Anda di halaman 1dari 12

Referat

LARINGITIS AKUT

Oleh :
Novita Wahyu Juita
NIM. 1811901025

Pembimbing :
dr. Donny Haryxon T, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN DAN
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ABDURRAB
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DUMAI
2020
LARINGITIS AKUT

I. DEFINISI

Laringitis akut merupakan kondisi peradangan pada mukosa laring yang


dapat sembuh dengan sendiri dan biasanya terjadi selama 3 sampai 7 hari .
Peradangan ini melibatkan pita suara yang dapat memicu terjadinya suara parau
hingga hilangnya suara. 1,2

II. EPIDEMIOLOGI
Laringitis akut biasanya terjadi pada individu berusia 18 hingga 40 tahun.
Namun dapat juga ditemukan pada anak-anak usia 3 tahun keatas. Angka kejadian
dari Laringitis akut masih belum diketahui secara akurat karena penyakit ini dapat
sembuh dengan sendirinya sehingga kebanyakan pasien tidak datang untuk
berobat dan angka kematian akibat penyakit ini hampir tidak pernah ditemukan. 2
sebuah ulasan yang di lakukan oleh Royal College of General Practitioners di
Inggris pada tahun 2010 melaporkan kejadian rata-rata 6,5 kasus laringitis per
100.000 pasien (semua usia) per minggu2.

III. ANATOMI LARING


Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Batas
atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal
kartilago krikoid.3,4
1. Struktur Rangka Laring
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang yaitu os hioid dan
beberapa kartilago atau tulang rawan seperti pada Gambar 1.3,4

Gambar 1. Struktur rangka


laring 4

1
Tulang hioid berbentuk seperti huruf U. Perlekatan tulang hioid ke
mandibula dan tengkorak oleh ligamentum stilohioid dan m.digastrikus,
m.stilohioid, m. milohioid, m. hioglosus, dan m. geniohioid akan
mempertahankan posisi laring pada leher dan mengangkat laring selama proses
menelan dan fonasi.3
Kartilago tiroid merupakan tulang rawan hialin yang paling besar di laring.
Terdiri dari dua ala atau sayap yang bertemu di anterior dan membentuk sudut
lancip. Sudut bervariasi menurut jenis kelamin. Pada pria, bagian superior sudut
tersebut membentuk penonjolan subkutan yang disebut eminensia laring atau
Adam’s apple atau jakun.4
Kartilago krikoid adalah kartilago laring yang paling kuat dan terletak
langsung di bawah kartilago tiroid. Kartilago ini berupa tulang rawan hialin,
tidak berpasangan dan berbentuk cincin. Kartilago krikoid berfungsi menyokong
kerangka laring dan penting untuk mencegah tertutupnya jalan nafas.5
Epiglotis merupakan tulang rawan yang tipis, fleksibel, berbentuk daun
dan fibroelastik, serta melekat pada bagian dalam anterior kartilago tiroid.
Kartilago aritenoid merupakan tulang rawan hialin yang berpasangan, berbentuk
piramid atau seperti buah pear dan dasarnya luas. Kartilago aritenoid merupakan
bagian utama yang bergerak dari laring. 5,7
2. Mukosa Laring
Mukosa yang melapisi laring terdiri dari 2 jenis epitel, yaitu epitel
gepeng tanpa keratinisasi dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Sebagian
besar laring dilapisi oleh epitel respiratorius yang berupa epitel kolumnar
berlapis semu bersilia.4,6
3. Otot – Otot Laring
Otot ekstrinsik berperan dalam gerakan dan fiksasi laring secara
keseluruhan, terdiri dari kelompok otot elevator dan depresor. Kelompok otot
depresor terdiri dari m. tirohioid, m. sternohioid dan m. omohioid, sedangkan
kelompok otot elevator terdiri dari m. digastrikus anterior dan posterior,
m.stilohioid, m. geniohioid dan m. milohioid. Kelompok otot ini penting pada
fungsi menelan dan fonasi dengan mengangkat laring di bawah dasar lidah.4,7

2
Muskulus interaritenoid dan m. krikoaritenoid lateralis mengadduksi
(menutup) pita suara, sedangkan m. krikoaritenoid posterior mengabduksi
(membuka) pita suara. Muskulus ariepiglotik mengatur gerakan adduksi pita
suara palsu dan menutup pintu masuk laring oleh epiglotis pada saat menelan.4

4. Vaskularisasi Laring
Aliran darah arteri laring berasal dari cabang a. tiroid superior dan
inferior, dan sebagian kecil berasal dari a. krikotiroid yaitu cabang dari a. tiroid
superior. Arteri tiroid superior adalah cabang pertama a. karotis eksterna. Arteri
tiroid superior berakhir pada kutup atas kelenjar tiroid, dan memberi cabang kecil
ke m. sternokleidomastoideus. Vaskularisasi laring digambarkan pada Gambar
2.4,5

Gambar 2. Aliran darah arteri laring 4

Aliran darah balik oleh v. laringius superior dan inferior, yang pada
dasarnya mengikuti jalannya arteri.Aliran superior bergabung dengan v. tiroid
superior dan media, kemudian masuk ke v. jugularis interna. Aliran inferior
bergabung dengan v. tiroid media yang masuk ke v. jugularis interna. Ada
beberapa aliran darah balik yang masuk ke v. tiroid inferior, khususnya struktur –
struktur yang berada di garis tengah, langsung masuk ke vena kava superior
seperti pada Gambar 3.4-6

3
Gambar 3. Aliran darah vena laring 4

5. Persarafan Laring
Laring dipersarafi oleh cabang – cabang nervus vagus, yaitu m. laringius
superior dan n. laringius inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf
motorik dan sensorik. Saraf laringius superior mempersarafi m. krikotiroid, dan
memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara.3,4

Gambar 4. Persarafan laring 4

IV. FISIOLOGI LARING


Laring memiliki tiga fungsi dasar yaitu fonasi, respiratori dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya, yaitu:
1. Fungsi fonasi
Fungsi fonasi laring yaitu membuat suara dan menentukan tinggi
rendahnya nada. Saat inspirasi pita suara abduksi dan saat ekspirasi aduksi.
Sebelum fonasi, pita suara abduksi secara cepat agar udara masuk ke saluran
nafas (fase inspirasi sebelum fonasi) selanjutnya pita suara aduksi karena
berkontraksinya otot krikoaritenoid lateral. Suara dihasilkan mulai dari udara
paru-paru yang dikeluarkan melewati pita suara yang aduksi sampai
menimbulkan vibrasi berulang dari pita suara (osilasi).8,9

4
Saat pita suara menutup, udara dari paru melewati daerah yang sempit, akan

mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga mukosa pita


suara seperti menarik satu sama lain (efek Bernauli), saat tekanan udara subglotis
meningkat (di bawah pita suara yang aduksi) hingga mencapai tingkat penekanan
pada tahanan pada pita suara menyebabkan pita suara terpisah lalu merangsang
terjadinya siklus vibrasi pita suara, terjadinya vibrasi ini yang menimbulkan

terbentuknya suara.8,9
2. Fungsi Respirasi
Fungsi respirasi yaitu dengan mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila
m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis
kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi).8
3. Fungsi Proteksi
Fungsi proteksi yaitu untuk mencegah makanan dan benda asing masuk
kedalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glottis secara
bersamaan. Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek
otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup.8

V. ETIOLOGI
Etiologi laringitis akut dapat diklasifikasi menjadi infeksius dan non-
infeksius. Jenis infeksius lebih umum terjadi dan biasanya didahului oleh Infeksi
Saluran Napas Atas (ISPA). Sebagian besar kasus laringitis awalnya disebabkan
oleh virus namun dapat juga terjadi infeksi bakteri setelahnya. Spektrum agen
penyebab laringits akut mirip dengan croup. Agen-agen viral dapat berupa
Rhinovirus, virus Parainfluenza, Respiratory Syncytial Virus, coronavirus,
adenovirus dan Influenza virus. Coxsackievirus dan HIV merupakan etiologi yang
memungkinkan pada pasien immunocompromise. Jenis bakteri yang paling sering
ditemukan pada laringitis akut seperti Streptococcus pneumoniae, H.influenza dan
Moraxella catarrhalis. 2,11
Laringitis akibat infeksi jamur juga umum terjadi namun sering tidak
terdiagnosa seperti infeksi jamur oleh Histoplasma, Blastomyces, Candida dan
Cryptococcus. Kondisi ini biasanya terjadi secara sekunder akibat penggunaan
kortikosteroid inhalasi atau akibat penggunaan antibiotik.2

5
Laringitis akut akibat etiologi non-infeksius dapat berupa trauma vokal,
alergi, gastroesofageal reflux disease (GERD), penggunaan inhaler pada
pengobatan asma, polusi lingkungan, merokok dan luka bakar kimia atau panas
pada laring. Sebagai tambahan, pasien dengan rhinitis lebih rentan terkena
laringitis akut. 2

VI. PATOFISIOLOGI
Bentuk akut dari laringitis dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu
2 minggu. Parainfluenza virus yang merupakan penyebab terbanyak dari
laringitis masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitel saluran napas
yang bersilia yang ditandai dengan kongesti laring pada tahap awal penyakit. Saat
fase penyembuhan mulai terjadi, sel darah putih menginvasi lokasi infeksi untuk
memusnahkan patogen. Proses ini menyebabkan edema dan kemerahan pada pita
suara serta mempengaruhi proses vibrasi. Edema yang berkembang menyebabkan
peningkatan ambang tekanan fonasi. Penghasilan tekanan fonasi yang adekuat
menjadi lebih sulit sehingga suara pasien menjadi serak. Terkadang edema juga
menyebabkan sama sekali tidak bisa dihasilkannya tekanan fonasi adekuat. Pada
kondisi seperti ini, pasien mengalami frank aphonia.2,11,12
Trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan pada
lumen saluran napas dalam akan menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya
berupa celah. Sumbatan aliran udara pada saluran napas atas akan berakibat
terjadinya stridor dan kesulitan bernapas yang akan menuju pada hipoksia jika
sumbatan yang terjadi berat.12
Laringitis akut yang disebabkan oleh trauma vokal biasanya terjadi setelah
kegiatan menyanyi atau berteriak yang berlebihan. Hal ini akan menyebabkan
terjadnya kerusakan pada lapisan luar vocal fold. Namun, episode trauma
berulang dapat menyebabkan fibrosis dan scarring pada stadium lanjut.2,11

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

6
1. Anamnesis
Laringitis akut biasanya didahului oleh riwayat infeksi saluran napas
bagian atas dengan gejala berupa demam, batuk kering dan lama kelamaan timbul
sekret kental, nyeri tenggorokan dan rhinorrhoea. Gejala laringitis akut dapat
timbul secara mendadak dan memburuk dalam waktu dua hingga 3 hari. Keluhan
pasien dapat berupa perubahan kualitas suara seperti suara serak (disfonia) dan
bahkan suara hilang sama sekali (afonia) pada tahap lebih lanjut, nyeri pada
tenggorokan terutama setelah berbicara, nyeri menelan, batuk kering yang
memburuk pada malam hari, napas terasa lebih sesak, stridor serta gejala umum
lainnya seperti malaise dan demam.2,12,13,15
Hal lain yang juga perlu ditanyakan pada pasien adalah pola penggunaan
suara dan penggunaan suara yang berkaitan dengan pekerjaan atau lingkungan,
faktor-faktor yang berpotensi sebagai pemicu (misalnya: vocal abuse, terpapar
alergen atau toksin), penggunaan alkohol, rokok (termasuk perokok pasif), dan
gejala lain yang berhubungan dengan keluhan utama. Gejala lain yang dimaksud
adalah: batuk, disfagia, odinofagia, dll.14

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, demam,
frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat dan stridor. Bila terjadi
sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen
yang rendah. Bila hipoksia terjadi, pasien akan menjadi gelisah dan tidak dapat
beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis.12
Pemeriksaan laringoskop direk dan indirek dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Temuan dapat bervariasi sesuai dengan tahap perjalanan
penyakit. Pada tahap awal dapat ditemukan eritema dan edema pada epiglotis,
aryepiglottic fold dan arytenoid, namun pita suara dapat ditemukan dalam
keadaan normal dan berwarna putih. Seiring dengan perkembangan penyakit, pita
suara akan berubah warna menjadi kemerahan dan edema. Regio subglotis dapat
terlibat. Sekret yang kental juga dapat ditemukan pada pita suara. Pada trauma
vokal dapat ditemukan adanya perdarahan submukosa pada pita suara.2

7
Gambar 5. Laringitis akut 2

VIII. TATALAKSANA
Penatalaksanaan biasanya bersifat suportif dan tergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Penanganannya mencakup:
1. Vocal rest. Pasien harus istirahat berbicara selama 2-3 hari. Penggunaan
suara selama laringitis dapat menyebabkan penyembuhan yang tidak
sempurna atau tertunda. Ini merupakan komponen tatalaksana terpenting
walau sulit untuk dilakukan. Jika pasien hendak berbicara, sebaiknya
dilakukan pelan-pelan.
2. Inhalasi uap. Pasien sebaiknya menghirup udara yang lembap karena dapat
meningkatkan kelembapan saluran napas atas dan membantu menghilangkan
seklret dan eksudat.
3. Hindari zat iritan seperti merokok dan alkohol karena dapat memperlambat
proses penyembuhan.
4. Modifikasi diet. Hal ini diperlukan pada pasien laringitis akut yang
disebabkan oleh GERD. Pasien perlu menghindari minuman berkafein,
makanan pedas dan berlemak, minuman es, cokelat dan lain-lain. Pasien juga
dianjurkan menghindari makan larut malam, sebaiknya pasien terakhir kali
makan 3 jam sebelum tidur dan minum banyak air putih.
5. Terapi Medikamentosa

1. Antibiotika diberikan apabila peradangan berasal dari paru.


 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, IV terbagi 4 dosis
 Kloramfenikol 50 mg/kgBB/hari, IV, terbagi dalam 4 dosis
 Sefalosporin generasi ke 3 (cefotaksim atau ceftriakson).

8
2. Bila terdapat sumbatan laring, dilakukan pemasangan pipa endotrakea,
atau trakeostomi.

3. Kortikosteroid diberikan untuk mengatasi edema laring.


Deksametason 0,5 mg/kgbb/hari, diberikan selama 1-2 hari.

6. Terapi antifungal oral pada laringitis fungal. 2,15

IX. DIAGNOSIS BANDING


Spasmodik disfonia, laringitis refluks, laringitis alergi kronik, epiglotitis
atau coryza.2

X. PROGNOSIS
Laringitis akut merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendiri
sehingga memiliki prognosis yang baik. Jika pasien menjalani anjuran
pengobatan dengan benar, prognosis penyembuhan akan sangat baik.2

XI.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Jaworek AJ, Earasi K, Lyons KM, Daggumati S, Hu A, Sataloff RT. Acute


infectious laryngitis: A case series. Ear Nose Throat J. 2018 Sep;97(9):306-313.

2. Gupta G, Mahajan K. Acute Laryngitis. StatPearls Publishing. 2019 Jan.

3. Hermani B, Kartosoediro S. Suara parau. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001;190-4

4. Tucker HM. Anatomy of the larynx. In: Tucker HM, ed. The larynx. 2nd ed.
New York: Thieme Medical Publishers Inc, 1993;1–34

5. Lee KJ. The larynx. In: Essensial otolaryngology head and neck surgery. 9th
ed. USA: McGraw-Hill Co Inc, 2008;552– 60

6. Spector GT. Anatomi perkembangan laring. Dalam: Ballenger JJ, ed.


Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 1.
Jakarta: Binarupa Aksara, 1994 (Alih bahasa: Staf ahli bagian THT RSCM –
FKUI Jakarta);417–34

7. Sulica L. Voice: Anatomy, physiology, and clinical evaluation. In: Bailey BJ,
Johnson JT, eds. Head and neck surgery otolaryngology. 4th ed. Vol 1.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2006;817-26

8. Sulica L. Voice: anatomy, physiology, and clinical evaluation. In: Johnson


Jonas T, Rosen Clark A, editors. Bailey’s head and neck surgery
otolaryngology. fifth ed. Philadelphia Lippincott Inc; 2014. p.945-55

9. Izdebski K. Clinical voice assesment: The role&value of the phonatory


function studies. In: Lalwani A.K editors. Current diagnosis & treatment
otolaryngology head & neck surgery. Second ed. McGraw-Hill Companies,
Inc; 2010. P.417-29.

10. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1.
Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479-486.

11. Caserta MT. Acute Laryngitis. In : Bennet JE, Dolin R, Blaser MJ, editors.
Mandel, Douglas, Bennett’s Principle and Practice of Infectious Diseases
8th edition. New York : Elsevier Inc, 2015.
12. Landau L, Taussig L. Pediatric Respiratory Diseases. USA : Mosby, 2014:
539-41.
13. Kasper, Dennis L. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16 th edition. USA:
McGraw Hill, 2009: 192-93

10
14. Feierabend R.H, Malik S.N. Hoarseness in Adults. Am Fam Physician.
2009 Aug 15;80(4):363-70

15. Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A. Kelainan Laring. Dalam :


Soepardi AA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI, 2016.

11

Anda mungkin juga menyukai