Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Keperawatan
Medikal Bedah III. Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah III di STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Tahun 2019.

Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
rekan-rekan mahasiswa/i Program Studi S1 Keperawatan di STIKes Prima Nusantara
Bukittinggi yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Penulis telah berupaya dalam penulisan makalah ini. Untuk itu penulis dengan tangan
terbuka menerima semua kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan
dari semua pihak. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Bukittinggi, 04 April 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1

DAFTAR ISI..........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...............................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Epistaksis..........................................................................................6
B. Anatomi Fisiologi...............................................................................................6
C. Etiologi epistaksis................................................................................................8
D. Patofisiologi........................................................................................................8
E. Woc epistaksis....................................................................................................9
F. Klasifikasi epistaksis...........................................................................................10
G. Manifestasi klinis................................................................................................11
H. Komplikasi epistaksis.........................................................................................12
I. Pemeriksaan penunjang......................................................................................12
J. Penatalaksanaan.................................................................................................12
K. Asuhan keperawatan..........................................................................................14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................................19
B. Saran....................................................................................................................19

DAFTAR PUSTA

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epistaksis merupakan kondisi kegawat daruratan yang umum ditemukan dibagian
Telinga,Hidung,Tenggorokan. Epistaksis merupakan kondisi klinis yang dapat terjadi
pada semua umur dengan berbagai penyebab.Epistaksis bisa disebabkan karena
kelainan lokal maupun sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan
anatomi,benda asing,tumor,dan pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti
penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, kelainan hormonal,
kelainan kongenital, dan perubahan tekanan atmosfir (Mangun kusumo & Wardhani ,
2007).

Epistaksis merupakan masalah medis umum, dimana sekitar 60% penduduk akan
mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis seumur hidup dan hanya sekitar 6%
dari penderita epistaksis yang mencari bantuan medis. Epistaksis bukanlah suatu
penyakit, melainkan suatu tanda atau gejala. Kebanyakan ringan dan dapat berhenti
sendiri tanpa bantuan medis. Epistaksis biasanya terjadi spontan dengan perdarahan
yang sedikit, mungkin juga banyak, sehingga pederita ketakutan dan merasa perlu
menemui dokter untuk mendapatkan bantuan medis

Prevalensi epistaksis tidak banyak diketahui oleh karena episode epistaksis dapat
berhenti sendiri sehingga tidak banyak orang yang melaporkan kejadian ini ke rumah
sakit ataupun pelayanan kesehatan yang lainnya.

Menurut Nash & Simon (2008), prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya
sama, dan distribusi umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia <20tahun
dan >40tahun.

Menurut Nguyen(2011), epistaksis kebanyakan terjadi pada laki-laki (58%)


dibandingkan dengan perempuan(42%).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty
of Medicine in Brazil, tercatat 40 pasien yang didiagnosis epistaksis, 23 pasien
perempuan (67,5%) dan 13 pasien laki-laki(32,5%). Usia berkisar 4-78 tahun, tetapi
rata-rata terjadi pada usia 20-40 tahun dan usia anakSD.

3
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan dari hidung, yaitu dari bagian
anterior dan bagian posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan terjadi pada pleksus
Kiesselbach, biasanya perdarahan dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. ada
epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior, perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti sendiri. epistaksis anterior
lebih sering dijumpai pada anak-anak, sedangkan epistaksis posterior lebih sering
dijumpai pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi , arteries klerosis, atau
penyakit kardiovaskular lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu epistaksis ?


2. Bagaimana anatomi fisiologi epistaksis ?
3. Bagaimana etiologi epistaksis?
4. Bagaimana patofisiologi epistaksis ?
5. Bagaimana woc epistaksis ?
6. Apa saja klasifikasi epistaksis ?
7. Apa saja manifestasi klinis epistaksis ?
8. Apa saja komplikasi epistaksis ?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang epistaksis ?
10. Bagaimana penatalaksanaan epistaksis ?
11. Asuhan keperawatan epistaksis ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu epistaksis ?
2. Untuk mengetahui bagaimana anatomi fisiologi epistaksis ?
3. Untuk mengetahui bagaimana etiologi epistaksis?
4. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi epistaksis ?
5. Untuk mengetahui bagaimana woc epistaksis ?
6. Untuk mengetahui apa saja klasifikasiepistaksis ?
7. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinis epistaksis ?
8. Untuk mengetahui apa saja komplikasi epistaksis ?
9. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang epistaksis ?
10. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan epistaksis ?

4
11. Untuk mengetahui asuhan keperawatan epistaksis ?

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan
bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat
menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.

2. Anatomi Fisiologi

Bagian dari indera penciuman

 Rongga hidung
 lubang dan bulu hidung
 Selaput lendir
 Saraf penditeksi bau
 Tulang rawan

Berikut adalah penjelasan mengenai bagian-bagian hidung :

1) Rongga hidung, Pada rongga hidung  ada selaput lendir dan rambut rambut
tipis (bulu hidung) atau yang sering disebut Silia.  Rongga hidung bekerja
dengan bantuan tulang hidung dan tengkorak. Rongga hidung menyebarkan
udara terutama oksigen dari luar tubuh ketenggorokan menuju jaringan paru
paru. Rongga hidung dibatasi oleh langit langit rongga mulut. Didalam rongga
hidung mempunyai 4 bagian dinding yang saling berhubungan, diantaranya
dinding medial, lateral, interior dan superior.

6
 Proses penyaringan didalam rongga hidung :

a. Aktifitas  proses penyaringan pada cara kerja hidung debu dan kotoran
lain dilakukan oleh bulu bulu halus yang ada didalam hidung.
b. Penarikan dan pelekatan debu dan kotoran lain oleh mukus atau selaput
lendir.
c. Sebagai  aktifitas untuk pembuangan kotoran yang tersaring oleh
selaput lendir menuju faring untuk ditelan ataupun dikeluarkan melalui
rongga mulut.
2) Lubang dan bulu hidung, Didalam lubang hidup selalu ada bulu hidung dan
selaput lendir yang mempunyai kegunaan menyaring dan merlindungi rongga
hidung dari masuknya benda asing berupa debu debu atau hasil dari reaksi
radikal bebas seperti asap kendaraan, asap pembakaran saampah atau asap
rokok.
3) Selaput lendir (mukus), Sebagai media untuk melekatnya kotoran yang
terbawa dari udara yang  gunanaya untuk menghadang jangan sampai masuk
keronga hidung.Kotoran akan berhenti dan mengering karena proses panas
yang dihasilkan uap ketika kita bernafas. Kotoran menjadi tahi hidung atau
lebih dikenal sebagai upil.
4) Saraf penditeksi bau, Saraf ini sangat peka dengan kotoran yang sangat tipis
dan tidak terlihat oleh mata, bahkan bisa mencium bau dengan kadar bau yang
sangat rendah, sedang sampai yang baunya menyengat.
5) Tulang rawan (tulang lunak), Anatomi tulang rawan yang ada pada hidung
adalah tulang yang lentur dan mudah retak ketika terkena benturan yang
sangat keras, Tulang rawan terdiri dari kartilaogo septum atau ( lamina
kuadran gularis) dan Kolumela, Septum dilapisi oleh perikondrium yang ada
pada jarinagn tulang lunak dan periosteum yang adaa pada tulang keras,
sedangkan bagian luarnya dilapisi dengan kuat oleh Mukus hidung

Fungsi hidung secara umum adalah untuk :


 Jalan napas
 Alat pengatur kondisi udara (mengatur suhu dan kelembaban udara)
 Penyaring udara
 Sebagai indra penghidu (penciuman)

7
 Untuk resonansi udara
 Membantu proses bicara
 Refleks nasal

3. Etiologi
Penyebab lokal :

1) Trauma misalnya karna mengorek hidung,terjatuh,terpukul,benda asing di


hidung,trauma pembedahan,atau iritasi gas yang merangsang.
2) Infeksi hidung atau sinus paranasal,seperti rinitis,sinusitis,serta granuloma spesifik
seperti lepra dan sifilis
3) Tumor,baik jinak maupun ganas pada hidung,sinus paranasal dan nasoparing.
4) Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak, seperti
pada penerbang maupun penyelam(penyakit Caisson), atau lingkungan yang
udaranya sangat dingin.
5) Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksisringan disertai ingus berbau
busuk
6) Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan dan berulangpada anak dan
remaja.

Penyebab sistemik :
1) Penyakit Kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah
2) Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukimia.
3) Infeksi sistemik, Seperti demam berdarah dengue, Influenza, Morbiliatau demam
tifoid.
4) Gangguan endokrin, Seperti pada kehamilan, menars, dan menopous.
5) Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler (hereditary hemorrhagic telangiectasia)

4. Pathofisiologi
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman
pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga
terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain
dari arteri sphenopalatina.

8
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang
atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan arteri
sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis
(fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua
jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke
tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan
berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga
hidung posterior melalui cabang sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari
lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu
jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis
posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang
berhenti spontan.

5. Woc

9
6. Klasifikasi epistaksis
1) Mimisan Depan

Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian depan, maka disebut
'mimisan depan' (=epistaksis anterior). Lebih dari 90% mimisan merupakan mimisan jenis
ini. Mimisan depan lebih sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan
pembuluh darah hidung belum terlalu kuat.
Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat lubang hidung, baik
melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang sekali perdarahan keluar lewat belakang
menuju ke tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber pedarahan. Biasanya di sekat
hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding samping rongga hidung.
Mimisan depan akibat :
 Mengorek-ngorek hidung
 Terlalu lama menghirup udara kering, misalnya pada ketinggian atau ruangan
berAC
 Terlalu lama terpapar sinar matahari
 Pilek atau sinusitis
 Membuang ingus terlalu kuat
Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan dan dapat berhenti
sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-kadang perlu tindakan seperti memencet dan
mengompres hidung dengan air dingin

10
2) mimisan belakang
Mimisan belakang (=epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan pada pembuluh
darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih
berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup
kemungkinan juga mengenai anak-anak.

Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang mengalami
perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.Karena terletak di belakang, darah
cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga
menimbulkan mual dan muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak
ada yang keluar melalui lubang hidung.Beberapa penyebab mimisan belakang :

a. Hipertensi
b. Demam berdarah
c. Tumor ganas hidung atau nasofaring
d. Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia dll.
e.   Kekurangan vitamin C dan K

Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh karena itu, penderita harus
segera dibawa ke puskesmas atau RS. biasanya petugas medis melakukan pemasangan
tampon belakang. Caranya, kateter dimasukkan lewat lubang hidung tembus rongga belakang
mulut (faring), kemudian ditarik keluar melalui mulut.Pada ujung yang keluar melalui mulut
ini dipasang kasa dan balon. Ujung kateter satunya yang ada di lubang hidung ditarik, maka
kasa dan balon ikut tertarik dan menyumbat rongga hidung bagian belakang. Dengan
demikian diharapkan perdarahan berhenti. Jika tindakan ini gagal, petugas medis mungkin
akan melakukan kauterisasi. Langkah lain yang mungkin dipertimbangkan adalah operasi
untuk mencari pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan, kemudian mengikatnya.
Tindakan ini dinamakan ligasi.

7. Manifestasi Klinis
Epistaksis dibagi menjadi 2 kelompok : 

1) Epistaksis anterior : perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri
dan kanan) bagian depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis
anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan

11
keluar dari salah satu lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah
diatasi. 
2) Epistaksis posterior : perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam,
yaitu dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior
sering terjadi pada usia lanjut, penderita hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit
kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. Darah
mengalir ke belakang, yaitu ke mulut dan tenggorokan.

8. Komplikasi
1.      Sinusitis
2.      Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
3.      Deformitas (kelainan bentuk) hidung
4.      Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
5.      Kerusakan jaringan hidung
6.      Infeksi

9. Pemeriksaan penunjang
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk
memperkuat diagnosis epistaksis.
 Pemeriksaan darah tepi lengkap.
 EKG
 Tes fungsi hati dan ginjal
 Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
 CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda
asing dan neoplasma.

10. Penatalaksaan
1. Hemostatis manual
Penanganan awal dapat dilakuan dengan penekanan langsung pada cuping
hidung.
Cuping hidung ditekan bersamaan selama 5-30 menit. Posisi kepala dalam
keadaan elevasi tapi tidak hiperekstensi karena dapat menyebabkan kemungkinan

12
aspirasi. Jika tidak berhasil, maka penekanan dapat dilakukan dengan
menggunakan tampon hidung.

2. Kauterisasi
Kauterisasi dapat menggunakan kauter kimia atau kauter elektrik. Kauter kimia
dapat menggunakan perak nitrat secara tropical, biasanya dilakukan pada
epistaksis anterior, dan diberikan tepat pada sumber perdarahan. Angka
keberhasilan kauter dengan perak nitrat mencapai 80% pada epitaksis anterior
primer. Hindari penggunaan kauter kimia yang agresif dan berlebihan karena
dapat menyebabkan perforasi septum nasal. Kauter elektrik biasanya dilakukan
pada epistaksis posteror atau epistaksis dengan perdarahan masif, umumnya
dilakukan dengan menggunakan anastesi local atau umum dan dikerjakan
dikamar operasi.

3. Ligasi
Ligase biasanya dilakukan pada epistaksis massif dan sudah gagal dengan
penatalaksanaan konservatif. Secara umum, semakin dekat ligase dilakukan pada
tempat perdarahan, semakin efektif tindakan tersebut. Ligase biasanya dilakukan
pada arteri karotis eksterna, arteri maksilaris interna, dan arteri ethmoidalis.

4. Embolisasi
Embolisasi dilakukan oleh dokter spesialis radiologi intervensi, dilakukan jika
proses ligase gagal dilakukan. Suatu studi retrospektif Wang et al menunjukkan
keberhasilan pada semua pasien studi yang dilakukan embolisasi.

5. Berobat jalan
Rawat jalan biasanya ditunjukkan pada pasien epitaksis berulang dan sulit
berhenti. Pengkajian ulang diperlukan umtuk mencegah berulangnya epistaksis.
Beberapa terapi seperti semprotan cairan hidung atau salep dapat diberikan.
Rawat jalan juga dapat dilakukan pada pasien yang dipasang tampon anterior.
Biasanya tampon akan dilepas setelah 2-3 hari. Pada pasien epistaksis yang
disebabkan telangiectasia, terkadang diperlukan kauterisasi secara berkala.

13
6. Persiapan rujukan ke rumah sakit
Epistaksis seringkali berhenti sendiri dan jarang merupakan sesuatu yang dapat
mengancam nyawa. Namun pada kondisi tertentu, epistaksis dapat menjadi
massif dan membahayakan pasien. Jika hal tersebut terjadi perlu dilakukan
rujukan ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebi lengkap.

11. Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1) Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,
2) Riwayat Penyakit sekarang :
3) Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan.
4) Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah menderita penyakit akut dan
perdarahan hidung atau trauma, Pernah mempunyai riwayat penyakit THT,
Pernah menedrita sakit gigi geraham
5) Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang
lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6) Riwayat spikososial
 Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
 Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7) Pola fungsi kesehatan
 Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping.
 Pola nutrisi dan metabolisme :
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung
 Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
 Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri
menurun
 Pola sensorik

14
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilekterus
menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).

12. Pemeriksaan fisik


-Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
-Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).

Data subyektif :
a. Mengeluh badan lemas
Data Obyektif
a. Perdarahan pada hidung/mengucur banyak
b. Gelisah
c. Penurunan tekanan darah
d. Peningkatan denyut nadi
e. Anemia

Penyimpangan KDM

1) Trauma Hidung
2) Masuknya benda asing
3) (jatuh, terpukul, pembedahan)
4) Mukosa Hidung Rapuh
5) Infeksi Nyeri
6) Perdarahan
7) Perdarahan Anterior
8) Perdarahan Posterior
9) Perdarahan Spontan
10) Mual, muntah, anemia
11) Obstruksi Jalan Nafas
12) Cemas

B. Diagnosa Keperawatan
1) Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa hidung
yang rapuh
2) Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan nersihan jalan nafas tidak efektif.

15
3) Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
4) Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun pengeringan
mukosa hidung

C. Intervensi Keperawatan

1. Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa hidung


yang rapuh.
Tujuan : meminimalkan perdarahan
Kriteria : Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis
INTERVENSI
1) Monitor keadaan umum pasien
2) Monitor tanda vital
3) Monitor jumlah perdarahan psien
4) Awasi jika terjadi anemia
5) Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan
perdarahan: pemberian transfusi, medikasi.

2. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif


Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif
Kriteria : Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan, tidak
menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak terjadi dispnoe dan sianosis
INTERVENSI
1) Kaji bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada, R/ penurunan bunyi
nafas dapat menyebabkan atelektasis, ronchi dan wheezing menunjukkan
akumulasi sekret.
2) Catat kemampuan mengeluarkan mukosa/batuk efektif, R/ Sputum berdarah
kental atau cerah dapat diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka bronchial.
3) Berikan posisi fowler atau semi fowler tinggi, R/ posisi membantu
memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, R/ mencegah obstruksi/aspirasi.
5) Pertahankan masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari kecuali
kontraindikasi. R/ Membantu pengenceran sekret.
6) Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, R/
mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk membantu

16
memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan spasme bronkus dan analgetik
diberikan untuk menurunkan ketidaknyamanan.

3. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita


Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta
pengobatannya.
INTERVENSI
1) Kaji tingkat kecemasan klien, R/ menentukan tindakan selanjutnya.
2) Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien, R/ Memudahkan
penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan
a. Temani klien.
b. Perlihatkan rasa empati ( datang dengan menyentuh klien
3) Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan,
tenang serta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti, R/
Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit
tersebut sehingga klien lebih kooperatif.
4) Singkirkan stimulasi yang berlebihan, R/ dengan menghilangkan stimulus
yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
a. Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang.
b. Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan
mengalami kecemasan.
5) Observasi tanda-tanda vital, R/ Mengetahui perkembangan klien secara dini.
6) Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis, R/ Obat dapat menurunkan tingkat
kecemasan klien.

4. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun pengeringan
mukosa hidung.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil
Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
Klien tidak menyeringai kesakitan.

17
INTERVENSI
1) Kaji tingkat nyeri klien, R/ Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan
tindakan selanjutnya.
2) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya, R/ Dengan sebab
dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk
mengurangi nyeri.
3) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi, R/ Klien mengetahui tehnik distraksi
dan relaksasi sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri.
4) Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien, R/ Mengetahui keadaan umum
dan perkembangan kondisi klien.
5) Kolaborasi dngan tim medis, R/ Menghilangkan /mengurangi keluhan nyeri
klien, yaitu Terapi konservatif : obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan
hidung.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistaksis adalah pedarahan hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab
umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala
suatukelainan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal
perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal
dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.

B. Saran
Sebagaimana kata orang tidak ada gading yang tak retak oleh karenanya makalah ini
yang berkenaan dengan “ Asuhan Keperawatan Epistaksis ”belum mendekati
sempurna, maka dari itu diperlukan saran yang berarti dan membangun untuk
kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca
pada umumnya serta penulis pada khususnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Balai Penerbit. FK. UI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT. Gaya Baru : Jakarta
Doengoes, Marilyn, et al.1999. Rencana Asuhan Keperawatan, EGC: Jakarta
Johnson. M. Maas. M. Moorhead. S. 2000. Nursing Outcome Classification(NOC). Mosby.
Philadelpia

20

Anda mungkin juga menyukai