Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Gowa-Tallo

Letak Kerajaan Gowa dan Tallo Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan
Makassar. Kerajaan ini terletak didaerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan
memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara.
Bahkan, daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari
Indonesia bagian timur, maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian
barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan
besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.

Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya
di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang
bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan
Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut
perjanjian Tellum Pocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak
Islam pada 1605, Gowa meluaskan pengaruh politiknya. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada
Kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611.

Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan dilakukan oleh para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga
Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’
Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Para
mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan
gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M), Raja Gowa dan
Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng
Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605
M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia
mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.

Dalam sejarah Kerajaan Gowa perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan


kedaulatannya terhadap upaya penjajahan kompeni (VOC) Belanda. Peristiwa peperangan dari
waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara 1637-1638. Perang di Sulawesi Selatan
ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa-
Tallo.

Kerajaan Wajo
Sumber sejarah Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal Lontara Sukkuna Wajo. Di
hikayat lokal tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian kampung Wajo yang
didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari
keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo)
bangsa Wajo: Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di
seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo.

Sejak saat itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang
keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau utama. Selama keempat
arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji), 30
arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40
orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas daerah
kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. 

Kerajaan Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah
tunduk pada 1610. Diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri Bandang
dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya
dalam masalah kalam dan fikih. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679
diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa.

Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan
Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi
karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Perang besar-
besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan
Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian
Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada
1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan
Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa
menandatangani perjanjian di Makassar tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC

Kerajaan Ternate

Kerajaan Ternate berdiri pada abad ke 13 di Maluku. Ibu kota kerajaan Ternate terletak di
Sampalu (Pulau Ternate). Selain kerajaan Ternate, di Maluku juga ada kerajaan lain, seperti
Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi.

Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang paling maju diantara yang lainnya. Sehingga
kerajaan Ternate banyak di kunjungi oleh para pedagang. Baik itu dari Nusantara maupun
dari pedagang asing.

Kemunduran Kerajaan Ternate


Kemunduran kerajaan Ternate ini disebabkan karena diadu domba dengan kerajaan Tidore.
Pelaku adu dombanya adalah bangsa-bangsa asing (Portugis dan spanyol). Yang bertujuan
untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.

Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh
Portugis dan Spanyol. Kemudian mereka bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol
keluar pulau Maluku.
Tapi kemenangan tersebut tidak beratahan lama, sebab VOC menguasai perdagangan
rempah-rempah di Maluku. VOC juga menaklukan kerajaan Ternate dengan strategi dan tata
kerja yang teratur, rapi dan terkontrol.

Kerajaan Tidore

Kerajaan Tidore terletak disebelah Selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan
Tidore, raja pertama Ternate adalah Muhammad Naqal yang naik kedudukan pada tahun
1081 M. Agama Islam masuk di kerajaan Ternate pada tahun 1471 M, yang dibawa oleh
Ciriliyah (raja Tidore ke-9). Proses Islamisasi kerajaan Tidore dilakukan oleh Syekh Mansur
dari Arab.

Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku pada tahun
1780-1805 M. Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama
melawan Belanda dengan bantuan Inggris.

Dalam peperangan melawan Belanda, akhirnya Ternate dan Tidore berhasil mengusir
Belanda dari Maluku. Semantar itu, Inggris tidak mendapat apa-apa, hanya saja hubungan
dagang biasa. Sultan Nuku ini memeng cerdik, berani, ulet dan selalu waspada.

Setelah berhasil mengusir belanda dan bangsa asing lainnya, kemakmuran rakyatnya terus
meningkat. Dan bisa merebut kembali daerah-daerah yang dulunya dikuasai oleh bangsa
asing. Meliputi pulau seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai dan Papua.

Kemunduran Kerajaan Tidore


Kemunduran Kerajaan Tidore ini juga seperti kemunduran kerajaan Ternate. Sama-sam di
adu domba oleh bangsa asing (Portugis dan Spanyol). Dan Tujuannya pun sama dengan
kemunduran kerajaan Ternate.
Kerajaan Bone

Proses Islamisasi Kerajaan Bone tidak terlepas dari Islamisasi Kerajaan Gowa. Sultan
Alauddin (raja ke-14 Gowa) melakukan penyebaran islam secara damai. Pertama-tama yang
beliau lakukan adalah dakwah islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga.

Islam Masuk di Bone pada masa raja La Tenri Ruwa pada tahun 1611 M, dan dia hanya
berkuasa selama tiga bulan. Karena, Beliau telah menerima islam sebagai agamanya. Padahal
dewan adat Ade Pitue bersama rakyatnya menolak ajaran agama Islam.

Perlu diketahu, bahwa sebelum Sultan Adam Matindore Ri Bantaeng dan La Tenri Ruwa
masuk Islam. Ternyata sudah ada rakyat Bone yang telah berislam lebih duluan. Bahkan,
Raja sebelumnya yaitu We Tenri Tuppu karena mendengar sidendreng masuk agama islam.

Beliau pun tertarik belajar agama Islam dan akhirnya wafat disana. Sehingga, beliau diberi
gelar Mattinroe Ri Sidendren.

Kerajaan Konawe
Islam Masuk di Kerajaan Konawe pada akhir abad ke 16. Dan kurang lebih 16 tahun setelah
kesultanan Buton menerima Islam. Islam masuk di kerajaan Konawe secara tidak resmi pada
masa pemerintahan Tebowo.
Islam masuk didaerah-daerah pesisir Pantai, yang langsung berhubungan dengan pedagang-
pedagang dari luar. Tapi, agama Islam yang dibawa oleh para pedagang belum dapat diterima
secara luas oleh masyarakat kerajaan Konawe. Karena masyrakat pada umumnya masih
menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.

Pada masa pemerintahan Mokole Lakidende (raja Lakidende II) sekitar abad ke -18 M.
Agama Islam mulai diterima secara luas oleh masyarakat kerajaan Konawe. Mokole
Lakidende ini mendapat gelar Sangia Ngginoburu, karena beliau sebagai raja Konawe yang
memeluk Islam pertama kali.

Pada saat pemerintahan ayahnya, Maago Lakidende sudah belajar agama Islam dipulau
Wawonii. bahkan ketika beliau diangkat menjadi raja di konawe beliau tidak berada di tempat
kerajaan, tetap sementara di pulau Wawonii.

Setelah selesai belajar di Wawonii, beliau melanjutkan memperdalam seni baca Al-Qur’an di
Tinanggea. Selama memperdalam pengetahuan agama Islam. Pelaksana sementara raja
Konawe dialihkan ke Pakandeate dan Alima Kapita Anamolepo.

Mereka menjadi pejabat sementara pada abad yang sama (Ke-18). Kemudian dilanjutkan oleh
Latalambe, Sulemandara merangkap pelaksana sementara raja Konawe. Dan We Onupe
menjadi pejabat sementara, masing-masing pada abad ke-19.

Anda mungkin juga menyukai