PERJANJIAN-PERJANJIAN KHUSUS
Perjanjian khusus terdapat dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain. Di samping itu pula yang berada di luar KUH Perdata seperti sewa beli dan
leasing. Sewa beli dan leasing merupakan jenis perjanjian yang tumbuh dalam
praktek sebagai perkembangan dalam dunia perniagaan. Marilah kita lihat jenis-jenis
perjanjian khusus di bawah ini.
30
Perjanjian jual beli terjadi setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu
pihak penjual sepakat untuk menyerahkan barangnya sedengkan pembeli sepakat
untuk membayar harganya. Dengan demikian jual beli menganut konsesualisme. Hal
ini dapar disimpulkan dari pasal 1458 KHU Perdata, yaitu bahwa jual beli dianggap
sudah terjadi di antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat
antara barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum
dibayar.
31
Jika ada tuntutanatau gugatan dari pihak ketiga yang menyebabkan pembeli harus
menyerahkan barang yang telah dibelinya itu pada pihak ketiga, maka penjual
harus mengganti kerugian kepada pembeli.
Bila tidak demikian, dpat juga si pembeli meminta kepada hakim untuk
menyertakan penjual dalam persidangan. Inilah yang disebut dengan
“pengikutsertaan” (voeging) dalam hukum Acara Perdata.
Cacat yang tidak terlihat ini misalnya kerusakan atau bocornya bagian mesin pada
kendaraan yang tidak dapat dilihat atau diketahui oleh pembeli, sehingga bila pembeli
mengetahuinya ia tidak akan mau membeli kendaraan tersebut.
Cacat yang terlihat misalnya cat yang luntur pada rumah dan kendaraan, atau kaca
pecah tidak wajib untuk ditanggung oleh penjual karena pembeli selayaknya telah
mengetahui cacat yang terlihat itu. Bila ia setuju untuk membelinya berarti ia
menerima keadaan benda itu sebagimana adanya. Kewajiban penjual untuk
menanggung cacat-cacat tersembunyi juga berlaku bila penjual tidak mengetahui
tentang cacat tersebut, kecuali jika diperjanjikan bahwa penjual tidak akan
menanggung sesuatu apapun.
32
Jika waktu dan tempat pembayaran tidak ditetrapkan maka pembeli harus membayar
di tempat dan pada waktu ketika penyerahan akan dilakukan.
Pembeli dapat mengangguhkan pembayarannya jika ia diganggu atau khawatir
adanya suatu tuntutan hukun berdasarkan hipotik atau tuntutan untuk meminta
kembali barangnya. Hal ini berlaku sampai penjual mengehentikan gangguan
tersebut atau menjamin untuk menanggung akibat gangguan-gangguan tersebut.
Akan tetapi juga dapat minta diperjanjikan bahwa pembeli diwajibkan menanggung
segala akibat yang datang terhadap penguasaan barang tersebut.
Pasal tersebut kini telah dicabut oleh SEMA no. 3 Tahun 1963 karena dirasakan
kurang memenuhi rasa keadilan, karena walupun pembeli belum mendapatkan
barang, dia harus tetap membayar harganya. Oleh karena itu resiko ini
dibebankan kepada debitur yang memiliki barang tersebut.
33
2. Resiko terhadap barang yang dijual menurut berat jumlah dan ukuran
Resiko barang yang dijual menurut berat, jumlah dan ukuran (misalnya buah-
buahan, kain dan lain-lain) ditanggung oleh penjual sampai barang tersebut
ditimbang, dihitung atau diukur.
Resiko terhadap barang dalam dalam jual beli berdasar pasal 1640 dirasa tidak
memenuhi rasa keadilan karena pembeli belum menerima barangnya. Oleh sebab itu
kita harus beranggapan bahwa selama barang belum diserahkan oleh penjual kepada
pembeli, resiko harus dipikul oleh penjual yang masih merupakan pemilik barang
yang dijual tersebut. Mengapa? Karena perjanjian jual beli merupakan perjanjian
timbal balik yang membebankan kewajiban kepada kedua belah pihak. Oleh sebab
itu akan dirasakan tidak adil bila pihak yang belum menerima suatu prestasi dari
pihak lainnya harus menanggung resiko pembeli.
Untuk itu ia harus mengmbalikan harga pembelian asal kepada pembeli dengan
disertai penggantian semua biaya yang telahdikeluarkan untuk menyelenggarakan
pembeli serta penyerahannya.
34
Disamping itu, iapun harus mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli
untuk pembetulan-pembetulan dan biaya tambahan yang menyebabkan barang yang
dijual bertambah harganya.
Hak untuk membeli kembali ini tidak boleh diperpanjangkan waktu untuk waktu yang
lebih dari lima tahun. Dariadanya ketentuan hak untuk membeli kembali ini kita
dapat menyimpulkan bahwa pembeli tidak boleh menjual lagi kepada orang lain
karena setiap waktu penjual bisa menuntut kembali penyerahan barang yang telah
dijualnya.
Bila barang yang bergerak dijual kepada pihak ketiga oleh pembeli, maka pihak
ketiga ini aman dari tuntutan untuk mengembalikan barangnya kepada penjual
pertama. Penjual pertama ini hanya dapat menuntut ganti rugi kepada pembeli
pertama yang telah menyalahi janjianya.
Tetapi apabila barang yang telah dijual kepada pihak ketiga ini merupakan barang
yang tidak bergerak, penjual boleh menggunakan hak untuk membeli kembali kepada
pihak ketiga meskipun dalam peranjian tidak disebutkan menganai janji tersebut.
Yang dimaksud dengan benda bertubuh yaitu benda yang dapat dilihat serta diraba
oleh indera. Sedangkan benda tak bertubuh dalam kehidupan sehari-hari kita kenal
sebagi “hak”, misalnya hak atas suatu warisan hak cipta, hak merk, hak oktori, dan
surat-surat berharga seperti wesel, cek, dan saham. Lebih jauh tentang jual beli benda
tak bertubuh akan dibahas dalam bab VI tentang surat berharga.
35
3.5 Hak Reklame
Hak reklame artinya hak penjual untuk menuntut kembali barang yang telah dijual
bila pembeli tidak membayar harga pembelian.
Hak reklame yang diatur dalam KUH Perdata hanya berlaku untuk jual beli tunai,
artinya jual beli tanpa janji bahwa harga dapat dibayar secara angsuran atau cicilan.
Hak reklame juga tidak boleh dilakukan untuk jangka waktu yang lebih dari 30 hari
(1145 KUHP).
Adapun syarat hak reklame yang terdapat dalam KUH Dagang adalah lebih ringan,
yaitu:
Meliputi jual beli kontan dan kredit
Penuntutan dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari
Penuntutan dapat dilakukan walaupun barang telah berada pada tangan orang lain
Dapat kita simpulkan bahwa pihak penjual yang melakukan hak reklame ini berarti
telah melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak karena adanya wanprestasi dari
pihak pembeli.
Contoh Kasus 2
C menyewa mobil D untuk waktu 2 bulan dengan pembayaran suatu harga yang
ditentukan. Setelah 2 bulan berlangsung C mengembalikan mobil tersebut dalam
36
keadaan rusak. Sedangkan waktu meminjam, mobil tersebut dalam keadaan baik.
Dapatkah D menuntut kerugian atas rusaknya mobil tersebut?
Dari definisi tersebut tersirat dua kewajiban, pertama yaitu pihak yang satu
memberikan kenikmatan atas suatu barang dan kedua pihak lain membayar harganya.
Jadi yang diserahkan bukan barang untuk dapat dimiliki seperti halnya dalam jual
beli, melainkan hanya untuk dapat dinikmati atau dipakai saja.
Oleh karena orang yang dapat menyewakan suatu barang tidak selalu harus
merupakan pemilik barang tersebut. Misalnya orang yang mempunyai hak “nikmat
hasil” atas sebidang tanah dapat menikmati hasil tanah tersebut dengan jalan
menyewakan kepada orang lain. Adapun yang merupakan objek sewa menyewa
meliputi benda bergerak dan tidak bergerak.
37
5. memberikan ganti rugi bila cacat tersebut telah merupakan kerugian bagi si
penyewa
6. tidak merubah wujud atau tatanan yang disewakan.
38
“Jika selama waktu sewa barang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian tidak sengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.”
Dari pasal tersebut terdapat perkataan “gugur demi hukum” yang berarti bahwa para
pihak sudah tidak bisa menuntut sesuatu pun dari pihak lainnya.
Bila sewa menyewa dilakukan secara tertulis, maka akan berakhir sampai waktu yang
ditentukan tanpa diperlukan adanya pemberitahuan, karena telah ditetapkan dalan
perjanjian. Sedangkan bila sewa menyewa tersebut dilakukan dengan lisan, yang
menyewakan harus memberitahukan lebih dahulu bahwa ia akan menghentikan
sewanya. Adapun jangka waktunya dilakukan menurut kebiasaan setempat. Jadi
tidak berakhir secara otomatis seperti pada sewa menyewa tertulis.
39
untuk jangka waktu 10 bulan. Diperjanjikan bahwa X dapat memiliki televisi
tersebut pada akhir masa sewa dengan membayar sisa harga televisi tersebut, yaitu
harga televisi tunai dikurangi dengan harga sewa.
Dari kasus diatas kita dapat melihat suatu bentuk perjanjian dengan nama sewa beli.
Perjanjian sewa beli ini tidak terdapat dalam KUH Perdata maupun dalam KUH
Dagang, tetapi tumbuh sebagai ciptaan dalam praktek. Hal ini memang
diperbolehkan karena hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak yang
memberi kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian
yang berupa dan berisi apa saja. Tetapi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam buku “The Language of Money”, Edna Cerew menyatakan bahwa sewa beli
atau hire purchase adalah: “Buying goods through instalment payment so that the
‘hire’ is a buying the goods at the same as going the use of them, but not becoming
the owner of foods until all instalments have been paid”.
Unsur sewa menyewa terdapat dalam ketentuan bahwa dalam sewa beli si penyewa
beli bertindak sebagai penyewa salama barangnya belum dilunasi. Jadi ia belum
merupakan pemilik barang tersebut. Sedangkan unsur jual beli terdapat dalam
ketentuan bahwa si penyewa tadi dapat menjasi pemilik barang yang disewanya
setelah membayar harga sewa terkahir.
40
Kalau kita lihat, sebenarnya sewa beli ini lebih mirip jual beli dengan cicilan.
Perbedaannya yaitu bahwa dalam jual beli dengan cicilan hak milik sudah berpindah
kepada pembeli, tetapi ia masih mempunyai utang pada penjual yang harus
dibayarnya tiap bulan sampai lunas. Sedangkan dalam sewa beli hak milik belum
berpindah ke tangan penyewa beli sehingga ia tidak bisa melahirkan barang tersebut.
Perlu diketahui bahwa harga barang dalam sewa beli biasanya lebih tinggi dari harga
barang yang dijual secara tunai. Misalnya barang yang harga tunainya sekitar Rp.
600.000,00 dapat menjadi Rp. 700.000,00 bila disewa beli.
Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa beli biasanya alat-alat keperluan rumah
tangga seperti mesin jahit, televisi, lemari es, mesin cuci, mobil sepeda motor, dan
lain-lain.
41
Yurisprudensi mengenal sewa beli yang terjadi dalam tingkat kasasi pada tanggal 16
Desember 1957. yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa resiko dipikul oleh
penyewa beli dengan berpedoman pada pasal 1460 KUH Perdata (yang menyatakan
bahwa resiko dalam jual beli dipikul oleh pembeli). Dalam hal ini resiko sewa beli
disamakan dengan resiko pada jual beli.
Kita ketahui bahwa pasal 1460 KUH Perdata telah dicabyt oleh SEMA No 6 Tahun
1963 karena tidak menjamin rasa keadilan. Oleh sebab itu Prof. Subekti dalam
bukunya Aneka Perjanjian mengemukakan bahwa resiko sewa beli ini lebih tepat
berpedoman pada pasal 1545 KUH Perdata tentang tukar menukar. Adapun isi pasal
tersebut adalah sebagai berikut”
“Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar
kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur. Dan pihak yang telah
memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah ia berikan dalam
tukar menukar.”
Pasal tersebut diatas menyatakan behwa bila terjadi keadaan memaksa (overmacht)
maka perjanjian dianggap gugur. Artinya kedua belah pihak tidak dapat menuntut
kerugian apapun dari pihak lainnnya. Demikian juga dalam perjanjian sewa beli ini
terjadi keadaan memaksa menurut Prof. Subekti perjanjian dianggap gugur.
Tidak ada cicilan hak opsi, jadi Pada cicilan terakhir ada
pada cicilan / pembayaran hak opsi, yaitu untuk:
terakhir barang tersebut harus a. membeli benda
dibeli b. menukar benda
tersebut dengan yang
baru
42
Tujuannya memang untuk Tujuannya untuk memakai
memiliki barang tersebut. barang tersebut.
Pada dasarnya sewa beli dan leasing mempunyai persamaan, yaitu merupakan sewa
menyewa dengan adanya kesempatan bagi penyewa untuk menjadi pemilik barang
yang disewanya. Pada saat ini perjanjian leasing begitu populer sehingga
perusahaan-perusahaan leasing kini banyak didirikan.
Sebagaimana halnya dengan sewa beli, leasing pun belum diatur didalam undang-
undang tersendiri, melainkan ditetntukan oleh para pihak yang terlibatdidalam
perjanjian leasing itu sendiri.
Pengertian diatas sama dengan pengertian leasing dalam hukum barat. Sedangkan
pengertian leasing dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No KEP/122/MK/IV/1974, No
32/M/SK/1974, No 30/KPB/I/1974 yang dikeluarkan tanggal 7 Februari 1974 yaitu:
“Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan
bearang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jankga waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak
pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang
telah disepakati bersama.”
43
Leasing dapat diselenggarakan oleh Lembaga Keuangan yang dimaksud dalam SK
Menkeu No Kep 38/MK/IV/I/1972, dan badan usaha lain non lembaga tetapi
sebelumnya harus mendapat izin dari menteri keuangan.
Dalam leasing, penyewa (lessee) setuju untuk membayar sejumlah uang cicilan dalam
suatu jangka waktu yang ditentukan kepada yang menyewakan. Sedangkan yang
menyewakan tetap menjadi pemilik barang sepanjang masa sewa. Biasanya barang
yang menjadi objek leasing ini merupakan barang-barang yang bernilai jual tinggi
seperti gudang, mobil, mesin fotocopy, dan sebagainya.
Perbedaannya dengan sewa beli yaitu bahwa dalam leasing terdapat “hak opsi”, yaitu
hak yang ditawarkan oleh pemilik barang kepada penyewa untuk memilih apakah ia
akan membeli barang yang disewanya pada akhir masa sewa ataukan hanya ingin
menyewa barnag tersebut.
Bila penyewa ingin membeli barang yang telah disewanya itu, ia hanya diwajibkan
melunasi harga barang semula dikurangi dengan ongkos sewa yang telah dibayarnya.
Misalnya harga barang yangdisewa adalah Rp. 10 juta, sedangkan harga sewa yang
telah dibayar adalah Rp. 2 juta. Maka jumlah yang harus dibaya oleh di penyewa
(yang bermaksud membeli barang itu) adalah Rp 10 juta – Rp. 2 juta = Rp. 8 juta.
Hak opsi ini tidak dikenal dalam sewa beli karena dalam sewa beli barang yang
disewa beli itu memang bertujuan untuk dibeli atau dimiliki oleh penyewa beli.
Contoh Kasus 2:
44
C akan mengadakan pesta tetapi ia tidak mempunyai uang untuk membeli beras. Lali
oa meminjam beras kepada D sebanyak 100 Kg. C berjanji untuk mengembalikan
beras tersebut 2 bulan yang akan datang sebanyak 110 Kg.
Perbedaan lainnya yaitu bahwa perjanjian pinjam pakai adalah Cuma-Cuma karena
kalu\au diperjanjian suatu harga berarti merupakan sewa menyewa. Sedangkan
pinjam meminjam mewajibkan untuk mengganti (membayar) barang yang dipinjam
tersebut. Dalam pinjam meminjam ini dapat diperjanjikan adanya bunga tertentu.
Adapun mengenai hak milik, dalam pinjam pakai tetap berada pada pihak yang
meminjamkan. Sedangkan dalam pinjam meminjam hak milik menjadi milik pihak
peminjam.
45
Kewajiban yang meminjamkan
Tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkan sebelum lewatnya
waktu yang ditentukan dalam perjanjian
Atas perintah hakim harus memberikan kelonggaran kepada peminjam jika tidak
ditetapkan suatu jangka waktu tertentu.
Besarnya bunga tidak ditentukan, hanya disebutkan asal tidak bertentangan dengan
undang-undang. Adapun mengenai pembatasan bunga dewasa ini tidak ada
pengaturan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan perlunya sumber biaya yang berasal
dari dana masyarakat yang dikembangkan oleh baik lembaga Keuangan Bank
maupun non Bank. Salah satu caranya yaitu dengan memberi kebebasan bagi
bank/non bank untuk menentukan pagu kredit maupun suku bunganya. Jadi saat ini
tidak ada pembatasan baik mengenai besarnya pagu kredit maupun suku bunga.
Surat Kuasa
Yang bertanda tangan dibawah ini: dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama sendiri
PT/CV/Fa/PD……………………………………………………………………………..
46
Berkedudukan di:
…………………………………………………………………………………………….
dengan ini memberi kuasa kepada:
1. ……………………………….. …………………
2. ……………………………………………………
3. …………………………………………………...
pekerjaan: …………………………………………………………………………………
secara bersama-sama/masing-masing: kami/PT/CC/Fa/PD ……………………………...
untuk dan atas nama ………………………………………………………………………
Surat kuasa ini berlaku sampai Bank Mini menerima pemberitahuan secara tertulis tentang
pencabutannya.
……………………….. 19
Yang diberi kuasa Pemberi Kuasa
1.
2. Materai
3.
mengetahui/turut menyetujui
ttd
Dari contoh diatas kita melihat adanya suatu pemberian kuasa dari seseorang atau
suatu badan hukum yang ditujukan kepada Bank Mini Politeknik. Agar lebih jelas
baiklah kita lihat uraian di bawah ini.
47
Akan tetapi perwakilan ini tidak bisa dilakukan begitu saja karena memerlukan
formalitas tertentu yang disebut pemberian kuasa. Adapun orang yang diberi kuasa
tersebut disebut “juru kuasa” atau kuasa.
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian antara satu pihak yang memberikan
kekuasaan (wewenang) kepada orang lain, sedangkan orang lain ini menerimanya
untuk menyelenggarakan suatu urusan, untuk dan atas nama pemberi kuasa tersebut.
Pemberian kuasa mengakibatkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh juru
kuasa merupakan tanggungan pemberi kuasa. Demikian pula segala hak dan
kewajiban yang timbul dari pelaksanaan kuasa itu menjadi hak dan kewajiban
pemberi kuasa.
Pemberian kuasa tidak dapat dilakukan untuk perbuatan hukum yang sangat erat
dengan pribadi seseorang, misalnya dalam hal membuat wasiat (testment),
memberikan hak pilih dalam Pemilihan Umum, atau pun rapat anggota perkumpulan
seperti dalam PT, CV, Firma, dan lain-lain.
48
Yaitu meliputi segala perbuatan hukum yang menjadi kepentingan pemberian
kuasa. Misalnya untuk mewakili pemberian kuasa dalam segala hal berkaitan
transaksi dagang yang dilakukan.
2. Khusus
Yatiu hanya mengenai satu (atau lebih) kepentingan tertentu. Misalnya
mengembalikan uang di bank, menjualkan suatu barang, dan lain-lain.
Khusus untuk pemberian kuasa dalam hal mengajukan perkara gugatan di muka
pengadilan diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. tertulis
yaitu dengan menyebutkan nama pihak dan perkara apa yang digugat
2. lisan
Yaitu bila pemberi kuasa membawa orang yang diberi kuasa kedepan sidang
pengadilan
Dalam pemberian kuasa ini orang yang diberi kuasa tidak boleh bertindak untuk
melampaui batas wewenangnya. Bila kuasa melakukan hal ini maka pemberi kuasa
dapat membebankan kerugian pada si penerima kuasa.
49
3.10 PENANGGUNGAN UTANG
Contoh Kasus:
A meminjam uang kepada B sebanyak Rp 100 juta dengan menjaminkan rumahnya.
Akan tetapi B merasa khawatir bila A tidak dapat membayar utangnya, sedangkan
jaminan atas utang tersebut dikhawatirkan hilang karena A mempunyai utang juga
kepada C dan D. oleh karananya B meminta jaminan lain berupa orang yang dapat
menjamin pembayaran utang A. kemudian E sebagai orangtua A mengikatkan diri
untuk menjadi penjamin terhadap pembayaran utang A tersebut.
Contoh diatas memperlihatkan adanya jaminan bagi pembayaran suatu utang yang
tidak berupa harta tetapi berupa orang.
Sebagimana kita ketahui, ada bermacam-macam jaminan atas pinjaman suatu uatng,
yaitu:
1. jaminan benda bergerak (gadai/pand)
2. jaminan benda tidak bergerak (hipotik)
3. jaminan perorangan (borgtocht)
50
Penanggungan utang (borg/guatantor) ini tidak dapat mengikatkan diri dengan syarat
yang lebih berat dari si berutang. Adapun jika penanggungan utang ini dilakukan
dengan syarat yang lebih berat dari perjanjian pokoknya, maka akan dianggap sah
untuk jumlah yang sama atau senilai dengan perjanjian pokoknya.
Penanggungan utang harus dinyatakan secara tegas, jadi tidak boleh hanya
disimpilkan dari perbuatan “seolah-olah” bersedia menanggung utang ini harus selalu
dilakukan dengan tertulis karena dapat juga dilakukan dengan lisan.
Akan tetapi penanggung utang tidak dapat menuntut agar harta benda si berutang
disita terlebih dahulu, bila:
penanggung utang telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
dilakukannya lelang sita lebih dahulu atas harta benda si berutang
penanggung utang telah mengikatkan diri secara tanggung menanggung
dengan si berutang
si berutang dapat mengajukan suatu tangkisan hanya mengenai dirinya secara
pribadi
si berutang berada dalam keadaan pailit
penanggungan utang tersebut diperintahkan oleh hakim
51
Penanggung utang itu juga mempunyai hak untuk meminta pemecahan utang bila
penanggungan utang itu dilakukan bersama-sama secara menanggung.
Adapun cara berakhirnya penanggungan utang ini adalah sama dengan cara
berakhirnya perikatan pada umumnya.
52
Kasus diatas merupakan suatu masalah dalam perjanjian kerja (perburuhan). Berikut
ini kita pelajari:
Kita lihat bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan diatas tidak tampak adanya
suatu hubungan antara buruh dan majikan. Juga tidak tampak kesan satu pihak lebih
tinggi dari pihak lainnya. Dokter mengobati pasien, pengacara mewakili kliennya
dalam menyelesaikan suatu urusan dan sebagainya. Tetapi dokter bukanlah buruh
dan pasien bukanlah majikan. Demikian juga pemborong pekerjaan bukan
merupakan buruh dari pihak yang memborongkan pekerjaan karena yang dituju
adalah hasil pekerjaan tersebut. Oleh karena itu hubungan yang kita lihat diatas
bukan merupakan perjanjianperburuhan walaupun termasuk ke dalam perjanjian
untuk melakukan pekerjaan.
53
pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak lain tersebut. Untuk itu pihak
yang menghendaki dilakukannya pekerjaan tersebut bersedia membayar suatu
upah/honorarium. Biasanya pihak yang melakukan pekerjaan ini adalah seorang ahli
yang profesional dalam bidangnya.
Adapun pemborongan pekerjaan yaitu perjanjian antara satu pihak yang menghendaki
suatu hasil pekerjaan dari pihak lainnya dengan pembayaran sejumlah uang sebagai
harga borongan. Yang penting bagi pihak yang memborongkan perjanjian adalah
hasil dari pekerjaan tersebut, dan bukan bagaimana caranya pekerjaan tersebut
dilakukan.
Yang akan kita bahas disini adalah perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang
berbeda dengan keduam macam perjanjian lainya.
Menurut pasal 1 Undang-undang No. 22 Tahun 1957, buruh adalah orang yang
bekerja pada majikan dengan menerima upah.
Dari definisi diatas terlihat adanya hubungan diperatas. Karana salah satu pihak
(majikan) mempunyai kedudukan yang lebih dari pada pihak lainnya (buruh). Ciri
khas yang membedakan perjanjian kerja denganperjanjian untuk melakukan
pekerjaan lainnya adalah bahwa perjanjian perburuhan terdapat adanya:
a. upah/gaji tertentu yang diperjanjikan
54
b. hubungan diperatas (pihak yang satu hendak memberikan perintah dan pihak lain
harus mentaatinya)
Oleh karena dalam perjanjian perburuhan, salah satu pihak merupakan pihak yang
kuat atau lebih tinggi (karena berhak memberikan perintah) sedangkan pihak lain
lemah (karena wajib mentaati perintah tersebut) maka diperlukan adanya berbagai
perlindungan untuk melindungi pihak yang lemah ini. Misalnya perjanjian yang
terjadi antara buruh dan majikan dianggap sah bila dilakukan secara tertulis dengan
syarat:
selembar lengkap dari perjanjian tersebut telah diberikan kepada buruh
selembar lengkap dari perjanjian tersebut yang telah ditanda tangani majikan
untuk cibaca oleh umum telah diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja
lembaran lengkap mengenai perjanjian tersebut ditempelkan dan tetap berada di
suatu tempat yang mudah didatangi oleh buruh (dalam ruang kerja)
Demikian juga suatu perjanjian antara majikan dan buruh yang berisi pembatasan
bagi buruh untuk melakukan suatu pekerjaan setelah berakhirnya hubungan kerja,
55
hanya sah dan mengikat bila dalam perjanjian tertulis dengan buruh yang telah
dewasa.
Suatu larangan lain untuk mencegah pengekangan buruh oleh majikan adalah “nerin
beding”, yaitu bahwa perjanjian antara buruh dan majikan yang berisi pernyataan
buruh untuk memakai upahnya dengan membeli barang-barang sesuai dengan
keinginan majika dianggap batal dan tidak diperbolehkan.
Bila hubungan kerja antara buruh dengan majikan berakhir, majikan wajib
memberikan surat keterangan tentang pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh,
lama hubungan kerja, dan cara-cara berakhirnya hubungan kerja antara buruh dan
majikan.
Perjanjian kerja dapat dilakukan untuk waktu yang tertentu (insidental) dan dapat
juga dilakukan tanpa disebutkan batasnya.
Pemutusan hubungankerja yang dilakukan untuk waktu yang tertentu akan berakhir
bila waktu yang ditentukan itu habis. Sedangkan bila dilakukan tanpa pembatasan
waktu (lebih dari lima)perjanjian bisa diakhiri baik oleh buruh maupun majikan
dengan mengindahkan tenggang waktu enam bulan.
Bila pemutusan hubungan kerja itu dilakukan dalam masa percobaan dapat dilakukan
dalam masa percobaan ini selam-lamnya adalah tiga bulan.
56
Menurut Undang-undang No 12 Tahun 1964 Pemutusan Hubungan Kerja dapat
dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Hubungan kerja yang putus demi hukum
Yaitu hubungan kerja yang akan berakhir bila buruh meninggal dunia atau
waktunya habis sesuai dengan perjanjian. Dalam hubungan kerja yang putus
demi hukum ini tidak diperlukan pernyataan pengakhiran, kecuali:
Jika diperjanjikan dalam perjanjian tertulis atau dalam peraturan majikan
Undang-undang atau kebiasaan mengharuskan adanya pernyataan
pengakhiran hubungan kerja
Bila tidak tercapai kesepakatan, maka pemerintah dapat turun tangan, yaitu
dengan pemberian izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P), atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). dalam
pasal 3, 4 Undang-undang No. 12 Tahun 1964 jo Surat No 362 Tahun 1967.
57
b. bila buruh berhalangan menjalankan pekerjaan karena memnuhi kewajiban
negara, atau menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan disetujui
oleh pemerintah, misalnya: menunaikan ibadah haji.
Adapun majikan boleh memutuskan hubungan kerja tanpa izin dari pemerintah
bilamana
PHK tersebut telah disetujui oleh Serikat Buruh
PHK tersebut telah mendapat persetujuan dari buruh sendiri
PHK dilakukan ketika buruh dalam masa percobaan (3 bulan)
PHK terhadap perjanjian kerja untuk waktu tertentu
PHK yang diputuskan oleh hakim karena alasan penting
PHK oleh Balai Harta Peninggalan (BHP)
PHK setelah buruh mencapai usia tertentu untuk pensiun
2. Perselisihan Kepentingan
Yaitu perselisihan yang terjadi karena salah satu pihak ingin mengadakan
perubahan dalam syarat-syarat perburuhan. Misalnya buruh menntut kenaikan
upah.
58
Perselisihan perburuhan dapat diselesaikan dengan cara:
1. Sukarela
Yaitu penyelesaian yang dapat dilakukan dengan mengadaka perundingan antara
pihak buruh atau serikat buruh dengan majikan atau serikat majikan
2. Penyelesaian Wajib
Yaitu apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan perundingan, dan
pihak yang berselisih tidak menyerahkan kasusnya kepada Dewan Arbitrase.
Karena itu kasus tersebut harus diberitahukan dengan surat kepada pegawai
perburuhan yang ditunjuk oleh menteri perutusan untuk memberikan perantaraan
dalam penyelesaian perburuhan.
59