Anda di halaman 1dari 30

BAB III

PERJANJIAN-PERJANJIAN KHUSUS

Tujuan Instruksional umum (TIU)


Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami pentingnya Perjanjian-
perjanjian Khusus.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


Pada akhir bahasan ini, mahasiswa mampu:
1. mendefinisikan Perjanjian-perjanjian Khusus,
2. memberi contoh-contoh Perjanjian-perjanjian Khusus,
3. mengetahuidan memahami tentang Perjanjian-perjanjian Khusus.

3.1 PERJANJIAN JUAL BELI


Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai syarat-syarat tertentu sebagi ciri
khas perjanjian tersebut. Syarat-syarat khusus ini tidak terdapat dalam perjanjian lain
pada umumnya.

Perjanjian khusus terdapat dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain. Di samping itu pula yang berada di luar KUH Perdata seperti sewa beli dan
leasing. Sewa beli dan leasing merupakan jenis perjanjian yang tumbuh dalam
praktek sebagai perkembangan dalam dunia perniagaan. Marilah kita lihat jenis-jenis
perjanjian khusus di bawah ini.

3.1.1 Pengertian Jual Beli


Jual beli merupakan perjanjian yang terjadi bila salah satu pihak mengikatkan dirinya
kepada pihak yang lain untuk menyerahkan dan pihak lain berjanji untuk membayar
harga yang telah dijanjikan. Dari pengertian diatas kita melihat adanya 2 pihak.
Pihak yang menyerahkan suatu benda disebut penjual dan pihak yang membayar
harganya disebut pembeli.

30
Perjanjian jual beli terjadi setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu
pihak penjual sepakat untuk menyerahkan barangnya sedengkan pembeli sepakat
untuk membayar harganya. Dengan demikian jual beli menganut konsesualisme. Hal
ini dapar disimpulkan dari pasal 1458 KHU Perdata, yaitu bahwa jual beli dianggap
sudah terjadi di antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat
antara barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum
dibayar.

3.1.2 Kewajiban-kewajiban Penjual


Kewajiban utama penjual ada 2 yaitu:
1. Menyerahkan hak milik atas barang-barang yang diperjualbelikan
Dalam KUH Perdata dikenal ada 3 macam benda, yaitu benda bergerak (misalnya
mobil, meja, kursi), benda tak bergerak (misal rumah, tanah), dan benda tak
bertubuh. Yang termasuk benda tak bertubuh ialah hak-hak untuk menagih
piutan-piutang seperti surat-surat barharga atau hak-hak tertentu seperti hak cipta.
a. Untuk benda bergerak diserahkan dengan penyerahan benda itu
b. Untuk benda tidak bergerak, dilakukan dengan Balik Nama
c. Untuk benda tak bertubuh, yang berklausa:
 Atas nama, yaitu dengan cessie (sesi)
 Atas tunjuk (pengganti), yaitu dengan endosemen
 Atas tunjuk (pembawa), yaitu dengan diserahkan dari tangan ke tangan
(penjelasan lebih rinci mengenai surat berharga dapat dilihat dalam bab 7).

2. Menanggung terhadap cacat-cacat serta gangguan-gangguan atas pemilikan benda


tersebut
Dalam hal ini penjual harus menjamin bahwa barang-barang yang dijual itu
adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari tuntutan atau ganguan
pihak lain terhadap pemiliknya.

31
Jika ada tuntutanatau gugatan dari pihak ketiga yang menyebabkan pembeli harus
menyerahkan barang yang telah dibelinya itu pada pihak ketiga, maka penjual
harus mengganti kerugian kepada pembeli.

Bila tidak demikian, dpat juga si pembeli meminta kepada hakim untuk
menyertakan penjual dalam persidangan. Inilah yang disebut dengan
“pengikutsertaan” (voeging) dalam hukum Acara Perdata.

Sedangkan kewajiban penjual untuk menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi


atas barang-barang yang dijualnya berarti bahwa yang wajib ditanggung oleh penjual
hanyalah cacat-cacat yang tidak terlihat oleh mata biasa yang membuat barang
tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud, ataupun mengurangi
kenyamanan-kenyamanan pemakai orang tadi.

Cacat yang tidak terlihat ini misalnya kerusakan atau bocornya bagian mesin pada
kendaraan yang tidak dapat dilihat atau diketahui oleh pembeli, sehingga bila pembeli
mengetahuinya ia tidak akan mau membeli kendaraan tersebut.

Cacat yang terlihat misalnya cat yang luntur pada rumah dan kendaraan, atau kaca
pecah tidak wajib untuk ditanggung oleh penjual karena pembeli selayaknya telah
mengetahui cacat yang terlihat itu. Bila ia setuju untuk membelinya berarti ia
menerima keadaan benda itu sebagimana adanya. Kewajiban penjual untuk
menanggung cacat-cacat tersembunyi juga berlaku bila penjual tidak mengetahui
tentang cacat tersebut, kecuali jika diperjanjikan bahwa penjual tidak akan
menanggung sesuatu apapun.

3.1.3 Kewajiban-kewajiban Pembeli


Kewajiban pembeli adalah:
Membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan menurut
perjanjian.

32
Jika waktu dan tempat pembayaran tidak ditetrapkan maka pembeli harus membayar
di tempat dan pada waktu ketika penyerahan akan dilakukan.
Pembeli dapat mengangguhkan pembayarannya jika ia diganggu atau khawatir
adanya suatu tuntutan hukun berdasarkan hipotik atau tuntutan untuk meminta
kembali barangnya. Hal ini berlaku sampai penjual mengehentikan gangguan
tersebut atau menjamin untuk menanggung akibat gangguan-gangguan tersebut.
Akan tetapi juga dapat minta diperjanjikan bahwa pembeli diwajibkan menanggung
segala akibat yang datang terhadap penguasaan barang tersebut.

3.2 Resiko dalam Jual Beli


Sebagaimana telah kita pelajari dalam perikatan dan perjanjian, resiko adalah
kewajiban untuk menanggung kerugian yan tidak disebabkan oleh kesalahan salah
satu pihak. Jadi resiko terjadi karena keadaan memaksa (overmacht).

Dalam jual beli ada 3 ketentuan mengenai resiko:


1. Resiko terhadap barang yang sudah ditentukan
Dalam hal ini resiko ditanggung oleh pihak pembeli, misalnya A memesan satu
perangkat rumah tangga (meubel) kepada B yang akan diserahkan keesokan
harinya. Ternyata malam harinya terjadi kebakaran di toko B sehingga barangnya
musnah. Maka kerugian ditanggung oleh A sebagai pembeli dan B tidak perlu
mengganti rugi terhadap A.
Hal ini diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata yang berbunyi:
“Jika kebendaan itu berwujud suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang
ini sejak saat pembelian menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahan
belum dilakukan. Dan si penjual berhak menuntut harganya”.

Pasal tersebut kini telah dicabut oleh SEMA no. 3 Tahun 1963 karena dirasakan
kurang memenuhi rasa keadilan, karena walupun pembeli belum mendapatkan
barang, dia harus tetap membayar harganya. Oleh karena itu resiko ini
dibebankan kepada debitur yang memiliki barang tersebut.

33
2. Resiko terhadap barang yang dijual menurut berat jumlah dan ukuran
Resiko barang yang dijual menurut berat, jumlah dan ukuran (misalnya buah-
buahan, kain dan lain-lain) ditanggung oleh penjual sampai barang tersebut
ditimbang, dihitung atau diukur.

3. Resiko terhadap barang yang dijual menurut tumpukan


Resiko terhadap barng yang dijual menurut tumpukan ditanggung oleeh pembeli.
Jadi meskipun barang belum berada ditangan si pembeli, pembeli harus
menanggung resiko barang tersebut.

Resiko terhadap barang dalam dalam jual beli berdasar pasal 1640 dirasa tidak
memenuhi rasa keadilan karena pembeli belum menerima barangnya. Oleh sebab itu
kita harus beranggapan bahwa selama barang belum diserahkan oleh penjual kepada
pembeli, resiko harus dipikul oleh penjual yang masih merupakan pemilik barang
yang dijual tersebut. Mengapa? Karena perjanjian jual beli merupakan perjanjian
timbal balik yang membebankan kewajiban kepada kedua belah pihak. Oleh sebab
itu akan dirasakan tidak adil bila pihak yang belum menerima suatu prestasi dari
pihak lainnya harus menanggung resiko pembeli.

3.3 Hak Membeli Kembali dalam Jual Beli


Hak untuk membeli kembali dalam jual beli yaitu hak yang diberikan kepada penjual
untuk mengambil kembali barang yang telah dijual kepada pembeli.

Untuk itu ia harus mengmbalikan harga pembelian asal kepada pembeli dengan
disertai penggantian semua biaya yang telahdikeluarkan untuk menyelenggarakan
pembeli serta penyerahannya.

34
Disamping itu, iapun harus mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli
untuk pembetulan-pembetulan dan biaya tambahan yang menyebabkan barang yang
dijual bertambah harganya.

Hak untuk membeli kembali ini tidak boleh diperpanjangkan waktu untuk waktu yang
lebih dari lima tahun. Dariadanya ketentuan hak untuk membeli kembali ini kita
dapat menyimpulkan bahwa pembeli tidak boleh menjual lagi kepada orang lain
karena setiap waktu penjual bisa menuntut kembali penyerahan barang yang telah
dijualnya.

Bila barang yang bergerak dijual kepada pihak ketiga oleh pembeli, maka pihak
ketiga ini aman dari tuntutan untuk mengembalikan barangnya kepada penjual
pertama. Penjual pertama ini hanya dapat menuntut ganti rugi kepada pembeli
pertama yang telah menyalahi janjianya.

Tetapi apabila barang yang telah dijual kepada pihak ketiga ini merupakan barang
yang tidak bergerak, penjual boleh menggunakan hak untuk membeli kembali kepada
pihak ketiga meskipun dalam peranjian tidak disebutkan menganai janji tersebut.

3.4 Jual Beli Piutang dan Hak-hak Lain


Kita ketahui bahwa barang atau bemda dapat dibedakan menjadi benda bergerak dan
tidak bergerakk. Selain itu kita mengenal juga perbedaan antara benda bertubuh dan
tidak bertubuh.

Yang dimaksud dengan benda bertubuh yaitu benda yang dapat dilihat serta diraba
oleh indera. Sedangkan benda tak bertubuh dalam kehidupan sehari-hari kita kenal
sebagi “hak”, misalnya hak atas suatu warisan hak cipta, hak merk, hak oktori, dan
surat-surat berharga seperti wesel, cek, dan saham. Lebih jauh tentang jual beli benda
tak bertubuh akan dibahas dalam bab VI tentang surat berharga.

35
3.5 Hak Reklame
Hak reklame artinya hak penjual untuk menuntut kembali barang yang telah dijual
bila pembeli tidak membayar harga pembelian.

Hak reklame yang diatur dalam KUH Perdata hanya berlaku untuk jual beli tunai,
artinya jual beli tanpa janji bahwa harga dapat dibayar secara angsuran atau cicilan.
Hak reklame juga tidak boleh dilakukan untuk jangka waktu yang lebih dari 30 hari
(1145 KUHP).

Adapun syarat hak reklame yang terdapat dalam KUH Dagang adalah lebih ringan,
yaitu:
 Meliputi jual beli kontan dan kredit
 Penuntutan dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari
 Penuntutan dapat dilakukan walaupun barang telah berada pada tangan orang lain

Dapat kita simpulkan bahwa pihak penjual yang melakukan hak reklame ini berarti
telah melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak karena adanya wanprestasi dari
pihak pembeli.

3.6 SEWA MENYEWA


Contoh kasus 1
A menyewa rumah beserta seperangkat perabotannya kepada B untuk waktu 5 tahun.
Dalam jangka waktu 2 tahu terjadi gempa bumi yang menyebabkan rusaknya rumah
tersebut beserta segala isinya. Dapatkah A meminta ganti rugi kepada B atas
kerusakan rumah besert perabotannya itu?

Contoh Kasus 2
C menyewa mobil D untuk waktu 2 bulan dengan pembayaran suatu harga yang
ditentukan. Setelah 2 bulan berlangsung C mengembalikan mobil tersebut dalam

36
keadaan rusak. Sedangkan waktu meminjam, mobil tersebut dalam keadaan baik.
Dapatkah D menuntut kerugian atas rusaknya mobil tersebut?

3.6.1 Pengertian Sewa Menyewa


Sewa menyewa yaitu perjanjian dalam salah satu pihak mengikatkan diri untuk
memberikan kegunaan atau kenikmatan atas suatu barang kepada pihak lain selama
waktu tertentu. Adapun untuk pemberi sewa berhak menerima pembayaran suatu
harga dari pihak penyewa tersebut.

Dari definisi tersebut tersirat dua kewajiban, pertama yaitu pihak yang satu
memberikan kenikmatan atas suatu barang dan kedua pihak lain membayar harganya.
Jadi yang diserahkan bukan barang untuk dapat dimiliki seperti halnya dalam jual
beli, melainkan hanya untuk dapat dinikmati atau dipakai saja.

Oleh karena orang yang dapat menyewakan suatu barang tidak selalu harus
merupakan pemilik barang tersebut. Misalnya orang yang mempunyai hak “nikmat
hasil” atas sebidang tanah dapat menikmati hasil tanah tersebut dengan jalan
menyewakan kepada orang lain. Adapun yang merupakan objek sewa menyewa
meliputi benda bergerak dan tidak bergerak.

3.6.2 Kewajiban yang Menyewakan


Kewajiban orang yang menyewakan adalah sebagi berikut:
1. menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa dalam keadaan
terpelihara
2. memelihara barang yang disewakan sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang
dimaksud
3. memberikan kepada si penyewa kenikmatan atau kegunaan tentang dari barang
yang disewakan selain berlangsungnya sewa
4. menanggung cacat dari barang yang disewakan

37
5. memberikan ganti rugi bila cacat tersebut telah merupakan kerugian bagi si
penyewa
6. tidak merubah wujud atau tatanan yang disewakan.

Kewajiban nomor 1, 2 dan 3 yang dikemukakan diatas merupakan kewajiban utama


yang tidak perlu ditetapkan dengan suatu janji, sedangkan kewajiban nomor 4 dan
seterusnya merupakan kewajiban tambahan.

3.6.3 Kewajiban Penyewa


Kewajiban utama menyewa ada 2 yaitu:
1. memakai barang yang disewakan sebagai “bapak rumah tangga” yang baik,
artinya sebagi orang normal dalam mempergunakan barang yang disewa
sebagaimana mestinya.
2. membayar uang sewa
selain dua kewajiban diatas, penyewa memounyai kewajiban-kewajiban lain
sebagai berikut:
 memperlengkapi dengan perabot rumah secukupnya, jikayang disewa adalah
rumah untuk rumah tinggal
 melakukan pembetulan kecil selama masa sewa
 tidak boleh menyewakan kmbali barang yang disewakan kecuali atas izin
yang menyewakan
 mengganti rugi jika pemakaian barang yang disewakan untuk keperluan lain
yang tidak sesuai dengan perjanjian
 mengganti rugi untuk kerusakan yang terjadi pada berang yang disewa yang
disebabkan oleh atau kepada orang yang menerima pengalihan sewanya.

3.6.4 Resiko dalam Menyewa


Resiko dalam sewa menyewa dipikul oleh orang yang menyewakan. Ini tersirat pada
pasal 1553 KUH Perdata yang berbunyi:

38
“Jika selama waktu sewa barang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian tidak sengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.”

Dari pasal tersebut terdapat perkataan “gugur demi hukum” yang berarti bahwa para
pihak sudah tidak bisa menuntut sesuatu pun dari pihak lainnya.

3.6.5 Sewa Menyewa Tidak Putus Karena Penjualan


Suatu yang amat penting dalam sewa menyewa yaitu bahwa dengan dijual, ditukar,
dihibahkan atau diwariskannya barang yang disewa, sewa menyewa yang terjadi
sebelum penjualan barang yang disewa tersebut tidak menjadi putus.

3.6.3 Berakhirnya Masa Sewa


Seperti perjanjia-perjanjian lain pada umumnya sewa menyewa pun menganut asas
konsesualisme. Artinya perjanjian sewa dianggap telah mengikat sejak adanya
kesepakatan antara para pihak mengenai barang yang disewakan dan harga sewanya.
Akan tetapi dalam praktek sewa menyewa akan terjadi baik secara tertulis maupun
lisan. Dalam hal ini undang-undang memberikan perbedaan dalam akibatnya.

Bila sewa menyewa dilakukan secara tertulis, maka akan berakhir sampai waktu yang
ditentukan tanpa diperlukan adanya pemberitahuan, karena telah ditetapkan dalan
perjanjian. Sedangkan bila sewa menyewa tersebut dilakukan dengan lisan, yang
menyewakan harus memberitahukan lebih dahulu bahwa ia akan menghentikan
sewanya. Adapun jangka waktunya dilakukan menurut kebiasaan setempat. Jadi
tidak berakhir secara otomatis seperti pada sewa menyewa tertulis.

3.7 SEWA BELI


Contoh kasus:
X ingin memiliki sebuah televisi bewarna. Akan tetapi ia tidak memiliki uang yang
cukup untuk membeli secara tunai. Untuk itu ia menyewa sebuah televisi dari toko Y

39
untuk jangka waktu 10 bulan. Diperjanjikan bahwa X dapat memiliki televisi
tersebut pada akhir masa sewa dengan membayar sisa harga televisi tersebut, yaitu
harga televisi tunai dikurangi dengan harga sewa.

Dari kasus diatas kita dapat melihat suatu bentuk perjanjian dengan nama sewa beli.
Perjanjian sewa beli ini tidak terdapat dalam KUH Perdata maupun dalam KUH
Dagang, tetapi tumbuh sebagai ciptaan dalam praktek. Hal ini memang
diperbolehkan karena hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak yang
memberi kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian
yang berupa dan berisi apa saja. Tetapi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

3.7.1 Pengertian Sewa Beli


Sewa beli di Indonesia belum diatur dalam suatu undang-undang. Tetapi di negeri
Belanda sudah dinasukkan ke dalam “Burgerklijk Wetbork” Belanda. Sedangkan di
negara yang menganut sistem Anglo Saxon (khususnya Inggris) diatur dalam “Hire
Purchase Act” tahun 1965.
Sewa beli yaitu suatu perjanjian yang merupakan campuran antara jual beli dan sewa
menyewa karena terdapat unsur sewa menyewa maupun jual beli.

Dalam buku “The Language of Money”, Edna Cerew menyatakan bahwa sewa beli
atau hire purchase adalah: “Buying goods through instalment payment so that the
‘hire’ is a buying the goods at the same as going the use of them, but not becoming
the owner of foods until all instalments have been paid”.

Unsur sewa menyewa terdapat dalam ketentuan bahwa dalam sewa beli si penyewa
beli bertindak sebagai penyewa salama barangnya belum dilunasi. Jadi ia belum
merupakan pemilik barang tersebut. Sedangkan unsur jual beli terdapat dalam
ketentuan bahwa si penyewa tadi dapat menjasi pemilik barang yang disewanya
setelah membayar harga sewa terkahir.

40
Kalau kita lihat, sebenarnya sewa beli ini lebih mirip jual beli dengan cicilan.
Perbedaannya yaitu bahwa dalam jual beli dengan cicilan hak milik sudah berpindah
kepada pembeli, tetapi ia masih mempunyai utang pada penjual yang harus
dibayarnya tiap bulan sampai lunas. Sedangkan dalam sewa beli hak milik belum
berpindah ke tangan penyewa beli sehingga ia tidak bisa melahirkan barang tersebut.

Perlu diketahui bahwa harga barang dalam sewa beli biasanya lebih tinggi dari harga
barang yang dijual secara tunai. Misalnya barang yang harga tunainya sekitar Rp.
600.000,00 dapat menjadi Rp. 700.000,00 bila disewa beli.

Walaupun demikian, di dalam prakteknya hal ini dirasakan menguntungkan oleh si


penyewa beli karena ia akan mendapat kesempatan untuk memiliki suatu barang yang
tidak dapat dibayarnya secara tunai. Demikian juga penjual akan merasa aman dari
penggelapan barangnya selama harga belum dibayar lunas.

Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa beli biasanya alat-alat keperluan rumah
tangga seperti mesin jahit, televisi, lemari es, mesin cuci, mobil sepeda motor, dan
lain-lain.

3.7.2 Peralihan Hak dalam Sewa Beli


Dalam istilah hukum hal ini dikenal sebagi “penyerahan dengan tangan pendek” atau
“traditio brevi manu”.

3.7.3 Resiko dalam Sewa Beli


Berhubung sewa beli merupakan ciptaan dalam praktek yang tidak ada aturannya
dalam undang-undang, maka resiko dalam sewa beli pun belum ada aturannya dalam
undan-undang. Untuk itu kita dapat melihat ke dalam yurisrudensi (keputusan
hakim).

41
Yurisprudensi mengenal sewa beli yang terjadi dalam tingkat kasasi pada tanggal 16
Desember 1957. yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa resiko dipikul oleh
penyewa beli dengan berpedoman pada pasal 1460 KUH Perdata (yang menyatakan
bahwa resiko dalam jual beli dipikul oleh pembeli). Dalam hal ini resiko sewa beli
disamakan dengan resiko pada jual beli.

Kita ketahui bahwa pasal 1460 KUH Perdata telah dicabyt oleh SEMA No 6 Tahun
1963 karena tidak menjamin rasa keadilan. Oleh sebab itu Prof. Subekti dalam
bukunya Aneka Perjanjian mengemukakan bahwa resiko sewa beli ini lebih tepat
berpedoman pada pasal 1545 KUH Perdata tentang tukar menukar. Adapun isi pasal
tersebut adalah sebagai berikut”
“Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar
kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur. Dan pihak yang telah
memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah ia berikan dalam
tukar menukar.”
Pasal tersebut diatas menyatakan behwa bila terjadi keadaan memaksa (overmacht)
maka perjanjian dianggap gugur. Artinya kedua belah pihak tidak dapat menuntut
kerugian apapun dari pihak lainnnya. Demikian juga dalam perjanjian sewa beli ini
terjadi keadaan memaksa menurut Prof. Subekti perjanjian dianggap gugur.

Sewa Beli Leasing

Tidak ada cicilan hak opsi, jadi Pada cicilan terakhir ada
pada cicilan / pembayaran hak opsi, yaitu untuk:
terakhir barang tersebut harus a. membeli benda
dibeli b. menukar benda
tersebut dengan yang
baru

42
Tujuannya memang untuk Tujuannya untuk memakai
memiliki barang tersebut. barang tersebut.

Pada dasarnya sewa beli dan leasing mempunyai persamaan, yaitu merupakan sewa
menyewa dengan adanya kesempatan bagi penyewa untuk menjadi pemilik barang
yang disewanya. Pada saat ini perjanjian leasing begitu populer sehingga
perusahaan-perusahaan leasing kini banyak didirikan.

Sebagaimana halnya dengan sewa beli, leasing pun belum diatur didalam undang-
undang tersendiri, melainkan ditetntukan oleh para pihak yang terlibatdidalam
perjanjian leasing itu sendiri.

Pengertian leasing di Indonesia dapat dijabarkan sebagai:


“Perjanjian seaw menyewa yang terjadi antara penyewa dan yang menyewakan
yang memberikan kesempatan kepada penyewa barang pada akhir masa sewa untuk
memilih apakah ia akan membeli barang yang disewakannya ataukah hanya
bermaksud menyewakannya saja.”

Pengertian diatas sama dengan pengertian leasing dalam hukum barat. Sedangkan
pengertian leasing dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No KEP/122/MK/IV/1974, No
32/M/SK/1974, No 30/KPB/I/1974 yang dikeluarkan tanggal 7 Februari 1974 yaitu:
“Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan
bearang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jankga waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak
pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang
telah disepakati bersama.”

43
Leasing dapat diselenggarakan oleh Lembaga Keuangan yang dimaksud dalam SK
Menkeu No Kep 38/MK/IV/I/1972, dan badan usaha lain non lembaga tetapi
sebelumnya harus mendapat izin dari menteri keuangan.

Dalam leasing, penyewa (lessee) setuju untuk membayar sejumlah uang cicilan dalam
suatu jangka waktu yang ditentukan kepada yang menyewakan. Sedangkan yang
menyewakan tetap menjadi pemilik barang sepanjang masa sewa. Biasanya barang
yang menjadi objek leasing ini merupakan barang-barang yang bernilai jual tinggi
seperti gudang, mobil, mesin fotocopy, dan sebagainya.

Perbedaannya dengan sewa beli yaitu bahwa dalam leasing terdapat “hak opsi”, yaitu
hak yang ditawarkan oleh pemilik barang kepada penyewa untuk memilih apakah ia
akan membeli barang yang disewanya pada akhir masa sewa ataukan hanya ingin
menyewa barnag tersebut.

Bila penyewa ingin membeli barang yang telah disewanya itu, ia hanya diwajibkan
melunasi harga barang semula dikurangi dengan ongkos sewa yang telah dibayarnya.
Misalnya harga barang yangdisewa adalah Rp. 10 juta, sedangkan harga sewa yang
telah dibayar adalah Rp. 2 juta. Maka jumlah yang harus dibaya oleh di penyewa
(yang bermaksud membeli barang itu) adalah Rp 10 juta – Rp. 2 juta = Rp. 8 juta.

Hak opsi ini tidak dikenal dalam sewa beli karena dalam sewa beli barang yang
disewa beli itu memang bertujuan untuk dibeli atau dimiliki oleh penyewa beli.

3.8 PINJAM MEMINJAM


Contoh Kasus 1:
A meminjam kendaraan Buntuk waktu satu minggu. Setelah sati minggu berlalu A
mengembalikan lagi kendaraan tersebut kepada B.

Contoh Kasus 2:

44
C akan mengadakan pesta tetapi ia tidak mempunyai uang untuk membeli beras. Lali
oa meminjam beras kepada D sebanyak 100 Kg. C berjanji untuk mengembalikan
beras tersebut 2 bulan yang akan datang sebanyak 110 Kg.

Dari kedua kasus diatas, manakah yang merupakan perjanjian pinjam-meminjam?

3.8.1 Pengertian Pinjam Meminjam


Kita lihat bahwa dalam kasus pertama yang dipinjam adalah barang yang tidak
menhabis karena pemakaian, yaitu kendaraan. Sedangkan dalam kasus kedua barang
yang dipinjam adalah barang yang menghabis karena pemakaian (dalan hal ini beras).
Perjanjian pinjam meminjam yaitu suatu perjanjian dalam hal salah satu pihak
memberikan pinjaman kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian. Sedangkan pinjam pakai adalah perjanjian dalam hal
salah satu pihak membeirkan pinjaman kepada pihak lain suatu barang yang tidak
menghabis karena pemakaian. Jadi perbedaannya terletak pada objeknya.

Perbedaan lainnya yaitu bahwa perjanjian pinjam pakai adalah Cuma-Cuma karena
kalu\au diperjanjian suatu harga berarti merupakan sewa menyewa. Sedangkan
pinjam meminjam mewajibkan untuk mengganti (membayar) barang yang dipinjam
tersebut. Dalam pinjam meminjam ini dapat diperjanjikan adanya bunga tertentu.
Adapun mengenai hak milik, dalam pinjam pakai tetap berada pada pihak yang
meminjamkan. Sedangkan dalam pinjam meminjam hak milik menjadi milik pihak
peminjam.

Kewajiban peminjam yaitu:


 mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah dan keadaan yang sama pada
waktu yang ditentukan.
 Membayar harga barang yang dipinjamnya bila ia tidak mampu mengembalikan
barang dalam jumlah dan keadaan yang sama

45
Kewajiban yang meminjamkan
 Tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkan sebelum lewatnya
waktu yang ditentukan dalam perjanjian
 Atas perintah hakim harus memberikan kelonggaran kepada peminjam jika tidak
ditetapkan suatu jangka waktu tertentu.

3.8.2 Bunga dalam Pinjam Meminjam


Dalam pinjam meminjam diperbolehkan memperjanjikan adanya bunga. Bunga
tersebut dapat berupa barang yang sejenis dengan yang dipinjam ataupun berupa uang
dalam contoh kasus 2, beras yang dipinjam adalah 100 Kg yang akan dibayar menjadi
110 kg (selama 2 bulan). Berarti bunganya adalah sebanyak 5%.

Besarnya bunga tidak ditentukan, hanya disebutkan asal tidak bertentangan dengan
undang-undang. Adapun mengenai pembatasan bunga dewasa ini tidak ada
pengaturan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan perlunya sumber biaya yang berasal
dari dana masyarakat yang dikembangkan oleh baik lembaga Keuangan Bank
maupun non Bank. Salah satu caranya yaitu dengan memberi kebebasan bagi
bank/non bank untuk menentukan pagu kredit maupun suku bunganya. Jadi saat ini
tidak ada pembatasan baik mengenai besarnya pagu kredit maupun suku bunga.

3.9 PEMBERIAN KUASA


Perhatikan contoh surat kuasa berikut ini:
Kepada Yth:

“Bank Mini” Politeknik


Cabang
Di
……………………….

Surat Kuasa

Yang bertanda tangan dibawah ini: dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama sendiri
PT/CV/Fa/PD……………………………………………………………………………..

46
Berkedudukan di:
…………………………………………………………………………………………….
dengan ini memberi kuasa kepada:
1. ……………………………….. …………………
2. ……………………………………………………
3. …………………………………………………...

pekerjaan: …………………………………………………………………………………
secara bersama-sama/masing-masing: kami/PT/CC/Fa/PD ……………………………...
untuk dan atas nama ………………………………………………………………………

1. manandatangani setiap surat-surat biasa maupun surat-surat perintah pemindahan


bukuan atas saldo kami yang ada pad Bank Mini, menarik wesel-wesel dan membuat
promes-promes serta surat-surat berharga lainnya.
2. menandatangani cek-cek/bilyet giro, tanda penerimaan rekening koran dan lain-lain
dalam arti kata seluas-luasnya.
3. ……………………………………………………………………………………

Surat kuasa ini berlaku sampai Bank Mini menerima pemberitahuan secara tertulis tentang
pencabutannya.

……………………….. 19
Yang diberi kuasa Pemberi Kuasa
1.
2. Materai
3.
mengetahui/turut menyetujui

ttd

Dari contoh diatas kita melihat adanya suatu pemberian kuasa dari seseorang atau
suatu badan hukum yang ditujukan kepada Bank Mini Politeknik. Agar lebih jelas
baiklah kita lihat uraian di bawah ini.

3.9.1 Pengertian Pemberian Kuasa


Dalam kegiatannya sehari-hari, kadang-kadang seseorang berhalangan untuk dapat
melakukan urusan sendiri. Karena itu ia memerlukan orang lain untuk mewakilinya
untuk melakukan urusan tersebut.

47
Akan tetapi perwakilan ini tidak bisa dilakukan begitu saja karena memerlukan
formalitas tertentu yang disebut pemberian kuasa. Adapun orang yang diberi kuasa
tersebut disebut “juru kuasa” atau kuasa.

Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian antara satu pihak yang memberikan
kekuasaan (wewenang) kepada orang lain, sedangkan orang lain ini menerimanya
untuk menyelenggarakan suatu urusan, untuk dan atas nama pemberi kuasa tersebut.

Pemberian kuasa mengakibatkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh juru
kuasa merupakan tanggungan pemberi kuasa. Demikian pula segala hak dan
kewajiban yang timbul dari pelaksanaan kuasa itu menjadi hak dan kewajiban
pemberi kuasa.

3.9.2 Cara Pemberian Kuasa


Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan lisan maupun tulisan. Dengan tulisan yaitu
dengan surat atau akta baik akta notaris maupun akta dibawah tangan. Sedangkan
penerimaan kuasa dapat dilakukan secara diam-diam, yaitu disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa tersebut oleh yang diberi kuasa. Dapat disimpulkan bahwa
perjanjian pemberian kuasa ini pun bersifat konsesual, artinya sudah dianggap sah
dan mengikat sejak tercapainya kesepakatan antara pemberi dan penerima kuasa.

Pemberian kuasa tidak dapat dilakukan untuk perbuatan hukum yang sangat erat
dengan pribadi seseorang, misalnya dalam hal membuat wasiat (testment),
memberikan hak pilih dalam Pemilihan Umum, atau pun rapat anggota perkumpulan
seperti dalam PT, CV, Firma, dan lain-lain.

Pemberian kuasa ini dapat dilakukan secara:


1. Umum

48
Yaitu meliputi segala perbuatan hukum yang menjadi kepentingan pemberian
kuasa. Misalnya untuk mewakili pemberian kuasa dalam segala hal berkaitan
transaksi dagang yang dilakukan.
2. Khusus
Yatiu hanya mengenai satu (atau lebih) kepentingan tertentu. Misalnya
mengembalikan uang di bank, menjualkan suatu barang, dan lain-lain.

Khusus untuk pemberian kuasa dalam hal mengajukan perkara gugatan di muka
pengadilan diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. tertulis
yaitu dengan menyebutkan nama pihak dan perkara apa yang digugat
2. lisan
Yaitu bila pemberi kuasa membawa orang yang diberi kuasa kedepan sidang
pengadilan

Dalam pemberian kuasa ini orang yang diberi kuasa tidak boleh bertindak untuk
melampaui batas wewenangnya. Bila kuasa melakukan hal ini maka pemberi kuasa
dapat membebankan kerugian pada si penerima kuasa.

3.9.3 Kewajiban-kewajiban Penerima Kuasa


 melaksanakan kuasa yang diterimanya sampai dibebaskandari pemberian kuasa
tersebut
 menanggung segala biaya kerugian, dan bunga yang timbul dari kelalaian bila
tidak melaksanakan tugas dengan baik
 menyelesaikan urusan yang sudah dikerjakan pada waktu pemberi kuasa
meninggal, yang dapat menyebabkan kerugian bila tidak segera dilaksanakan
 melaksanakan tugas dengan sebutan-sebutannya dalam waktu yang ditentukan
 memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberi
perhitungan tentang segala sesuatu yang telah diterimanya berdasarkan pemberian
kuasa

49
3.10 PENANGGUNGAN UTANG
Contoh Kasus:
A meminjam uang kepada B sebanyak Rp 100 juta dengan menjaminkan rumahnya.
Akan tetapi B merasa khawatir bila A tidak dapat membayar utangnya, sedangkan
jaminan atas utang tersebut dikhawatirkan hilang karena A mempunyai utang juga
kepada C dan D. oleh karananya B meminta jaminan lain berupa orang yang dapat
menjamin pembayaran utang A. kemudian E sebagai orangtua A mengikatkan diri
untuk menjadi penjamin terhadap pembayaran utang A tersebut.

Contoh diatas memperlihatkan adanya jaminan bagi pembayaran suatu utang yang
tidak berupa harta tetapi berupa orang.

Sebagimana kita ketahui, ada bermacam-macam jaminan atas pinjaman suatu uatng,
yaitu:
1. jaminan benda bergerak (gadai/pand)
2. jaminan benda tidak bergerak (hipotik)
3. jaminan perorangan (borgtocht)

3.10.1 Pengertian Penanggungan Utang


Pengangungan utang yaitu suatu perjanjian dalam hal seseorang pihak ketiga
mengikatkan diri untuk memnuhi perikatan si berutang. Hal ini dilakukan bila orang
yang berutang tersebut tidak dapat membayar utangnya. Sedangkan tujuanya adalah
demi kepentingan diri si berutang.

Penanggung utang merupakan perjanjian “accessoir”, yaitu perjanjian yang


tergantung dari perjanjian pokok. Perjanjian pokok dalam kasus diatas yaitu
perjanjian pinjaman uang. Bila perjanjian pokok ini dibatalkan maka perjanjian
penanggungan utang pun ikut batal.

50
Penanggungan utang (borg/guatantor) ini tidak dapat mengikatkan diri dengan syarat
yang lebih berat dari si berutang. Adapun jika penanggungan utang ini dilakukan
dengan syarat yang lebih berat dari perjanjian pokoknya, maka akan dianggap sah
untuk jumlah yang sama atau senilai dengan perjanjian pokoknya.

Penanggungan utang harus dinyatakan secara tegas, jadi tidak boleh hanya
disimpilkan dari perbuatan “seolah-olah” bersedia menanggung utang ini harus selalu
dilakukan dengan tertulis karena dapat juga dilakukan dengan lisan.

3.10.2 Akibat-akibat Penanggungan Utang


Penanggungan utangdiwajibkan untuk membayar kepada si berpiutang bila si
berpiutang lalai untuk memenuhi janji. Akantetapi terlebih dahulu utang tersebut
harus dilunasi oleh si berutang. Bila harta benda si berutang tidak mencukupi untuk
membayar utangnya, barulah penanggug utang wajib utuk membayar utang tersebut.

Akan tetapi penanggung utang tidak dapat menuntut agar harta benda si berutang
disita terlebih dahulu, bila:
 penanggung utang telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
dilakukannya lelang sita lebih dahulu atas harta benda si berutang
 penanggung utang telah mengikatkan diri secara tanggung menanggung
dengan si berutang
 si berutang dapat mengajukan suatu tangkisan hanya mengenai dirinya secara
pribadi
 si berutang berada dalam keadaan pailit
 penanggungan utang tersebut diperintahkan oleh hakim

untuk melaksanakan haknya meminta penyitaan atas harta benda si berutang,


penanggung utang harus meminta pada waktu pertama kali dituntut di muka
pengadilan. Adapun untuk itu ia harus menunjukan harta benda si berutang dan
memberi biaya tersebut untuk melakukan penyitaan dan pelelangan.

51
Penanggung utang itu juga mempunyai hak untuk meminta pemecahan utang bila
penanggungan utang itu dilakukan bersama-sama secara menanggung.

3.10.3 Hak-hak Penanggung Utang


Hak penanggung utang adalah sebagai berikut:
 menuntut pembayaran utang dari si berutang walaupun penanggungan itu
dilakukan tanpa diketehui oleh si berutang
 menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan-alasan untuk itu
 menggantikan segala hak si berpiutang kepada si berutang termasik hipotik,
fiducia.

Akan tetapi penanggung utang ini mempunyai kewajiban untuk memberitahukan


kepada si berutang bila dia akan melakukan pembayaran utangnya. Bila tidak
demikian dia tidak dapat menuntut apa yang telah dibayarkannya kepada si berutang
bila si berutang telah membayar untuk kedua kalinya.

Adapun cara berakhirnya penanggungan utang ini adalah sama dengan cara
berakhirnya perikatan pada umumnya.

3.11 PERJANJIAN KERJA


Contoh kasus:
A bekerja pada pabrik tektil milik Tuan B. diperjanjian bahwa A akan mendapat
upah sebanyak Rp 15.000,- per minggu. Akan tetapi telah tiga minggu ini A tidak
mendapat upah. Kemudian A mengajukan masalahnya tersebut kepada pihak
majikan. Tetapi S bahkan dipecat dari pekerjaannya dengan alasan melawan kepada
majikan.
Pertanyaan: Kepada siapa A dapat mengadukan masalah tersebut?

52
Kasus diatas merupakan suatu masalah dalam perjanjian kerja (perburuhan). Berikut
ini kita pelajari:

3.11.1 Macam-macam Perjanjian untuk melakukan pekerjaan


Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal pekerjaan yang dilakukan oleh seorang
dokter dalam mengobati pasiennya. Notaris serta pengacara dengan kliennya,
ataupun akuntan publik dengan pelanggannya. Demikian juga kita sering mendengar
adanya pemborongan jembatan, gedung, ataupun bangunan lainnya. Apakah
pekerjaan-pekerjaan tersebut diatas merupakan perjanjian kerja (perburuhan) atau
bukan?

Kita lihat bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan diatas tidak tampak adanya
suatu hubungan antara buruh dan majikan. Juga tidak tampak kesan satu pihak lebih
tinggi dari pihak lainnya. Dokter mengobati pasien, pengacara mewakili kliennya
dalam menyelesaikan suatu urusan dan sebagainya. Tetapi dokter bukanlah buruh
dan pasien bukanlah majikan. Demikian juga pemborong pekerjaan bukan
merupakan buruh dari pihak yang memborongkan pekerjaan karena yang dituju
adalah hasil pekerjaan tersebut. Oleh karena itu hubungan yang kita lihat diatas
bukan merupakan perjanjianperburuhan walaupun termasuk ke dalam perjanjian
untuk melakukan pekerjaan.

Dalam undang-undang terdapat 3 macam perjanjian untuk melakukan pekerjaan,


yaitu:
1. perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
2. perjanjian kerja/perburuhan
3. oerjanjian pemborongan pekerjaan

hubungan antara dokter dengan pasiennya, pengacara dengan kliennya, dan


sebagainya merupakan perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Yaitu dalam
hal salah satu pihak menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh pihak lain yang

53
pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak lain tersebut. Untuk itu pihak
yang menghendaki dilakukannya pekerjaan tersebut bersedia membayar suatu
upah/honorarium. Biasanya pihak yang melakukan pekerjaan ini adalah seorang ahli
yang profesional dalam bidangnya.

Adapun pemborongan pekerjaan yaitu perjanjian antara satu pihak yang menghendaki
suatu hasil pekerjaan dari pihak lainnya dengan pembayaran sejumlah uang sebagai
harga borongan. Yang penting bagi pihak yang memborongkan perjanjian adalah
hasil dari pekerjaan tersebut, dan bukan bagaimana caranya pekerjaan tersebut
dilakukan.

Yang akan kita bahas disini adalah perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang
berbeda dengan keduam macam perjanjian lainya.

3.11.2 Pengertian Perjanjian Kerja (Perburuhan)


Perjanjian kerja yaitu perjanjian yang terjadi antara buruh dengan majikan. Buruh
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah,
dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan
membayar upah. Sedangkan perjanjian perburuhan yaitu perjanjian kerja yang dibuat
oleh Serika Buruh dengan Majikan atau Serikat Buruh dengan Serikat Majikan.

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 22 Tahun 1957, buruh adalah orang yang
bekerja pada majikan dengan menerima upah.

Dari definisi diatas terlihat adanya hubungan diperatas. Karana salah satu pihak
(majikan) mempunyai kedudukan yang lebih dari pada pihak lainnya (buruh). Ciri
khas yang membedakan perjanjian kerja denganperjanjian untuk melakukan
pekerjaan lainnya adalah bahwa perjanjian perburuhan terdapat adanya:
a. upah/gaji tertentu yang diperjanjikan

54
b. hubungan diperatas (pihak yang satu hendak memberikan perintah dan pihak lain
harus mentaatinya)

Oleh karena dalam perjanjian perburuhan, salah satu pihak merupakan pihak yang
kuat atau lebih tinggi (karena berhak memberikan perintah) sedangkan pihak lain
lemah (karena wajib mentaati perintah tersebut) maka diperlukan adanya berbagai
perlindungan untuk melindungi pihak yang lemah ini. Misalnya perjanjian yang
terjadi antara buruh dan majikan dianggap sah bila dilakukan secara tertulis dengan
syarat:
 selembar lengkap dari perjanjian tersebut telah diberikan kepada buruh
 selembar lengkap dari perjanjian tersebut yang telah ditanda tangani majikan
untuk cibaca oleh umum telah diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja
 lembaran lengkap mengenai perjanjian tersebut ditempelkan dan tetap berada di
suatu tempat yang mudah didatangi oleh buruh (dalam ruang kerja)

adapun hak-hak buruh adalah sebagi berikut:


 hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak
 hak untuk memiliki/pindak pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan
 hak dibina keahlian dan ketrampilan bekerja
 hak untuk dilindungi terhadap keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan
moral, dan perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama
 hak untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh
 hak untuk demonstrasi dan lockout (mogok) yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan

Semua hak diatas tercantum dalam pasal 3, 4, 6, 9, 11, dan 13 undang-undang No 14


Tahun 1969.

Demikian juga suatu perjanjian antara majikan dan buruh yang berisi pembatasan
bagi buruh untuk melakukan suatu pekerjaan setelah berakhirnya hubungan kerja,

55
hanya sah dan mengikat bila dalam perjanjian tertulis dengan buruh yang telah
dewasa.

Suatu larangan lain untuk mencegah pengekangan buruh oleh majikan adalah “nerin
beding”, yaitu bahwa perjanjian antara buruh dan majikan yang berisi pernyataan
buruh untuk memakai upahnya dengan membeli barang-barang sesuai dengan
keinginan majika dianggap batal dan tidak diperbolehkan.

Bila hubungan kerja antara buruh dengan majikan berakhir, majikan wajib
memberikan surat keterangan tentang pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh,
lama hubungan kerja, dan cara-cara berakhirnya hubungan kerja antara buruh dan
majikan.

3.11.3 Cara Berakhirnya Hubungan Kerja


Kita mengenal berakhirnya hubungan kerja dengan istilah PHK (Pemutudan
Hubungan Kerja). Walaupun buruh merupakan pihak yang lemah, ia tidak bisa
diperlakukan seenaknya oleh majikan. Demikian juga dalam cara pemutusan
hubungan kerja ini terdapat aturan-aturan untuk melindungi buruh dari kesewenang-
wenangan majikan.

Perjanjian kerja dapat dilakukan untuk waktu yang tertentu (insidental) dan dapat
juga dilakukan tanpa disebutkan batasnya.

Pemutusan hubungankerja yang dilakukan untuk waktu yang tertentu akan berakhir
bila waktu yang ditentukan itu habis. Sedangkan bila dilakukan tanpa pembatasan
waktu (lebih dari lima)perjanjian bisa diakhiri baik oleh buruh maupun majikan
dengan mengindahkan tenggang waktu enam bulan.

Bila pemutusan hubungan kerja itu dilakukan dalam masa percobaan dapat dilakukan
dalam masa percobaan ini selam-lamnya adalah tiga bulan.

56
Menurut Undang-undang No 12 Tahun 1964 Pemutusan Hubungan Kerja dapat
dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Hubungan kerja yang putus demi hukum
Yaitu hubungan kerja yang akan berakhir bila buruh meninggal dunia atau
waktunya habis sesuai dengan perjanjian. Dalam hubungan kerja yang putus
demi hukum ini tidak diperlukan pernyataan pengakhiran, kecuali:
 Jika diperjanjikan dalam perjanjian tertulis atau dalam peraturan majikan
 Undang-undang atau kebiasaan mengharuskan adanya pernyataan
pengakhiran hubungan kerja

2. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak buruh


Buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja, tetapi harus dengan suatu
pernyataan pengakhiran dan dengan mengindahkan ketentuan yang berlaku. Bila
tidak demikian ia dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan harus
memberi ganti rugi kepada majikan.

3. Hubungan kerja yang diputuskan oleh majikan


Sebelum majikan memutuskan hubungan kerja, terlebih dahulu harus
dirundingkan dengan buruh yang bersngkutan atau dengan Seikat Buruh, jika
buruh menjadi anggota Serikat Buruh.

Bila tidak tercapai kesepakatan, maka pemerintah dapat turun tangan, yaitu
dengan pemberian izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P), atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). dalam
pasal 3, 4 Undang-undang No. 12 Tahun 1964 jo Surat No 362 Tahun 1967.

Majikan dilarang memutuskan hubungan dalam hal-hal sebagai berikut:


a. bila berhalangan menjalankan pekerjaannya karena sakit menut Surat
Keterangan Dokter selama tidak melampaui 12 bulan terus menerus

57
b. bila buruh berhalangan menjalankan pekerjaan karena memnuhi kewajiban
negara, atau menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan disetujui
oleh pemerintah, misalnya: menunaikan ibadah haji.

Adapun majikan boleh memutuskan hubungan kerja tanpa izin dari pemerintah
bilamana
 PHK tersebut telah disetujui oleh Serikat Buruh
 PHK tersebut telah mendapat persetujuan dari buruh sendiri
 PHK dilakukan ketika buruh dalam masa percobaan (3 bulan)
 PHK terhadap perjanjian kerja untuk waktu tertentu
 PHK yang diputuskan oleh hakim karena alasan penting
 PHK oleh Balai Harta Peninggalan (BHP)
 PHK setelah buruh mencapai usia tertentu untuk pensiun

4. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan


Yaitu bila PHK dimintakan oleh pihak yang bersangkutan (buruh atau majikan)
karena suatu alasan yang penting. Misalnya wali buruh mengajukan gugatan
karena buruh belum dewasa dan sebagainya.

3.11.4 Perselisihan Perburuhan


Perselisihan perburuhan dibagi 2:
1. Perselisihan Hak
Yaitu perselisihan yang timbul karena salah satu pihak dalam perjanjian kerja
tidak memenuhi isi perjanjian kerja (melakukan wanprestasi). Perselisihan ini
akan diajukan kepada Pengadilan Negeri (untuk buruh perseorangan)

2. Perselisihan Kepentingan
Yaitu perselisihan yang terjadi karena salah satu pihak ingin mengadakan
perubahan dalam syarat-syarat perburuhan. Misalnya buruh menntut kenaikan
upah.

58
Perselisihan perburuhan dapat diselesaikan dengan cara:
1. Sukarela
Yaitu penyelesaian yang dapat dilakukan dengan mengadaka perundingan antara
pihak buruh atau serikat buruh dengan majikan atau serikat majikan

2. Penyelesaian Wajib
Yaitu apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan perundingan, dan
pihak yang berselisih tidak menyerahkan kasusnya kepada Dewan Arbitrase.
Karena itu kasus tersebut harus diberitahukan dengan surat kepada pegawai
perburuhan yang ditunjuk oleh menteri perutusan untuk memberikan perantaraan
dalam penyelesaian perburuhan.

59

Anda mungkin juga menyukai