Anda di halaman 1dari 16

FORMAT COVER LUAR LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN HASIL PRAKTIK PROFESI NERS ASUHAN KEPERAWATAN


MEDIKAL BEDAH PADA MASALAH APENDIKSITIS DI RUANG ADELWEIS 2
RUMAH SAKIT TK. I BHAYANGKARA RADEN SAID SUKANTO JAKARTA
TIMUR

RICKY YANUASTUTI
195140079

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA/2020

1
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDIKSITIS

A. PENGERTIAN
Apendiksitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi diumbai cacing atau peradangan
akibat infeksi pada usus buntu. Bila infeksi parah, usus buntu itu akan pecah. Usus buntu
merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol pada bagian awal unsur atau
sekum (Jitowiyono, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana patogenis
utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh fekalit (feses keras
yang terutama disebabkan oleh serat).Patofisiologi Edisi 4 hal 448.
Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2008.
Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu saluran
kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci. Lokasi appendik
pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya pada dinding abdomen
dibawah titik Mc burney.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
1) Appendiksitis Akut
1. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal,
edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus,
mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan (Rukmono, 2011).
2. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

2
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi
serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif
dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).
3. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang
purulen (Rukmono, 2011).
4. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Rukmono, 2011).
5. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan
pelvikal (Rukmono, 2011).
6. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik (Rukmono, 2011).
2) Appendiksitis Kronis

3
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat
menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak
jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).

B. ETIOLOGI
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan
limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65%
pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis
akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks,
pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes
splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob<10%
3. Kecenderungan familiar

4
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah
terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam
keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi
serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
5. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat.

C. ANATOMI FISIOLOGI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm, dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens
apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010). Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri
apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis 10. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De
Jong, 2004). Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangren (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis dan
parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis berasal dari
medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis berasal dari kedua nervus
vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks vermiformis mengiringi saraf simpatis ke
segmen medula spinalis thorakal 10 (Moore, 2006). Gejala klinis apendisitis ditentukan
oleh letak apendiks (Schwartz, 2000).

5
Anatomi apendiks dapat dilihat pada gambar berikut :

Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin
tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Istilah usus buntu
yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya
adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di saluran
pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek fungsi sistem imun
yang jelas (Schwartz, 2000).

D. PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan sebelumnya
atau tumor.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.

6
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding. Karena
obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya iskemi yang
bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini dapat meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat
appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

E. PATHWAY

7
F. TANDA DAN GEJALA
1) Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Terdapat konstipasi atau diare.
2) Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3) Nyeri tekan lepas dijumpai.
4) Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
5) Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
6) Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
7) Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.

8
8) Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
9) Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
10) Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

Nama pemeriksaan Tanda dan gejala


Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran
kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-
tiba
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis. Terdiri dari pemeriksaan darah
lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap
ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil
diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP
adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam
setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

9
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan
eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter
atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk
melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis
akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb
(hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada
ginjal.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium
enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan
karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi
usus halus atau batu ureter kanan.
2. Pemeriksaan Radiologi
A. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04 serbuk halus
yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum
pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk
dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
B. Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma
harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura (Penfold,
2008). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks.

Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang dapat


dilihat pada tabel. Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado

10
Tabel Skor Alvarado Skor
Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah
1
ke kanan bawah
Nafsu makan menurun 1
Mual dan atau muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas Mc. Burney 1
Nyeri tekan pada titik Mc.
2
Burney
Demam (suhu > 37,2° C) 1
Pemeriksaan Laboratoris
Leukositosis (leukosit > l
2
0.000/ml)
Shift to the left (neutrofil >
1
75%)
TOTAL 10
Sumber : www.alvarado score for appendicitis.co.id
Interpretasi:
Skor 7-10 = apendisitis akut,
Skor 5-6 = curiga apendisitis akut,
Skor l-4 = bukan apendisitis akut.
Pembagian ini berdasarkan studi dari McKay (2007).

C. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi
pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda
diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi
komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi
93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR
komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki
dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang
sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan
pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya :
1) Abses

11
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2) Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36
jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh
perut, dan leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3) Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin
hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

D. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.

1) Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis
perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik
2) Operasi

12
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3) Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

E. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian Keperawatan
Wawancara untuk mendapatkan riwayat kesehatan khususnya mengenai :
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa
waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul
nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh
rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan
klien sekarang.
c. Diet : kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang
e. Aktivitas/istirahat : Malaise.
2) Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
b. Sirkulasi : Takikardia.
c. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
d. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus,
yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena

13
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena
posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
e. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
f. Demam lebih dari 38oC.
3) Psikologis klien nampak gelisah.
a. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
b. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
c. Kecemasan.

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1) Pre operasi
a. Nyeri akut
b. Perubahan pola eliminasi (konstipasi)
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
d. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
2) Post operasi
a. Nyeri
b. Gangguan integritas jaringan kulit
c. Gangguan rasa nyaman
d. Resiko infeksi
e. Defisit perawatan diri

G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Nyeri, intervensi :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon neri non verbal
4. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
5. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
6. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
7. Fasilitasiistirahat dan tidur

14
Resiko infeksi, intervensi :
1. Batasi jumlah pengunjung
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
4. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
5. kolaborasi

Defisit perawatan diri, intervensi :


1. Siapkan keperluan pribadi
2. Sediakan lingkungan yang terapeutik
3. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu melakukan perawtaan diri
4. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
5. Eduki anjurkan melakukan perawatan diri secara rutin

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

15
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification(NIC)  second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddart.
Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

16

Anda mungkin juga menyukai