Disusun oleh:
VITRIA ANGGRAINI
1810206098
A. Latar belakang
Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di
Kesehatan jiwa bagi integral dan upaya kesehatan bertujuan untuk mencapai
kondisi yang memungkinkan perkembangan jiwa yang sehat secara optimal baik
yang mengalami gangguan jiwa. Dukungan dari pihak keluaraga merupakan unit yang
paling dekat dengan klien dengan gangguan jiwa kepada keluarga mengenai masalah
Nama : Tn. B
1. Tujuan umum
Untuk melengkapi dan mengklarifikasi data yang didapat dari klien serta
2. Tujuan khusus
kekerasan
● Mengkaji penyebab, tanda dan gejala dan akibat resiko perilaku kekerasan
kekerasan
Petugas yang melakukan home visit adalah mahasiswa Program Profesi Ners
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Tahun 2019 yang sedang praktik klinik di RSJ
Grhasia DIY.
1. Perkenalan
2. Intervensi
3. Evaluasi
kekerasan
klien, persiapan klien pulang, merawat klien dengan resiko perilaku kekerasan
dirumah sesuai dengan cara merawat yang telah di ajarkan oleh perawat
untuk menjadi teman agar ada teman berbicara untuk Tn. B (bersosialisasi),
A. Tujuan
jiwa
d. Keluarga dapat mengerti penyebab, tanda dan gejala serta akibat resiko
perilaku kekerasan.
kekerasan.
kekerasan.
g. Keluarga dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada seperti
B. Metode
a. Ceramah
b. Diskusi
C. Media
1. Leaflet
Tahap Kegiatan pemberi materi Kegiatan sasaran Media
Orientasi ● Salam terapeutik Menjawab salam
Assalammualaikum..
selamat sore Bapak & Ibu. Memperhatikan
Bapak & Ibu Perkenalkan
nama saya Desi Fatmasari.
Saya mahasiswa dari
UNISA profesi Ners. saya
yang merawat Tn. B selama
kurang lebih 4 hari kemarin
di Wisma Gatotkaca RSJ
Grasia DIY, tujuan saya
kesini adalah untuk
menjelaskan mengenai
masalah keperawatan yang
dialami oleh Tn. B".
"Boleh saya tahu, nama
bapak & Ibu siapa ? biasa
dipanggil siapa ?. Menjawab pertanyaan
● Evaluasi/validasi
Benarkah ini rumah
keluarganya Tn. B? Menjawab pertanyaan
D. Evaluasi
B. Rentang Respon
Rentang adaptif Respon Maladaptif
Keterangan :
1. Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
2. Frustasi : Kegagalan Mencapai tujuan karena tidak realitas atau terhambat
3. Pasif : Respon lanjut klien tidak mampu ungkapkan perasaan
4. Agresif : Perilaku dekstruksi masih terkontrol
5. Kekerasan : Perilaku dekstruktif dan tidak terkontrol
( stuart dan sundeen, 2008)
C. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh
Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
a. Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem
limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila
ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan
potensial resiko perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai
implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara
konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b. Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh
Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c. Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
d. Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan
tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan
lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti
dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan resiko perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri.
b. Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang
tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berresiko perilaku
kekerasan setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima resiko perilaku
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk
yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk resiko perilaku
kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
D. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan resiko perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
E. Manifestasi Klinis
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
a. Tidak adekuat
b. Tidak aman dan nyaman
c. Rasa terganggu, dendam dan jengkel
d. Tidak berdaya
e. Bermusuhan
f. Mengamuk, ingin berkelahi
g. Menyalahkan dan menuntut
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
F. Penilaian Terhadap Stressor
Penilaian terhadap stressor melibatkan makna dan pemahaman dampak dan situasi stress
bagi individu. Itu mencakup kognitif, afektif, fisiologi, perilaku dan respon sosial.
G. Psikodinamika
1. Marah dengan perilaku konstruktif
2. Marah diekspresikan dengan perilaku agresif
3. Perilaku tidak asertif seperti menahan perasaan marah atau melarikan diri sehingga
rasa marah tidak terungkap.
Stres, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan.
Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal dan internal:
a. Eksternal yaitu konstruktif, agresif.
b. Internal yaitu perilaku yang tidak asertif dan merusak diri sendiri.
Mengekspresikan resiko perilaku kekerasan dapat disebabkan karena
frustasi,takut,manipulasi/ intimidasi. Resiko perilaku kekerasan merupakan hasil konflik
emosional yang belum dapat diselesaikan. Resiko perilaku kekerasan terjadi karena
gangguan konsep diri, HDR, mudah tersinggung, destruktif terhadap diri sendiri.
Akibatnya muncul resiko menciderai diri sendiri, orang lain/ lingkungan ditandai dengan
klien marah, suka membanting barang, suka menganiaya orang lain, dan berusah melukai
diri sendiri.
H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri
antara lain :
1. Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluranya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada
obyek lain seperti meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuanya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temanya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya
3. Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan.
Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
4. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakanya sebagai
rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat.
5. Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan
hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai
perang-perangan dengan temanya.
I. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang individu dapat
mengatur emosinya dengan menggunakan sumber koping dilingkungan , sumber koping
tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah interaksi dengan orang lain dapat
membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan emosi dan
mengandopsi strategi koping yang berhasil
J. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya.
Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine
estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek
anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan
uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yangb harus dilakukan oleh
petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannyan seleksi dan ditentukan program
kegiatannya.
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar
dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptive (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptive (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku
adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan kieluarga dapat
ditingkatkan secara optimal.
4. Terapi somatic
Somatic terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi
adalah perilaku klien
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya
untukmenangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan
adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).
K. Pohon Masalah
Risiko Menciderai ; Orang lain/lingkungan
.
DAFTAR PUSTAKA
Stuart, G., & Sundeen, S. (2008). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Mengetahui,