Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN EMOTIONAL ABUSE PADA KECENDERUNGAN KENAKALAN

REMAJA SISWA SMA MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

Tugas
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif

Oleh :
Wahyu Panji
17070100

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
JANUARI, 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Emosional abuse (juga disebut sebagai pelecehan/kekerasan psikologis atau
pelecehan/kekerasan mental) adalah bentuk pelecehan memiliki ciri ketika
seseorang yang menundukkan, atau mengekspos, orang lain untuk perilaku yang
dapat mengakibatkan trauma psikologis, termasuk kecemasan, depresi kronis, atau
PTSD. Tidak seperti kekerasan fisik, orang-orang yang melakukan kekerasan emosi
dan menerimanya mungkin bahkan tidak menyadarinya. Dalam beberapa kasus,
hal tersebut bisa lebih buruk daripada kekerasan fisik karena dapat merusak
pikiran terhadap konsep diri. Pelecehan emosional dapat terjadi antara orang tua dan
anak, suami dan istri, di antara saudara dan di antara teman-teman (dikutip dari
http://fillmorecountyjournal.com).
Masalah sosial yang terjadi di Amerika Serikat adalah penganiayaan anak
dengan perhitungan lebih dari 740.000 anak-anak dan remaja kunjungan ke
departemen gawat darurat rumah sakit dan total biaya seumur hidup melalui
kesejahteraan anak, perawatan kesehatan, kriminal keadilan. Hal tersebut
menghabiskan penambahan biaya sebanyak $124 miliar setiap tahun. Menurut data
yang dikumpulkan oleh pusat pemerintah, untuk pengendalian dan pencegahan
penyakit menerima 3,3 juta laporan anak-anak disalah gunakan atau diabaikan.
Sekitar (71%) tujuh puluh satu persen laporan tersebut diklasifikasikan sebagai
korban pengabaian anak, (9%) sembilan persen sebagai korban pelecehan seksual,
(16%) enam belas persen sebagai korban kekerasan fisik, dan tujuh persen sebagai
korban pelecehan emosional (Sanchez, 2012).
Menurut National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC)
didapatkan Jumlah rujukan untuk perawatan sosial anak-anak dengan emotional
abuse naik dari 593.500 pada 2012/2013 menjadi 657.700 pada 2013/2014,
meningkat hampir 11%. Rujukan tahun sebelumnya (2011/2012 -2012/2013)
menurun 2%. Peningkatan baru-baru ini mungkin disebabkan oleh sejumlah kasus
perlindungan anak profil tinggi di media selama setahun terakhir, termasuk kekerasan
pada anak. Perlu dicatat bahwa jumlah rujukan telah mengalami peningkatan tajam di
masa lalu. Misalnya, ada peningkatan lebih dari 10% dalam rujukan antara tahun
2008/2009 dan 2009/2010 setelah adanya kasus kematian anak (www.nspcc.org.uk,
2015).
Berdasarkan pernyataan Komnas Perlindungan Anak Indonesia kekerasan
pada anak selalu meningkat setiap tahun. Dimulai dari 2011 sampai 2014 terjadi
peningkatan yang signifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada
3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus. Anak bisa menjadi
korban atau perilaku kekerasan dengan locus kekerasan pada anak ada 3, yaitu
di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat
atau sosial. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012di 9 provinsi
menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan
keluarga, 87.6% dilingkungan sekolah dan 17.9% dilingkungan masyarakat.
Terlebih pada masa remaja yang rentan akan kesalahan dalam pemilihan jati diri yang
disebabkan oleh masa lalu yang kurang mengenakkan.
Remaja bisa dikatakan sebagai masa perubahan dari kanak-kanak menjadi
dewasa. Tahap remaja merupakan masa dimana seseorang sedang berusaha untuk
mencari jati diri (Udampo et al., 2017). Masa remaja kerap kali mencoba melakukan
sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya (Sanjiwani & Budistyani, 2014).
Rasa ingin tahu yang tinggi dan emosi yang belum stabil menjadi alasan
mengaparemaja sering berbuat ceroboh dan nekat, belum mampu berpikir panjang
dalam mengambil sebuah keputusan untuk bertingah laku juga menjadi salah satu
alasannya.
Remaja masih mencari pola hidup yang paling pas dengan dirinya, yang
terkadang memiliki dampak yang buruk bagi dirinya maupun orang lain. Selain itu
remaja sering acuh tak acuh terhadap dampak yang ditimbulkan dari tindakannya
tersebut, meskipun memiliki resiko yang cukup berbahaya. Salah satu
alasannyamengapa hal tersebut dilakukan menurut Sanjiwani & Budistyani (2014)
adalah ingin memperbaiki status sosial di dalam pergaulan. Keadaan seperti inilah
yang membuat remaja sering membuat masalah dikarenakan pola pikir dan emosi
yang belum stabil dan belum terbentuk secara matang.
Aini (2015) menyatakan bahwa akhir-akhir ini marak terjadi kasus kenakalan
remaja atau juvenile delinquency. Nindya & Margaretha (2012) juga menjelaskan
masalah yang disebabkan oleh remaja dianggap sebagai masalah sosial, karena semua
yang dilakukan tidak berdasarkan pada norma sosial. Hal yang mendasari remaja
melakukan kenakalan menurut Yoga, Wiyani, & Indriyani (2015) yaitu meniru teman,
meniru kebiasaan ayah dan ibu, dan pola asuh dalam keluarga.
Murtiyani (2011) menjelaskan bahwa kenakalan remaja (juvenile delinquency)
adalah sebuah perilaku atau tingkah laku dimana remaja melakukan hal-hal negatif
yang sebenarnya bisa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Kenakalan bisa
saja dilakukan oleh siapapun, bukan hanya pada remaja. Peneliti menjadikan remaja
sebagai subjek dikarenakan banyaknya kasus atau contoh kenakalan yang
dilakukan oleh remaja.
Kenakalan remaja masuk dalam masalah sosial yang menyimpang.
Masalah sosial terjadi dikarenakan adanya ketidaksesuaian tingkah laku dengan
norma dan aturan sosial. Selain menjadi masalah sosial, kenakalan remaja juga
berkaitan dengan masalah perkembangan. Fatchurahman & Pratikto (2012),
apabila semasa kecil seseorang mengalami banyak masalah yang berkaitan
dengan keluarga dan lingkungan sekitar, akan membuat perilaku remaja menjadi
tidak terkendali, seperti kenakalan remaja yang mampu membuat diri mereka masuk
ke dalam jeratan narkoba, mabuk-mabukan, membolos sekolah dan lain-lain.
Aini (2015) juga menyatakan bahwa keluarga sangat berpengaruh bagi
perkembangan remaja dan akan berjalan lancar jika dalam pengawasan orang tua.
Data dikemukakan oleh Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyebutkan
bahwa penggunaan minuman keras 12 bulan belakangan ini yang melibatkan
anak berusia 10-14 tahun berkisar 0,4% dan anak berusia 15-24 tahun berkisar
15,2%. Penggunaan minuman keras 1 bulan belakangan yang melibatkan anak berusia
10-14 tahun berkisar 0,2% dan anak berusia 15-24 tahun berkisar13,3%.
Kasus lain terkait dengan kenakalan remaja adalah perilaku merokok
dimana Survei sosial ekonomi oleh BadanPusat Statistik pada tahun 2001 dan 2004
menjelaskan bahwa adanya penambahan jumlahanak-anak usia 15-19 tahun yang
merokok. Pada tahun 2001, jumlah remaja yang merokok adalah 12,7% dan
pada tahun 2004 bertambahmenjadi 17,3%.Sampai saat ini pun masalah yang
dilakukan oleh remaja semakin marak. Telah disebutkan dalam Media Indonesia
tertanggal 30 juni halaman 16, bahwa terdapat 15000 kasus tentang narkoba
yang melibatkanremaja Indonesia.
Dilansir dari Kompas TV bahwa telah terjadi tawuran antar pelajar SMA di
Jakarta yang berjumlah lima orang dan salah satu diantaranya meninggal dunia.
Tidak hanya itu, tawuran pelajar juga terjadi di Bogor dan juga telah membuat
seorang pelajar meninggal dunia. tawuran ini bahkan dijuluki sebagai “duel
gladiator”.
Humaedi (2017) menjelaskanbahwa kenakalan yang dilakukanoleh remaja
laki-laki dan perempuan tidaklah jauh berbeda. hanya ada sedikit perbedaan
yaitu pada bentuk kenakalannya. Kenakalan yang sering dilakukan oleh remaja laki-
laki itu seperti membolos, merokok, mencuri dan hal-hal yang lebih
ekstrim. Sedangkan untuk remaja perempuan, kenakalan yang sering
dilakukan yaitu melakukan pelanggaran ketika berada di tempat umum dan
pelanggaran yang berhubungan dengan kesusilaan. Santrock (2011)
mengemukakan bahwa kenakalan remaja dipengaruhioleh adanya masalah
identitas, pengaruh masyarakat, dan pola asuh keluarga inti. Remaja dengan
identitas negatif dapat menemukan dukungan untuk citra nakal remaja yang
berasal dari kalangan teman sebaya. Santrock (2011) juga menyatakan bahwa
kenakalan merupakan suatu usaha seorang remaja untuk membentuk sebuah
identitas meskipun negatif.Humaedi (2017)berpendapat bahwadampak yang bisa
ditimbulkan dari kenakalan remaja yaitu remaja tidak berhasildalam mencapai
identitas peran dalam diri dan menyebabkan semakin lemahnya pengawasan diri
sendiri. Ketahanan dalam diri remaja pun akan semakin lemah dikarenakan
remaja mudah menerima semua pengaruh yang ada di lingkungan sekitar tanpa
menyaring apakah itu merupakan hal baik atau buruk.
Cavell, Farrington, & Coid (Santrock, 2011) berpendapat bahwa sistem
keluarga atau dukungan dari keluarga juga sangat berhubungan dengan
kenakalan. Pemantauan yang dilakukan orang tua kepada anak sangat
berpengaruh pada kepribadian anak ketika dewasa nantinya. Selain itu, peran
kelekatan antara orang tua dan anak juga sangat penting. Hasil dari penelitian
yang dilakukan oleh Allen (Santrock, 2011) adalah remaja yang memiliki
kedekatan yang aman, akan lebih sedikit terlibat dalam perilaku kenakalan dan
penggunaan obat-obatan terlarang jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki
kelekatan yang tidak aman.
Sebuah studi di Amerika mengenai keluarga yang berada di lingkungan
beresiko tinggi menunjukkan bahwa orang tua kurang memiliki pengetahuan tentang
posisi anak yang berhubugan dengan apakah remaja terlibat dalam
kenakalan selanjutnya pada masa remaja. Santrock (2011) menjelaskan terdapat
dua dimensi dasar di dalam pola asuh, yaitu tanggapan atau responsiveness dan
tuntutan atau demandingness. Tanggapan merupakan dimensi yang berkaitan
dengan penerimaan orang tua, kasih sayang orang tua, dan memberikan
kesempatan kepada anak untuk lebih terbuka. Tuntutan merupakan hal yang
berhubungan dengan tuntutan orang tua kepada anak. Banyak orang tua yang
menerapkan standar sangat tinggi untuk anak mereka dan mewajibkan kepada
anak untuk memenuhi standar tersebut. namun ada juga orang juga orang tua
yang sedikit menuntut dan bahkan tidak menuntut sama sekali dikarenakan tidak
ingin mempengaruhi perilaku anak (undemanding).
Penelitian tentang kenakalan remaja sudah pernah diteliti sebelumnya.
Beberapa penelitian yang mengkaji tema tersebut antara lain:
Penelitian yang dilakukan olehFatchurahman & Pratikto (2012)yang
berjudul “Kepercayaan Diri, Kematangan Emosi, Pola Asuh Orang Tua Demokratis
dan Kenakalan Remaja” di SMK Muhammadiyah 2 Malang menyimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan secara bersamaan antara variabel kematangan emosi,
dan pola suh orang tua demokratis dengan kenakalan remaja, kecuali
variabel kepercayaan diri dengan kenakalan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Nindya & Margaretha (2012)yang
berjudul “Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap
Kecenderungan Kenakalan Remaja” di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
kelurahan Mojo, Kota Surabaya menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara
kekerasan emosional pada anak dan kecenderungan kenakalan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Aviyah & Farid (2014) yang berjudul
“Religiusitas, Kontrol Diri dan Kenakalan Remaja” di SMA Negeri 1 Jatirogo dan
SMA Negeri 1 Bancar menyimpulkan bahwaterdapat korelasi yang signifikan antara
religiusitas dan kontrol diri dengan kenakalan remaja.
Penelitian berikutnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif
antara kekerasan emosional pada anak dan kecenderungan kenakalan remaja pada
pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (Nindya & Margareta, 2012).
Berdasarkan beberapa penelitian di atas terdapat perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan oleh penulis. Perbedaannya terletak pada variabel bebas yaitu pola
asuh permisif dan populasi yaitu siswa di SMA Muhammadiyah Purwokerto. Dengan
demikian penelitian yang akan penulis lakukan dapat dikatakan orisinil.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan
antara Emotional Abuse pada Kecenderungan Kenakalan Remaja di SMA
Muhammadiyah Purwokerto?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antara Emotional Abuse pada Kecenderungan Kenakalan Remaja di SMA
Muhammadiyah Purwokerto.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah agar diketahui bahwa apakah terdapat
hubungan atnara Emotional Abuse pada Kecenderungan Kenakalan Remaja di SMA
Muhammadiyah Purwokerto.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Emotional Abuse
1. Pengertian Emotional Abuse
Menurut Jantz & McMurray (2003) emotional abusesulit ditemukan dan
mudah untuk mengingkarinya. Kekerasan fisik dan seksual memiliki ciri
yang jelas, sedangkan emotional abuse menyerang harga diri seseorang.
Emotional abuse sengaja dilakukan oleh orang lain untuk mengubah pandangan
diri korban, dengan tujuan mengontrol diri korban. Memperlakukan secara tidak
adil dengan pola konsisten yang terjadi dalam kurun waktu cukup lama,
jika ini dibiarkan akan menimbulkan trauma pada korban. Emotional abuse
menurut The Advocacy Center and The Domestic Abuse Project (2010)
dalam Paludi (2011) adalah perilaku seseorang di dalam suatu hubungan
yang bertujuan untuk mengontrol pasangan.
Emotional abuse dalam pacaran menurut Worell (2002) yaitu
berbagai bentuk tekanan, agresifitas, atau trauma yang lebih bersifat psikologis
dibandingkan bersifat fisik, walaupun pasangan tidak memiliki kontrol
kemungkinan terjadinya emotional abuse tetap ada. Pengertian yang serupa
diungkap oleh Paludi (2011) yaitu perilaku tersembunyi yang bertujuan untuk
mengontrol, mendominasi dan mengisolasi. Menurut Alberta (2008)
emotional abuse adalah tindakan untuk mendominasi, mengisolasi, dan
emosional yang berlebihan. Di sisi lain menurut Murray (2007), emotional
abusedalam berpacaran remaja yaitu tipe kekerasan berfokus pada kontrol dan
kekuatan yang paling merusak, yang dapat memicu timbulnya kekerasan fisik
danseksual.
Jadi emotional abuse adalah berbagai bentuk perilaku menekan, agresif,
atau traumatis yang memberikan dampak negatif terhadap kondisi ataupun
kesehatan mental seseorang.
2. Aspek Emotional Abuse
Jessor (dalam Nindya & Margareta, 2012) dalam teori perilaku
bermasalah (Problem Behavior Theory) menjelaskan bahwa terbentuknya
perilaku menyimpang remaja dipengaruhi oleh tiga aspek yang saling
berhubungan. Ketiga aspek tersebut yaitu:
a. Kepribadian yang meliputi nilai individual, harapan, dan keyakinan
pada remaja.
b. Sistem Lingkungan yang diterima oleh remaja, seperti pada
lingkungan keluarga atau teman sebaya.
c. Sistem Perilaku yang merupakan cara yang dipilih remaja untuk
berperilaku dalam kesehariannya.
Ketiga aspek diatas dapat berperan sebagai faktor pelindung dan faktor
resiko. Menurut Jessor (2003), yang dimaksud dengan faktor pelindung adalah
faktor yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kenakalan remaja, faktor
ini meliputi dukungan sosial, sikap positif, serta memberi contoh sikap yang
benar pada anak. Sebaliknya, faktor resiko adalah faktor yang meningkatkan
kemungkinan terjadinya kenakalan remaja, seperti perilaku orangtua yang tidak
baik pada anak, orangtua yang memberi contoh tindakan menyimpang seperti
merokok dan mabuk di depan anak.
Penelitian ini lebih ditekankan pada faktor resiko pada aspek lingkungan
dimana 3 orang remaja tinggal, atau dalam lingkungan keluarga. Faktor resiko,
seperti yang dijelaskan di atas merupakan faktor yang meningkatkan
kemungkinan seorang anak terlibat dalam kenakalan. Salah satu bentuk dari
faktor resiko yang akan di ukur dalam penelitian ini adalah tindakan kekerasan
emosional yang dilakukan oleh orangtua pada anak. Tindakan kekerasan
emosional yang dilakukan oleh orangtua dapat menjadi model yang berperan
sebagai faktor resiko terbentuknya perilaku kenakalan pada remaja.
Jessor (1977) menjelaskan bahwa anak yang tinggal dengan orangtua
yang melakukan tindak kekerasan akan belajar bagaimana cara berinteraksi dan
bersosialisasi dari orangtuanya. Selanjutnya menurut Jessor (1977) orangtua yang
terbiasa berteriak, mengancam, atau melakukan tindakan yang menyimpang
lainnya akan diamati oleh anak untuk kemudian dicontoh oleh anak saat ia harus
bersosialisasi atau melakukan interaksi dengan lingkungannya. Tindakan ini akan
membawa anak pada sebuah perilaku menyimpang yang apabila dilakukan
hingga usia remaja akan menjadi tindakan kenakalan remaja.
B. Kecenderungan Kenakalan Remaja
1. Pengertian Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja merupakan tingkah laku yang yang melampaui
batastoleransi orang lain atau lingkungan sekitar serta suatu tindakan yang
dapatmelanggar norma-norma dan hukum. Secara sosial kenakalan remaja
inidapat disebabkanoleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga remaja inidapat
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.
Sumiati (2009), mendefinisikan kenakalan remaja adalah suatu perilakuyang
dilakukan oleh remaja dengan mengabaikan nilai-nilai sosial yangberlakudi
dalammasyarakat.Kenakalan remaja meliputi semua perilakuyang menyimpang
dari norma-norma dan hukum yang dilakukan olehremaja.Perilaku ini dapat
merugikan dirinya sendiri dan orang-orangsekitarnya.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para tokoh diatas memberikan arti
bahwa kenakalan remaja adalah kecenderungan individu pada masa remaja untuk
melakukan tindakan yang melanggar aturan dan berpotesi memberikan dampak
kerugian bagi diri sendiri ataupun orang lain.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian


Berdasarkan hipotesis pada bagian sebelumnya, variabel penelitian dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Variabel Independent (X1) : Emotional Abuse
2. Variabel Dependent (Y) : Kecenderungan Kenakalan Remaja
B. Definisi Operasional Variabel
Untuk memahami pengertian dan penafsiran terhadap variabel penelitian, maka
dikemukakan definisi operasional sebagai berikut :
2. Emotional Abuse
Emotional abuse adalah berbagai bentuk kemampuan dalam perilaku menekan,
agresif, atau traumatis yang memberikan dampak negatif terhadap kondisi
ataupun kesehatan mental seseorang.
3. Kecenderungan Kenakalan Remaja
Kecenderungan kenakalan remaja adalah kemampuan seseorang dalam
tahap remaja untuk berperilaku dominan yang negatif.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Menurut Sugiyono, (2019) populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Winarsunu, (2017) menjelaskan bahwa populasi adalah
keseluruhan individu yang dimasukkan dalam penelitian, dan kemudian diambil
kesimpulan terhadap kelompok individu yang pada kahirnya akan dilakukan
generalisasi. Sedangkan menurut Azwar, (2013) populasi merupakan kelompok
subjek yang hendak diberikan generalisasi hasil suatu penelitian, selain itu
populasi dalam sebuah penelitian juga merupakan sekelompok subjek yang
memiliki ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik yang sama sehingga menjadi
pembeda dari kelompok subjek yang lain. Populasi penelitian kali ini adalah
siswa SMA Muhammadiyah Purwokerto.
2. Sampel
Menurut Sugiyono, (2019) sampel adalah bagian dari jumlah total dan
kekhususan yang dimiliki oleh populasi dalam suatu penelitian, sampel
merupakan bagian dari populasi, oleh karena itu sampel harus memiliki karakter
yang sama dengan populasi yang diambil. Sedangkan menurut Winarsunu, (2017)
sampel merupakan individu-individu yang mencerminkan sifat dan ciri-ciri yang
terdapat pada populasi. Representasi yang baik dari sampel sangat bergantung
pada sejauh mana ciri-ciri sampel itu sama dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh
sebuah populasi, sehingga memperoleh sampel yang representative sangatlah
penting, karena analisis penelitian akan didasarkan pada data sampel dan
selanjutnya akan diterapkan pada populasi (Azwar, 2013).
Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
probability sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang memberikan
kesempatan yang sama bagi setiap unsur dalam sebuah populasi untuk dipilih
menjadi anggaota sampel. Adapun teknik yang digunakan berupa simple random
sampling merupakan pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan
secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono,
2019).
D. Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan
suatu pengumpulan data penelitian, ada beberapa cara melakukan pengumpulan data
dalam penelitian antara lain dengan: kuesioner, wawancara, observasi, dokumen, dan
lain-lain. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala likert.
Siregar, (2014) menyatakan bahwa skala likert merupakan skala yang dapat
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang suatu
objek atau fenomena tertentu. Menurut Azwar, (2013) skala likert digunakan karena
adanya data yang ingin diukur yaitu berupa konsep psikologi yang dapat diungkap
secara tidak langsung dengan mengacu pada indicator-indikator perilaku, yang
disajikan dalam bentuk aitem-aitem pertanyaan.
DAFTAR PUSTAKA

Aini. (2015). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja di RW V
Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Jurnal Keperawatan & Kebidanan, 57–63.
https://doi.org/10.30659/psisula.v1i0.7705

Nindya, & Margareta. (2012). Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap
Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental,
1(1). http://ci.nii.ac.jp/naid/110003517469/

Sanchez, M. (2012). History of Emotional and Physical Abuse and Parenting. McNair
Scholars Journal, 16(1), 40–48.

Sanjiwani, & Budistyani. (2014). Pola Asuh Permisif Ibu dan Perilaku Merokok Pada Remaja
Laki-Laki di Sma Negeri 1 Semarapura. Jurnal Psikologi Udayana, 2(1).

Udampo, A. S., Onibala, F., & Bataha, Y. B. (2017). Hubungan Pola Asuh Permisif Orang
Tua Dengan Perilaku Mengonsumsi Alkohol Pada Adak Usia Remaja Di Desa Bulude
Selatan Kabupaten Talaud. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 5(1), 109646.

Azwar, S. (2009). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2013). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Siregar, S. (2014). Statistika deskriptif untuk penelitian: dilengkapi perhitungan manual dan
aplikasi SPSS versi 17. Jakarta : Rajawali Pers.

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai