga dan merawat saat sakit, menyediakan peralatan yang
dibutuhkan oleh penderita gangguan jiwa dan menyediakan
obat-obatan yang dibutuhkan. Dukungan nyata paling efektif
bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pada dukungan
nyata keluarga merupakan sumber untuk mencapai tujuan
praktis dan konkrit.
c. Dukungan Informasi
Dukungan informasi meliputi pemberian solusi dari
masalah, pemberian nasehat, pengarahan, saran, ide-ide, dan
umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh pasien
gangguan jiwa. Keluarga dapat menyediakan informasi
dengan menyarankan tentang terapi yang baik dan tindakan
yang spesifik bagi pasien gangguan jiwa untuk melawan
stressor. Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai
penghimpun informasi dan pemberi informasi.
d. Dukungan Emosional
Selama individu mengalami gangguan jiwa, individu
sering menderita secara emosional, sedih, cemas, dan
kehilangan harga diri. Dukungan emosional yang diberikan
oleh keluarga atau orang lain dapat membuat individu
merasa tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada
keluarga atau orang lain yang memperhatikan, mau
mendengar segala keluhannya, dan empati terhadap persoalan
yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan
masalah yang dihadapinya. Dukungan emosional dapat berupa
dukungan simpati, empati, cinta, kepercayaan, dan
penghargaan. Pada dukungan emosional keluarga sebagai
sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta memberikan semangat dan membantu
penguasaan terhadap emosi.
C.7. Agama
C.7.1. Definisi
Menurut kamus besar bahasa indonesia, agama
didefinisikan sebagai ajaran atau sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.16 Kata
keimanan terbentuk dari kata iman berasal dari bahasa arab
„amana‟, yang berarti membenarkan secara mutlak. 21 Sedangkan
dalam bentuk lain, „amanun‟ berarti aman, bebas dari ketakutan.21
Jadi agama adalah suatu bentuk ajaran yang diimani, dipercayai
atau diyakini benar yang membawa keselamatan dunia dan
akhirat.21
C.7.2. Hubungan iman dengan kepatuhan 21
Dalam Islam, kepercayaan sering disebut dengan iman atau
aqidah, sedangkan kepatuhan disebut dengan amal yang dalam
perilakunya disebut juga amal saleh, keduanya saling
berhubungan. Didalam hadist disebutkan bahwa ada 3 syarat
seorang manusia sudah dikatakan beriman atau memiliki iman,
yaitu:
1. Iman harus diikrarkan dengan ucapan
Seseorang dikatakan belum beriman terhadap sesuatu
sampai dia mengucapkan dengan lisannya apa yang dia imani
tersebut. Karenanya barang siapa yang mengimani sesuatu
dengan hatinya akan tetapi dia tidak mengucapkannya maka
dia belumlah beriman, selama dia sanggup untuk
mengucapkannya dengan lisannya.
2. Dibenarkan dalam hati
Tidak ada iman tanpa keyakinan hati, karenanya Allah
Ta‟ala mempersyaratkan tidak adanya keragu-raguan dalam
keimanan yang dibuktikan dengan amalan saleh. Allah Ta‟ala
menyatakan, “Tidak ada orang-orang yang beriman kecuali
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian mereka tidak ragu-ragu, lalu mereka berjihad
dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka di jalan Allah.
Merekalah orang-orang yang jujur keimanannya”. Jadi jika
seseorang masih ada keraguan, maka belum disebut beriman
3. Diamalkan dalam bentuk tindakan yang nyata
Ini termasuk permasalahan yang butuh dipahami
dengan baik, yaitu amalan adalah bagian dari definisi iman,
bukan penyempurnanya dan bukan pula sekedar suatu
kewajiban dari iman, bahkan dia adalah keimanan itu sendiri.
Tidak ada amalan tanpa iman dan tidak ada juga iman tanpa
amalan, singkatnya adalah iman selalu terkait dan tak
terpisahkan dengan amal sholeh sehingga iman yang haqiqi
menyangkut dimensi: kognitif, afektif, dan psikomotor.
Didalam dunia kedokteran, untuk saat ini ada beberapa
penyakit yang belum diketahui obatnya, namun dalam hadist
disebutkan “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali ada
obatnya”. Hadits Nabi tersebut bersifat umum, termasuk
penyakit yang mematikan dan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dengan perantara dokter, maka dapat disimpulkan
bahwa setiap penyakit ada obatnya, apapun penyakitnya apabila
obat telah mengenai penyakit yang sesuai, maka penyakitnya
akan sembuh dengan izin Allah SWT. Tentunya dengan dasar,
orang yang bersangkutan meyakini bahwa penyakit itu berasal
dari Allah dan obat tidak dapat menghilangkan penyakitnya
kecuali Allah menghendakinya. Sehingga tugas manusia adalah
senantiasa berikhtiar (berobat) dan berdoa dengan harapan
mendapatkan kesembuhan.
Didalam islam “Berobat adalah kewajiban”. Pernyataan
tersebut bermakna bahwa berobat pada dasarnya diwajibkan
dalam agama islam sebab berobat termasuk upaya memelihara
jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari‟at islam
ditegakkan, jika seorang manusia apabila sedang sakit dan
mampu untuk berobat tapi tidak segera berobat maka
sesungguhnya dia telah melakukan dosa karena termasuk
perbuatan menganiaya diri sendiri.
Kewajiban berikutnya adalah “Islam melarang berobat yang
bukan pada ahlinya”, yaitu Islam mengajarkan bahwa dalam
berobat hendaklakh mencari obat atau dokter yang lebih baik dan
bukan pada dukun atau sejenisnya yang mana akan
menjerumuskan pada hal syirik. Dalam etika kedokteran Islam
diajarkan bila ada 2 obat yang kualitasnya sama maka
pertimbangan kedua yang harus diambil adalah yang lebih efektif
dan tidak memiliki efek merusak bagi pasien. Itulah sebabnya
Rasulullah menganjurkan kita untuk berobat pada ahlinya. Sabda
beliau “Barang siapa yang melakukan pengobatan, sedang
pengobatannya tidak dikenal sebelum itu, maka dia bertanggung
jawab (atas perbuatannya)”, oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi
orang yang sakit mendatangi dukun-dukun yang mengaku dirinya
mengetahui hal-hal yang ghaib, untuk mengetahui penyakit yang
dideritanya. Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau
membenarkan apa yang mereka katakan, karena sesuatu yang
mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib itu hanya
didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara mendatangkan
jin, dan meminta tolong kepada jin-jin itu tentang sesuatu yang
mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun tersebut
telah melakukan perbuatan kufur dan kesesatan. Garis besarnya
adalah Allah menyuruh berobat pada ahlinya yaitu orang-orang
yang berkompeten di bidang kesehatan sesuai dengan penyakit
pasien, dalam hal ini adalah tenaga medis.
Implikasinya, ada keterlibatan antara kepatuhan minum obat
dengan penyakit, karena iman selalu terkait dan tak terpisahkan
dengan amal sholeh yang secara tidak langsung sudah patuh
menjalankan perintah. Jadi iman dan kepatuhan merupakan suatu
rangkaian yang tidak terpisahkan, maka perilaku manusia sangat
tergantung pada imannya. Oleh karena itu, iman berhubungan
signifikan dengan kepatuhan.

D. Kerangka Teori

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat


anti tuberkulosis (OAT):
Patuh
Kepatuhan Minum Obat Anti
Umur Pendidikan
1. Pengetahuan Penghasilan PMO Tuberkulosis
Dukungan Keluarga
2.
Agama 3. Tidak Patuh
4.
5.
6.
7.

E. Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang berhubungan


dengan kepatuhan minum obat
anti tuberkulosis (OAT):
1. Umur Kepatuhan Minum
2. Pendidikan Obat Anti Tuberkulosis
3. Pengetahuan
4. Penghasilan
5. PMO
6. Dukungan Keluarga
7. Agama
F. Hipotesis
a. Terdapat hubungan umur dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di puskesmas
karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari - juni 2012.
b. Terdapat hubungan pendidikan dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di puskesmas
karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari - juni 2012.
c. Terdapat hubungan pengetahuan dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di puskesmas
karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari - juni 2012.
d. Terdapat hubungan penghasilan dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di puskesmas
karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari - juni 2012.
e. Terdapat hubungan pengawas minum obat (PMO) dengan kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di
puskesmas karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari -
juni 2012.
f. Terdapat hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat
anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di puskesmas
karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari - juni 2012.
g. Terdapat hubungan agama dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di puskesmas
karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari - juni 2012
h. Terdapat faktor yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan minum
obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di
puskesmas karangdoro dan banget ayu kota semarang periode januari -
juni 2012.

Anda mungkin juga menyukai