Anda di halaman 1dari 2

BASRIL

Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

MUHAMMADIYAH DALAM MEMANDANG ISLAM RADIKAL DI INDONESIA

Masalah radikalisme memang diakui terus mencuat ke permukaan. Mengenai munculnya isu-isu
politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan bagi umat Islam untuk menjawabnya.
Meski diketahui bahwa radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama menjadi wacana
Internasional. Dalam konteks negara Indonesia, fenomena radikalisme agama muncul kembali
dengan hadirnya aksi-aksi terorisme yang sudah memiliki ribuan pengikut di seluruh Indonesia.
Khusus dalam konteks Indonesia, munculnya bibit yang kemudian dibarengi dengan gerakan
radikalisme adalah sesuatu yang tidak lagi baru dalam pemberitaan di telinga kita. Berawal dari
sebuah kekecewaan umat Islam di Indonesia waktu itu terkait penentuan dasar Negara. Ketika itu
usulan dari tokoh-tokoh Islam seperti Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hasan mengenai
pengakuan Islam sebagai agama resmi Negara, hingga kewajiban untuk menjalankan syari’at
Islam bagi para pemeluknya (yang dikenal dengan Piagam Jakarta) ditolak oleh sebagian besar
anggota sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Meskipun penolakan tersebut
akhirnya dapat diterima dengan beberapa pertimbangan dan alasan, umat Islam pada waktu itu
memandang hal tersebut sebagai tindakan penipuan dan pengkerdilan cita-cita umat Islam.
(Erlangga Husada, 2007: 5) Kekecewaan tersebut berbuntut kepada pemberontakan yang terjadi
di Indonesia pada saat itu, salah satunya yang paling dikenal adalah pemberontakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Dan meskipun
pemberontakan tersebut sudah berhasil diatasi oleh pemerintah pada saat itu namun pengaruh
ideologis DI/TII tidak dapat dihilangkan begitu saja. Hal ini terbukti dengan munculnya organisasi
Islam radikal lain pasca tumbangnya orde baru, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rembug (FBR) dan
organisasi Islam Radikal lain. Radikalisme Agama 132 Di Indonesia radikalisme cenderung
dikaitkan dengan tindakan atau gerakan militan, anti barat, dan jika melakukan demonstrasi selalu
ricuh. Padahal radikalisme mempunyai sisi positif yaitu sebagai pembaharu (tajdid) dan perbaikan
(islah) terhadap hal-hal yang dianggap melanggar syariat Islam. Hanya saja terkadang dalam
penyampaiannya terkesan “preman” seperti merusak beberapa tempat-tempat yang dianggap
maksiat. Sehingga opini publik menjudge organisasi-organisasi radikal sebagai organisasi yang
merusak. Tujuan organisasi-organisasi radikal di Indonesia adalah menegakkan syariat Islam
sebagai ideologi bangsa. Organisasi radikal di Indonesia yang lantang mengumandangkan
berdirinya syariat Islam salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang lebih kuat
berorientasi pada politik dengan cita-cita membentuk kekhalifahan Islam. Apabila dilakukan suatu
analisis yang lebih mendalam dapat berakibat buruk bagi stabilitas nasional, Mengingat salah satu
dari empat pilar bangsa Indonesia adalah NKRI maka dapat dipastikan dengan pertumbuhan
organisasi radikal semacam ini dapat mengganggu stabilitas Keamanan suatu Negara. Dengan
berbagai dasar pemikiran mengenai konsep Sistem Pemerintahan yang pernah digagas oleh tokoh-
tokoh bangsa dahulu maka penulis mencoba melakukan suatu studi analisa mengenai system
pemerintahan yang cocok dalam mengatasi keresahan kaum fundamentalis sehingga tercapai suatu
masyarakat madani yang mampu hidup berdampingan meskipun berbeda-beda sesuai dengan
konsep Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak ada lagi upaya perubahan struktur social dengan
pemaksaan oleh gerakan-gerakan radikalis seperti terror, kekerasan fisik maupun perang
pemikiran yang mengarahkan kepada vandalism dan chaos. Oleh karena itu, dalam pandangan
Yudi Latif, gerakan radikal di Indonesia disinyalir karena mereka tidak menerima perbedaan.
Perbedaan yang muncul di masyarakat dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi
kaum radikal. Mereka Radikalisme Islam dan Pandangan Elit berasumsi bahwa untuk
menunjukkan eksistensi mereka maka mereka harus mengeliminasi eksistensi orang lain. Teroris
berani mati karena mereka menganggap perbedaan adalah musuh dan ancaman yang harus
dihancurkan. “Teroris berani mati, tetapi tidak berani hidup, mereka adalah musuh kehidupan”
(Mukhlisin, 9 Maret 2012). Disebabkan karena itu, maka Indonesia mengukir sejarah hitam dengan
berbagai peristiwa ‘bom’ yang menggemparkan dunia, antara lain peristiwa bom Bali (12 Oktober
2002), hotel JW Marriott Jakarta (5 Agustus 2003 & 17 Juli 2009), dan Kuningan Jakarta (9
September 2004). Peristiwa tersebut tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi telah
menewaskan ratusan nyawa manusia, termasuk orang-orang yang tidak bersalah seperti anak-anak.
Sikap elit Muhammadiyah mengatakan setuju dan cukup setuju terhadap pemberantasan
radikalisme Islam tentang Paham Islam radikal tidak boleh berkembang di Indonesia, para elit
Muhammadiyah menyatakan sikap setuju tentang para pelaku tindakan terorisme dan radikalisme
harus mendapatkan hukuman yang berat memperoleh . Selanjutnya dari elit Muhammadiyah
menyatakan sikap kurang setuju tentang ustadz-ustadz yang terindikasi menyebarkan radikalisme
Islam seharusnya dilarang untuk berdakwah di Indonesia. Disamping itu elit Muhammadiyah
menyatakan sikap cukup setuju tentang pemerintah harus melakukan upaya deradekalisasi agar
masyarakat bisa terlindungi dari radikalisme Islam, elit Muhammadiyah menyatakan sikap cukup
setuju tentang lembaga pendidikan yang terbukti mengajarkan radikalisme Islam seharusnya
ditutup .

Anda mungkin juga menyukai