Pasien berusia 1 tahun 1 bulan, perempuan dengan berat 6 kg dengan
kesan gizi kurang. Aloanamnesa dilakukan terhadap ibu pasien. Pasien mengalami sesak nafas sejak satu hari yang lalu, pasien juga mengalami demam dan tidak mau menyusu. Pasien sempat dua kali muntah setelah menyusu. Pasien juga mengalami batuk berdahak berwarna putih. Demam dikeluhkan naik turun tidak menentu.
Pemeriksaan fisik didapatkan dispenu dengan frekuensi pernafasan
58x /menit, suhu 38 oC, terdapat retraksi sub costae. Pada auskultasi paru terdapat ronchi kasar, wheezing, eksperium memanjang. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat trombositosis, lekositosis dan hitung jenis terdapat penurunan netrofil batang yang dapat menggambarkan adanya infeksi.
Pada penderita ini data-data yang mendukung diagnosis bronkiolitis
adalah riwayat batuk pilek sebelumnya, demam subfebris, sesak, tetapi tidak tampak sianosis dan tidak ada riwayat mengi sebelumnya. Adanya retraksi dinding dada, terdengar suara rhonki basah kasar, wheezing, eksperium memanjang juga mendukung diagnosis bronkiolitis. Sesuai dengan teori bahwa bronkiolitis adalah penyakit saluran pernafasan bagian bawah dengan karakteristik klinis berupa batuk, takipnea, wheezing, dan / atau ronkhi. Mula- mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Pasien akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Pasien dapat mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. 26 27
Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis
bronkopneumoni. Diagnosis bronkopneumonia dapat disingkirkan pada kasus ini, pada bronkopneumonia biasnya terjadi demam tinggi, sesak yang bertahap yang semakin lama semakin memberat, dan adanya rhonki basah halus nyaring. Sedangkan pada kasus tidak ditemukan gejala dari bronkiolitis.
Pada penatalaksanaan pada kasus ini diberikan :
Oksigen dengan kecepatan aliran 1 – 2 liter/menit, bertujuan untuk
mengatasi hipoksemia, mengurangi kehilangan air insensibel akibat takipneu, mengurangi dispneu, menghilangkan kecemasan dan kegelisahan. Jika keadaannya lebih berat, oksigen sebaiknya diberikan menggunakan head box yang dipantau dengan pulse oximetri, dan kemudian konsentrasi oksigen diturunkan sesuai perbaikan saturasinya. Penderita ini tidak terdapat sesak nafas yang hebat, tidak sampai sianosis, sehingga diberikan oksigen 1 liter dengan nasal canul.
Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral maupun
enteral untuk mengimbangi pengaruh dehidrasi akibat takipnu. Penderita ini selama sakit makan dan minumnya berkurang, sehingga diberi cairan parenteral berupa IVFD D5 1/4% NS kec 24 cc/ jam.
Pemberian kortikosteroid sebagai anti inflamasi sehingga dapat
meringankan obstruksi pada bronkiolus. Obat yang dipilih adalah deksametason inisial 0,5 mg/KgBB, dilanjutkan 0,5 mg/KgBB/hari dibagi 3 – 4 dosis, atau hidrokortison 5 – 10 mg/KgBB/hari tiap 6 – 8 jam sampai klinis membaik. Pada kasus diberikan Injeksi Dexamethason 3 x 2 mg.
Penderita ini datang dengan distres respirasi, maka diberikan
bronkodilator nebulizer salbutamol diberikan setiap 8 jam. 28
Antibiotika sebenarnya tidak mempunyai nilai terapeutis, tetapi karena
sulit dibedakan dengan pneumonia bakteri, antibiotika tetap diberikan secara empris, terutama pada keadaan umum yang kurang membaik dan kecurigaan adanya infeksi sekunder. Biasanya diberikan kloramphenicol atau gentamicin dan dilanjutkan peroral jika sesak hilang, dosis disesuaikan. Bila dapat diberikan langsung peroral eritromisin 30-50 mg/kgBB/24 jan dalam 2-3 dosis. Pada penderita diberikan gentamicin 2 x 12 mg perhari.
Paracetamole sirup diberikan karena pasien mengalami demam, namun
pada pasien diberikan 2 x ½ dengan catatan jika temperature lebih dari 38°C. Namun pada bronkiolitis umunya mengalami demam dengan tipe subfebris.